MATERI 4- PENGANTAR BISNIS ISLAM
Oleh: Eny Latifah,S.E.Sy.,M.Ak
Prinsip
dalam Berbisnis
A.
Prinsip
Umum Ekonomi Islam
Prinsip-prinsip
ekonomi Islam yang merupakan bangunan ekonomi Islam didasarkan atas lima nilai
universal yakni : tauhid (keimanan), ‘adl (keadilan), nubuwwah (kenabian),
khilafah (pemerintah) dan ma’ad (hasil). Kelima nilai ini menjadi dasar
inspirasi untuk menyusun teori-teori ekonomi Islam(Adimarwan,2012:13).
Namun
teori yang kuat dan baik tanpa diterapkan menjadi sistem, akan menjadikan
ekonomi Islam hanya sebagai kajian ilmu saja tanpa member dampak pada kehidupan
ekonomi. Karena itu, dari kelima nilai-nilai universal tersebut, dibangunlah
tiga prinsip derivatif yang menjadi ciri-ciri dan cikal bakal sistem ekonomi
Islami. Ketiga prinsip derivatif itu adalah multitype ownership, freedom to
act, dan social justice.
Di atas
semua nilai dan prinsip yang telah diuraikan di atas, dibangunlah konsep yang
memayungi kesemuanya, yakni konsep Akhlak. Akhlak menempati posisi puncak,
karena inilah yang menjadi tujuan Islam dan dakwah para Nabi, yakni untuk
menyempurnakan akhlak manusiaAkhlak inilah yang menjadi panduan para pelaku
ekonomi dan bisnis dalam melakukan aktivitasnya.
Nilai-
nilai Tauhid (keEsaan Tuhan), ‘adl (keadilan), nubuwwah (kenabian), khilafah (pemerintah,
dan ma’ad (hasil) menjadi inspirasi untuk membangun teori-teori ekonomi Islam akan prinsip-prinsip ekonomi Islam:
1.
Prinsip Tauhid Tauhid
merupakan pondasi ajaran Islam. Dengan tauhid, manusia menyaksikan bahwa “Tiada
sesuatupun yang layak disembah selain Allah dan “tidak ada pemilik langit, bumi
dan isinya, selain daripada Allah” karena Allah adalah pencipta alam semesta
dan isinya dan sekaligus pemiliknya, termasuk pemilik manusia dan seluruh sumber
daya yang ada. Karena itu, Allah adalah pemilik hakiki. Manusia hanya diberi
amanah untuk memiliki untuk sementara waktu, sebagai ujian bagi mereka. Dalam
Islam, segala sesuatu yang ada tidak diciptakan dengan sia-sia, tetapi memiliki
tujuan. Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Karena
itu segala aktivitas manusia dalam hubungannya dengan alam dan sumber daya
serta manusia (mu’amalah) dibingkai dengan kerangka hubungan dengan Allah.
Karena kepada-Nya manusia akan mempertanggungjawabkan segala perbuatan,
termasuk aktivitas ekonomi dan bisnis.
2.
Adl
Allah adalah pencipta segala
sesuatu, dan salah satu sifat-Nya adalah adil. Dia tidak membeda-bedakan
perlakuan terhadap makhluk-Nya secara dzalim. Manusia sebagai khalifah di muka
bumi harus memelihara hukum Allah di bumi dan menjamin bahwa pemakaian segala
sumber daya diarahkan untuk kesejahteraan manusia, supaya semua mendapat
manfaat daripadanya secara adail dan baik.
Dalam banyak ayat, Allah
memerintahkan manusia untuk berbuat adil. Islam mendefinisikan adil sebagai
tidak menzalimi dan tidak dizalimi. Implikasi ekonomi dari nilai ini adalah
bahwa pelaku ekonomi tidak dibolehkan untuk mengejar keuntungan pribadi bila
hal itu merugikan orang lain atau merusak alam. Tanpa keadilan, manusia akan
terkotak-kotak dalam berbagai golongan.
Golongan yang satu akan menzalimi
golongan yang lain, sehingga terjadi eksploitasi manusia atas manusia.
Masing-masing beruasaha mendapatkan hasil yang lebih besar daripada usaha yang
dikeluarkannya karena kerakusannya. Keadilan dalam hukum Islam berarti pula
keseimbangan antara kewajiban yang harus dipenuhi oleh manusia (mukallaf)
dengan kemampuan manusia untuk menunaikan kewajiban itu.
Di bidang usaha untuk
meningkatkan ekonomi, keadilan merupakan “nafas” dalam menciptakan pemerataan
dan kesejahteraan, karena itu harta jangan hanya saja beredar pada orang kaya,
tetapi juga pada mereka yang membutuhkan.
3.
Nubuwwah
Karena sifat rahim dan
kebijaksanaan Allah, manusia tidak dibiarkan begitu saja di dunia tanpa mendapat
bimbingan. Karena itu diutuslah para Nabi dan Rasul untuk menyampaikan petunjuk
dari Allah kepada manusia tentang bagaimana hidup yang baik dan benar di dunia,
dan mengajarkan jalan untuk kembali (taubat) keasal-muasal segala sesuatu yaitu
Allah.
Fungsi Rasul adalah untuk menjadi model terbaik
yang harus diteladani manusia agar mendapat keselamatan di dunia dan akhirat.
Untuk umat Muslim,Allah telah mengirimkan manusia model yang terakhir dan
sempurna untuk diteladani sampai akhir zaman, Nabi Muhammad Saw. Sifat-sifat
utama sang model yang harus diteladani oleh manusia pada umumnya dan pelaku
ekonomi serta bisnis pada khususnya adalah Sidiq (benar, jujur), amanah (
tanggung jawab, dapat dipercaya, kredibilitas), fathonah (kecerdikan,
kebijaksanaan, intelektualitas) dan tabligh (komunikasi keterbukaan dan
pemasaran).
4.
Khilafah
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman
bahwa manusia diciptakan untuk menjadi khalifah dibumi artinya untuk menjadi
pemimpin dan pemakmur bumi. Karena itu pada dasarnya setiap manusia adalah
pemimpin. Nabi bersabda: “setiap dari kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai
pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya”. Ini berlaku bagi semua manusia,
baik dia sebagai individu, kepala keluarga, pemimpin masyarakat atau kepala
Negara. Nilai ini mendasari prinsip kehidupan kolektif manusia dalam Islam
(siapa memimpin siapa).
Fungsi utamanya adalah untuk
menjaga keteraturan interaksi antar kelompok termasuk dalam bidang ekonomi agar
kekacauan dan keributan dapat dihilangkan, atau dikurangi. Dalam Islam
pemerintah memainkan peranan yang kecil tetapi sangat penting dalam
perekonomian.
Peran utamanya adalah untuk
menjamin perekonomian agar berjalan sesuai dengan syari’ah, dan untuk
memastikan tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak manusia. Semua ini dalam
kerangka mencapai tujuan-tujuan syari’ah untuk memajukan kesejahteraan manusia.
Hal ini dicapai dengan melindungi keimanan, jiwa, akal, kehormatan, dan
kekayaan manusia.
5.
Ma’ad
Walaupun seringkali diterjemahkan
sebagai kebangkitan tetapi secara harfiah ma’ad berarti kembli. Dan kita semua
akan kembali kepada Allah. Hidup manusia bukan hanya di dunia, tetapi terus
berlanjut hingga alam akhirat. Pandangan yang khas dari seorang Muslim tentang
dunia dan akhirat dapat dirumuskan sebagai: Dunia adalah ladang akhirat”.
Artinya dunia adalah wahana bagi manusia untuk bekerja dan beraktivitas
(beramal shaleh), namun demikian akhirat lebih baik daripada dunia.
Karena itu Allah melarang manusia
hanya untuk terikat pada dunia, sebaba jika dibandingkan dengan kesenangan
akhira, kesenangan dunia tidaklah seberapa. Setiap individu memiliki kesamaan
dalam hal harga diri sebagai manusia. Pembedaan tidak bisa diterapkan
berdasarkan warna kulit, ras, kebangsaan, agama, jenis kelamin atau umur.
Hak-hak dan kewajiban- kewajiban eknomik setiap individu disesuaikan dengan
kemampuan yang dimilikinya dan dengan peranan-peranan normatif masing-masing
dalam struktur sosial.
Prinsip-prinsip mendasar dalam
ekonomi Islam mencakup antara lain yaitu :
1.
Landasan utama yang harus
dijadikan pegangan bagi seseorang khusunya dalam dunia perekonomian adalah
Iman, menegakkan akal pada landasan Iman, bukan iman yang harus didasarkan pada
akal/pikiran. Jangan biarkan akal/pikiran terlepas dari landasan Iman. Dengan
demikian prinsip utama ekonomi Islam itu bertolak kepada kepercayaan/keyakinan bahwa
aktifitas ekonomi yang kita lakukan itu bersumber dari syari’ah Allah dan bertujuan
akhir untuk Allah.
2.
Prinsip persaudaraan atau
kekeluargaan juga menjadi tolak ukur. Tujuan ekonomi Islam menciptakan manusia
yang aman dan sejahtera. Ekonomi Islam mengajarkan manusia untuk bekerjasama
dan saling tolong menolong. Islam menganjurkan kasih saying antar sesame
manusia terutama pada anak yatim, fakir miskin, dan kaum lemah.
3.
Ekonomi Islam memerintahkan
kita untuk bekerja keras, karena bekerja adalah sebagai ibadah. Bekerja dan
berusaha merupakan fitrah dan watak manusia untuk mewujudkan kehidupan yang
baik, sejahtera dan makmur di bumi ini.
4.
Prinsip keadilan sosial
dalam distribusi hak milik seseorang, juga merupakan asas tatanan ekonomi
Islam. Penghasilan dan kekayaan yang dimiliki seseorang dalam ekonomi Islam
bukanlah hak milik nutlak, tetapi sebagian hak masyarakat, yaitu antara lain
dalam bentuk zakat, shadaqah, infaq dan sebagainya.
5.
Prinsip jaminan sosial
yang menjamin kekayaan masyarakat Muslim dengan landasan tegaknya keadilan
B.
Kepemimpinan
Rasulullah
Nabi
Muhammad SAW merupakan teladan dalam kepemimpinan ekonomi Islam karena beliau
menerapkan prinsip-prinsip ekonomi yang bijaksana dan adil. Beliau juga
melakukan berbagai kebijakan ekonomi untuk kesejahteraan umat, seperti:
1)
Membentuk Baitul al-Mal
untuk menghimpun kekayaan negara
2)
Menetapkan kebijakan
fiskal, seperti pajak, anggaran, dan kebijakan fiskal khusus
3)
Menetapkan kebijakan
moneter, seperti penggunaan mata uang dinar dan dirham
4)
Menerapkan kebijakan
perdagangan, seperti mendirikan pasar
5)
Menghapuskan perbudakan
dan kezaliman
6)
Memprioritaskan pemenuhan
kebutuhan pokok
7)
Melarang tas'ir, ihtikar,
dan talaqqi rukhban untuk mencegah inflasi
8)
Meminta bantuan sukarela
dari kaum muslimin untuk meningkatkan pendapatan negara
9)
Menerapkan prinsip-prinsip
ekonomi yang mendasar
10)
Membangun masyarakat
Madinah menjadi masyarakat sejahtera dan beradab
11)
Memimpin dengan bijaksana
dan menempatkan kepentingan umat diatas kepentingan pribadi
12)
Bertanggung jawab dalam menjalankan tugas
dan amanah yang diberikan kepadanya.
Rasulullah
merupakan teladan umat yang rahmatan lil`alamin sebagaimana ajaran Islam yang
dibawanya, pemberi pencerahan pada segala lini dan sisi kehidupan manusia. Tak
terkecuali yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup melalui jalur
perekonomian, secara lansung maupun tidak lansung.
Rasulullah
dikenal sebagai saudagar ulung dengan kejujuran, kemuliaan dan amanahnya dalam
berniaga sehingga beliau mendapat gelar al-Amin (yang terpercaya). Dengan
keagungan dan kemuliaan sifat-sifatnya, beliau juga terkenal sebagai seorang
marketer yang cerdas dan beretika. Sifat-sifat itulah yang kemudian pada zaman
modern ini menjadi dasar penting dalam marketing syariah/spiritual marketing.
Marketing
merupakan sebuah disiplin bisnis strategis yang mengarahkan pada proses
penciptaan, penawaran dan perubahan dari nilai dari satu inisiator kepada
stakeholdernya. Kegiatan marketing sebenarnya merupakan kegiatan yang sangat
mulia karena pada kegiatan tersebut selalu memunculkan ide dan kreativitas
untuk melakukan pendekatan, inovasi, perubahan dan pembaharuan dalam banyak
hal.
Namun,
ketika kegiatan tersebut mengalami disorientasi dan cenderung mengejar
keuntungan yang instan, maka terkadang kegiatan marketing yang mulia dan penuh
etika itu berubah dengan kebodohan dan kebusukan. Fenomena itulah yang acapkali
kita lihat dalam dunia bisnis dan usaha.
Seyogyanya
kita bisa menempatkan fungsi marketing dengan nilai-nilai etika dan moralitas
(akhlaqul karimah) sehingga tidak ada lagi penyimpangan-penyimpangan yang
menggerogoti nilai dan keberkahan dari marketing itu sendiri. Dalam marketing
dengan pendekatan ajaran Islam, apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak
boleh dilakukan? Bagaimana cara memasarkan produk yang halal sehingga akan
menciptakan bisnis yang bersifat memberi keberkahan. Inilah semestinya yang
menjadi landasan berpikir bagi para pelaku bisnis syariah.
Di
samping istilah marketing syariah, ada juga beberapa pihak yang menyebutnya
dengan marketing spiritual. Arti keduanya hampir mempunyai kesamaan, yang
merupakan kegiatan pemasaran yang dilandasi oleh nilai-nilai spiritual atau
nilai-nilai syariah. Dari sini dapat dipahami nilai-nilai spiritual yang ada
dalam sebuah ajaran agama dapat dijadikan pedoman bagi pengikutnya dalam
menjalankan aktivitas ekonominya. Perkembangan nilai spiritual dalam marketing
sejalan dengan perkembangan dunia.
Pada
prinsipnya, spiritual marketing merupakan bagian dari etika marketing yang
dapat memberikan panduan bagi marketer dalam menjalankan kegiatan pemasarannya
sehingga sesuai dengan harapan yang diinginkan oleh perusahaan. Tujuan dari
kegiatan pemasaran diharapkan mengarah pada pemerolehan keuntungan yang besar
bagi perusahaan. Oleh karena itu, secara internal perusahaan sudah mempunyai
rambu-rambu tersendiri dalam melaksanakan kegiatan pemasaran produk-produknya.
Sebagai
muslim, sudah semestinya tidak direpotkan untuk mencari figur pebisnis yang
sukses di usia muda, dia adalah Rasulullah Muhammad SAW. Beliau adalah pebisnis
yang handal, pedagang yang jujur, sukses dan bersahaja. Karakter dan sifat Nabi
Muhammad SAW dalam melakukan proses bisnis sungguh sangat mulia. Nabi Muhammad
telah menunjukkan bagimana cara berbisnis yang berpegang teguh pada kebenaran,
kejujuran, dan sikap amanah sekaligus bisa tetap memperoleh keuntungan yang
optimal.
Dengan
berpegang teguh pada nilai-nilai yang terdapat pada Alqur’an, nabi Muhammad
melakukan bisnis secara profesional. Nilai-nilai tersebut menjadi suatu
landasan yang dapat mengarahkan untuk tetap dalam koridor yang jujur, adil dan
benar serta berkah yang mengundang keridhoan Allah SWT. Landasan atau
aturan-aturan inilah yang menjadi landasan hukum dalam berbisnis secara Islami
(Islamic business).
Ada
beberapa sifat yang membuat Nabi Muhammad berhasil dalam melakukan bisnis
antara lain :
1. Jujur
(Shiddiq)
Dalam berdagang, nabi
Muhammad SAW selalu dikenal sebagai seorang marketer yang jujur dan benar dalam
menginformasikan produknya. Bila ada produknya yang memiliki kelemahan atau
cacat, maka tanpa ditanyakan nabi Muhammad langsung menyampaikannya dengan
jujur dan benar, tak ada sedikitpun yang disembunyikan.
Maksud dari nilai shiddiq
dalam kegiatan pemasaran dapat diwujudkan dengan pemberian informasi yang benar
akan produk yang dipasarkan oleh marketer. Tidak ada informasi yang
disembunyikan mengenai obyek yang dipasarkan. Tidak mengurangi dan tidak
menambahi. Artinya, seseorang yang bekerja sebagai marketer dituntut untuk
berkata dan bertindak secara benar, sesuai dengan kondisi rill produk yang
ditawarkan.
2. Dapat
dipercaya (Amanah)
Seoarang pebisnis haruslah
dapat dipercaya seperti yang telah dicontohkan Nabi Muhammad dalam memegang
amanah. Saat menjadi pedagang, Nabi Muhammad selalu mengembalikan hak milik
atasannya, baik itu berupa hasil penjualan maupun sisa barang yang dpasarkan.
Nilai amanah bagi pekerja marketing adalah sosok yang jujur dan dapat
dipercaya. Bagi perusahaan, sosok pekerja yang amanah akan membawa keuntungan
yang besar. Di samping karena mereka tidak akan berbohong, perusahaan akan
mendapat keuntungan dari imageyang terbangun oleh customer akan ke-amanah-an
dari marketer perusahaan tersebut. Sehingga banyak customer yang terpikat oleh
sebuah produk atau usaha karena peran sosok marketer yang amanah.
3. Argumentatif
dan Komunikatif (Tabligh)
Bila anda seorang
marketer, maka anda harus mampu menyampaikan keunggulan-keunggulan produk
dengan menarik dan tepat sasaran tanpa meninggalkan kejujuran dan
kebenaran(transparency and fairness). Lebih dari itu, anda harus mempunyai
gagasan-gagasan segar dan mampu mengkomunikasikannya secara tepat dan mudah
dipahami oleh siapapun yang mendengarkannya.
Dengan begitu, pelanggan
dapat dengan mudah memahami pesan bisnis yang ingin disampaikan. Seorang marketer
mestilah sosok komunikator yang ulung, yang mampu menjembatani antara pihak
perusahaan dan pihak customer. Masalahnya akan sangat krusial jika seorang
marketer tidak dapat memberikan informasi yang diharapkan oleh customer. Bisa
jadi banyak customer yang lari ke produk perusahaan lain gara-gara seorang
marketer yang tidak dapat menjelaskan produknya ke customer.
4. Cerdas
dan Bijaksana (Fathonah)
Dalam hal ini, pebisnis
yang cerdas merupakan pebisnis yang mampu memahami, menghayati dan mengenal
tugas dan tanggung jawab bisnisnya dengan sangat baik. Dengan sifat ini,
pebisnis dapat menumbuhkan kreativitas dan kemampuan dalam melakukan berbagai
inovasi yang bermanfaat bagi perusahaan. Kita perlu menggunakan sifat ini agar
bisa menjadi seorang pebisnis yang sukses.
Terutama dalam menghadapi
persaingan yang tidak sehat; kotor, corrupted, complicated, chaos (kacau balau)
dan sophisticated. Nilai fathonah juga sangat mendukung bagi perusahaan yang
melakukan kegiatan pemasaran. Jika sebuah perusahaan tersebut mempunyai Sumber
Daya Insani (SDI) yang fathonah akan membantu perusahaan meraih profitabilitas
yang maksimal. Perusahaan tidak akan dirugikan oleh marketer yang cerdas. S
ebaliknya, marketer yang
cerdas akan memberikan sentuhan nilai yang efektif dan efisien dalam melakukan
kegiatan pemasaran. Dalam praktek marketing konvensional, strategi yang
dilakukan dikenal dengan “Marketing Mix”, yaitu marketing yang bertumpu pada :
Product, Price, Place and Promotion. Bagaimana perkembangan ekonomi syariah di
indonesia saat ini? Apa tantangannya di masa depan? Apa solusi-solusi yang bisa
diterapkan? Itulah beberapa pertanyaan yang biasa diungkapkan oleh banyak
pelaku usaha. Kenapa? Karena munculnya sistem ekonomi syariah menjadi semacam
peluang besar, mengingat indonesia memiliki penduduk beragama Islam terbesar di
dunia. Sampai saat ini saja penduduk muslim di indonesia telah mencapai sekitar
200 juta jiwa. Sebuah pasar yang sangat besar bagi sebuah bisnis.
C.
Relasi
rukun iman dan rukun Islam dalam Bisnis
Dalam
kehidupan seorang Muslim, memahami dan mengamalkan rukun iman dan rukun Islam
merupakan fondasi yang tak tergantikan. Kedua elemen ini bukan sekadar konsep
teoretis, melainkan pilar-pilar fundamental yang membentuk kerangka iman dan
amal dalam kehidupan sehari-hari. Memahami keduanya dengan mendalam sangat
penting, karena keduanya menjadi pedoman dan sumber pelajaran yang mempengaruhi
seluruh aspek kehidupan seorang Muslim.
Rukun
iman adalah enam pokok ajaran yang harus diyakini dan diterima dalam hati oleh
setiap Muslim. Ajaran ini mencakup iman kepada Allah, malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan takdir. Setiap aspek dari
rukun iman ini membentuk keyakinan yang kokoh, yang menjadikan seorang Muslim
memiliki pandangan hidup yang penuh makna dan arah yang jelas.
Sementara
itu, rukun Islam terdiri dari lima pilar utama yang
meliputi syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji. Rukun Islam ini merupakan
wujud nyata dari iman yang diyakini. Dengan melaksanakan ibadah-ibadah ini,
seorang Muslim tidak hanya menegakkan perintah Allah, tetapi juga menerjemahkan
keyakinan dalam bentuk tindakan konkret.
Rukun
iman dan rukun Islam saling melengkapi, rukun iman memberikan kerangka
keyakinan yang membentuk dasar spiritual, sementara rukun Islam merupakan aplikasi praktis dari keyakinan
tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Rukun
iman dan rukun Islam menjadi dasar dalam menjalankan ajaran Islam, termasuk
dalam berbisnis. Dalam berbisnis, seorang muslim dapat menerapkan rukun
iman dan rukun Islam dengan:
1)
Memiliki keyakinan bahwa
Allah adalah satu-satunya Pemberi Rezeki
2)
Menjalankan bisnis dengan
penuh keikhlasan, menganggapnya sebagai ibadah
3)
Menjalankan bisnis dengan
menjunjung tinggi moral dan etika bisnis
4)
Menjalankan bisnis yang
saling menguntungkan, tidak eksploitatif, dan bebas dari kecurigaan atau
penipuan
5)
Menyerahkan semua hasil
usaha kepada Allah SWT
a.
Penjelasan
6)
Rukun iman menjadi pedoman
umat muslim untuk menjalankan ibadah.
7)
Rukun Islam merupakan
dasar atau pondasi bagi seorang muslim sejati.
8)
Dalam Islam, segala
aktivitas dapat bernilai ibadah jika dilandasi dengan aturan-aturan yang telah
disyariatkan Allah SWT.
9)
Dalam Islam, bisnis dapat
menjadi ibadah yang dapat membangkitkan jiwa kewirausahaan.
10)
Dalam Islam, bisnis dapat
menjadi sarana untuk meraih ridho Allah dan bermuara pada terwujudnya
kompetensi kerja.
D. Harta
merupakan ujian
Harta merupakan ujian dari
Allah SWT, baik sebagai ujian keimanan maupun ujian untuk meraih kemuliaan.
Beberapa hal yang bisa dikaitkan
dengan harta merupakan ujian adalah:
1. Harta
dapat menjadi ujian keimanan, yaitu ujian untuk semakin dekat dengan Allah atau
menjauhkan diri dari Allah.
2. Harta
dapat menjadi ujian untuk meraih kemuliaan, yaitu harta yang dibelanjakan di
jalan kebaikan akan mengantarkan seseorang meraih kemuliaan.
3. Harta
dan anak-anak adalah titipan dan anugerah dari Allah sebagai ujian untuk
Muslim.
4. Harta
dan anak-anak harus menjadi sebab seorang Muslim semakin dekat dengan Allah
SWT. Jangan berlebihan mencintai harta
dan anak sehingga ingkar kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Rasulullah
bersabda, "Sesungguhnya setiap umat memiliki ujian dan ujian umatku adalah
harta" (HR Tirmidzi no.2336, Ahmad 4/160, Ibnu Hibban no.3223, Al Hakim
4/318, al Qudhai dalam Asy Syihab no.1022). Sebagai muslim yang telah diberi
kelebihan harta benda oleh Allah, wajib menjadikan kekayaanya itu sebagai jalan
menuju ridha-Nya, dengan zakat, infaq, dan shadaqah.
Harta
dapat menjadi rahmat jika dikelola dengan baik sesuai ajaran agama, sedangkan
harta dapat menjadi ujian jika tidak dikelola dengan baik.
Harta
sebagai rahmat ketika:
1)
Harta dapat menjadi sarana mendekatkan diri
kepada Allah.
2)
Harta dapat menjadi penenang dan
ketentraman keluarga.
3)
Harta dapat menjadi kesempatan untuk
beramal lebih banyak, seperti zakat, sedekah, dan infak.
Harta
sebagai ujian ketika:
1)
Harta dapat menjadi ujian untuk melihat
apakah seseorang bersyukur dan mentaati Allah.
2)
Harta dapat menjadi ujian untuk melihat
apakah seseorang dapat meningkatkan ketakwaannya.
3)
Harta dapat menjadi ujian untuk menguji
kesabaran dan keteguhan iman.
4)
Harta dapat menjadi ujian untuk menguji
bagaimana seseorang menunaikan kewajibannya kepada Allah.
5)
Harta dapat menjadi ujian untuk menguji
apakah seseorang terjebak dalam kesenangan duniawi dan melupakan tujuan
akhirat.
Allah
menguji manusia dengan berbagai cara, salah satunya melalui harta. Allah
berfirman dalam Al-Quran, “Ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu
hanyalah ujian dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar”.
E. Pandangan
riba’ dan bunga
Secara
etimologi, kata riba dapat diartikan ke dalam beberapa makna, yaitu tumbuh
kembang (al-numuw), bertambah (al-ziyadah), tinggi/melonjak (al-‘uluw wa
irtifa’). Oleh sebab itu, jika riba diucapkan, maka konotasinya adalah sesuatu
yang bertambah. Apakah itu bilangannya yang bertambah atau bentuknya. Karena
kemutlakan kata riba itu sendiri bermakna sesuatu yang bertambah.
Itulah
sebabnya Al-Raghib al-Ashfahani dalam kitabnya alMufradaat fi Garib al-Quran
mengatakan bahwa riba berarti penambahan atas modal pokok.
Dari segi
terminologi, para Ulama berbeda pendapat dalam memberi pengertian mengenai riba
sesuai perbedaan persepsi mereka dalam memahami batasan masalah riba itu
sendiri. Ulama Hanafi mengatakan: Riba adalah kelebihan yang diserahkan dalam
juaI beli tanpa disertai imbalan. Sedangkan Syafi’iyah berasumsi bahwa riba
adalah akad atas suatu barang dengan imbalan khusus yang tidak diakui
persamaannya dalam ukuran syara’ atau disertai dengan penundaan di salah satu
atau kedua barang transaksinya. Adapun ulama Hanabilah mendefinisikannya dengan
adanya saling melebihkan dalam barang yang dipertukarkan.
Dari
beberapa pengertian tersebut di atas, dapat dipahamni bahwa riba dalam
perspektif mazhab fiqih lidak jauh beda dari makna-makna yang ditunjukkan oleh
arti bahasanya. Yaitu sesuatu yang mengalami kelebihan atau penambahan dari
harga pokok (modal awal) baik secara langsung maupun setelah jatuh tempo,
apakah barang tersebut sejenis atau sama takarannya atau tidak.
Sejak
tahun 1960-an, bunga bank telah menjadi pembicaraan menarik di kalangan umat
Islam. Pembicaraan ini membawa konsekuensi logis terhadap anggapan bahwa bunga
bank yang umumnya berlaku dalam sistem perbankan, dewasa ini adalah termasuk
riba.
Hal ini
disimpulkan mengingat pengenaan bunga tidak sejalan dengan Syari’ah Islam,
antara lain (H. Karnaen A. Perwataatmaja. 1992 146):
a.
Dengan penetapan bunga
terlebih dahulu, berarti seakan bank telah memastikan kreditur akan memperoleh
untung dengan pinjaman modal tersebut. Hal ini tentunya mendahului takdir
tuhan. Karena untung dan rugi adalah faktor nasib yang belum bisa dipastikan.
(lihat QS Lukman (31:34).
b.
Dengan penetapan bunga
dalam bentuk persentase, maka secara matematis bila dipadukan dengan
ketidakpastian dihadapi manusia seiring dengan perjalanan waktu, maka akan
berakibat utang menjadi berlipat ganda. Dan ini tentu bertentangan dengan QS
Ali Imran (3):130.
c.
Dengan penetapan bunga
dalam kredit berarti sama dengan memperdagangkan atau menyewakan yang sama
jenis (uang dengan uang) lalu memperoleh kelebihan/keuntungan kualitas atau
kuantitas. Dan ini hukumnya adalah riba. Sesuai dengan maksud Hadits Abi Sa'id
al-Khudry di atas.
Demikian
juga hasil Muktamar II Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah yang diadakan di Kairo
tahun 1965, yang dihadiri oleh para ulama dari sekitar 30 negara-negara Islam,
menghasilkan kesepakatan di antaranya: semua jenis pinjaman yang menarik bunga
adalah riba dan hukumnya haram, dan tidak ada perbedaan atas pinjaman konsumsi
maupun pinjaman produksi karena nash Alquran dan sunnah yang berbicara tentang
riba semuanya adalah Qath’i. Oleh karena itu, bunga bank hukumnya adalah haram,
sama halnya besar kecilnya atau banyak dan sedikit (Muhammad Abdullah
al-Khatib. 1990:89).
Di sisi
lain ada juga sebagian ulama yang memandang bunga bank sebagai sesuatu yang
tidak layak dikategorikan sebagai riba. Sebutlah misalnya Grand Syekh Al Azhar
Muhammad Sayyid Thanthawi. Dalam buku Mu’amalat al-Bunuk al-Islamiyah wa Ahkuma
al-Syar’iyyah, beliau menjelaskan bahwa muamalah apapun dalam Islam harus
berdiri di atas prinsip Ijab Qabul, saling meridhoi, menghilangkan unsur
manipulasi dan monopoli selama dalam batas yang dihalalkan oleh Allah SWT.
Beliau menjelaskan bahwa tidak ada masalah jikalau dua orang yang bekerja sama
atau bertransaksi, menentukan terlebih dahulu jumlah yang akan ia peroleh.
Selama kedua belah pihak sepakat dan rela. Karena menurutnya, masalah penentuan
bunga adalah masalah mu’amalah/ekonomi yang dasarnya adalah kerelaan dan
kesepakatan, bukan masalah aqidah atau ibadah
Dalam Islam, riba diharamkan, sedangkan
bunga bank merupakan ranah ijtihadiyah (ada perbedaan pendapat
ulama).
Pandangan tentang Riba:
1)
Riba adalah praktik yang dilarang dan
dianggap haram dalam Islam.
2)
Riba berasal dari bahasa Arab Azziyadah,
yang berarti tambahan atau menambahkan.
3)
Riba diharamkan karena bersifat
mengeksploitasi.
4) Riba
diartikan sebagai tingkat bunga yang sangat tinggi di atas batas yang
diizinkan.
Pandangan tengang Bunga bank:
1)
Bunga bank merupakan ranah ijtihadiyah,
artinya ada perbedaan pendapat ulama mengenai kesetaraan bunga bank dengan
riba.
2)
Sebagian kelompok berpendapat bahwa bunga
bank sebenarnya adalah bentuk riba.
3)
Kelompok lain berpendapat bahwa riba dalam
Al-Qur'an berbeda dari bunga bank.
4)
Bunga bank dibolehkan, karena tidak
termasuk dalam tambahan riba berlipat ganda.
F. Balas
jasa versi Rasulullah
Menurut Rasulullah, balas jasa
atau upah harus diberikan kepada pekerja sebelum keringatnya
kering. Selain itu, Rasulullah juga menganjurkan agar pekerja
diberitahukan upahnya saat sedang bekerja.
Hadits Rasulullah tentang
upah
“Berikanlah upah kepada
pekerja, sebelum keringatnya mengering” (HR Ibnu Majah)
“Jika kamu memperkerjakan
orang, maka beritahukanlah upahnya” (HR An-Nasa'i)
Konsep upah dalam Islam
Dalam Islam, pemberian upah atas
jasa disebut ju'alah. Upah dalam konsep syariah memiliki dua dimensi,
yaitu dunia dan akhirat.
Syarat upah dalam Islam
Ulama menetapkan syarat
upah, yaitu:
1) Berupa
harta tetap yang diketahui
2) Tidak
boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah
3) Penentuan
upah berdasarkan kerja atau kegunaan manfaat tenaga kerja seseorang
Contoh Rasulullah dalam
berbisnis
Rasulullah berdagang dengan cara
bersaing secara sehat dan adil. Beliau tidak pernah mencari cara yang
tidak etis atau merugikan pihak lain hanya untuk meraih keuntungan.
Rasulullah SAW membalas jasa
orang yang berbuat baik kepadanya dengan memberikan hadiah yang semisal atau
lebih baik. Hal ini merupakan salah satu akhlak mulia Rasulullah dalam
bermuamalah dengan manusia.
Hadits tentang Rasulullah
membalas hadiah
Diriwayatkan oleh Aisyah bahwa
Rasulullah suka menerima hadiah dan membalasnya.
Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah bahwa Rasulullah membalas hadiah dengan yang lebih baik.
Memberi hadiah sunnah dalam Islam
Rasulullah SAW menganjurkan
umatnya untuk saling memberi hadiah. Memberi hadiah dapat:
1)
Menumbuhkan rasa cinta
kasih
2)
Menghilangkan rasa dendam
3)
Mempererat hubungan
4)
Menumbuhkan rasa kasih
sayang antar sesama
5)
Menyebarkan kebaikan
6) Mempererat
ukhuwah Islamiyah
Samsarah atau biro jasa dalam
Islam diperbolehkan dengan memperhatikan beberapa etika dan ketentuan di bawah
ini.
1. Tidak
ada gharar dalam akad. Karena gharar dapat membatalkan akad jual beli, maupun
ijarah (menyewa jasa).
2. Untuk
menghindari gharar maka upah biro jasa harus jelas, dan tidak menggunakan
persentase.
3. Tidak
ada risywah (suap) dan kedzaliman pada pihak-pihak yang bersangkutan
4. Tidak
menambahi atau mengurangi harga dari salah satu pihak, tanpa sepengetahuan
pihak yang bersangkutan.
5. Bahwa
pihak biro jasa bukanlah pemilik barang atau investor pada barang tersebut
6. Jika
dalam jual beli menggunakan biro jasa, dan terdapat aib dalam barang, maka
wajib disampaikan kepada pihak yang bersangkutan.
7. Jika
calo memenuhi ketentuan samsarah di atas, maka hukumnya boleh seperti biro
jasa.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman
Karim. 2002. Ekonomi Mikro Islami. Jakarta: Rajawali Pers.
Akhmad
Mujahidin. 2007. Ekonomi Islam. Jakarta: Raja Wali Pers
Karnaen
A. Perwataatmaja. 1992. “Peluang dan Strategi Operasional Bank Muamalat
Indonesia dalam Berbagai Aspek Ekonomi Islam.” (Editor) M. Rusli Karim.
Cet. I. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
Muhammad
Abdullah al-Khatib. 1990. Waqfah fi wajhi Dhalalaat al-Fawaid al-Ribawiyah.
Cairo: Daar al-Manaar al-Hadits.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar