MATERI 2- PENGANTAR BISNIS ISLAM
Oleh:
Eny Latifah,S.E.Sy.,M.Ak
Perkembangan Manajemen Syariah
A.
Sejarah Manajemen Syariah
1.
Sejarah
Manajemen Konvensional
Sejarah Manajemen Konvensional
Kesulitan yang terjadi dalam melacak sejarah manajemen, namun diketahui bahwa
ilmu manajemen telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Hal ini dibuktikan
dengan adanya piramida di Mesir. Piramida tersebut dibangun oleh lebih dari
100.000 orang selama 20 tahun. Piramida Giza tak akan berhasil dibangun jika
tidak ada seseorang—tanpa memedulikan apa sebutan untuk manajer ketika itu—yang
merencanakan apa yang harus dilakukan, mengorganisir manusia serta bahan
bakunya, memimpin dan mengarahkan para pekerja, dan menegakkan pengendalian
tertentu guna menjamin bahwa segala sesuatunya dikerjakan sesuai rencana.
Praktik-praktik manajemen lainnya
dapat disaksikan selama tahun 1400-an di kota Venesia, Italia, yang ketika itu
menjadi pusat perekonomian dan perdagangan. Penduduk Venesia mengembangkan
bentuk awal perusahaan bisnis dan melakukan banyak kegiatan yang lazim terjadi
di organisasi modern saat ini. Sebagai contoh, di gudang senjata Venesia, kapal
perang diluncurkan sepanjang kanal; pada tiap-tiap perhentian, bahan baku dan
tali layar ditambahkan ke kapal tersebut. Hal ini mirip dengan model lini
perakitan yang dikembangkan oleh Henry Ford untuk merakit mobil-mobilnya.
Selain lini perakitan, orang
Venesia memiliki sistem penyimpanan dan pergudangan untuk memantau isinya,
manajemen sumber daya manusia untuk mengelola angkatan kerja, dan sistem
akuntansi untuk melacak pendapatan dan biaya. Sebelum abad ke-20, terjadi dua
peristiwa penting dalam ilmu manajemen. Peristiwa pertama terjadi pada tahun
1776, ketika Adam Smith menerbitkan sebuah doktrin ekonomi klasik, The Wealth
of Nation. Dalam bukunya itu, ia mengemukakan keunggulan ekonomis yang akan
diperoleh organisasi dari pembagian kerja (division of labor), yaitu perincian
pekerjaan ke dalam tugastugas yang spesifik dan berulang.
Dengan menggunakan industri
pabrik peniti sebagai contoh, Smith mengatakan bahwa dengan sepuluh orang masing-masing
melakukan pekerjaan khusus perusahaan peniti dapat menghasilkan kurang lebih
48.000 peniti dalam sehari. Akan tetapi, jika setiap orang bekerja sendiri
menyelesaikan tiap-tiap bagian pekerjaan, sudah sangat hebat bila mereka mampu
menghasilkan dua puluh peniti sehari. Smith menyimpulkan bahwa pembagian kerja
dapat meningkatkan produktivitas dengan meningkatnya keterampilan dan kecekatan
tiap-tiap pekerja, menghemat waktu yang terbuang dalam pergantian tugas, dan
menciptakan mesin dan penemuan lain yang dapat menghemat tenaga kerja.
Peristiwa penting kedua yang
memengaruhi perkembangan ilmu manajemen adalah Revolusi Industri di Inggris.
Revolusi Industri menandai dimulainya penggunaan mesin, menggantikan tenaga
manusia, yang berakibat pada pindahnya kegiatan produksi dari rumah-rumah
menuju tempat khusus yang disebut "pabrik." Perpindahan ini
mengakibatkan manajer-manajer ketika itu membutuhkan teori yang dapat membantu
mereka meramalkan permintaan, memastikan cukupnya persediaan bahan baku, memberikan
tugas kepada bawahan, mengarahkan kegiatan sehari-hari, dan lain-lain, sehingga
ilmu manajamen mulai dikembangkan oleh para ahli.
Ada dua tokoh manajemen yang
mengawali munculnya manajemen ilmiah, yang akan dibahas disini, yaitu: Robert
Owen dan Charles Babbage.
a.
Robbert Owen (1771-1858)
Pada permulaan tahun 1800-an Robert Owen, seorang
manajer beberapa pabrik pemintahan kapas di New Lanark Skotlandia. Menekankan
penting unsur manusia dalam produksi. Dia membuat perbaikan-perbaikan dalam
kondisi kerja, seperti pengurangan hari kerja standar, pembatasan anak-anak
dibawah umur yang bekerja, membangun perumahan yang lebih baik bagi karyawan
dan mengoperasikan toko perusahaan yang menjual barang-barang dengan murah.
b.
Charles Babbage
(1792-1871)
Charles Babbage, seorang profesor matematika dari
inggris, mencurahkan banyak waktunya untuk membuat operasi-operasi pabrik
menjadi lebih efisien. Babbge adalah penganjur pertama prinsip pembagian kerja
melalui spesifikasinya. Dia percaya bahwa aplikasi prinsip-prinsip ilmiah pada
proses kerja akan menaikkan produktivitas dari tenaga kerja, karena pekerjaan
dilakukan dengan efektif dan efisien. Dia menganjurkan agar para manajer
bertukar pengalaman dalam penerapan prinsip-prinsip manajemen.
2.
Sejarah
Manajemen Syariah
Berbeda dengan manajemen
konvensional, manajemen yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis Nabi (Sunnah)
ini sarat dengan nilai yang diatur dalam syariah Islam. Oleh karenanya lebih
dikenal dengan manajemen Islam atau lebih populer dengan sebutan manajemen syariah
atau manajemen yang ada dalam koridor syariah, atau yang dipandu oleh aturan
yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Oleh karena itu manajemen
syariah adalah manajemen yang tidak bebas nilai, karena manajemen syariah tidak
hanya berorientasi pada kehidupan dunia, tetapi juga berorientasi kepada
kehidupan di akhirat (nanti di sana), yang hanya bisa dipahami dalam sistem
kepercayaan agama Islam. Perkembangan ilmu manajemen di dalam Islam dapat
dilihat dari beberapa catatan sejarah.
Salah satunya adalah Nizam
alidari yang bermakna sistem tata laksana. Terdapat beberapa peristiwa pada
masa kekhalifahan Islam yang dapat dikemukakan bertalian dengan perkembangan
ilmu manajemen ini adalah sebagai berikut:
a)
Tahun 1 Hijriyah (622
Masehi)
Atas bimbingan wahyu dari Allah SWT, Rasulullah
SAW, membangun struktur Negara Islam yang khas di Madina yang bertahan hingga
14 abad kemudian. Struktur dengan bentuk dan system Islam yang memiliki 4 ciri
sebagai berikut:
(1)
Negara Islam tidak
berbentuk persekutuan, persemakmuran, tetapi kesatuan.
(2)
System pemerintahan Islam
adalah sisten khalifah atau imamah.
(3)
System pemerintahan Islam
adalah system Syura.
(4)
System manajemen
pemerintahannya bersifat terpusat, sedangkan administrasinya menganut system
tak terpusat.
b)
Tahun 2 Hijriyah (624
Masehi)
Atas usulan Al-Warid bin Hisyam
bin Al-Mughiroh (seorang sahabat yang pernah melihat praktek pengelolahan kas
Negara di Syam) untuk membuat system pengarsipan/ administrasi dari
pengelolahan kas Negara sebagaimana yang telah dilakukan raja-raja di Syam,
Khalifah umar memperbaharui tekhnik organisasi dan dokumentasi Baitul Maal,
zaman khaliafah Muawiyah, ilmu tatalaksana pemerintahan berkembang dengan
ilmu-ilmu lainnya seperti ekonomi, sejarah, politik dan social.
Dalam era belakangan ini telah
muncul sebuah paradigma manajemen baru, yaitu manajemen Islam, walaupun belum
ada kesepakatan ahli mengenai hal tersebut.
Paradigm manajemen Islam tersebut
memiliki dua makna:
(1)
Manajemen sebagai Ilmu
Manajemen dipandang sebagai salah satu ilmu umum yang tidak berkaitan dengan
nilai, peradaban manapun, sehingga hukum mempelajarinya adalah fardu kifayah.
(2)
Manajemen sebagai aktivasi
Yaitu manajemen terikat pada aturan syara’, nilai Islam. Manajemen Islam
berpijak pada akidah islam. Aqidah Islam adalah dasar Ilmu pengetahuan.
B.
Praktek
Manajemen Syariah di Zaman Rasulullah
Sekitar
571 M, seorang bayi keturunan Quraisy lahir di Mekah. Bangsa Quraisy memberi
julukan al-Amin (yang terpecaya). Al-Qur’an (pada surah 3:144, 33:40, 48:29,
47:2) menyebutnya Muhammad dan hanya sekali (pada surah 61:6) menyebutnya
Ahmad, Kemudian nama seterusnya yang ia sandang adalah Muhammad (yang terpuji).
Muhammad SAW mulai berperan sebagai Nabi sekaligus sebagai Rasul setelah ia
menerima wahyu kenabian pada menjelang akhir bulan Ramadhan tahun 610 M.
Sejak
menjadi Nabi dan Rasul ini Muhammad SAW memulai kegiatan manajemen yang secara
ringkasnya dapat diringkaskan sebagai berikut:
1)
Ketika perkembangan Islam
mulai nampak dan Islam di dakwahkan secara terang-terangan dengan persuasif,
Rasulullah SAW mulai mengutus para sahabat untuk dijadikan sebagai duta guna
mendakwahkan agama dan memungut zakat masyarakat Arab pada waktu itu. Tugas
utama yang harus dilakukan utusan adalah memberikan pelajaran agama terlebih
dahulu kepada pemimpin kabilah dan diharapkan dapat merambah pada kaumnya.
Rasul telah mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman dengan uraian tugas yang jelas
seraya bersada: “Engkau aku utus untuk datang kepada kaum ahli kitab. Persoalan
utama yang harus engkau dakwahkan kepada mereka adalah mengajak untuk beribadah
kepada Allah SWT. Beritahukan kepada mereka bahwa Allah SWT mewajibkan membayar
zakat. Zakat diwajibkan bagi orang-orang kaya, dan selanjutnya dibagikan kepada
fakir miskin. Jika mereka mentaatinya, ambilah dari mereka dan jaga kemulian
harta mereka. Dan takutlah terhadap doa orang yang terzalimi, karena doa mereka
tidak ada hijab dari Allah”. Rasulullah juga selektif dalam memilih pegawainya,
yaitu mereka yang agamanya kuat (shalih) dan merupakan pioner dalam masuk agama
Islam. Dan bahkan juga Rasulullah sering minta pendapat sahabat tentang track
record (kepribadian calon pegawai).
2)
Rasulullah SAW juga
memiliki Majelis Syura semacam think tank (staf ahli) yang dimulai setelah
berdirinya negara “kota Madinah” Majelis Syura difungsikan oleh Rasulullah
sebagai tempat berdiskusi dan bermusyawarah untuk membicarakan masalah-masalah
yang dihadapi yang berkenaan masalah keagamaan, pemerintahan, kemasyarakatan,
dan hubungan dengan bangsa atau negara lain. Ini menunjukkan Rasulullah SAW itu
seorang yang sangat menghargai kemampuan dan profesionalisme orangorang yang
dipimpinnya. Mereka yang masuk dalam think tank ini adalah para sahabat atau
orang-orang yang memiliki kecermatan dalam berpikir, kedalaman ilmu agamanya,
kuat imannya, dan rajin mendakwahkan agama Islam.
3)
Rasulullah SAW juga
melakukan pembagian tugas dan wewenang, seperti: Ali bin Abi Thalib menangani
kesekretariatan dan perjanjian-perjanjian yang dilakukan Rasulullah, Hudzaifah
bin Almin menangani dokumen rahasia Rasulullah, Abdullah bin Al-Arqam bertugas
menarik zakat dari para raja, Zubair bin Awam dan Juhaim bin Shalt bertugas
mencatat harta zakat, Mughirah bin Syu’bah dan Hasyim bin Namir bertugas
mencatat utang piutang dan transaksi muamalah, Zaid bin Tsabit bertugas sebagai
penterjemah dalam bahasa Parsi, Romawi, Qibty, Habsy, dan Yahudi. Najiyah al
Tafawi dan Nafi’ bin Dzarib al-Naufal bertugas menulis mushaf, dan lain-lain.
C.
Praktek Manajemen Syariah
Pada Zaman Khulafaurrasyidin
1)
Abu Bakar Ash-Siddiq
Pada zaman pemerintahan Abu Bakar aktivitas
manajemen yang dilakukannya antara lain menata wilayah kekuasaan Islam dibagi
menjadi beberapa provinsi. Wilayah Hijaz terdiri dari 3 provinsi, yaitu Mekkah,
Madinah, dan Thaif. Wilayah Yaman dibagi menjadi 8 provinsi, yaitu Shai’a,
Hadralmaut, Haulan, Zabad, Rama Al-Jundi, Najran, Jarsy, dan Bahrain.
Masing-masing provinsi dipimpin oleh seorang gubernur. Diantara tugas para
Gubernur adalah mendirikan sholat, menegakkan peradilan, menarik, mengelola dan
membagikan zakat, melaksanakan had, dan mereka mempunyai kekuasaan pelaksanaan
peradilan secara simultan. Pada zaman khalifah Abu Bakar ini sudah pula ada
pengawasan terhadap kinerja karyawan.
2)
Umar bin Khattab
Setelah Abu Bakar meninggal dunia tugas khalifah
diteruskan oleh Umar bin Khattab. Umar memerintah dari tahun 634-644 M. Pada
zaman pemerintahan Umar bin Khattab kegiatan manajemen semakin luas. Salah satu
diantaranya dipraktekkannya konsep dasar hubungan antara negara dan rakyat,
tugas pelayanan publik dan menjaga kepentingan rakyat dari otoritas pemimpin.
Umar juga melakukan pemisahan antara kekuasaan peradilan dengan kekuasaan
eksekutif, serta menetapkan ada lembaga pengawasan terhadap kinerja pegawai
publik. Pengawasan ini dimaksudkan untuk menjaga penduduk dari tindak kezaliman
dan kesewenangan pegawai pelayanan publik atau seorang pemimpin.
3)
Usman bin Affan
Ia menjadi khalifah dari tahun 644-656 M. Pada
zaman khalifah Utsman bin Affan, pertama-tama kegiatan manajemen yang
dilakukannya adalah menjaga dan melestarikan sistem pemerintahan yang sudah
ditetapkan oleh khalifah Umar bin Khattab. Khalifah Utsman lebih mengakomodir
keinginan rakyatnya ketika mereka meminta untuk mencopot dan melengser pemimpin
mereka. Paling tidak ada tiga gubernur dilengserkan atas permintaan rakyat
yaitu Mughirah bin Syu’bah Gubernur Kufah dan menggantinya dengan Walid bin
Uqbah. Satu saat khalifah Utsman mendengar Walid minum khamar, lalu khalifah
Utsman memanggilnya ke Madinah, kemudian memberi had bagi Walid dan mencopotnya
dari posisi gubernur dan menggantinya dengan Sa’id bin Ash. Kemudian khalifah
Utsman juga mencopot Abi Musa Al-Asy’ari dari jabatan gubernur dan menggantinya
dengan Abdullah bin Amir (anak paman khalifah Utsman dari pihak wanita).
Khalifah Utsman juga mencopot Amr bin Ash dari jabatan Gubernur Mesir dan
menggantinya dengan Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh, dan ia pun menetapkan
Marwan bin Hakim sebagai ketua Dewan (Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh adalah
anak paman khalifah Utsman dari pihak lelaki).
Pada masa kekhalifahan Utsman ini terdapat
indikasi nepotisme. Hal ini membuat sekelompok sahabat mencela kepemimpinan
Utsman karena lebih memilih keluarga dari pada para sahabat yang menjadi pioner
dalam Islam.
4)
Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib terpilih menjadi khalifah
menggantikan Utsman bin Affan dari tahun 656-661 M. Pada zaman khalifah Ali bin
Abi Thalib kegiatan manajemen yang menonjol yang dilakukannya adalah memilih
gubernur dengan sangat selektif, begitu juga dalam mengangkat pegawai. Ia
menasehatkan kepada para gubernur; “Janganlah engkau mengangkat pegawai karena
ada unsur kecintaan dan kewalian (nepotisme), karena hal itu akan menciptakan
golongan durhaka dan khianat. Pilihlah pegawai karena pengalaman dan kompetensi
yang dimilikinya, ketaqwaannya dan keturunan orang shaleh, serta orang tersebut
merupakan pioner dalam Islam. Mereka adalah orang yang memiliki akhlak mulia,
argumen yang shahih, tidak mengejar kemuliaan (pangkat) dan mempunyai pandangan
yang luas atas suatu persoalan.” Khalifah Ali juga mengajarkan sistem
renumerasi dan ia berkata; “Sempurnakanlah gaji yang mereka terima, karena upah
itu akan memberi kekuatan kepada mereka untuk memperbaiki diri.” Khalifah Ali
juga konsen terhadap kepentingan masyarakat dan mempunyai perhatian khusus
terhadap keadilan dan menjauhi tindak kezaliman.
D.
Praktek Manajemen Syariah
Pada Zaman Bani Umayyah dan Bani Abbasyiah
1)
Manajemen Zaman Bani
Umayyah (660-750 M)
Pada zaman Bani Umayyah, perkembangan manajemen
yang dimulai pada zaman Khulafa al-Rasyidin dapat dikatakan tidak dapat
berkembang secara alami. Manajemen pada masa ini mengalami stagnasi. Hal ini
disebabkan karena adanya persoalan dalam percaturan politik pemerintahan,
tepatnya terjadi perseteruan politik di kalangan elit sahabat. Dampaknya
manajemen pemerintahan tidak lagi berjalan di atas prinsip-prinsip politik yang
digariskan Rasulullah SAW. Politik tidak lagi mengindahkan prinsip syura
(musyawarah) dalam proses pemilihan anggota ahlul hilli wal ‘aqdi (anggota DPR)
dari para sahabat. Perseteruan politik ini menyebabkan munculnya beberapa
pemberontakan terhadap pemerintahan Bani Umayyah, diantaranya yang dilakukan
oleh kaum Khawarij dan Bani Abbasiyah. Meski demikian situasi dan kondisi
pemerintahan Bani Umayah, sejarah tetap mencatat ada kemajuan di bidang manajemen,
khusus manajemen pemerintahan yang terjadi perluasan di al-Diwan (lembaga,
kantor, departemen) yang telah berkembang menjadi lima (5) Diwan, yaitu Diwan
al Jund (angkatan perang), Diwan al-Kharaj (keuangan), Diwan Al-Rasail
(sekretariat), Diwan al-Khatam (otorisasi stempel), dan Diwan al-Barid (kantor
pos) yang tersentralisasi di pusat pemerintahan. Dan di setiap provinsi
terdapat tiga (3) macam diwan, yakni Diwan al-Jund, al-Rasail, dan al-Maliyah
(keuangan). Sistem yang berlaku untuk masing-masing diwan ini merupakan adopsi
dari Persia.
2)
Manajemen Zaman Bani
Abbasiyah (750-1258 M)
Pada Zaman Bani Abbasiyah pemerintahan Islam
mempunyai peran yang cukup signifikan termasuk di bidang manajemen. Selain
lembaga pemerintahan, pada sistem peradilan juga pada zaman ini dibentuk
lembaga al-Hisbah yang mengawasi kehidupan sosial masyarakat, dan memerintahkan
kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi mungkar). Al-Hisbah
sendiri merupakan lembaga dalam rangka manajemen pemerintahan dan orang yang
pertama kali menekankan peran Al-Hisbah ini adalah Rasulullah SAW yang di
tengah-tengah kesibukannya sebagai pemimpin agama, kepala pemerintahan, dan
kepala keluarga masih menyempatkan waktunya untuk mengawasi kegiatan para
pelaku pasar di kota Madinah. Diriwayatkan oleh sebuah hadits; Rasulullah suatu
ketika mengunjungi pasar dan melewati seorang pedagang makanan, Rasul menghampiri
pedagang itu dan memasukkan tangannya ke dalam tumpukan makanan itu dan
menemukan makanan itu basah di dalamnya, Rasulullah SAW bersabda; “Apa yang
terjadi dengan makanan ini?” Pedagang itu berkata: “Makanan ini telah basah
terkena hujan”. Rasulullah SAW menjawabnya: “Mengapa tidak engkau taruh di atas
agar dapat dilihat orang-orang? Barang siapa menipu kita, maka tidak termasuk
dalam golongan kita”. Seorang muhtasib (petugas hisbah) memiliki sejumlah
tugas, diantaranya: 1. Menyelesaikan persoalan-persoalan publik, tindak pidana
(jinayat) 2. Memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran 3. Menjaga
adab, tata krama, dan Amanah 4. Menjaga/mengawasi hak-hak syara 5. Mengawasi
pelaksanaan sistem pasar, takaran dan timbangan. Melihat peran dan fungsi
lembaga al-Hisbah ini cukup berat dan sangat strategis, maka mayoritas ulama
fiqih memberikan persyaratan yang ketat kepada orang yang akan menduduki
jabatan di lembaga ini. Seorang muhtasib haruslah seorang: muslim, merdeka,
baligh, adil, ahli fiqih, berpengalaman, paham terhadap hukum syariah sehingga
bisa ber-amar ma’ruf nahi mungkar, ucapannya tidak berbeda dengan tindakan,
menjaga diri dari harta masyarakat, memiliki pandangan ke depan (visioner), mempunyai
sikap sabar, setiap ucapan dan tindakannya untuk Allah dan bertujuan untuk
mendapatkan ridho Allah.5 Berdasarkan keterangan dan penjelasan-penjelasan di
atas tentang konsep dan praktek manajemen dalam masamasa awal Islam sampai
dengan masa Bani Abbasiyah jelas menunjukkan adanya hubungan erat (benang
merah) antara konsep dasar Islam dengan pemikiran manajemen
E.
Ekonomi Dan
Bisnis Syariah Kontemporer
Dalam
mengkaji permasalahan bisnis, tidak dapat lepas dari kajian ekonomi karena
bisnis merupakan bagian dari kegiatan eko- nomi. Ekonomi adalah fenomena
masyarakat yang berusaha men- cukupi kebutuhannya untuk mencapai kemakmuran.
Dalam menca- pai kemakmuran tersebut dapat ditempuh melalui bisnis. Karena
dengan bisnis, kebutuhan dan kepuasan manusia secara material dan ekonomis
dapat terpenuhi.
Bisnis,
menurut Skiner, sebagaimana dikutip Ismail Nawawi adalah pertukaran barang dan
jasa atau uang yang saling menguntungkan atau memberikan manfaat. Menurut
pendapat Machfoed, juga dikutip Ismail Nawawi, bisnis (disebut juga dengan
istilah per- dagangan) adalah usaha yang dilakukan manusia untuk mendapat- kan
laba dengan memproduksi dan menjual barang atau jasa dalam memenuhi keinginan
konsumen.
Aktivitas
bisnis, menurut Ali Hasan, adalah upaya untuk me- ngelola kombinasi antara
sumber daya manusia, sumber daya alam, modal dan teknologi untuk menciptakan
atau membuat produk yang memiliki nilai (value) untuk memperoleh keuntungan
yang biasanya bergandengan dengan tingkat resiko tertentu.
Selanjutnya
menurut Widiyono dn Mukhaer Pakkan, aktivitas bisnis adalah me- nyediakan
barang atau jasa untuk mendapatkan profit. Sementara profit adalah perbedaan
antara pendapatan suatu bisnis dan beban- bebannya.
Dari
beberapa pendapat di atas, dapat diambil kesimpul- an bahwa bisnis adalah suatu
aktivitas yang bertujuan untuk men- dapatkan laba (profit) dengan cara
memproduksi barang atau jasa. Proses ekonomi yang terdiri atas produksi,
distribusi dan kon- sumsi dilaksanakan dalam aktivitas bisnis, tetapi lebih
dititikkan beratkan pada produksi dan distribusi. Sedangkan konsumsi dilakukan
oleh konsumen. Dengan demikian, arti dari bisnis yang menunjuk- kan hubungan
dengan ekonomi adalah:
1)
Bisnis adalah kegiatan
untuk menghasilkan dan mendistribusi- kan barang dan jasa untuk kepentingan
bersama atau masyara- kat baik sebagai produsen atau konsumen;
2)
Binis merupakan aktivitas
untuk mendapatkan laba yang dida- patkan produsen dalam aktivitas ekonomi;
3)
Laba merupakan selisih
antara penghasilan terhadap biaya-bia- ya yang dibebankan dalam proses ekonomi.
4)
Aktivitas bisnis sebagai
suatu aktivitas ekonomi mikro, dipe ngaruhi oleh sistem ekonomi yang
dianut suatu negara.
Di
mana aktivitas bisnis mempelajari interaksi rumah tangga perusahaan dengan
pasar, konsumen, permintaan dan penawaran, produsen dan lingkungan usaha
lainnya. Sementara sistem ekonomi berkaitan dengan sistem kebijakan ekonomi
makro yang dianut suatu negara. Dalam kaitan itu, aktivitas bisnis sangat
bergantung dari lingkungan kebijakan ekonomi yang berlaku di suatu negara.
Bisnis
dalam Islam bertujuan untuk mencapai empat hal utama yaitu:
1)
Target hasil berupa profit
materi dan benefit non materi, tujuan bisnis tidak selalu mencari profit (qimah
madiyah/nilai materi) tetapi harus dapat memperoleh dan memberikan benefit (ke-
untungan/manfaat) non materi, baik bagi si pelaku bisnis sen- diri maupun pada lingkungan
yang lebih luas.
2)
Pertumbuhan, jika profit
materi dan benefit non materi telah diraih, maka diupayakan pertumbuhan atau
kenaikan akan terus menerus meningkat setiap tahunnya dari profit dan benefit
tersebut. Upaya pertumbuhan initentu dalam koridor syariat Islam.
3)
Keberlangsungan,
pencapaian target hasil dan pertumbuhan terus diupayakan keberlangsungannya
dalam kurun waktu yang cukup lama dan dalam menjaga keberlangsungan itu
dalamkoridor syariat Islam.
4)
Keberkahan, faktor
keberkahan atau upaya menggapai ridlo Allah merupakan puncak kebahagiaan hidup
muslim. Para pe- bisnis harus mematok orientasi keberkahan ini menjadi visi bisnisnya
agar senantiasa dalam kegiatan bisnis selalu berada dalam kendali syariat dan
diraihnya keridloana Allah.
Berbisnis
memiliki manfaat yang terkait langsung dengan pe- ngembangan masyarakat. Manfaat
tersebut antara lain:
(1)
Bisnis akan memberikan
kontribusi yang besar bagi perluasan lapangan kerja, sehingga dapat mengurangi
problem pengang- guran.
(2)
Bisnis akan meningkatkan
kekuatan ekonomi negara. Hal itu terbukti dalam perjalanan bangsa Indonesia di
mana UKMadalah basis ekonomi yang paling tahan menghadapi goncang an yang
bersifat multidimensional.
(3)
Dengan semakin banyaknya
bisnisman (pengusaha), termasuk pengusaha muslim, akan semakin banyak
keteladanan dalammasyrakat, khususnya dalm aktivitas bisnis. Karena para peng-
usaha memiliki pribadi yang unggul, berani, independent, hidup tidak merugikan
orang lain, bahkan sebaliknya malah memberikan manfaat bagi anggota masyarakat
yang lain.
(4)
Dengan berkembangnya
aktivitas bisnis, maka akan menum- buhkan etos kerja dan kehidupan yang
dinamis, serta semakin banyaknya partisipasi masyarakat terhadap pembangunan
Jenis dan
bentuk bisnis ditinjau dari obyeknya dapat dikelom- pokkan dalam 4 bentuk,
yaitu: bisnis industri, bisnis perdagangan bangsa. bisnis pelayanan dan bisnis
fasilitas.
1)
Bisnis industri adalah
bisnis yang untuk mendapatkan keuntungan/laba dengan menghasilkan barang atau
pengolahan sendiri, kemudian barang tersebut dijual kepada pihak lain yang
membutuhkan (konsumen)
2)
Bisnis perdagangan adalah
bisnis yang dilakukan dengan jalan membeli dari industri/pabrik kemudian dijual
kepada pihak lain.
3)
Bisnis pelayanan adalah
bisnis yang dilakukan dengan mem- berikan pelayanan/jasa kepada pihak lain,
baik kepada produ- sen, pebisnis lain, maupun konsumen.
4)
Bisnis fasilitas adalah
bisnis yang dilakukan dengan menye- diakan fasilitas. Fasilitas tersebut
sifatnya dipinjamkan atau disewakan untuk jangka waktu tertentu.
Dalam
Islam, bisnis terbedakan kepada 2 macam, yaitu bisnis yang dibolehkan dan
bisnis yang dilarang.
1)
Bisnis yang dibolehkan
oleh Islam adalah bisnis yang meng- hasilkan pendapatan yang halal dan berkah,
yang dalam pelak sanaannya dengan mengikut aturan dan prinsip
syariah. Apa- pun jenis dan bentuk bisnis yang dilakukan, hukumnya boleh selama
pelaksanaannya masih dalam koridor Islam yaitu me- menuhi rukun dan syarat
sahnya sebuah transaksi (aqad), ada- nya kerelaan para pihak yang bertransaksi
serta tidak mengan- dung riba, maysir dan gharar.
2)
Bisnis yang dilarang oleh
Islam adalah bisnis yang di dalampelaksanaannya tidak memenuhi rukun dan syarat
transaksi, terdapat unsur riba, maysir, gharar dan kebatilan.
Ditinjau
dari penerapan syariat dan oerientasinya, bisnis dibe- dakan pada bisnis Islam
dan bisnis non Islam.
(1)
Bisnis Islam dikendalikan
oleh aturan halal dan haram, baik dari cara perolehan maupun pemanfaatan harta.
(2)
Sedangkan bisnis non
Islam, dengan landasan sekularisme, bersendikan nilai-nilai material sehingga
tidak memperhatikan aturan halal dan haram dalam setiap perencanaan,
pelaksanaan dan segala usaha yang dilakukan dalam rangka meraih tujuantujuan
bisnis. Dari asas sekularisme inilah seluruh bangunan bisnis non Islam
diarahkan pada hal-hal yang bersifat bendawi dan menafikan nilai ruhiyah serta
keterkaitan pelaku bisnis pada aturan yang lahir dan nilai-nilai transedental.
Kalaupu ada
aturan, hal ini semata bersifat etik yang tidak ada hubu- ngannya dengan dosa
dan pahala.
Bentuk
Bisnis Kontemporer:
1.
Multi Level Marketing
(MLM)
Pengertian Multi Level Markieting Multi level
marketing (MLM) berasal dari bahasa Ing- gris, multi berarti banyak, level
berarti jenjang atau tingkat, se- dangkan marketing artinya pemasaran. Jadi,
multi level mar- keting adalah pemasaran yang berjenjang banyak.
Disebut multi level karena merupakan suatu
organisasi distributor yang melaksanakn penjualan yang berjenjang banyak atau
bertingkat-tingkat.
Multi level marketing adalah sebuah sistem
pemasaran modern melalui jaringan distribusi yang dibangun secara per- manen
dengan memposisikan pelanggan perusahaan sekaligus sebagai tenaga pemasaran.
Dapat pula dikemukakan, multi level
marketing adalah pemasaran berjenjang melalui jaringan distribusi yang dibangun
dengan menjadikan konsumen (pelanggan) sekaligus sebagai tenaga pemasaran.
Multi level marketing disebut juga sebagai
networking marketing. Di sebut demikian karena anggota kelompok ter- sebut
semakin banyak sehingga membentuk sebuah jaringan kerja (network) yang
merupakan suatu sistem pemasaran de- ngan menggunakan jaringan kerja berupa
sekumpulan banyak orang yang kerjanya melakukan pemasaran. Kadang-kadang ada
juga yang menyebut MLM sebagai bisnis penjualan lang- sung atau direct selling.
Pendapat ini didasari pelaksanaan penjualan MLM yang memang dilakukan secara
langsung oleh wiraniaga kepada konsumen. Tidak melalui perantara lagi atau melalui
toko swalayan, kedai dan warung tetapi langsung kepada pembeli. Di Indonesia
saat ini penjualan langsung atau direct selling baik yang single level maupun
multi level berga- bung dalam suatu asosiasi yaitu AsosiasiPenjualan Langsung
Indonesia (APLI). Organisasi ini merupakan anggota KADIN, bagian dari world
Federation Direct selling Association (WFDSA) Ada perbedaan dan
persamaan antara Direct selling dan MLM mulai dari penggunaan bahasa sampai ke
substansi sistemnya. Istilah direct selling memang lebih dulu muncul di-
banding MLM. Istilah ini merujuk pada aktifitas penjualan barang-barang atau
produk langsung kepada konsumen, dima- na aktifitas penjualan tersebut
dilakukan oleh seorang penjual langsung (direct seller) dengan disertai
kejelasan, presentasi dan demo produk. Esensinya adalah adanya tenaga penjual
independen yang menjualkan produk atau barang dari pro- dusen tertentu kepada
konsumen.
2.
E Commerce
Pengertian E Commerce E-commerce adalah suatu
transaksi dengan menggunakan teknologi baru yang cukup dikenal masyarakat.
Terdapat ber- bagai pengertian mengenai e commerce yag dapat kita temu- kan
dari berbagai sumber. Di antaranya:
“Electronic
commerce, commonly known as e-commerce or e- Commerce, is a type of industry
where the buying and selling of products or services is conducted over
electronic systems such as the Internet and other computer networks. Electronic
commerce draws on technologies such as mobile commerce, electronic funds
transfer, supply chain management, Internet marketing, online transaction
processing, electronic data interchange (EDI), inventory management systems,
and auto- mated data collection systems. Modern electronic commerce typically
uses the World Wide Web at least at one point in the transaction's life-cycle,
although it may encompass a wider range of technologies such as e-mail, mobile
devices, social media, and telephones as well. Electronic commerce is gene-
rally considered to be the sales aspect of e-business. It also consists of the
exchange of data to facilitate the financing and payment aspects of business
transactions. This is an effective and efficient way of communicating within an
organization and one of the most effective and useful ways of conducting
business.”
Sedangkan referensi lainnya memberikan pengertian
e commerce sebagai berikut:
“Electronic
commerce or e-commerce refers to a wide range of online business activities for
products and services. It also pertains to “any form of business transaction in
which the parties interact electronically rather than by physical ex- changes
or direct physical contact.” E-commerce is usually associated with buying and
selling over the Internet, or con- ducting any transaction involving the
transfer of ownership or rights to use goods or services through a computer-mediated
network. Though popular, this definition is not comprehensive enough to capture
recent developments in this new and revolutionary business phenomenon. A more
complete definition is: E-commerce is the use of electronic communications and
digital information processing technology in business transactions to create,
transform, and redefine relationships for value creation between or among
organizations, and between orga- nizations and individuals.”
Dari bebarapa definisi tersebut di atas dapat
ditarik be- nang merah bahwa e commerce adalah sebuah transaksi bisnis, jual
beli, dengan mempergunakan media elektronik (jaringan internet) atas barang dan
jasa dengan alat pembayaran elektronik juga. E-commerce menggambarkan cakupan
yang sangat luas karena berhubungan dengan teknologi, proses transaksi dan
praktek perdagangan tanpa tatap muka langsung antara penjual dan pembeli.
Terlepas dari berbagai jenis definisi yang ditawarkan dan dipergunakan oleh
berbagai kalangan, terdapat kesamaan dari masing-masing definisi, dimana e
commerce memiliki karakteristik sebagai berikut: terjadinya transaksi antara
dua belah pihak; adanya pertukaran barang, jasa, atau informasi; dan internet
merupakan media utama dalam proses atau mekanis- me perdagangan tersebut.
3.
Waralaba
Pengertian Waralaba (Franchise) Waralaba dalam
bahasa Inggris diartikan dengan kata franchise, yang mengandung makna freedom
(kebebasan). Sedangkan dalam bahasa Indonesia, waralaba berasal dari dua kata
yaitu wara dan laba, wara berarti lebih dan laba berarti untung, sehingga arti
waralaba adalah lebih untung.
Waralaba (franchise) adalah pemberian hak oleh
fran- chisor kepada franchisee untuk menggunakan kekhasan usaha atau cirri
pengenal bisnis di bidang perdagangan/jasa berupa jenis produk dan bentuk yang
diusahakan termasuk identitas perusahaan (logo, merk dan desain perusahaa,
penggunaan rencana pemasaran serta pemberian bantuan yang luas, waktu/ jam
operasiona, pakaian dan penampilan karyawan) sehingga kekhasan usaha atau cirri
pengenal bisnis dagang/jasa milimfranchisee sama denga kekhasan usaha atau
bisnis dagang/jasa milik dagang franchisor.
Waralaba (Franchise) adalah perikatan di mana
salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau mengguna- kan hak
atas kekayaan intelektual atau penemuan atau cirri khas usaha yang dimiliki
pihak lain dengan suatu imbalan ber- dasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak
lain tersebut dalam rangka penyediaandan/atau penjualan barang atau jasa.
Pada dasarnya waralaba (franchise) adalah sebuah
perjanjian bisnis mengenai metode pendistribusian barang dan jasa kepada
konsumen. Franchisor dalam jangka waktu tertentu memberilan lisensi kepada
franchisee untuk melakukan uaha pendistribusian barang dan jasa di bawah nama
identitas franchisor dalam wilayah tertentu. Usaha tersebut harus dijalankan
sesuai dengan prosedur dan cara yang ditetapkan fran- chisor. Franchisor
memberikan bantuan (assistance) terhadap franchisee. Sebagai imbalannya
franchisee membayar sejumlah uang berupa initial fee dan royalty.
F.
Budaya Kerja
Bagi Umat Islam
Sebelum
membahas apa arti dari budaya kerja,mungkin pertama-tama kita harus mengetahui
apa arti dari budaya. Ada beberapa pengertian tentang arti budaya, berikut
adalah pengertiannya :
1)
Budaya secara harfiah
berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki arti mengerjakan tanah,
mengolah, memelihara ladang (Soerjanto Poespowardojo 1993, perpustakaan
online).
2)
Menurut Koentjaraningrat
budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri manusia dengan cara
belajar.
3)
Menurut The American
Herritage Dictionary mengartikan kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan
dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, seniagama,
kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok
manusia.
4)
Budaya atau kebudayaan
yang berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddayah, yaitu merupakan bentuk
jamak dari buddi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan
dengan budi dan akal manusia.
Setelah
membahas apa arti dari “budaya” tersebut, selanjutnya akan membahas tentang apa
arti dari Kerja. Kerja adalah melakukan sesuatu hal yang diperbuat seperti
contohnya makan atau minum. Adapun arti lain dari kerja yaitu melakukan sesuatu
untuk mencari nafkah. Selain itu pengertian kerja dalam kacamata Islam yaitu
kerja pada hakekatnya adalahnya manifestasi amal kebajikan
Sebagai
sebuah amal, maka niat dalam menjalankannya akan menentukan penilaian. Dalam
sebuah hadits, Nabi Muhammad bersabda, “Sesungguhnya nilai amal itu ditentukan
oleh niatnya.” Amal seseorang akan dinilai berdasar apa yang diniatkannya.
Suatu hari Nabi Muhammad berjumpa dengan Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari. Ketika
itu Nabi Muhammad melihat tangan Sa’ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman
seperti terpanggang matahari. “Kenapa tanganmu?,” tanya Nabi kepada Sa’ad.
“Wahai Rasulullah,” jawab Sa’ad, “Tanganku seperti ini karena aku mengolah
tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi
tanggunganku”. Seketika itu Nabi mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya seraya
berkata, “Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka”.
Dalam
kisah lain disebutkan bahwa ada seseorang yang berjalan melalui tempat Nabi
Muhammad. Orang tersebut sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para
sahabat kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah, andaikata bekerja semacam orang
itu dapat digolongkan jihad fi sabilillah, maka alangkah baiknya.” Mendengar
itu Nabi pun menjawab, “Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih
kecil, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua
orangtuanya yang sudah lanjut usia, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja
untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, itu juga fi
sabilillah.” (HR. Ath-Thabrani).
Kerja
adalah perintah suci Allah kepada manusia. Meskipun akhirat lebih kekal
daripada dunia, namun Allah tidak memerintahkan hambanya meninggalkan kerja
untuk kebutuhan duniawi.
“Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (untuk kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan)
duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah
berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi.” (QS.
Al-Qashash: 77).
Jadi bila
kata “budaya” dan “kerja” digabungkan memiliki pengertian yaitu nilai-nilai
sosial atau suatu keseluruhan pola perilaku yang berkaitan dengan akal dan budi
manusia dalam melakukan suatu pekerjaan. Jadi setiap individu yang bekerja
harus memiliki budaya kerja yang baik. Budaya yang kerja yang baik sangat
diperluukan agar menjadi pekerja yang berbudi pekerti dan mengerti nilai-nilai
yang dijalaninya dan tidak membawa individu kepada penyimpangan. Jadi itulah
perlunya kita memahami budaya kerja yang baik.
Budaya
kerja masing-masing individu akan menentukan terbentuknya budaya instansi
dimana dia bekerja. Tentu saja hal ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain
seperti kepemimpinan. Budaya Instansi yang mengandung nilai-nilai agama karena
selalu mendahulukan pembinaan terhadap akhlakul karimah, sejak
tahap awal perlu dimantapkan sebagai manifestasi utama dari budaya instansi.
Budaya instansi akan terekspresi dalam seremoni dan ritual yang substansinya
adalah substansi agamawi. Maka tahap confontation of dependency and
authority dapat dilembutkan melalui budaya jujur, sabar, tidak mudah
iri dan terpancing untuk melakukan hal-hal yang dimurkai agama.
Para
pemimpin yang mewakili budaya instansi akan menentukan bahwa bila tahap
pertama upaya pegawai menyesuaikan diri dengan budaya instansi
menghasilkan sukses, maka pada tahap berikutnya akan tercapai confontation
of intimacy, role differentiation and peer relationship. Dalam
hal ini nantinya akan memasuki tahapan kerjasama yang harmonis dalam suatu
lembaga atau instansi.
Dalam agama Islam manusia ditentukan untuk :
1.
Berusaha
dengan sebaik-baiknya agar tercapai suatu tujuan yang halal. Pada
tahap ini, dengan dukungan budaya instansi, pegawai akan mencoba berusaha
untuk menghasilkan prestasi terbaiknya, apalagi bila penerimaan hasil
dilakukan dengan adil dan objektif. Melakukan pekerjaan dengan ikhlas
adalah ajaran utama dalam Islam. Dalam budaya instansi dapat dibina suasana
bekerja dengan ikhlas. Usaha yang diupayakan hanya karena Allah semata. Bekerja
dengan dilandasi keikhlasan, dapat mencegah SDM dari stres atau jenis
emosi lain yang merugikan.
2.
Dalam Islam, umat dituntut
untuk minta tolong pada Allah dan mengakui keterbatasan dirinya. Allah lebih
mencintai orang-orang yang selalu meminta daripada yang enggan meminta, karena
seolah-olah manusia itu berkecukupan. Dan Allah berfirman : “Berdoalah
kepadaKu, niscaya akan keperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang
menyombongkan diri dari menyembahKu akan masuk neraka jahanan dalam keadaan
hina dina” (QS. 40:60). Rasullah SAW bersabda : “Sesungguhnya siapa saja yang
tidak meminta kepada Allah, maka Allah akan marah kepadanya” (HR. At-Tarmizi
dan Abu Hurairoh). Apabila manusia rajin bekerja dan berupaya, ia akan
menciptakan budaya kerja yang disiplin, berkemauan keras dan tidak cepat putus
asa. Selanjutnya diimbangi dengan terus menerus berdoa dan meminta tolong
kepada Allah, agar usahanya membuahkan hasil. Sifat ini akan membawa manusia ke
perilaku rendah hati, tidak takabur dan senantiasa menyadari baik kelemahan
maupun kekuatannya.
Agama
Islam mengajarkan manusia untuk giat dalam bekerja. Namun dalam bekerja, harus
sesuai dengan syariat agama dengan mengedepankan kejujuran, kedisiplinan dan
keihklasan. Bekerja adalah ibadah, selama apa yang dikerjakan adalah untuk
tujuan yang baik dan benar.
G.
Sistem Kerja
Barat Dalam Pandangan Islam
Budaya
barat sering di manifestasikan dalam keinginan manusia untuk sukses, yang juga
merupakan salah satu tradisi penting yang telah menjadi warisan terkenal di
dunia. Etos kerja telah menjadi komponen penting dari budaya ini, karena
seseorang pada umumnya berusaha untuk membangun kemakmuran. Etos kerja budaya
barat sering dikaitkan dengan pemenuhan materi melalui usaha dan kerja keras
serta semangat kerja tinggi dalam masyarakat. Dengan demikian, orang-orang di
negara barat memiliki visi dan misi kehidupan yang lebih maju. Etos kerja
sendiri adalah suatu sikap tinggi rendah, kuat lemahnya, semangat budaya kerja
(Hakim, 2017). Semangat kerja yang tinggi akan memberikan hasil kinerja
yang baik guna menciptakan reformasi ekonomi.
Untuk
membuat suatu reformasi ekonomi dibutuhkan sumber daya manusia yang memiliki
daya saing tinggi dan berkualitas (Tampubolon, 2007). Bukan hanya itu untuk
mewujudkan keberhasilan reformasi juga diperlukan menejemen yang kuat seperti
adanya prinsip yang mengatur, nilai yang menggerakkan dan standar kompetensi
untuk dicapai (Hakim, 2017). Kemudian yang tidak kalah penting adalah generasi
yang beretika kerja tinggi (etos kerja) yang siap menjadi tenaga kerja
profesional dimana karakter tersebut adalah ciri khas budaya negara barat
sebagai kunci kesuksesan industi dan perekonomiannya.
Ada
beberapa aspek positif budaya barat yang dapat diadopsi sebagai upaya dalam
peningkatan kemajuan Indonesia seperti perilaku etos kerja yang tinggi.
Mengingat beratnya persaingan di era globalisasi Indonesia seharusnya sudah
bergerak mempersiapkan generasi yang handal dan kompeten yang memiliki kesiapan
daya saing (Tampubolon, 2007). Mengingat urgensi dari pengaruh etos kerja
sebagai penunjang kemajuan bangsa, perlu beberapa hal yang dapat dilakukan
dalam upaya membentuk karakter etos kerja yang tinggi pada generasi bangsa.
Dalam
mengupayakan pembentukan karakter etos kerja maka diperlukan untuk melakukan
pelatihan, pendidikan dan bimbingan bagi sumber daya manusia. Dalam upaya
mewujudkan kemajuan bangsa diperlukan pelatihan, pendidikan, dan bimbingan guna
menghasilkan sumber daya manusia yang terampil yang memiliki kegairahan dan
semangat kerja yang tinggi (Tampubolon, 2007)
Profesionalitas
dan keterampilan memang penting namun rasa optimisme yang tinggi dapat
membentuk karakter etos kerja yang mencentak SDM unggul. Perlunya pengarahan
manajemen sumber daya manusia yang efektif dan efisien. Kunci dari tercapainya
tujuan dari suatu organisasi adalah sumber daya manusia sebagai faktor internal
yang kredibel (Tampubolon, 2007). Pentingnya pengarahan menejemen terhadap SDA
demi tercapainya tujuan bangsa yakni kesejahteraan negara. Agar tidak terjadi
ketidakstabilan program dibutuhkan pengarahan menejemen sebagai pendamping dari
etos kerja sehingga perencanaan kerja lebih terarah. Perlunya pendidikan
kepemimpinan. Hadirnya pemimpin yang baik dan profesional adalah dapat
menggerakkan anggota dengan optimisme dan antusiasme (Tampubolon, 2007).
Etos
kerja esensinya adalah semangat kerja. Jika semangat kerja terarah dengan baik
yakni dengan hadirnya pemimpin yang memiliki kredibilitas yang baik akan
mengahsilkan kinerja yang memuaskan. Pelatihan pemecahan masalah dan penemuan
solusi Kemunculan karakter etos kerja bisanya ditimbulkan dari adanya
rintangan, tantangan dan halangan. Sehingga menimbulkan semangat untuk
menemukan pemecahan masalah dan penemuan solusi. Dengan demikian budaya etos
kerja yang tinggi dengan alamiah terbentuk. Etos kerja sangat efektif dan
efisien dalam pemenuhan dan pencapaiaan target kerja.
World
Economic Forum telah merilis laporan tahunan berdasarkan efisiensi bisnis,
inovasi, kondisi pasar keuangan, kesehatan, pendidikan, infrastruktur,
institusi pemerintah dan swasta pada 133 negara, dari kategori tersebut
Indonesia berada pada posisi 44 dunia, ini merupakan capaian yang memiliki
progres dari tahun sebelumnya ketika Indonesia menempati urutan ke 54 (Hartono,
2011).
Berdasarkan
laporan tersebut mengindikasikan bahwa Indonesia tengah berproses dan terus
membenahi sistem demi tercapainya tujuan kemajuan dimasa depan. Untuk mencapai
kemajuan terdapat kiat-kiat menuju sukses yang harus terpenuhi. Salah satu dari
upayanya dengan menelaah kunci sukses dari budaya negara yang sudah lebih
dahulu sukses dalam pemerintahaannya. Bangsa barat adalah peradaban maju dengan
segala karakter dan kebudayaan yang berkembang didalamnya. Salah satunya adalah
budaya etos kerja tinggi yakni semangat optimisme dalam bekerja. Etos kerja
budaya barat dapat kita adopsi sebagai salah satu dari kiat sukses menuju
Indonesia maju.
H.
Etos
Kerja Dalam Bisnis Syariah
Etos
kerja dalam perspektif bisnis syariah memiliki dimensi yang lebih luas
dibandingkan dengan konsep kerja keras konvensional. Selain upaya maksimal,
etos kerja syariah juga menekankan pada nilai-nilai moral dan spiritual yang
selaras dengan ajaran Islam. Ini berarti bekerja dengan niat tulus untuk
mendapatkan ridha Allah, bukan sekadar mengejar keuntungan materi.
Dalam
Islam, etos kerja mencakup kejujuran (shiddiq), tanggung jawab (amanah), kerja
keras, serta sikap profesional dalam menjalankan bisnis. Prinsip ini tercermin
dalam cara Rasulullah SAW menjalankan aktivitas perdagangan dengan integritas
tinggi, tanpa mengejar keuntungan berlebihan atau merugikan pihak lain. Setiap
transaksi harus bebas dari riba, gharar (ketidakpastian), dan unsur penipuan.
Etos
kerja dalam bisnis syariah juga mencakup usaha untuk memastikan produk dan
layanan yang dihasilkan memberikan manfaat yang baik bagi masyarakat, mendukung
keberlanjutan ekonomi yang adil, dan menumbuhkan keberkahan. Prinsip ini
menunjukkan bahwa sukses dalam bisnis syariah bukan hanya diukur dari laba yang
besar, tetapi dari bagaimana bisnis tersebut berkontribusi pada kesejahteraan
sosial dan spiritual.
Jadi,
etos kerja syariah adalah landasan untuk menciptakan bisnis yang etis, adil,
dan berkelanjutan, serta berkomitmen pada nilai-nilai kebaikan yang ditanamkan
oleh agama.
Konsep
Ekonomi Islam Kaitannya dengan Etos Kerja
Bekerja dengan
Hati Nurani dalam bukunya
Akh. Mwafik Sale, konon
banyak yang selalu
bekerja mengajarkan hal materi demi kepentingan duniawi,
mereka sama sekali tidak
mempedulikan kepentingan akhirat. Oleh
karena itu, sudah saatnya
bagi pekerja untuk dapat menyampaikan
kepribadian yang baik,
dibenarkan oleh Islam, dan
bekerja dengan motivasi untuk
memenuhi sifat-sifat berikut:
1)
Niat Baik dan Benar
(Mengharap Ridha Allah
swt.).
Sebelum seseorang bekerja, harus mengetahui
apa niat dan motivasi
dalam bekerja, niat inilah
yang akan menentukan arah pekerjaan. Jika niat bekerja
hanya untuk mendapatkan gaji, maka
hanya itulah yang
akan didapat. Tetapi jika niat bekerja sekaligus untuk
menambah simpanan akhirat, mendapat harta halal,
serta menafkahi keluarga, tentu
akan mendapatkan sebagaimana yang diniatkan.
2)
Takwa dalam Bekerja.
Pengabdian
di sini memiliki dua arti. Pertama, ikuti
perintah dan hindari
segala bentuk larangan. Kedua,
sikap tanggung jawab umat
Islam atas keimanan yang
diyakini dan dijanjikannya. Orang
yang taat pada pekerjaannya
adalah orang yang dapat
bertanggung jawab atas semua tugasyang
diberikan kepadanya.
3)
Ikhlas dalam
Bekerja.
Ikhlas adalah syarat kunci diterimanya amal
perbuatan manusia disisi Allah swt. Suatu kegiatan atau aktivitas
termasuk kerja jika
dilakukan dengan keikhlasan maka akan mendatangkan rahmat dari Allah swt.
Adapun
ciri-ciri orang yang bekerja dengan Ikhlas yaitu:
a.
Bekerja karena semata
mengharap karunia Allah Swt.
b.
Bersih dari
segala tujuan ria dan pamrih dan
c.
Penuh semangat
dan antusias dalam mengerjakan seluruh pekerjaan.
d.
Tidak merasa
dibawah karena cacian dan
makian sehingga tidak mengurangi
dan menghambatsemangat dalam bekerja.
Menemukan makanan
halal dalam Islam adalah suatu keharusan. Inimenunjukkan pentingnya
mencari makanan halal.
Oleh karena itu, motivasi
bekerja dalam Islam tidak
hanya untuk mencari
nafkah, tetapi juga untuk
beribadah Faldol. Islam layak
dipilih sebagai way of life. Islam tidak hanya
berbicara tentang moral moral,
tetapi juga memberikan dasar bagi konsep
membangun kehidupan dan peradaban
yang tinggi.
Islam
mendorong umatnya untuk memilih kegiatan
dan profesi yang benar-benar sesuai
dengan kecenderungan dan bakatnya. Dengan cara
ini, Islam meletakkan dasar yang
kokoh bagi kebebasan bisnis. Itulah
tepatnya yang
Islam memberlakukan batasan untuk menghindari tanda-tanda
kejahatan. Tujuan
inidinyatakan dalam al-Qur'an
sebagai ungkapan bahwa bekerja adalah ibadah
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad
Ibrahim Abu Sin, 2006. Manajemen Syariah, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
kh. Muwafik
Saleh, 2009. Bekerja dengan Hati
Nurani. Jakarta: Erlangga.
Ahmad
Wardi Muslich. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah
Ali
Hasan. 2009. Manajemen Bisnis Syariah. Yogyakarta: Pustak Pelajar.
Andreas
Harefa, 1999. Multi Level Marketing. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Gemala
Dewi dkk, 2006. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada
Group
Ismail
Nawawi Nuha. 2013.Isu-Isu Ekonomi Islam, Buku 4 Nalar Bisnis (Ja- karta: VIV
Press,
M. Daman
Rahardjo. 1997. Perspektif Deklarasi Makkah Menujuh Ekonomi Islam. Bandung;
Mizan
Philip K.
Hitti, 2010. History of the Arab, (edisi dalam Bahasa Indonesia), Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta.
Tim
Multitama Communications, 2006. Islamic Business Strategy for Entrepreneurship.
Ed. Fauzi Fauzan. Jakarta: Lini Zikrul Media Intelektual.
Suhrawardi
K. Lubis. 2000. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika
Suharnoko,
2004. Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus. Jakarta: Kencana
Veithzal
Rivai dkk. 2012. Islamic Business and Economis Ethics, Mengacu Pada Al Quran
dan Mengikuti Jejak Rasulullah SAW dalam Bisnis, Keuangan dan Ekonomi. Jakarta:
Bumi Aksara.
Widiyono
dan Mukhaer Pakkan. 2011. Pengantar Bisnis, Respon Terhadap Dinamika Global. Jakarta:
Mitra Wacana Medika
Internet:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar