Jumat, 14 Februari 2025

PERKEMBANGAN MANAJEMEN SYARIAH

MATERI 2- PENGANTAR BISNIS ISLAM

Oleh:

Eny Latifah,S.E.Sy.,M.Ak


                                                 Perkembangan Manajemen Syariah

 

A.     Sejarah Manajemen Syariah

1.     Sejarah Manajemen Konvensional

Sejarah Manajemen Konvensional Kesulitan yang terjadi dalam melacak sejarah manajemen, namun diketahui bahwa ilmu manajemen telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Hal ini dibuktikan dengan adanya piramida di Mesir. Piramida tersebut dibangun oleh lebih dari 100.000 orang selama 20 tahun. Piramida Giza tak akan berhasil dibangun jika tidak ada seseorang—tanpa memedulikan apa sebutan untuk manajer ketika itu—yang merencanakan apa yang harus dilakukan, mengorganisir manusia serta bahan bakunya, memimpin dan mengarahkan para pekerja, dan menegakkan pengendalian tertentu guna menjamin bahwa segala sesuatunya dikerjakan sesuai rencana.

Praktik-praktik manajemen lainnya dapat disaksikan selama tahun 1400-an di kota Venesia, Italia, yang ketika itu menjadi pusat perekonomian dan perdagangan. Penduduk Venesia mengembangkan bentuk awal perusahaan bisnis dan melakukan banyak kegiatan yang lazim terjadi di organisasi modern saat ini. Sebagai contoh, di gudang senjata Venesia, kapal perang diluncurkan sepanjang kanal; pada tiap-tiap perhentian, bahan baku dan tali layar ditambahkan ke kapal tersebut. Hal ini mirip dengan model lini perakitan yang dikembangkan oleh Henry Ford untuk merakit mobil-mobilnya.

Selain lini perakitan, orang Venesia memiliki sistem penyimpanan dan pergudangan untuk memantau isinya, manajemen sumber daya manusia untuk mengelola angkatan kerja, dan sistem akuntansi untuk melacak pendapatan dan biaya. Sebelum abad ke-20, terjadi dua peristiwa penting dalam ilmu manajemen. Peristiwa pertama terjadi pada tahun 1776, ketika Adam Smith menerbitkan sebuah doktrin ekonomi klasik, The Wealth of Nation. Dalam bukunya itu, ia mengemukakan keunggulan ekonomis yang akan diperoleh organisasi dari pembagian kerja (division of labor), yaitu perincian pekerjaan ke dalam tugastugas yang spesifik dan berulang.

Dengan menggunakan industri pabrik peniti sebagai contoh, Smith mengatakan bahwa dengan sepuluh orang masing-masing melakukan pekerjaan khusus perusahaan peniti dapat menghasilkan kurang lebih 48.000 peniti dalam sehari. Akan tetapi, jika setiap orang bekerja sendiri menyelesaikan tiap-tiap bagian pekerjaan, sudah sangat hebat bila mereka mampu menghasilkan dua puluh peniti sehari. Smith menyimpulkan bahwa pembagian kerja dapat meningkatkan produktivitas dengan meningkatnya keterampilan dan kecekatan tiap-tiap pekerja, menghemat waktu yang terbuang dalam pergantian tugas, dan menciptakan mesin dan penemuan lain yang dapat menghemat tenaga kerja.

Peristiwa penting kedua yang memengaruhi perkembangan ilmu manajemen adalah Revolusi Industri di Inggris. Revolusi Industri menandai dimulainya penggunaan mesin, menggantikan tenaga manusia, yang berakibat pada pindahnya kegiatan produksi dari rumah-rumah menuju tempat khusus yang disebut "pabrik." Perpindahan ini mengakibatkan manajer-manajer ketika itu membutuhkan teori yang dapat membantu mereka meramalkan permintaan, memastikan cukupnya persediaan bahan baku, memberikan tugas kepada bawahan, mengarahkan kegiatan sehari-hari, dan lain-lain, sehingga ilmu manajamen mulai dikembangkan oleh para ahli.

Ada dua tokoh manajemen yang mengawali munculnya manajemen ilmiah, yang akan dibahas disini, yaitu: Robert Owen dan Charles Babbage.

a.      Robbert Owen (1771-1858)

Pada permulaan tahun 1800-an Robert Owen, seorang manajer beberapa pabrik pemintahan kapas di New Lanark Skotlandia. Menekankan penting unsur manusia dalam produksi. Dia membuat perbaikan-perbaikan dalam kondisi kerja, seperti pengurangan hari kerja standar, pembatasan anak-anak dibawah umur yang bekerja, membangun perumahan yang lebih baik bagi karyawan dan mengoperasikan toko perusahaan yang menjual barang-barang dengan murah.

b.     Charles Babbage (1792-1871)

Charles Babbage, seorang profesor matematika dari inggris, mencurahkan banyak waktunya untuk membuat operasi-operasi pabrik menjadi lebih efisien. Babbge adalah penganjur pertama prinsip pembagian kerja melalui spesifikasinya. Dia percaya bahwa aplikasi prinsip-prinsip ilmiah pada proses kerja akan menaikkan produktivitas dari tenaga kerja, karena pekerjaan dilakukan dengan efektif dan efisien. Dia menganjurkan agar para manajer bertukar pengalaman dalam penerapan prinsip-prinsip manajemen.

2.     Sejarah Manajemen Syariah

Berbeda dengan manajemen konvensional, manajemen yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis Nabi (Sunnah) ini sarat dengan nilai yang diatur dalam syariah Islam. Oleh karenanya lebih dikenal dengan manajemen Islam atau lebih populer dengan sebutan manajemen syariah atau manajemen yang ada dalam koridor syariah, atau yang dipandu oleh aturan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Oleh karena itu manajemen syariah adalah manajemen yang tidak bebas nilai, karena manajemen syariah tidak hanya berorientasi pada kehidupan dunia, tetapi juga berorientasi kepada kehidupan di akhirat (nanti di sana), yang hanya bisa dipahami dalam sistem kepercayaan agama Islam. Perkembangan ilmu manajemen di dalam Islam dapat dilihat dari beberapa catatan sejarah.

Salah satunya adalah Nizam alidari yang bermakna sistem tata laksana. Terdapat beberapa peristiwa pada masa kekhalifahan Islam yang dapat dikemukakan bertalian dengan perkembangan ilmu manajemen ini adalah sebagai berikut:

a)    Tahun 1 Hijriyah (622 Masehi)

Atas bimbingan wahyu dari Allah SWT, Rasulullah SAW, membangun struktur Negara Islam yang khas di Madina yang bertahan hingga 14 abad kemudian. Struktur dengan bentuk dan system Islam yang memiliki 4 ciri sebagai berikut:

(1)   Negara Islam tidak berbentuk persekutuan, persemakmuran, tetapi kesatuan.

(2)   System pemerintahan Islam adalah sisten khalifah atau imamah.

(3)   System pemerintahan Islam adalah system Syura.

(4)   System manajemen pemerintahannya bersifat terpusat, sedangkan administrasinya menganut system tak terpusat.

b)    Tahun 2 Hijriyah (624 Masehi)

Atas usulan Al-Warid bin Hisyam bin Al-Mughiroh (seorang sahabat yang pernah melihat praktek pengelolahan kas Negara di Syam) untuk membuat system pengarsipan/ administrasi dari pengelolahan kas Negara sebagaimana yang telah dilakukan raja-raja di Syam, Khalifah umar memperbaharui tekhnik organisasi dan dokumentasi Baitul Maal, zaman khaliafah Muawiyah, ilmu tatalaksana pemerintahan berkembang dengan ilmu-ilmu lainnya seperti ekonomi, sejarah, politik dan social.

Dalam era belakangan ini telah muncul sebuah paradigma manajemen baru, yaitu manajemen Islam, walaupun belum ada kesepakatan ahli mengenai hal tersebut.

Paradigm manajemen Islam tersebut memiliki dua makna:

(1)   Manajemen sebagai Ilmu Manajemen dipandang sebagai salah satu ilmu umum yang tidak berkaitan dengan nilai, peradaban manapun, sehingga hukum mempelajarinya adalah fardu kifayah.

(2)   Manajemen sebagai aktivasi Yaitu manajemen terikat pada aturan syara’, nilai Islam. Manajemen Islam berpijak pada akidah islam. Aqidah Islam adalah dasar Ilmu pengetahuan.

B.    Praktek Manajemen Syariah di Zaman Rasulullah

Sekitar 571 M, seorang bayi keturunan Quraisy lahir di Mekah. Bangsa Quraisy memberi julukan al-Amin (yang terpecaya). Al-Qur’an (pada surah 3:144, 33:40, 48:29, 47:2) menyebutnya Muhammad dan hanya sekali (pada surah 61:6) menyebutnya Ahmad, Kemudian nama seterusnya yang ia sandang adalah Muhammad (yang terpuji). Muhammad SAW mulai berperan sebagai Nabi sekaligus sebagai Rasul setelah ia menerima wahyu kenabian pada menjelang akhir bulan Ramadhan tahun 610 M.

Sejak menjadi Nabi dan Rasul ini Muhammad SAW memulai kegiatan manajemen yang secara ringkasnya dapat diringkaskan sebagai berikut:

1)    Ketika perkembangan Islam mulai nampak dan Islam di dakwahkan secara terang-terangan dengan persuasif, Rasulullah SAW mulai mengutus para sahabat untuk dijadikan sebagai duta guna mendakwahkan agama dan memungut zakat masyarakat Arab pada waktu itu. Tugas utama yang harus dilakukan utusan adalah memberikan pelajaran agama terlebih dahulu kepada pemimpin kabilah dan diharapkan dapat merambah pada kaumnya. Rasul telah mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman dengan uraian tugas yang jelas seraya bersada: “Engkau aku utus untuk datang kepada kaum ahli kitab. Persoalan utama yang harus engkau dakwahkan kepada mereka adalah mengajak untuk beribadah kepada Allah SWT. Beritahukan kepada mereka bahwa Allah SWT mewajibkan membayar zakat. Zakat diwajibkan bagi orang-orang kaya, dan selanjutnya dibagikan kepada fakir miskin. Jika mereka mentaatinya, ambilah dari mereka dan jaga kemulian harta mereka. Dan takutlah terhadap doa orang yang terzalimi, karena doa mereka tidak ada hijab dari Allah”. Rasulullah juga selektif dalam memilih pegawainya, yaitu mereka yang agamanya kuat (shalih) dan merupakan pioner dalam masuk agama Islam. Dan bahkan juga Rasulullah sering minta pendapat sahabat tentang track record (kepribadian calon pegawai).

2)    Rasulullah SAW juga memiliki Majelis Syura semacam think tank (staf ahli) yang dimulai setelah berdirinya negara “kota Madinah” Majelis Syura difungsikan oleh Rasulullah sebagai tempat berdiskusi dan bermusyawarah untuk membicarakan masalah-masalah yang dihadapi yang berkenaan masalah keagamaan, pemerintahan, kemasyarakatan, dan hubungan dengan bangsa atau negara lain. Ini menunjukkan Rasulullah SAW itu seorang yang sangat menghargai kemampuan dan profesionalisme orangorang yang dipimpinnya. Mereka yang masuk dalam think tank ini adalah para sahabat atau orang-orang yang memiliki kecermatan dalam berpikir, kedalaman ilmu agamanya, kuat imannya, dan rajin mendakwahkan agama Islam.

3)    Rasulullah SAW juga melakukan pembagian tugas dan wewenang, seperti: Ali bin Abi Thalib menangani kesekretariatan dan perjanjian-perjanjian yang dilakukan Rasulullah, Hudzaifah bin Almin menangani dokumen rahasia Rasulullah, Abdullah bin Al-Arqam bertugas menarik zakat dari para raja, Zubair bin Awam dan Juhaim bin Shalt bertugas mencatat harta zakat, Mughirah bin Syu’bah dan Hasyim bin Namir bertugas mencatat utang piutang dan transaksi muamalah, Zaid bin Tsabit bertugas sebagai penterjemah dalam bahasa Parsi, Romawi, Qibty, Habsy, dan Yahudi. Najiyah al Tafawi dan Nafi’ bin Dzarib al-Naufal bertugas menulis mushaf, dan lain-lain.

C.     Praktek Manajemen Syariah Pada Zaman Khulafaurrasyidin

1)    Abu Bakar Ash-Siddiq

Pada zaman pemerintahan Abu Bakar aktivitas manajemen yang dilakukannya antara lain menata wilayah kekuasaan Islam dibagi menjadi beberapa provinsi. Wilayah Hijaz terdiri dari 3 provinsi, yaitu Mekkah, Madinah, dan Thaif. Wilayah Yaman dibagi menjadi 8 provinsi, yaitu Shai’a, Hadralmaut, Haulan, Zabad, Rama Al-Jundi, Najran, Jarsy, dan Bahrain. Masing-masing provinsi dipimpin oleh seorang gubernur. Diantara tugas para Gubernur adalah mendirikan sholat, menegakkan peradilan, menarik, mengelola dan membagikan zakat, melaksanakan had, dan mereka mempunyai kekuasaan pelaksanaan peradilan secara simultan. Pada zaman khalifah Abu Bakar ini sudah pula ada pengawasan terhadap kinerja karyawan.

2)    Umar bin Khattab

Setelah Abu Bakar meninggal dunia tugas khalifah diteruskan oleh Umar bin Khattab. Umar memerintah dari tahun 634-644 M. Pada zaman pemerintahan Umar bin Khattab kegiatan manajemen semakin luas. Salah satu diantaranya dipraktekkannya konsep dasar hubungan antara negara dan rakyat, tugas pelayanan publik dan menjaga kepentingan rakyat dari otoritas pemimpin. Umar juga melakukan pemisahan antara kekuasaan peradilan dengan kekuasaan eksekutif, serta menetapkan ada lembaga pengawasan terhadap kinerja pegawai publik. Pengawasan ini dimaksudkan untuk menjaga penduduk dari tindak kezaliman dan kesewenangan pegawai pelayanan publik atau seorang pemimpin.

3)    Usman bin Affan

Ia menjadi khalifah dari tahun 644-656 M. Pada zaman khalifah Utsman bin Affan, pertama-tama kegiatan manajemen yang dilakukannya adalah menjaga dan melestarikan sistem pemerintahan yang sudah ditetapkan oleh khalifah Umar bin Khattab. Khalifah Utsman lebih mengakomodir keinginan rakyatnya ketika mereka meminta untuk mencopot dan melengser pemimpin mereka. Paling tidak ada tiga gubernur dilengserkan atas permintaan rakyat yaitu Mughirah bin Syu’bah Gubernur Kufah dan menggantinya dengan Walid bin Uqbah. Satu saat khalifah Utsman mendengar Walid minum khamar, lalu khalifah Utsman memanggilnya ke Madinah, kemudian memberi had bagi Walid dan mencopotnya dari posisi gubernur dan menggantinya dengan Sa’id bin Ash. Kemudian khalifah Utsman juga mencopot Abi Musa Al-Asy’ari dari jabatan gubernur dan menggantinya dengan Abdullah bin Amir (anak paman khalifah Utsman dari pihak wanita). Khalifah Utsman juga mencopot Amr bin Ash dari jabatan Gubernur Mesir dan menggantinya dengan Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh, dan ia pun menetapkan Marwan bin Hakim sebagai ketua Dewan (Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh adalah anak paman khalifah Utsman dari pihak lelaki).

Pada masa kekhalifahan Utsman ini terdapat indikasi nepotisme. Hal ini membuat sekelompok sahabat mencela kepemimpinan Utsman karena lebih memilih keluarga dari pada para sahabat yang menjadi pioner dalam Islam.

4)    Ali bin Abi Thalib

Ali bin Abi Thalib terpilih menjadi khalifah menggantikan Utsman bin Affan dari tahun 656-661 M. Pada zaman khalifah Ali bin Abi Thalib kegiatan manajemen yang menonjol yang dilakukannya adalah memilih gubernur dengan sangat selektif, begitu juga dalam mengangkat pegawai. Ia menasehatkan kepada para gubernur; “Janganlah engkau mengangkat pegawai karena ada unsur kecintaan dan kewalian (nepotisme), karena hal itu akan menciptakan golongan durhaka dan khianat. Pilihlah pegawai karena pengalaman dan kompetensi yang dimilikinya, ketaqwaannya dan keturunan orang shaleh, serta orang tersebut merupakan pioner dalam Islam. Mereka adalah orang yang memiliki akhlak mulia, argumen yang shahih, tidak mengejar kemuliaan (pangkat) dan mempunyai pandangan yang luas atas suatu persoalan.” Khalifah Ali juga mengajarkan sistem renumerasi dan ia berkata; “Sempurnakanlah gaji yang mereka terima, karena upah itu akan memberi kekuatan kepada mereka untuk memperbaiki diri.” Khalifah Ali juga konsen terhadap kepentingan masyarakat dan mempunyai perhatian khusus terhadap keadilan dan menjauhi tindak kezaliman.

D.    Praktek Manajemen Syariah Pada Zaman Bani Umayyah dan Bani Abbasyiah

1)    Manajemen Zaman Bani Umayyah (660-750 M)

Pada zaman Bani Umayyah, perkembangan manajemen yang dimulai pada zaman Khulafa al-Rasyidin dapat dikatakan tidak dapat berkembang secara alami. Manajemen pada masa ini mengalami stagnasi. Hal ini disebabkan karena adanya persoalan dalam percaturan politik pemerintahan, tepatnya terjadi perseteruan politik di kalangan elit sahabat. Dampaknya manajemen pemerintahan tidak lagi berjalan di atas prinsip-prinsip politik yang digariskan Rasulullah SAW. Politik tidak lagi mengindahkan prinsip syura (musyawarah) dalam proses pemilihan anggota ahlul hilli wal ‘aqdi (anggota DPR) dari para sahabat. Perseteruan politik ini menyebabkan munculnya beberapa pemberontakan terhadap pemerintahan Bani Umayyah, diantaranya yang dilakukan oleh kaum Khawarij dan Bani Abbasiyah. Meski demikian situasi dan kondisi pemerintahan Bani Umayah, sejarah tetap mencatat ada kemajuan di bidang manajemen, khusus manajemen pemerintahan yang terjadi perluasan di al-Diwan (lembaga, kantor, departemen) yang telah berkembang menjadi lima (5) Diwan, yaitu Diwan al Jund (angkatan perang), Diwan al-Kharaj (keuangan), Diwan Al-Rasail (sekretariat), Diwan al-Khatam (otorisasi stempel), dan Diwan al-Barid (kantor pos) yang tersentralisasi di pusat pemerintahan. Dan di setiap provinsi terdapat tiga (3) macam diwan, yakni Diwan al-Jund, al-Rasail, dan al-Maliyah (keuangan). Sistem yang berlaku untuk masing-masing diwan ini merupakan adopsi dari Persia.

2)    Manajemen Zaman Bani Abbasiyah (750-1258 M)

Pada Zaman Bani Abbasiyah pemerintahan Islam mempunyai peran yang cukup signifikan termasuk di bidang manajemen. Selain lembaga pemerintahan, pada sistem peradilan juga pada zaman ini dibentuk lembaga al-Hisbah yang mengawasi kehidupan sosial masyarakat, dan memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi mungkar). Al-Hisbah sendiri merupakan lembaga dalam rangka manajemen pemerintahan dan orang yang pertama kali menekankan peran Al-Hisbah ini adalah Rasulullah SAW yang di tengah-tengah kesibukannya sebagai pemimpin agama, kepala pemerintahan, dan kepala keluarga masih menyempatkan waktunya untuk mengawasi kegiatan para pelaku pasar di kota Madinah. Diriwayatkan oleh sebuah hadits; Rasulullah suatu ketika mengunjungi pasar dan melewati seorang pedagang makanan, Rasul menghampiri pedagang itu dan memasukkan tangannya ke dalam tumpukan makanan itu dan menemukan makanan itu basah di dalamnya, Rasulullah SAW bersabda; “Apa yang terjadi dengan makanan ini?” Pedagang itu berkata: “Makanan ini telah basah terkena hujan”. Rasulullah SAW menjawabnya: “Mengapa tidak engkau taruh di atas agar dapat dilihat orang-orang? Barang siapa menipu kita, maka tidak termasuk dalam golongan kita”. Seorang muhtasib (petugas hisbah) memiliki sejumlah tugas, diantaranya: 1. Menyelesaikan persoalan-persoalan publik, tindak pidana (jinayat) 2. Memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran 3. Menjaga adab, tata krama, dan Amanah 4. Menjaga/mengawasi hak-hak syara 5. Mengawasi pelaksanaan sistem pasar, takaran dan timbangan. Melihat peran dan fungsi lembaga al-Hisbah ini cukup berat dan sangat strategis, maka mayoritas ulama fiqih memberikan persyaratan yang ketat kepada orang yang akan menduduki jabatan di lembaga ini. Seorang muhtasib haruslah seorang: muslim, merdeka, baligh, adil, ahli fiqih, berpengalaman, paham terhadap hukum syariah sehingga bisa ber-amar ma’ruf nahi mungkar, ucapannya tidak berbeda dengan tindakan, menjaga diri dari harta masyarakat, memiliki pandangan ke depan (visioner), mempunyai sikap sabar, setiap ucapan dan tindakannya untuk Allah dan bertujuan untuk mendapatkan ridho Allah.5 Berdasarkan keterangan dan penjelasan-penjelasan di atas tentang konsep dan praktek manajemen dalam masamasa awal Islam sampai dengan masa Bani Abbasiyah jelas menunjukkan adanya hubungan erat (benang merah) antara konsep dasar Islam dengan pemikiran manajemen

E.     Ekonomi Dan Bisnis Syariah Kontemporer

Dalam mengkaji permasalahan bisnis, tidak dapat lepas dari kajian ekonomi karena bisnis merupakan bagian dari kegiatan eko- nomi. Ekonomi adalah fenomena masyarakat yang berusaha men- cukupi kebutuhannya untuk mencapai kemakmuran. Dalam menca- pai kemakmuran tersebut dapat ditempuh melalui bisnis. Karena dengan bisnis, kebutuhan dan kepuasan manusia secara material dan ekonomis dapat terpenuhi.

Bisnis, menurut Skiner, sebagaimana dikutip Ismail Nawawi adalah pertukaran barang dan jasa atau uang yang saling menguntungkan atau memberikan manfaat. Menurut pendapat Machfoed, juga dikutip Ismail Nawawi, bisnis (disebut juga dengan istilah per- dagangan) adalah usaha yang dilakukan manusia untuk mendapat- kan laba dengan memproduksi dan menjual barang atau jasa dalam memenuhi keinginan konsumen.

Aktivitas bisnis, menurut Ali Hasan, adalah upaya untuk me- ngelola kombinasi antara sumber daya manusia, sumber daya alam, modal dan teknologi untuk menciptakan atau membuat produk yang memiliki nilai (value) untuk memperoleh keuntungan yang biasanya bergandengan dengan tingkat resiko tertentu.

Selanjutnya menurut Widiyono dn Mukhaer Pakkan, aktivitas bisnis adalah me- nyediakan barang atau jasa untuk mendapatkan profit. Sementara profit adalah perbedaan antara pendapatan suatu bisnis dan beban- bebannya.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat diambil kesimpul- an bahwa bisnis adalah suatu aktivitas yang bertujuan untuk men- dapatkan laba (profit) dengan cara memproduksi barang atau jasa. Proses ekonomi yang terdiri atas produksi, distribusi dan kon- sumsi dilaksanakan dalam aktivitas bisnis, tetapi lebih dititikkan beratkan pada produksi dan distribusi. Sedangkan konsumsi dilakukan oleh konsumen. Dengan demikian, arti dari bisnis yang menunjuk- kan hubungan dengan ekonomi adalah:

1)    Bisnis adalah kegiatan untuk menghasilkan dan mendistribusi- kan barang dan jasa untuk kepentingan bersama atau masyara- kat baik sebagai produsen atau konsumen;

2)    Binis merupakan aktivitas untuk mendapatkan laba yang dida- patkan produsen dalam aktivitas ekonomi;

3)    Laba merupakan selisih antara penghasilan terhadap biaya-bia- ya yang dibebankan dalam proses ekonomi.

4)    Aktivitas bisnis sebagai suatu aktivitas ekonomi mikro, dipe ngaruhi oleh sistem ekonomi yang dianut suatu negara.

Di mana aktivitas bisnis mempelajari interaksi rumah tangga perusahaan dengan pasar, konsumen, permintaan dan penawaran, produsen dan lingkungan usaha lainnya. Sementara sistem ekonomi berkaitan dengan sistem kebijakan ekonomi makro yang dianut suatu negara. Dalam kaitan itu, aktivitas bisnis sangat bergantung dari lingkungan kebijakan ekonomi yang berlaku di suatu negara.

Bisnis dalam Islam bertujuan untuk mencapai empat hal utama yaitu:

1)    Target hasil berupa profit materi dan benefit non materi, tujuan bisnis tidak selalu mencari profit (qimah madiyah/nilai materi) tetapi harus dapat memperoleh dan memberikan benefit (ke- untungan/manfaat) non materi, baik bagi si pelaku bisnis sen- diri maupun pada lingkungan yang lebih luas.

2)    Pertumbuhan, jika profit materi dan benefit non materi telah diraih, maka diupayakan pertumbuhan atau kenaikan akan terus menerus meningkat setiap tahunnya dari profit dan benefit tersebut. Upaya pertumbuhan initentu dalam koridor syariat Islam.

3)    Keberlangsungan, pencapaian target hasil dan pertumbuhan terus diupayakan keberlangsungannya dalam kurun waktu yang cukup lama dan dalam menjaga keberlangsungan itu dalamkoridor syariat Islam.

4)    Keberkahan, faktor keberkahan atau upaya menggapai ridlo Allah merupakan puncak kebahagiaan hidup muslim. Para pe- bisnis harus mematok orientasi keberkahan ini menjadi visi bisnisnya agar senantiasa dalam kegiatan bisnis selalu berada dalam kendali syariat dan diraihnya keridloana Allah.

Berbisnis memiliki manfaat yang terkait langsung dengan pe- ngembangan masyarakat. Manfaat tersebut antara lain:

(1)   Bisnis akan memberikan kontribusi yang besar bagi perluasan lapangan kerja, sehingga dapat mengurangi problem pengang- guran.

(2)   Bisnis akan meningkatkan kekuatan ekonomi negara. Hal itu terbukti dalam perjalanan bangsa Indonesia di mana UKMadalah basis ekonomi yang paling tahan menghadapi goncang an yang bersifat multidimensional.

(3)   Dengan semakin banyaknya bisnisman (pengusaha), termasuk pengusaha muslim, akan semakin banyak keteladanan dalammasyrakat, khususnya dalm aktivitas bisnis. Karena para peng- usaha memiliki pribadi yang unggul, berani, independent, hidup tidak merugikan orang lain, bahkan sebaliknya malah memberikan manfaat bagi anggota masyarakat yang lain.

(4)   Dengan berkembangnya aktivitas bisnis, maka akan menum- buhkan etos kerja dan kehidupan yang dinamis, serta semakin banyaknya partisipasi masyarakat terhadap pembangunan

Jenis dan bentuk bisnis ditinjau dari obyeknya dapat dikelom- pokkan dalam 4 bentuk, yaitu: bisnis industri, bisnis perdagangan bangsa. bisnis pelayanan dan bisnis fasilitas.

1)    Bisnis industri adalah bisnis yang untuk mendapatkan keuntungan/laba dengan menghasilkan barang atau pengolahan sendiri, kemudian barang tersebut dijual kepada pihak lain yang membutuhkan (konsumen)

2)    Bisnis perdagangan adalah bisnis yang dilakukan dengan jalan membeli dari industri/pabrik kemudian dijual kepada pihak lain.

3)    Bisnis pelayanan adalah bisnis yang dilakukan dengan mem- berikan pelayanan/jasa kepada pihak lain, baik kepada produ- sen, pebisnis lain, maupun konsumen.

4)    Bisnis fasilitas adalah bisnis yang dilakukan dengan menye- diakan fasilitas. Fasilitas tersebut sifatnya dipinjamkan atau disewakan untuk jangka waktu tertentu.

Dalam Islam, bisnis terbedakan kepada 2 macam, yaitu bisnis yang dibolehkan dan bisnis yang dilarang.

1)    Bisnis yang dibolehkan oleh Islam adalah bisnis yang meng- hasilkan pendapatan yang halal dan berkah, yang dalam pelak sanaannya dengan mengikut aturan dan prinsip syariah. Apa- pun jenis dan bentuk bisnis yang dilakukan, hukumnya boleh selama pelaksanaannya masih dalam koridor Islam yaitu me- menuhi rukun dan syarat sahnya sebuah transaksi (aqad), ada- nya kerelaan para pihak yang bertransaksi serta tidak mengan- dung riba, maysir dan gharar.

2)    Bisnis yang dilarang oleh Islam adalah bisnis yang di dalampelaksanaannya tidak memenuhi rukun dan syarat transaksi, terdapat unsur riba, maysir, gharar dan kebatilan.

Ditinjau dari penerapan syariat dan oerientasinya, bisnis dibe- dakan pada bisnis Islam dan bisnis non Islam.

(1)            Bisnis Islam dikendalikan oleh aturan halal dan haram, baik dari cara perolehan maupun pemanfaatan harta.

(2)            Sedangkan bisnis non Islam, dengan landasan sekularisme, bersendikan nilai-nilai material sehingga tidak memperhatikan aturan halal dan haram dalam setiap perencanaan, pelaksanaan dan segala usaha yang dilakukan dalam rangka meraih tujuantujuan bisnis. Dari asas sekularisme inilah seluruh bangunan bisnis non Islam diarahkan pada hal-hal yang bersifat bendawi dan menafikan nilai ruhiyah serta keterkaitan pelaku bisnis pada aturan yang lahir dan nilai-nilai transedental. Kalaupu ada aturan, hal ini semata bersifat etik yang tidak ada hubu- ngannya dengan dosa dan pahala.

Bentuk Bisnis Kontemporer:

1.     Multi Level Marketing (MLM)

Pengertian Multi Level Markieting Multi level marketing (MLM) berasal dari bahasa Ing- gris, multi berarti banyak, level berarti jenjang atau tingkat, se- dangkan marketing artinya pemasaran. Jadi, multi level mar- keting adalah pemasaran yang berjenjang banyak.

Disebut multi level karena merupakan suatu organisasi distributor yang melaksanakn penjualan yang berjenjang banyak atau bertingkat-tingkat.

Multi level marketing adalah sebuah sistem pemasaran modern melalui jaringan distribusi yang dibangun secara per- manen dengan memposisikan pelanggan perusahaan sekaligus sebagai tenaga pemasaran.

Dapat pula dikemukakan, multi level marketing adalah pemasaran berjenjang melalui jaringan distribusi yang dibangun dengan menjadikan konsumen (pelanggan) sekaligus sebagai tenaga pemasaran.

Multi level marketing disebut juga sebagai networking marketing. Di sebut demikian karena anggota kelompok ter- sebut semakin banyak sehingga membentuk sebuah jaringan kerja (network) yang merupakan suatu sistem pemasaran de- ngan menggunakan jaringan kerja berupa sekumpulan banyak orang yang kerjanya melakukan pemasaran. Kadang-kadang ada juga yang menyebut MLM sebagai bisnis penjualan lang- sung atau direct selling. Pendapat ini didasari pelaksanaan penjualan MLM yang memang dilakukan secara langsung oleh wiraniaga kepada konsumen. Tidak melalui perantara lagi atau melalui toko swalayan, kedai dan warung tetapi langsung kepada pembeli. Di Indonesia saat ini penjualan langsung atau direct selling baik yang single level maupun multi level berga- bung dalam suatu asosiasi yaitu AsosiasiPenjualan Langsung Indonesia (APLI). Organisasi ini merupakan anggota KADIN, bagian dari world Federation Direct selling Association (WFDSA) Ada perbedaan dan persamaan antara Direct selling dan MLM mulai dari penggunaan bahasa sampai ke substansi sistemnya. Istilah direct selling memang lebih dulu muncul di- banding MLM. Istilah ini merujuk pada aktifitas penjualan barang-barang atau produk langsung kepada konsumen, dima- na aktifitas penjualan tersebut dilakukan oleh seorang penjual langsung (direct seller) dengan disertai kejelasan, presentasi dan demo produk. Esensinya adalah adanya tenaga penjual independen yang menjualkan produk atau barang dari pro- dusen tertentu kepada konsumen.

2.     E Commerce

Pengertian E Commerce E-commerce adalah suatu transaksi dengan menggunakan teknologi baru yang cukup dikenal masyarakat. Terdapat ber- bagai pengertian mengenai e commerce yag dapat kita temu- kan dari berbagai sumber. Di antaranya:

“Electronic commerce, commonly known as e-commerce or e- Commerce, is a type of industry where the buying and selling of products or services is conducted over electronic systems such as the Internet and other computer networks. Electronic commerce draws on technologies such as mobile commerce, electronic funds transfer, supply chain management, Internet marketing, online transaction processing, electronic data interchange (EDI), inventory management systems, and auto- mated data collection systems. Modern electronic commerce typically uses the World Wide Web at least at one point in the transaction's life-cycle, although it may encompass a wider range of technologies such as e-mail, mobile devices, social media, and telephones as well. Electronic commerce is gene- rally considered to be the sales aspect of e-business. It also consists of the exchange of data to facilitate the financing and payment aspects of business transactions. This is an effective and efficient way of communicating within an organization and one of the most effective and useful ways of conducting business.”

Sedangkan referensi lainnya memberikan pengertian e commerce sebagai berikut:

“Electronic commerce or e-commerce refers to a wide range of online business activities for products and services. It also pertains to “any form of business transaction in which the parties interact electronically rather than by physical ex- changes or direct physical contact.” E-commerce is usually associated with buying and selling over the Internet, or con- ducting any transaction involving the transfer of ownership or rights to use goods or services through a computer-mediated network. Though popular, this definition is not comprehensive enough to capture recent developments in this new and revolutionary business phenomenon. A more complete definition is: E-commerce is the use of electronic communications and digital information processing technology in business transactions to create, transform, and redefine relationships for value creation between or among organizations, and between orga- nizations and individuals.”

Dari bebarapa definisi tersebut di atas dapat ditarik be- nang merah bahwa e commerce adalah sebuah transaksi bisnis, jual beli, dengan mempergunakan media elektronik (jaringan internet) atas barang dan jasa dengan alat pembayaran elektronik juga. E-commerce menggambarkan cakupan yang sangat luas karena berhubungan dengan teknologi, proses transaksi dan praktek perdagangan tanpa tatap muka langsung antara penjual dan pembeli. Terlepas dari berbagai jenis definisi yang ditawarkan dan dipergunakan oleh berbagai kalangan, terdapat kesamaan dari masing-masing definisi, dimana e commerce memiliki karakteristik sebagai berikut: terjadinya transaksi antara dua belah pihak; adanya pertukaran barang, jasa, atau informasi; dan internet merupakan media utama dalam proses atau mekanis- me perdagangan tersebut.

3.     Waralaba

Pengertian Waralaba (Franchise) Waralaba dalam bahasa Inggris diartikan dengan kata franchise, yang mengandung makna freedom (kebebasan). Sedangkan dalam bahasa Indonesia, waralaba berasal dari dua kata yaitu wara dan laba, wara berarti lebih dan laba berarti untung, sehingga arti waralaba adalah lebih untung.

Waralaba (franchise) adalah pemberian hak oleh fran- chisor kepada franchisee untuk menggunakan kekhasan usaha atau cirri pengenal bisnis di bidang perdagangan/jasa berupa jenis produk dan bentuk yang diusahakan termasuk identitas perusahaan (logo, merk dan desain perusahaa, penggunaan rencana pemasaran serta pemberian bantuan yang luas, waktu/ jam operasiona, pakaian dan penampilan karyawan) sehingga kekhasan usaha atau cirri pengenal bisnis dagang/jasa milimfranchisee sama denga kekhasan usaha atau bisnis dagang/jasa milik dagang franchisor.

Waralaba (Franchise) adalah perikatan di mana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau mengguna- kan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau cirri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan ber- dasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut dalam rangka penyediaandan/atau penjualan barang atau jasa.

Pada dasarnya waralaba (franchise) adalah sebuah perjanjian bisnis mengenai metode pendistribusian barang dan jasa kepada konsumen. Franchisor dalam jangka waktu tertentu memberilan lisensi kepada franchisee untuk melakukan uaha pendistribusian barang dan jasa di bawah nama identitas franchisor dalam wilayah tertentu. Usaha tersebut harus dijalankan sesuai dengan prosedur dan cara yang ditetapkan fran- chisor. Franchisor memberikan bantuan (assistance) terhadap franchisee. Sebagai imbalannya franchisee membayar sejumlah uang berupa initial fee dan royalty.

F.     Budaya Kerja Bagi Umat Islam

Sebelum membahas apa arti dari budaya kerja,mungkin pertama-tama kita harus mengetahui apa arti dari budaya. Ada beberapa pengertian tentang arti budaya, berikut adalah pengertiannya :

1)    Budaya secara harfiah berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang (Soerjanto Poespowardojo 1993, perpustakaan online).

2)    Menurut Koentjaraningrat budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri manusia dengan cara belajar.

3)    Menurut The American Herritage Dictionary mengartikan kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, seniagama, kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia.

4)    Budaya atau kebudayaan yang berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddayah, yaitu merupakan bentuk jamak dari buddi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.

Setelah membahas apa arti dari “budaya” tersebut, selanjutnya akan membahas tentang apa arti dari Kerja. Kerja adalah melakukan sesuatu hal yang diperbuat seperti contohnya makan atau minum. Adapun arti lain dari kerja yaitu melakukan sesuatu untuk mencari nafkah. Selain itu pengertian kerja dalam kacamata Islam yaitu kerja pada hakekatnya adalahnya manifestasi amal kebajikan

Sebagai sebuah amal, maka niat dalam menjalankannya akan menentukan penilaian. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad bersabda, “Sesungguhnya nilai amal itu ditentukan oleh niatnya.” Amal seseorang akan dinilai berdasar apa yang diniatkannya. Suatu hari Nabi Muhammad berjumpa dengan Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari. Ketika itu Nabi Muhammad melihat tangan Sa’ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari. “Kenapa tanganmu?,” tanya Nabi kepada Sa’ad. “Wahai Rasulullah,” jawab Sa’ad, “Tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku”. Seketika itu Nabi mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya seraya berkata, “Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka”.

Dalam kisah lain disebutkan bahwa ada seseorang yang berjalan melalui tempat Nabi Muhammad. Orang tersebut sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para sahabat kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah, andaikata bekerja semacam orang itu dapat digolongkan jihad fi sabilillah, maka alangkah baiknya.” Mendengar itu Nabi pun menjawab, “Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, itu juga fi sabilillah.” (HR. Ath-Thabrani).

Kerja adalah perintah suci Allah kepada manusia. Meskipun akhirat lebih kekal daripada dunia, namun Allah tidak memerintahkan hambanya meninggalkan kerja untuk kebutuhan duniawi.

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (untuk kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi.” (QS. Al-Qashash: 77).

Jadi bila kata “budaya” dan “kerja” digabungkan memiliki pengertian yaitu nilai-nilai sosial atau suatu keseluruhan pola perilaku yang berkaitan dengan akal dan budi manusia dalam melakukan suatu pekerjaan. Jadi setiap individu yang bekerja harus memiliki budaya kerja yang baik. Budaya yang kerja yang baik sangat diperluukan agar menjadi pekerja yang berbudi pekerti dan mengerti nilai-nilai yang dijalaninya dan tidak membawa individu kepada penyimpangan. Jadi itulah perlunya kita memahami budaya kerja yang baik.

Budaya kerja masing-masing individu akan menentukan terbentuknya budaya  instansi dimana dia bekerja. Tentu saja hal ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti kepemimpinan. Budaya Instansi yang mengandung nilai-nilai agama karena selalu mendahulukan pembinaan terhadap akhlakul karimah, sejak tahap awal perlu dimantapkan sebagai manifestasi utama dari budaya instansi. Budaya instansi akan terekspresi dalam seremoni dan ritual yang substansinya adalah substansi agamawi. Maka tahap confontation of dependency and authority dapat dilembutkan melalui budaya jujur, sabar, tidak mudah iri dan terpancing untuk melakukan hal-hal yang dimurkai agama.

Para pemimpin yang mewakili budaya instansi  akan menentukan bahwa bila tahap pertama upaya pegawai  menyesuaikan diri dengan budaya instansi  menghasilkan sukses, maka pada tahap berikutnya akan tercapai confontation of intimacy, role differentiation and peer relationship. Dalam hal ini nantinya akan memasuki tahapan kerjasama yang harmonis dalam suatu lembaga atau instansi.
Dalam agama Islam manusia ditentukan untuk :

1.     Berusaha   dengan  sebaik-baiknya agar tercapai suatu tujuan  yang halal. Pada tahap ini, dengan dukungan budaya instansi, pegawai  akan mencoba berusaha untuk  menghasilkan prestasi terbaiknya, apalagi bila penerimaan hasil  dilakukan dengan adil dan objektif. Melakukan pekerjaan dengan ikhlas adalah ajaran utama dalam Islam. Dalam budaya instansi dapat dibina suasana bekerja dengan ikhlas. Usaha yang diupayakan hanya karena Allah semata. Bekerja  dengan  dilandasi keikhlasan, dapat mencegah SDM dari stres atau jenis emosi lain yang merugikan.

2.     Dalam Islam, umat dituntut untuk minta tolong pada Allah dan mengakui keterbatasan dirinya. Allah lebih mencintai orang-orang yang selalu meminta daripada yang enggan meminta, karena seolah-olah manusia itu berkecukupan. Dan Allah  berfirman : “Berdoalah kepadaKu, niscaya akan keperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahKu akan masuk neraka jahanan dalam keadaan hina dina” (QS. 40:60). Rasullah SAW bersabda : “Sesungguhnya siapa saja yang tidak meminta kepada Allah, maka Allah akan marah kepadanya” (HR. At-Tarmizi dan Abu Hurairoh). Apabila manusia rajin bekerja dan berupaya, ia akan menciptakan budaya kerja yang disiplin, berkemauan keras dan tidak cepat putus asa. Selanjutnya diimbangi dengan  terus menerus berdoa dan meminta tolong kepada Allah, agar usahanya membuahkan hasil. Sifat ini akan membawa manusia ke perilaku rendah hati, tidak takabur dan senantiasa menyadari baik kelemahan maupun kekuatannya.

Agama Islam mengajarkan manusia untuk giat dalam bekerja. Namun dalam bekerja, harus sesuai dengan syariat agama dengan mengedepankan kejujuran, kedisiplinan dan keihklasan. Bekerja adalah ibadah, selama apa yang dikerjakan adalah untuk tujuan yang baik dan benar.

G.    Sistem Kerja Barat Dalam Pandangan Islam

Budaya barat sering di manifestasikan dalam keinginan manusia untuk sukses, yang juga merupakan salah satu tradisi penting yang telah menjadi warisan terkenal di dunia. Etos kerja telah menjadi komponen penting dari budaya ini, karena seseorang pada umumnya berusaha untuk membangun kemakmuran. Etos kerja budaya barat sering dikaitkan dengan pemenuhan materi melalui usaha dan kerja keras serta semangat kerja tinggi dalam masyarakat. Dengan demikian, orang-orang di negara barat memiliki visi dan misi kehidupan yang lebih maju. Etos kerja sendiri adalah suatu sikap tinggi rendah, kuat lemahnya, semangat budaya kerja  (Hakim, 2017). Semangat kerja yang tinggi akan memberikan hasil kinerja yang baik guna menciptakan reformasi ekonomi.

Untuk membuat suatu reformasi ekonomi dibutuhkan sumber daya manusia yang memiliki daya saing tinggi dan berkualitas (Tampubolon, 2007). Bukan hanya itu untuk mewujudkan keberhasilan reformasi juga diperlukan menejemen yang kuat seperti adanya prinsip yang mengatur, nilai yang menggerakkan dan standar kompetensi untuk dicapai (Hakim, 2017). Kemudian yang tidak kalah penting adalah generasi yang beretika kerja tinggi (etos kerja) yang siap menjadi tenaga kerja profesional dimana karakter tersebut adalah ciri khas budaya negara barat sebagai kunci kesuksesan industi dan perekonomiannya.

Ada beberapa aspek positif budaya barat yang dapat diadopsi sebagai upaya dalam peningkatan kemajuan Indonesia seperti perilaku etos kerja yang tinggi. Mengingat beratnya persaingan di era globalisasi Indonesia seharusnya sudah bergerak mempersiapkan generasi yang handal dan kompeten yang memiliki kesiapan daya saing (Tampubolon, 2007). Mengingat urgensi dari pengaruh etos kerja sebagai penunjang kemajuan bangsa, perlu beberapa hal yang dapat dilakukan dalam upaya membentuk karakter etos kerja yang tinggi pada generasi bangsa.

Dalam mengupayakan pembentukan karakter etos kerja maka diperlukan untuk melakukan pelatihan, pendidikan dan bimbingan bagi sumber daya manusia. Dalam upaya mewujudkan kemajuan bangsa diperlukan pelatihan, pendidikan, dan bimbingan guna menghasilkan sumber daya manusia yang terampil yang memiliki kegairahan dan semangat kerja yang tinggi (Tampubolon, 2007)

Profesionalitas dan keterampilan memang penting namun rasa optimisme yang tinggi dapat membentuk karakter etos kerja yang mencentak SDM unggul. Perlunya pengarahan manajemen sumber daya manusia yang efektif dan efisien. Kunci dari tercapainya tujuan dari suatu organisasi adalah sumber daya manusia sebagai faktor internal yang kredibel (Tampubolon, 2007). Pentingnya pengarahan menejemen terhadap SDA demi tercapainya tujuan bangsa yakni kesejahteraan negara. Agar tidak terjadi ketidakstabilan program dibutuhkan pengarahan menejemen sebagai pendamping dari etos kerja sehingga perencanaan kerja lebih terarah. Perlunya pendidikan kepemimpinan. Hadirnya pemimpin yang baik dan profesional adalah dapat menggerakkan anggota dengan optimisme dan antusiasme (Tampubolon, 2007).

Etos kerja esensinya adalah semangat kerja. Jika semangat kerja terarah dengan baik yakni dengan hadirnya pemimpin yang memiliki kredibilitas yang baik akan mengahsilkan kinerja yang memuaskan. Pelatihan pemecahan masalah dan penemuan solusi Kemunculan karakter etos kerja bisanya ditimbulkan dari adanya rintangan, tantangan dan halangan. Sehingga menimbulkan semangat untuk menemukan pemecahan masalah dan penemuan solusi. Dengan demikian budaya etos kerja yang tinggi dengan alamiah terbentuk. Etos kerja sangat efektif dan efisien dalam pemenuhan dan pencapaiaan target kerja.

World Economic Forum telah merilis laporan tahunan berdasarkan efisiensi bisnis, inovasi, kondisi pasar keuangan, kesehatan, pendidikan, infrastruktur, institusi pemerintah dan swasta pada 133 negara, dari kategori tersebut Indonesia berada pada posisi 44 dunia, ini merupakan capaian yang memiliki progres dari tahun sebelumnya ketika Indonesia menempati urutan ke 54 (Hartono, 2011).

Berdasarkan laporan tersebut mengindikasikan bahwa Indonesia tengah berproses dan terus membenahi sistem demi tercapainya tujuan kemajuan dimasa depan. Untuk mencapai kemajuan terdapat kiat-kiat menuju sukses yang harus terpenuhi. Salah satu dari upayanya dengan menelaah kunci sukses dari budaya negara yang sudah lebih dahulu sukses dalam pemerintahaannya. Bangsa barat adalah peradaban maju dengan segala karakter dan kebudayaan yang berkembang didalamnya. Salah satunya adalah budaya etos kerja tinggi yakni semangat optimisme dalam bekerja. Etos kerja budaya barat dapat kita adopsi sebagai salah satu dari kiat sukses menuju Indonesia maju.

 

H.   Etos Kerja Dalam Bisnis Syariah

Etos kerja dalam perspektif bisnis syariah memiliki dimensi yang lebih luas dibandingkan dengan konsep kerja keras konvensional. Selain upaya maksimal, etos kerja syariah juga menekankan pada nilai-nilai moral dan spiritual yang selaras dengan ajaran Islam. Ini berarti bekerja dengan niat tulus untuk mendapatkan ridha Allah, bukan sekadar mengejar keuntungan materi.

Dalam Islam, etos kerja mencakup kejujuran (shiddiq), tanggung jawab (amanah), kerja keras, serta sikap profesional dalam menjalankan bisnis. Prinsip ini tercermin dalam cara Rasulullah SAW menjalankan aktivitas perdagangan dengan integritas tinggi, tanpa mengejar keuntungan berlebihan atau merugikan pihak lain. Setiap transaksi harus bebas dari riba, gharar (ketidakpastian), dan unsur penipuan.

Etos kerja dalam bisnis syariah juga mencakup usaha untuk memastikan produk dan layanan yang dihasilkan memberikan manfaat yang baik bagi masyarakat, mendukung keberlanjutan ekonomi yang adil, dan menumbuhkan keberkahan. Prinsip ini menunjukkan bahwa sukses dalam bisnis syariah bukan hanya diukur dari laba yang besar, tetapi dari bagaimana bisnis tersebut berkontribusi pada kesejahteraan sosial dan spiritual.

Jadi, etos kerja syariah adalah landasan untuk menciptakan bisnis yang etis, adil, dan berkelanjutan, serta berkomitmen pada nilai-nilai kebaikan yang ditanamkan oleh agama.

Konsep Ekonomi Islam Kaitannya dengan Etos Kerja

Bekerja   dengan   Hati   Nurani dalam  bukunya  Akh.  Mwafik  Sale, konon   banyak   yang  selalu  bekerja mengajarkan hal materi demi kepentingan  duniawi,  mereka  sama sekali tidak mempedulikan kepentingan   akhirat.   Oleh   karena itu,    sudah    saatnya    bagi    pekerja untuk dapat menyampaikan kepribadian  yang  baik,  dibenarkan oleh    Islam,    dan    bekerja    dengan motivasi  untuk  memenuhi  sifat-sifat berikut:

1)    Niat Baik dan Benar (Mengharap  Ridha  Allah  swt.).

Sebelum seseorang bekerja, harus  mengetahui  apa  niat  dan motivasi   dalam   bekerja,   niat inilah  yang  akan  menentukan arah pekerjaan. Jika niat bekerja hanya untuk mendapatkan gaji, maka  hanya  itulah  yang  akan didapat. Tetapi jika niat bekerja sekaligus     untuk     menambah simpanan    akhirat,    mendapat harta   halal,    serta   menafkahi keluarga, tentu akan mendapatkan sebagaimana yang diniatkan.

2)    Takwa dalam Bekerja.

Pengabdian   di   sini   memiliki dua arti. Pertama, ikuti perintah    dan    hindari    segala bentuk  larangan.  Kedua,  sikap tanggung   jawab   umat   Islam atas   keimanan   yang   diyakini dan  dijanjikannya.  Orang  yang taat  pada  pekerjaannya  adalah orang  yang  dapat  bertanggung jawab  atas  semua  tugasyang diberikan kepadanya.

3)    Ikhlas   dalam   Bekerja.  

Ikhlas adalah syarat kunci diterimanya    amal    perbuatan manusia disisi Allah swt. Suatu kegiatan atau aktivitas termasuk  kerja  jika  dilakukan dengan  keikhlasan maka  akan mendatangkan rahmat dari Allah swt.

Adapun   ciri-ciri   orang   yang bekerja dengan Ikhlas yaitu:

a.      Bekerja karena semata mengharap karunia Allah Swt.

b.     Bersih   dari   segala   tujuan   ria dan pamrih dan

c.      Penuh  semangat  dan  antusias dalam     mengerjakan     seluruh pekerjaan.

d.     Tidak  merasa  dibawah  karena cacian   dan   makian   sehingga tidak mengurangi dan menghambatsemangat   dalam bekerja.

Menemukan     makanan     halal dalam Islam adalah suatu keharusan. Inimenunjukkan pentingnya mencari  makanan  halal.  Oleh  karena itu,   motivasi   bekerja   dalam   Islam tidak  hanya  untuk  mencari  nafkah, tetapi  juga  untuk  beribadah  Faldol. Islam layak dipilih sebagai way of life. Islam  tidak  hanya  berbicara  tentang moral moral, tetapi juga memberikan dasar     bagi     konsep     membangun kehidupan    dan    peradaban    yang tinggi.

Islam mendorong umatnya untuk  memilih  kegiatan  dan  profesi yang    benar-benar    sesuai    dengan kecenderungan dan bakatnya. Dengan  cara  ini,  Islam  meletakkan dasar   yang   kokoh   bagi   kebebasan bisnis.   Itulah   tepatnya   yang   Islam memberlakukan batasan untuk menghindari  tanda-tanda  kejahatan. Tujuan   inidinyatakan   dalam   al-Qur'an    sebagai    ungkapan    bahwa bekerja adalah ibadah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ahmad Ibrahim Abu Sin, 2006. Manajemen Syariah, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

kh.  Muwafik  Saleh, 2009. Bekerja  dengan Hati Nurani. Jakarta: Erlangga.

Ahmad Wardi Muslich. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah

Ali Hasan. 2009. Manajemen Bisnis Syariah. Yogyakarta: Pustak Pelajar.

Andreas Harefa, 1999. Multi Level Marketing. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Gemala Dewi dkk, 2006. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Group

Ismail Nawawi Nuha. 2013.Isu-Isu Ekonomi Islam, Buku 4 Nalar Bisnis (Ja- karta: VIV Press,

M. Daman Rahardjo. 1997. Perspektif Deklarasi Makkah Menujuh Ekonomi Islam. Bandung; Mizan

Philip K. Hitti, 2010. History of the Arab, (edisi dalam Bahasa Indonesia), Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Tim Multitama Communications, 2006. Islamic Business Strategy for Entrepreneurship. Ed. Fauzi Fauzan. Jakarta: Lini Zikrul Media Intelektual.

Suhrawardi K. Lubis. 2000. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika

Suharnoko, 2004. Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus. Jakarta: Kencana

Veithzal Rivai dkk. 2012. Islamic Business and Economis Ethics, Mengacu Pada Al Quran dan Mengikuti Jejak Rasulullah SAW dalam Bisnis, Keuangan dan Ekonomi. Jakarta: Bumi Aksara.

Widiyono dan Mukhaer Pakkan. 2011. Pengantar Bisnis, Respon Terhadap Dinamika Global. Jakarta: Mitra Wacana Medika

Internet:

Agustianto, Multi Level Marketiing dalam Perspektif Islam, http:// agustianto,niriah.com.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERSPEKTIF EKONOMI SYARIAH DALAM BISNIS KONTEMPORER

  MATERI- PENGANTAR BISNIS ISLAM Oleh: Eny Latifah, S.E.Sy.,M.Ak Perspektif Ekonomi Syariah dalam Bisnis Kontemporer   A.      Pengertian Ek...