MATERI 2- FILANTROPI ISLAM
Oleh:
Eny Latifah,S.E.Sy.,M.Ak
Aspek-Aspek
Filantropi Islam
A.
Pengertian
Filantropi Islam
Istilah filantropi berasal dari
bahasa philanthropia atau dalam bahasa Yunani philo dan anthropos yang berarti
cinta manusia. Filantropi adalah bentuk kepedulian seseorang atau sekelompok
orang terhadap orang lain berdasarkan kecintaan pada sesama manusia.
Filantropi dapat pula berarti
cinta kasih (kedermawanan) kepada sesama. Secara lebih luas filantropi akar
katanya berasal dari “loving people” sehingga banyak dipraktikkan oleh entitas
budaya dan komunitas keberaagamaan di belahan dunia, sehingga aktivitas
filantropi sudah lama berjalan, bahkan sebelum sebelum islam, dikarenakan
wacana tentang keadilan sosial sudah berkembang.
Dalam pekembangannya, pemahaman
tentang keadilan sosial dari berbagai komunitas keagamaan mengalami perbedaan
pandangan. Hal ini diakibatkan karena perbedaan aliran pemahaman (mazhab) dan
agama yang dianut oleh masing-masing komunitas keagamaan tersebut. Tetapi,
menyatukan dari beragam perbedaan pandangan keadilan sosial tersebut adalah
timbulnya kesadaran diri untuk saling peduli terhadap sesama manusia dan
membangun solidaritas sosial, guna menjamin terlaksananya kehidupan
bermasyarakat , bentuk solidaritas sosial yang lebih berlatar belakang spirit
agama yang diyakini.
Secara terminologi, filantropi
tidak dikenal di awal Islam, sekalipun belakangan para akademisi memberikan
terminologi padanannya seperti, al-ata’ al Ijtima’i (pemberian sosial), al
takaful al insani (solidaritas kemanusiaan), ata’ khayri (pemberian untuk
kebaikan), al-birr (perbuatan baik) dan shadaqah (sedekah). Maka, dalam konteks
ini, keberadaan filantropi Islam bentuk pengertian dan pemahamannya akan
mengacu pada dua istilah yang terakhir di atas yang juga dikenal masa awal
Islam, sekaligus pengadobsian istilah pada zaman modern, sehingga pada
prinsipnya filantropi Islam adalah setiap kebaikan merupakan perbuatan shadaqah.
Artinya, filantropi Islam dama makna yang lebih luas yakni untuk memahami
kebaikan yang kadangkala tanpa perlu mengenal budaya, rasa, social, atau bahkan
agama disaat seseorang ingin melakukan kebaikan di manapun dan kapanpun ia
berada.
Secara kelembagaan filantropi
Islam berada dalam keuangan publik Islam yang termanifestasi dalam bentuk
lembaga ZIS dan wakaf. Sebab dalam ajaran Islam, ZIS dapat mengandung
pengertian yang sama dan sering digunakan secara bergantian atau dipertukarkan
dengan maksud yang sama yakni berderma (filantropi).
B.
Aspek-aspek
Filantropi Islam
Aspek-aspek filantropi Islam
adalah zakat, infak, shadaqah dan wakaf. Zakat secara bahasa berarti suci,
tumbuh, berkah dan terpuji. Sedangkan secara istilah suatu ibadah wajib yang
dilaksanakan dengan memberikan sejumlah kadar tertentu dari harta sendiri
kepada orang yang berhak menerima sesuai dengan ketentuan syariat Islam,
sehingga zakat hanya bisa direalisasikan dengan menyerahkan harta yang
berwujud, bukan didasarkan pada nilai manfaat, seperti memberikan hak menempati
rumah bagi orang miskin sebagai zakat .
Banyak yang sepakat bahwa zakat
bukanlah bentuk “kedermawanan”, melainkan sebuah “kewajiban” yang harus
ditunaikan apabila sudah sampai kadar (nishab) tertentu, meski para akademisi
di Indonesia memasukkan kewajiban tersebut pada filantropi Islam dikarenakan
masih ditunaikan dengan bentuk kerelaan dan kesadaran individu tanpa sangsi sosial
bagi tidak menunaikannya. Oleh sebab itu, membayar zakat adalah wajib etis dan
dapat disebut filantropi yang dasarkan juga pada moralitas.
Aspek lain filantropi Islam adalah Infak yang
berarti perbuatan atau sesuatu yang diberikan kepada orang lain untuk menutupi
kebutuhan orang lain tersebut, baik makanan, minuman, dan lainnya yang
didasarkan ikhlas pada Allah. Selain itu, infak juga berkaitan dengan sesuatu
yang dilakukan secara wajib dan sunnah. Sedangkan shadaqah berarti pemberian
seseorang secara ikhlas kepada yang berhak menerimanya yang akan diiringi
pahala dari Allah, sehingga shadaqah mempunyai arti yang lebih luas, baik
materiil maupun nonmateriel.
Aspek lain dalam filantropi Islam
adalah wakaf (waqf) masdar dari kata kerja waqafa-yaqifu yang berarti
“melindungi atau menahan”, sinonim wakaf meliputi tahbis, tasbil atau tahrim,
meskipun ketiga istilah yang terakhir ini kalah populer dibandingkan yang
pertama. Dalam era kontemporer wakaf berkembang secara lebih elegan, wakaf
tidak hanya berwujud tanah, masjid, sekolah, dan benda lainnya ditahan pokok
barangnya yang berpola klasik.
Wakaf berkembang menjadi “wakaf
produktif” ataupun “wakaf tunai” yang berdampak besar dalam perubahan sosial
dan kesejahteraan, meski secara regulatif pengelolaanya di Indonesia harus
berada dalam bagian Undang-Undang Pokok Agraria sebelum adanya Undang-Undang
Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf.
Menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 BAB I Pasal 1 Point 1, wakaf adalah perbuatan
hukum untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syariah. Berdasarkan pengertian undang-undang tersebut di atas, maka jangka
waktu wakaf tebagi atas dua bentuk, yakni: pertama, wakaf abadi yakni jenis
harta wakaf yang diikrarkan oleh wakif kepada nadhir dalam jangka waktu yang
tidak terbatas (selamanya), sehingga bentuk wakaf ini dapat dimanfaatkan dalam
jangka panjang dengan tetap memanfaatkan kepentingan wakaf tersebut. Kedua,
wakaf jangka waktu tertentu (sementara) yakni jenis harta wakaf yang diikrarkan
wakif kepada nadzir untuk jangka waktu tertentu (tidak selamanya/abadi), baik
dikarenakan bentuk barangnya maupun keinginan wakif itu sendiri.
Sementara berkaitan dengan
pengelolaan objek wakaf, bila dilihat dari sudut pandang penggunaan harta yang
diwakafkan, maka wakaf terbagi atas dua bentuk yakni: pertama, mubasyir/dzati
yakni harta wakaf yang menghasilkan pelayanan masyarakat dan digunakan secara
langsung, misalnya, rumah sakit, madrasah dan lainnya. Kedua, istitsmary yakni
jenis harta wakaf yang ditunjukkan untuk penanaman modal dalam produksi
barang-barang dan pelayanan yang diperbolehkan syara’ dalam bentuk apapun,
kemudian hasilnya dapat diwakafkan sesuai dengan keinginan wakif.
Berkaitan jenis harta wakaf
sebagaimaa diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun
2006 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Bab III Pasal 15
menyebutkan bahwa jenis harta benda wakaf meliputi: benda tidak bergerak, benda
bergerak selain uang dan, benda bergerak berupa uang. Namun, bila didasarkan
pada tujuannya, wakaf terbagi atas tiga macam yakni: (a) wakaf sosial untuk
kebaikan masyarakat (waqaf khairi) yakni apabila tujuan wakafnya digunakan untuk
kepentingan umum, (b) wakaf keluarga (waqaf dzurri) yakni apalagi tujuan
wakafnya digunakan guna memberi manfaat terhadap waqif, keluarga, keturunan,
dan orangorang tertentu tanpa melihat orang tersebut kaya-miskin, sehat-sakit
maupun tua-muda, (c) wakaf gabungan (waqaf musytarak) yakni apabila tujuan dan
wakafnya digunakan untuk umum dan keluarga secara bersamaan.
C.
Aspek
Sosial (Keadilan Sosial)
Filantropi memang sudah
berkembang di Indonesia, namun sayangnya perkembangan filantropi di Indonesia
belum bisa dibilang telah sukses, karena hanya sebagian kelompok orang yang telah
sadar mengenai pentingnya filantropi dalam perkembangan suatu Negara, di mana
filantropi juga ikut andil dalam suksesnya perkembangan ekonomi hingga
peningkatan kualitas SDM yang dimiliki oleh suatu Negara.
Di Amerika sendiri telah
mengembangkan filantropi dengan perekonomian di mana para wirausahawan telah
ikut serta dalam pengembangan filantropi, di mana di Amerika mengembangkan
konsep menciptakan kekayaan yang diiringgi dengan pemulihan kekayaan, hal
inilah yang membuat perekonomian Amerika bisa kuat, karena sinergi dari
wirausahawan dengan filantropi.
Sehingga menurut saya, Indonesia
patut untuk mencontoh apa yang telah dilakukan oleh Amerika, yaitu
mengintegrasikan sektor kewirausahaan dengan filantropi, sehingga terjadi
kesinambungan antar keduannya yang diharapkan mampu menciptakan kesejahteraan
sosial bagi masyarakat. Sayangnya masih banyak oknum wirausahawan di Indonesia yang
belum sadar mengenai pentingnya filantropi. Selain itu, pada perusahaan sendiri
juga harusnya menjalankan kewajiban sosial dari perusahaan, yaitu CSR
perusahaan, di mana perusahaan wajib untuk melaksanakan tanggung jawab sosial
mereka.
Melalui program-program CSR yang
dilaksanakan oleh perusahaan dan program tersebut ikut mengembangkan potensi
ekonomi masyarakat maka perusahaan juga telah ikut dalam mengembangkan
filantropi, karena ikut serta dalam mengembangkan potensi yang dimiliki
masyarakat sehingga masyarakat menjadi berdaya dan mampu untuk mencapai
kesejahteraan.
Dalam filantropi Islam untuk
membantu sesama umat dikenal dengan adanya zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf.
Kini filantropi Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat
karena lembaga filantropi Islam kini memanfaatkan platform digital atau website
agar lebih dikenal masyarakat luas dan mampu menghimpun dana yang lebih banyak
untuk disalurkan kepada kaum dhuafa. Salah satu lembaga filantropi Islam di
Indonesia yang banyak melakukan kegiatan amal adalah YBM BRI (Yayasan Baitul
Maal Bank Rakyat Indonesia). YBM BRI banyak melakukan kegiatan amal untuk
membantu masyarakat Indonesia salah satunya yaitu program sedekah air yang
dilakukan di beberapa titik di Kabupaten Gunung Kidul sebagai bentuk kepedulian
BRI terhadap bencana kekeringan.
Dalam Islam sedekah air sendiri
merupakan salah satu perbuatan yang mendatangkan pahala yang diperkuat dalam
salah satu hadist di mana disebutkan, Saad bin Ubadah RA bertanya kepada
Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, sedekah apa yang paling utama?” Beliau
menjawab, “Memberi air.” (HR. Abu Daud). Hal tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah
sangat menganjurkan untuk memberikan sedekah air terutama bagi orang yang
membutuhkan. Perbuatan tersebut tercermin dalam program sedekah air yang
diinisiasi oleh YBM BRI dengan memberikan air bersih kepada masyarakat yang
sedang dilanda kekeringan di Kabupaten Gunung Kidul. Di lansir dari ybmri.org,
mengatakan bahwa pada bulan September 2019, Tim Tanggap Bencana YBM BRI
melakukan distribusi air bersih kepada 2.311 kepala keluarga atau sekitar 8.000
jiwa dengan total bantuan senilai Rp. 36.919.000. YBM BRI telah mengalirkan
150.000 liter air bersih yang diangkut 106 tangki dan bantuan ini disalurkan di
26 titik lokasi kekeringan. Selain melakukan distribusi air bersih, YBM BRI
juga melakukan pipanisasi dengan memasang pipa saluran air dari sumber mata air
ke pemukiman warga yang terkena bencana kekeringan.
Sumber pendanaan yang digunakan
untuk membiayai program ini berasal dari para donatur dan zakat pekerja BRI
yang dikelola oleh YBM BRI sendiri yang kemudian untuk mendanai berbagai
program. Program sedekah air yang diinisiasi oleh YBM BRI ini termasuk program
baru yang belum banyak dikenal oleh masyarakat luas di Indonesia. Beberapa
program andalan YBM BRI yang sudah terkenal diantaranya Integrasi Program
Pemberdayaan Berbasis Pondok Pesantren, Integrasi Program Pemberdayaan Berbasis
Keluarga (IP2BK), Program Peningkatan Keterampilan Usaha Rakyat (PKUR), dan
Beasiswa Kader Surau.
D.
Aspek
Ekonomi (Keejahteraan dan Kemiskinan)
Filantropi adalah dasar tumbuhnya
kekuatan ekonomi kolektif bagi karya-karya sosial sebagai bentuk pemberdayaan
umat dari ketertindasan, kemiskinan dan keterbelakangan pendidikan. Di Indonesia,
kebanyakan filantropi tumbuh menjadi basis finansial masyarakat sipil, diluar
peran dan kehadiran negara. Publik negeri ini menjadikan filantropi sebagai
media penggalangan dana berbagai kegiatan sosial yang didasari sebagai suatu
ibadah kepada Allah.
Realitas yang tampak di depan
mata saat ini menunjukkan betapa umat Islam berada pada posisi marginal,
tertindas, dan subordinat. Permasalahan utama yang muncul pada umat Islam pada
umumnya terkait dengan faktor keterbelakangan ekonomi, sosial, dan instabilitas
politik. Upaya kritis untuk menyelesaikan permasalahan ini mendesak untuk
dilakukan demi menyelamatkan Islam dari kemunduran dan benturan bertubi-tubi
dari arus global.
Tumpuan utama kemunduran tersebut
jelas berawal dari kemiskinan yang melanda sebagian besar masyarakat di
negeri-negeri Muslim sendiri. Efek domino atas fenomena kemiskinan muncul dalam
beragam wajah dan gejala, dari kemerosotan moral, kriminalitas, masalah
kesehatan, kedaulatan dan independensi negara, bahkan sampai menghambat
aktivitas ritual keberagamaan umat.
Yusuf Qardhawi melakukan pemetaan
corak pandangan kaum Muslim sendiri terhadap permasalahan kemiskinan.
Setidaknya ada beberapa sudut pemikiran terhadap kemiskinan.
yaitu tradisionalis, modernis, liberal, revivalis,
dan transformatif.19 Pemikiran tradisionalis percaya bahwa permasalahan
kemiskinan umat pada hakekatnya adalah ketentuan dan rencana Tuhan. Masalah
kemiskinan dan marginalisasi tidak jelas kaitannya dengan globalisasi dan
neoliberalisme. Ia justru dianggap sebagai ujian atas keimanan seorang yang
tidak diketahui manfaat dan mudharatnya, ataupun petaka di balik kemajuan dan
pertumbuhan serta globalisasi bagi umat manusia dan lingkungannya kelak. Akar
teologisnya bersandar pada konsepsi sunni tentang predeterminisme (takdir),
ketentuan dan rencana Tuhan sebelum manusia diciptakan.
Hal ini terutama dianut oleh
gologan asy’ariah, mereka menganggap manusia tidak memiliki free will untuk
menciptakan sejarah mereka sendiri. Pemikiran kaum modernis maupun liberal
terhadap kemiskinan dan keterbelakangan pada dasarnya sepaham dengan pemikiran
modernisasi sekuler. Mereka percaya bahwa masalah yang dihadapi kaum miskin
pada dasarnya berakar pada sikap mental yang salah, budaya yang tidak mendukung
atau wacana teologi mereka.
Bukan dilihat dari struktur
kelas, gender dan sosial sebagai pembentuk nasib masyarakat. Bagi mereka, umat
harus berpartisipasi dan mampu bersaing dalam proses industrialisasi dan globalisasi
serta proses pembangunan. Kemiskinan tidak ada sangkut pautnya dengan
neoliberalisme dan globalisasi. Kalau perlu justru umat Islam dipersiapkan
untuk menjadi liberal agar mampu bersaing dalam globalisasi Pandangan
ini berakar dari pemikiran para reformis seperti Muhammad Abduh Mesir dan
Mustafa Attaturk di Turki serta beberapa pembaharu lainnya. Asumsi dasar mereka
adalah bahwa keterbelakangan karena Islam melakukan sakralisasi terhadap semua
aspek kehidupan.
Sebagaimana diketahui, kehidupan
menjadi dambaan masyarakat adalah kondisi yang sejahtera. Dengan demikian,
kondisi yang menunjukan adanya taraf hidup yang rendah merupakan sasaran utama
usaha perbaikan dalam rangka perwujudan kondisi yang sejahtera tersebut.
Kondisi kemiskinan dengan berbagai dimensi dan implikasinya, merupakan salah
satu bentuk masalah sosial yang menggambarkan kondisi kesejahteraan yang
rendah. Oleh sebab itu, wajar apabila kemiskinan harus menjadi perhatian
penting pemegang tampuk kepemimpinan (penguasa) sebagai tindakan perubahan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mewujudkan keadilan sosial.
Keadilan adalah salah satu keutamaan yang menjadi tujuan dan menempati dimensi
penting dalam kehidupan manusia.
Keadilan adalah salah satu topik
lama yang mengiringi sejarah manusia. Definisi keadilan digambarkan dengan
singkat sebagai ‚tribuere cuique’ suum‛ atau dalam istilah berbahasa Inggris
biasa disebut ‚to give everybody his own.‛ Dalam hal ini, mengutip Franz Magnis
Suseno, bahwa titik tolak dari keadilan adalah memberikan kepada setiap orang
apa yang menjadi haknya.
Secara umum ada tiga ciri khas
yang menandai keadilan. Pertama, keadilan selalu tertuju pada orang lain
(direct otherness). Menurut Aristoteles, keadilan adalah kebajikan yang utama,
keadilan pelaksanaannya harus aktif dalam relasi dengan orang lain. Kedua,
keadilan harus ditegakkan atau dilaksanakan. Dalam hal ini, kembali pada konsep
awal bahwa keadilan adalah ‚kewajiban‛ memberikan hak orang lain yang melekat
pada individu tersebut. Sehingga, keadilan bersifat mengikat bagi siapapun yang
memiliki kewajiban untuk melaksanakan/mewujudkan keadilan tersebut. Ketiga,
keadilan menuntut persamaan (equality), ini berarti bahwa kewajiban (memberikan
setiap orang haknya) dilaksanakan tanpa berat sebelah Pembahasan
tentang keadilan sosial diulas secara sistematis oleh Jhon Rawls dalam A Theory
of Justice. Keadilan pada dasarnya adalah pendistribusian seluruh nilai sosial
– kebebasan dan peluang, pendapatan dan kekayaan, di samping dasar-dasar sosial
harga diri secara sama. Jika pendistribusian itu tidak sama, hal itu tetap
menjadi keuntungan (anvantage) bagi setiap orang.
Agar keadilan sosial tersebut
berjalan kokoh, maka harus ada prinsip yang mendasarinya, yaitu kebebasan
(liberty), kesamaan (equality) dan solidaritas (solidarity). Rawls menegaskan
bahwa semua prinsip keadilan sosial baru bisa diwujudkan jika didukung oleh
institusi sosial (social institution) dan lembaga inilah yang sesungguhnya
menjadi subjek keadilan sosial.
Filantropi Islam tetap berperan
penting dalam upaya pemberantasan kemiskinan dan penguatan sejumlah pranata
keadilan sosial, diantaranya melalui civil society. Dengan optimalisasi
lembaga-lembaga ZIS/Wakaf, civil society akan menjadi kuat dan mampu bersaing
dengan lembaga yang didanai oleh pemerintah. Fungsi filantropi Islam hendaknya
lebih diperluas (universal) orientasinya, tidak hanya terhenti pada sandang dan
pangan. Mengingat banyaknya masalah-masalah lain yang berkaitan dengan keadilan
social seperti, pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender, serta
diskriminasi terhadap permpuan dan anak yang makin marak
E.
Aspek
Agama (Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf)
Salah satu sifat Tuhan adalah
Maha Pengasih dan Tuhan sangat menyukai orang-orang yang penuh kasih sayang.
Nabi Muhammad dikenal sangat penuh kasih sayang dan dermawan, meski dalam
keadaan terbatas sekalipun. Abu Bakar dan Umar bin Khattab berlomba menjadi
orang yang paling dermawan. Semua menunjukkan ajaran Islam sangat mengutamakan
dan menjunjung tinggi kedermawanan.
Dalam diksi mutakhir disebut
filantropi. Ajaran tentang zakat, kurban, infaq dan shadaqah dalam Islam
memiliki aspek filantropi yang baik. Spirit dasarnya ialah saling berbagi rizki
antara yang berpunya dan yang tidak berpunya. Dalam karitas (charity) atau
kedermawanan atau filantropi itu terkandung solidaritas antar sesama, sehingga
antara pemberi dan penerima selain mendapat rasa kebersamaan dan persaudaraan
yang baik, juga akan mengikis kesenjangan sosial yang ada. Bedanya yang pertama
datang dari perintah Tuhan, yang kedua merupakan kearifan kemanusiaan. Praktik
filantropi merupakan penerapan prinsip jamaah atau manajemen dalam kehidupan
sosial keagamaan.
Filantropi adalah jawaban atas
kritik Allah dalam surat al-ma’un. Bahwa ritual sholat tidak cukup sebagai
bukti iman tanpa berpihak pada kaum tertindas, tidak beruntung dan miskin
(dhua’afa). Shalat tanpa pembelaan kepada kaum miskin dan tertindas adalah
pembohongan kesaksian iman. Sebelum Allah mengkoreksi itu, zakat dan derma
justru dikuasai oleh elit feodal keagamaan yang tidak peduli terhadap
penderitaan kaum tertindas seperti yang dimaksud oleh surat al-Ma’un
tersebut.
Terdapat beberapa Aspek-aspek
Filantropi yang dipraktekkan dalam Islam yang diambil dari pedoman hidup
masyarakat muslim (al-Qur’an dan hadis).
Aspek-aspek filantropi tersebut
adalah sebagai berikut.:
1.
Shadaqah
Istilah shadaqah (Indonesia: sedekah) banyak
ditemukan dalam sumber-sumber Islam, terutama al-Qur’an dan hadis, dengan
beragam makna. Ia bisa berarti zakat, yang merupakan kewajiban bagi setiap
muslim. Tetapi juga dapat bermakna derma yang bersifat sukarela, yang kadang-kadang
disejajarkan dengan infak.
Dengan demikian, shadaqah dapat
dipandang sebagai istilah umum yang menaungi sejumlah praktik filantropis dalam
Islam. Ibnu Arabi mendefinisikan shadaqah sebagai ‚ibadah yang timbul dari
kehendak bebas berdasarkan kemampuan seseorang.‛ Yang harus digarisbawahi
disini adalah kehendak bebas dan kemampuan yang tanpa keduanya berarti
seseorang telah mewajibkan sesuatu pada dirinya. Dengan demikian, sedekah
dilakukan tanpa paksaan dan bukan di luar batas kemampuan seseorang. Karena
itu, sedekah pada dasarnya adalah mendermakan harta diluar kewajiban zakat.
Shadaqah merupakan bentuk
kedermawanan Islam yang sangat luas. Ia memiliki dimensi sosial dan keagamaan,
yang tidak terbatas hanya bagi umat Islam, tetapi juga bagi umat manusia secara
umum. Karena itu, ia menjadi salah satu aspek filantropi Islam yang sangat
potensial bagi kesejahteraan secara umum.
2.
Zakat
Berbeda dengan shadaqah yang
bersifat sukarela, zakat dikenal sebagai rukun ketiga dari lima rukun Islam
(arkan al-Islam) setelah syahadat dan shalat. Bahkan perintah zakat
sendiri sering dikaitkan dengan perintah shalat dalam satu lafaz.
Zakat sendiri memiliki dimensi
ganda: sebagai tindakan ibadah yang bertujuan untuk menyucikan pembayarnya, dan
sebagai tindakan sosial untuk meningkatkan penghasilan penerimanya.
Sehingga tidak heran jika
kemudian pembahasan tentang zakat sering ditemukan dalam fikih ibadah, tetapi
tidak jarang pula menjadi perhatian fikih politik ekonomi, bersandingan dengan
keuangan publik atau suyang dinamis, dari smber-sumber pemasukan negara
lainnya. Zakat tidak dikenakan kepada seluruh harta benda seseorang, tetapi
hanya harta yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut. Pertama, harta
tersebut dimiliki secara nyata. Kedua, kepemilikannya atas harta tersebut
bersifat mutlak, dalam arti benar-benar dalam kewenangannya. Ketiga, harta
tersebut harus mengalami pertumbuhan. Keempat, harta tersebut melebihi dari
kebutuhan dasar seseorang. Kelima, yang wajib dizakati telah mencapai setahun
ditangan pemiliknya, kecuali tanaman dan harta temuan (rikaz), yang waktu
pembayarannya dilakukan saat panen atai ditemukan. Keenam, harta tersebut telah
mencapai jumlah minimal harta yang harus dizakati (nisab), disamping besaran
zakat yang harus dikeluarkan (miqdar) darinya.
Zakat merupakan salah satu bentuk
filantropi Islam, yang tujuan utamanya adalah keadilan dan kesejahteraan
sosial, yang dijiwai oleh semangat mendekatkan diri kepada Tuhan. Disini muncul
pertanyaan, mengapa zakat yang bersifat wajib disebut filantropi, yang pada
dasarnya merupakan kedermawanan yang bersifat sukarela? Dalam pandangan Dawam
Rahardjo, zakat sebenarnya adalah penyucian diri yang bersifat individual.
Walaupun ia merupakan kewajiban tetapi sifatnya individual, namun manfaatnya
dapat dirasakan dalam lingkungan sosial yang luas.
Dengan demikian, membayar zakat
pada dasarnya adalah wajib etis dan karenanya dapat disebut filantropi yang
juga didasarkan pada moralitas. Meskipun penerimanya telah ditetapkan, fungsi
zakat sesungguhnya sangat luas, termasuk sarana-sarana yang dapat mengantarkan
pada tujuan tersebut. Lebih jauh dalam pengelolaannya, disamping oleh LAZIS
diperlukan juga keterlibatan negara, sehingga sensifitas kepemimpinan yang
simpati dan berkeinginan kuat untuk mengentaskan kemiskinan dan memajukan
kesejahteraan umat sangat diperlukan disini.
3.
Wakaf
Bentuk filantropi lain dalam
Islam adalah wakaf (waqf). Seperti zakat, wakaf juga masuk ke dalam kategori
shadaqah. Akan tetapi, untuk membedakan dari bentuk-bentuk shadaqah lainnya, ia
biasanya disebut shadaqah jariyah (shadaqah yang terus mengalir pahalanya).
Berbeda dengan shadaqah dan zakat, wakaf tidak diperintahkan (diwajibkan) secara
eksplisit dalam al-qur’an.
Meskipun demikian, beberapa ayat
mengisyaratkan akan hal itu, seperti: al-Baqarah: 44 dan 224, dan al-Imran: 92.
Dua ayat pertama menggunakan kata birr (perbuatan baik), sedangkan ayat
terakhir menggunakan kata infaq, yang keduanya merupakan padanan dari filantropi
seperti yang diuraikan di atas. Lebih jauh diyakini bahwa tidak ada persoalan
yang tidak dijelaskan dalam al-Qur’an, meskipun sangat global yang perincannya
ditemukan dalam hadishadis Nabi. Hukum wakaf termasuk dalam kategori ini,
dimana secara eksplisit ditemukan dalam hadis, sementara al-Qur’an hanya
mengisyaratkan saja.
Dalam lintasan sejarah Islam,
fungsi wakaf telah digunakan untuk berbagai tujuan: sebagai lembaga filantropi,
agen layanan sosial, dan bahkan sebagai lembaga politik yang bertarung dengan
kekuatan penguasa.
Daftar Pustaka
Al-Kabisi,
Muhammad Abid Abdullah. 2004.Hukum Wakaf, asrul Sani Fathurrahman (Terj),
Jakarta: IIMaN.
Azra,
Azyumardi.2003. ‚Diskursus Filantropi Islam dan Civil Society‛ dalam Idris
Thaha (ed), Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktek Filantropi Islam, Jakarta:
Teraju.
Ahmad
Azhar Basyir, 1978. Garis-Garis Sistem Ekonomi Islam. Yogyakarta: BPFE
Barbara
Ibarahim. 2008. From Charity to Social Change: Trend in Arab Philanthropy. Kairo
: American University in Cairo Press
Gibb,
H.A.R., 1954, Modern Trend in Islam, (terj.) L.E. Hakim, Jakarta: Tintamas,
Ginsberg,
Morris. 2001. Keadilan dalam Masyarakat, Yogyakarta: Pondok Edukasi.
Ibrahim,
Barbara. 2008.From Charity to Social Change: Trends in Arab Philanthropy,
Kairo: American University in Cairo Press.
Ilchman, Warren F., Stanley N. Katz dan Edward
L. Queen II. 2006‚Pendahuluan‛ dalam Filantropi di Berbagai Tradisi di Dunia,
Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah.
K.
Anheier, Helmut dan Regina A. List. 2005.A Dictionary of civil Society:
Philantropy and the Non-Profit Sector, London: Routledge.
M.
Dawam Raharjo, 2003. Filantropi Islam dan Keadilan Sosial: Mengurai Kebingungan
Epistimologis, dalam buku Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktek Filantropi
Islam. Jakarta : PBB UIN Syarif Hidayatullah
Payton,
Robert L. and Michael P. Moody. 2008. Understanding Philantropy, Indianapolis:
Indiana University Press. Qardhawi, Yusuf. 1994. Fiqh Zakat. Beirut: Muassasat
al-Risalah.
Rahardjo,
M. Dawam. 2003. ‚Filantropi Islam dan Keadilan Sosial: Mengurai Kebingungan
Epistemologis,‛ dalam Idris Thaha (ed), Berderma untuk Semua:
Wacana dan Praktek Filantropi Islam, Jakarta: Teraju
Rawls,
Jhon. 2006. Teori Keadilan: Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan
Kesejahteraan dalam Negara, Yogyakarta: PustakaPelajar.
Sabiq,
Said. 1983. Zakat dan Pembagiannya. Bandung: Ma’arif. Suseno, Franz Magnis.
2003. Kuasa dan Moral, Jakarta: Gramedia.
Ujan,
Andre Ata. 2001. Keadilandan Demokrasi: Telaah Filsafat Politik John Rawls,
Yogyakarta: Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar