Jumat, 14 Februari 2025

ASPEK-ASPEK FILANTROPI ISLAM

 MATERI 2- FILANTROPI ISLAM

Oleh:

Eny Latifah,S.E.Sy.,M.Ak

Aspek-Aspek Filantropi Islam

 

A.    Pengertian Filantropi Islam

Istilah filantropi berasal dari bahasa philanthropia atau dalam bahasa Yunani philo dan anthropos yang berarti cinta manusia. Filantropi adalah bentuk kepedulian seseorang atau sekelompok orang terhadap orang lain berdasarkan kecintaan pada sesama manusia.

Filantropi dapat pula berarti cinta kasih (kedermawanan) kepada sesama. Secara lebih luas filantropi akar katanya berasal dari “loving people” sehingga banyak dipraktikkan oleh entitas budaya dan komunitas keberaagamaan di belahan dunia, sehingga aktivitas filantropi sudah lama berjalan, bahkan sebelum sebelum islam, dikarenakan wacana tentang keadilan sosial sudah berkembang.

Dalam pekembangannya, pemahaman tentang keadilan sosial dari berbagai komunitas keagamaan mengalami perbedaan pandangan. Hal ini diakibatkan karena perbedaan aliran pemahaman (mazhab) dan agama yang dianut oleh masing-masing komunitas keagamaan tersebut. Tetapi, menyatukan dari beragam perbedaan pandangan keadilan sosial tersebut adalah timbulnya kesadaran diri untuk saling peduli terhadap sesama manusia dan membangun solidaritas sosial, guna menjamin terlaksananya kehidupan bermasyarakat , bentuk solidaritas sosial yang lebih berlatar belakang spirit agama yang diyakini.

Secara terminologi, filantropi tidak dikenal di awal Islam, sekalipun belakangan para akademisi memberikan terminologi padanannya seperti, al-ata’ al Ijtima’i (pemberian sosial), al takaful al insani (solidaritas kemanusiaan), ata’ khayri (pemberian untuk kebaikan), al-birr (perbuatan baik) dan shadaqah (sedekah). Maka, dalam konteks ini, keberadaan filantropi Islam bentuk pengertian dan pemahamannya akan mengacu pada dua istilah yang terakhir di atas yang juga dikenal masa awal Islam, sekaligus pengadobsian istilah pada zaman modern, sehingga pada prinsipnya filantropi Islam adalah setiap kebaikan merupakan perbuatan shadaqah. Artinya, filantropi Islam dama makna yang lebih luas yakni untuk memahami kebaikan yang kadangkala tanpa perlu mengenal budaya, rasa, social, atau bahkan agama disaat seseorang ingin melakukan kebaikan di manapun dan kapanpun ia berada.

Secara kelembagaan filantropi Islam berada dalam keuangan publik Islam yang termanifestasi dalam bentuk lembaga ZIS dan wakaf. Sebab dalam ajaran Islam, ZIS dapat mengandung pengertian yang sama dan sering digunakan secara bergantian atau dipertukarkan dengan maksud yang sama yakni berderma (filantropi).

B.    Aspek-aspek Filantropi Islam

Aspek-aspek filantropi Islam adalah zakat, infak, shadaqah dan wakaf. Zakat secara bahasa berarti suci, tumbuh, berkah dan terpuji. Sedangkan secara istilah suatu ibadah wajib yang dilaksanakan dengan memberikan sejumlah kadar tertentu dari harta sendiri kepada orang yang berhak menerima sesuai dengan ketentuan syariat Islam, sehingga zakat hanya bisa direalisasikan dengan menyerahkan harta yang berwujud, bukan didasarkan pada nilai manfaat, seperti memberikan hak menempati rumah bagi orang miskin sebagai zakat           .

Banyak yang sepakat bahwa zakat bukanlah bentuk “kedermawanan”, melainkan sebuah “kewajiban” yang harus ditunaikan apabila sudah sampai kadar (nishab) tertentu, meski para akademisi di Indonesia memasukkan kewajiban tersebut pada filantropi Islam dikarenakan masih ditunaikan dengan bentuk kerelaan dan kesadaran individu tanpa sangsi sosial bagi tidak menunaikannya. Oleh sebab itu, membayar zakat adalah wajib etis dan dapat disebut filantropi yang dasarkan juga pada moralitas.

 Aspek lain filantropi Islam adalah Infak yang berarti perbuatan atau sesuatu yang diberikan kepada orang lain untuk menutupi kebutuhan orang lain tersebut, baik makanan, minuman, dan lainnya yang didasarkan ikhlas pada Allah. Selain itu, infak juga berkaitan dengan sesuatu yang dilakukan secara wajib dan sunnah. Sedangkan shadaqah berarti pemberian seseorang secara ikhlas kepada yang berhak menerimanya yang akan diiringi pahala dari Allah, sehingga shadaqah mempunyai arti yang lebih luas, baik materiil maupun nonmateriel.

Aspek lain dalam filantropi Islam adalah wakaf (waqf) masdar dari kata kerja waqafa-yaqifu yang berarti “melindungi atau menahan”, sinonim wakaf meliputi tahbis, tasbil atau tahrim, meskipun ketiga istilah yang terakhir ini kalah populer dibandingkan yang pertama. Dalam era kontemporer wakaf berkembang secara lebih elegan, wakaf tidak hanya berwujud tanah, masjid, sekolah, dan benda lainnya ditahan pokok barangnya yang berpola klasik.

Wakaf berkembang menjadi “wakaf produktif” ataupun “wakaf tunai” yang berdampak besar dalam perubahan sosial dan kesejahteraan, meski secara regulatif pengelolaanya di Indonesia harus berada dalam bagian Undang-Undang Pokok Agraria sebelum adanya Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 BAB I Pasal 1 Point 1, wakaf adalah perbuatan hukum untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Berdasarkan pengertian undang-undang tersebut di atas, maka jangka waktu wakaf tebagi atas dua bentuk, yakni: pertama, wakaf abadi yakni jenis harta wakaf yang diikrarkan oleh wakif kepada nadhir dalam jangka waktu yang tidak terbatas (selamanya), sehingga bentuk wakaf ini dapat dimanfaatkan dalam jangka panjang dengan tetap memanfaatkan kepentingan wakaf tersebut. Kedua, wakaf jangka waktu tertentu (sementara) yakni jenis harta wakaf yang diikrarkan wakif kepada nadzir untuk jangka waktu tertentu (tidak selamanya/abadi), baik dikarenakan bentuk barangnya maupun keinginan wakif itu sendiri.

Sementara berkaitan dengan pengelolaan objek wakaf, bila dilihat dari sudut pandang penggunaan harta yang diwakafkan, maka wakaf terbagi atas dua bentuk yakni: pertama, mubasyir/dzati yakni harta wakaf yang menghasilkan pelayanan masyarakat dan digunakan secara langsung, misalnya, rumah sakit, madrasah dan lainnya. Kedua, istitsmary yakni jenis harta wakaf yang ditunjukkan untuk penanaman modal dalam produksi barang-barang dan pelayanan yang diperbolehkan syara’ dalam bentuk apapun, kemudian hasilnya dapat diwakafkan sesuai dengan keinginan wakif.

Berkaitan jenis harta wakaf sebagaimaa diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Bab III Pasal 15 menyebutkan bahwa jenis harta benda wakaf meliputi: benda tidak bergerak, benda bergerak selain uang dan, benda bergerak berupa uang. Namun, bila didasarkan pada tujuannya, wakaf terbagi atas tiga macam yakni: (a) wakaf sosial untuk kebaikan masyarakat (waqaf khairi) yakni apabila tujuan wakafnya digunakan untuk kepentingan umum, (b) wakaf keluarga (waqaf dzurri) yakni apalagi tujuan wakafnya digunakan guna memberi manfaat terhadap waqif, keluarga, keturunan, dan orangorang tertentu tanpa melihat orang tersebut kaya-miskin, sehat-sakit maupun tua-muda, (c) wakaf gabungan (waqaf musytarak) yakni apabila tujuan dan wakafnya digunakan untuk umum dan keluarga secara bersamaan.

C.     Aspek Sosial (Keadilan Sosial)

Filantropi memang sudah berkembang di Indonesia, namun sayangnya perkembangan filantropi di Indonesia belum bisa dibilang telah sukses, karena hanya sebagian kelompok orang yang telah sadar mengenai pentingnya filantropi dalam perkembangan suatu Negara, di mana filantropi juga ikut andil dalam suksesnya perkembangan ekonomi hingga peningkatan kualitas SDM yang dimiliki oleh suatu Negara.

Di Amerika sendiri telah mengembangkan filantropi dengan perekonomian di mana para wirausahawan telah ikut serta dalam pengembangan filantropi, di mana di Amerika mengembangkan konsep menciptakan kekayaan yang diiringgi dengan pemulihan kekayaan, hal inilah yang membuat perekonomian Amerika bisa kuat, karena sinergi dari wirausahawan dengan filantropi.

Sehingga menurut saya, Indonesia patut untuk mencontoh apa yang telah dilakukan oleh Amerika, yaitu mengintegrasikan sektor kewirausahaan dengan filantropi, sehingga terjadi kesinambungan antar keduannya yang diharapkan mampu menciptakan kesejahteraan sosial bagi masyarakat. Sayangnya masih banyak oknum wirausahawan di Indonesia yang belum sadar mengenai pentingnya filantropi. Selain itu, pada perusahaan sendiri juga harusnya menjalankan kewajiban sosial dari perusahaan, yaitu CSR perusahaan, di mana perusahaan wajib untuk melaksanakan tanggung jawab sosial mereka.

Melalui program-program CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan dan program tersebut ikut mengembangkan potensi ekonomi masyarakat maka perusahaan juga telah ikut dalam mengembangkan filantropi, karena ikut serta dalam mengembangkan potensi yang dimiliki masyarakat sehingga masyarakat menjadi berdaya dan mampu untuk mencapai kesejahteraan.

Dalam filantropi Islam untuk membantu sesama umat dikenal dengan adanya zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf. Kini filantropi Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat karena lembaga filantropi Islam kini memanfaatkan platform digital atau website agar lebih dikenal masyarakat luas dan mampu menghimpun dana yang lebih banyak untuk disalurkan kepada kaum dhuafa. Salah satu lembaga filantropi Islam di Indonesia yang banyak melakukan kegiatan amal adalah YBM BRI (Yayasan Baitul Maal Bank Rakyat Indonesia). YBM BRI banyak melakukan kegiatan amal untuk membantu masyarakat Indonesia salah satunya yaitu program sedekah air yang dilakukan di beberapa titik di Kabupaten Gunung Kidul sebagai bentuk kepedulian BRI terhadap bencana kekeringan.

Dalam Islam sedekah air sendiri merupakan salah satu perbuatan yang mendatangkan pahala yang diperkuat dalam salah satu hadist di mana disebutkan, Saad bin Ubadah RA bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, sedekah apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Memberi air.” (HR. Abu Daud). Hal tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah sangat menganjurkan untuk memberikan sedekah air terutama bagi orang yang membutuhkan. Perbuatan tersebut tercermin dalam program sedekah air yang diinisiasi oleh YBM BRI dengan memberikan air bersih kepada masyarakat yang sedang dilanda kekeringan di Kabupaten Gunung Kidul. Di lansir dari ybmri.org, mengatakan bahwa pada bulan September 2019, Tim Tanggap Bencana YBM BRI melakukan distribusi air bersih kepada 2.311 kepala keluarga atau sekitar 8.000 jiwa dengan total bantuan senilai Rp. 36.919.000. YBM BRI telah mengalirkan 150.000 liter air bersih yang diangkut 106 tangki dan bantuan ini disalurkan di 26 titik lokasi kekeringan. Selain melakukan distribusi air bersih, YBM BRI juga melakukan pipanisasi dengan memasang pipa saluran air dari sumber mata air ke pemukiman warga yang terkena bencana kekeringan.

Sumber pendanaan yang digunakan untuk membiayai program ini berasal dari para donatur dan zakat pekerja BRI yang dikelola oleh YBM BRI sendiri yang kemudian untuk mendanai berbagai program. Program sedekah air yang diinisiasi oleh YBM BRI ini termasuk program baru yang belum banyak dikenal oleh masyarakat luas di Indonesia. Beberapa program andalan YBM BRI yang sudah terkenal diantaranya Integrasi Program Pemberdayaan Berbasis Pondok Pesantren, Integrasi Program Pemberdayaan Berbasis Keluarga (IP2BK), Program Peningkatan Keterampilan Usaha Rakyat (PKUR), dan Beasiswa Kader Surau.

D.    Aspek Ekonomi (Keejahteraan dan Kemiskinan)

Filantropi adalah dasar tumbuhnya kekuatan ekonomi kolektif bagi karya-karya sosial sebagai bentuk pemberdayaan umat dari ketertindasan, kemiskinan dan keterbelakangan pendidikan. Di Indonesia, kebanyakan filantropi tumbuh menjadi basis finansial masyarakat sipil, diluar peran dan kehadiran negara. Publik negeri ini menjadikan filantropi sebagai media penggalangan dana berbagai kegiatan sosial yang didasari sebagai suatu ibadah kepada Allah.

Realitas yang tampak di depan mata saat ini menunjukkan betapa umat Islam berada pada posisi marginal, tertindas, dan subordinat. Permasalahan utama yang muncul pada umat Islam pada umumnya terkait dengan faktor keterbelakangan ekonomi, sosial, dan instabilitas politik. Upaya kritis untuk menyelesaikan permasalahan ini mendesak untuk dilakukan demi menyelamatkan Islam dari kemunduran dan benturan bertubi-tubi dari arus global.

Tumpuan utama kemunduran tersebut jelas berawal dari kemiskinan yang melanda sebagian besar masyarakat di negeri-negeri Muslim sendiri. Efek domino atas fenomena kemiskinan muncul dalam beragam wajah dan gejala, dari kemerosotan moral, kriminalitas, masalah kesehatan, kedaulatan dan independensi negara, bahkan sampai menghambat aktivitas ritual keberagamaan umat.

Yusuf Qardhawi melakukan pemetaan corak pandangan kaum Muslim sendiri terhadap permasalahan kemiskinan. Setidaknya ada beberapa sudut pemikiran terhadap kemiskinan.

yaitu tradisionalis, modernis, liberal, revivalis, dan transformatif.19 Pemikiran tradisionalis percaya bahwa permasalahan kemiskinan umat pada hakekatnya adalah ketentuan dan rencana Tuhan. Masalah kemiskinan dan marginalisasi tidak jelas kaitannya dengan globalisasi dan neoliberalisme. Ia justru dianggap sebagai ujian atas keimanan seorang yang tidak diketahui manfaat dan mudharatnya, ataupun petaka di balik kemajuan dan pertumbuhan serta globalisasi bagi umat manusia dan lingkungannya kelak. Akar teologisnya bersandar pada konsepsi sunni tentang predeterminisme (takdir), ketentuan dan rencana Tuhan sebelum manusia diciptakan.

Hal ini terutama dianut oleh gologan asy’ariah, mereka menganggap manusia tidak memiliki free will untuk menciptakan sejarah mereka sendiri. Pemikiran kaum modernis maupun liberal terhadap kemiskinan dan keterbelakangan pada dasarnya sepaham dengan pemikiran modernisasi sekuler. Mereka percaya bahwa masalah yang dihadapi kaum miskin pada dasarnya berakar pada sikap mental yang salah, budaya yang tidak mendukung atau wacana teologi mereka.

Bukan dilihat dari struktur kelas, gender dan sosial sebagai pembentuk nasib masyarakat. Bagi mereka, umat harus berpartisipasi dan mampu bersaing dalam proses industrialisasi dan globalisasi serta proses pembangunan. Kemiskinan tidak ada sangkut pautnya dengan neoliberalisme dan globalisasi. Kalau perlu justru umat Islam dipersiapkan untuk menjadi liberal agar mampu bersaing dalam globalisasi Pandangan ini berakar dari pemikiran para reformis seperti Muhammad Abduh Mesir dan Mustafa Attaturk di Turki serta beberapa pembaharu lainnya. Asumsi dasar mereka adalah bahwa keterbelakangan karena Islam melakukan sakralisasi terhadap semua aspek kehidupan.

Sebagaimana diketahui, kehidupan menjadi dambaan masyarakat adalah kondisi yang sejahtera. Dengan demikian, kondisi yang menunjukan adanya taraf hidup yang rendah merupakan sasaran utama usaha perbaikan dalam rangka perwujudan kondisi yang sejahtera tersebut. Kondisi kemiskinan dengan berbagai dimensi dan implikasinya, merupakan salah satu bentuk masalah sosial yang menggambarkan kondisi kesejahteraan yang rendah. Oleh sebab itu, wajar apabila kemiskinan harus menjadi perhatian penting pemegang tampuk kepemimpinan (penguasa) sebagai tindakan perubahan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mewujudkan keadilan sosial. Keadilan adalah salah satu keutamaan yang menjadi tujuan dan menempati dimensi penting dalam kehidupan manusia.

Keadilan adalah salah satu topik lama yang mengiringi sejarah manusia. Definisi keadilan digambarkan dengan singkat sebagai ‚tribuere cuique’ suum‛ atau dalam istilah berbahasa Inggris biasa disebut ‚to give everybody his own.‛ Dalam hal ini, mengutip Franz Magnis Suseno, bahwa titik tolak dari keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.

Secara umum ada tiga ciri khas yang menandai keadilan. Pertama, keadilan selalu tertuju pada orang lain (direct otherness). Menurut Aristoteles, keadilan adalah kebajikan yang utama, keadilan pelaksanaannya harus aktif dalam relasi dengan orang lain. Kedua, keadilan harus ditegakkan atau dilaksanakan. Dalam hal ini, kembali pada konsep awal bahwa keadilan adalah ‚kewajiban‛ memberikan hak orang lain yang melekat pada individu tersebut. Sehingga, keadilan bersifat mengikat bagi siapapun yang memiliki kewajiban untuk melaksanakan/mewujudkan keadilan tersebut. Ketiga, keadilan menuntut persamaan (equality), ini berarti bahwa kewajiban (memberikan setiap orang haknya) dilaksanakan tanpa berat sebelah Pembahasan tentang keadilan sosial diulas secara sistematis oleh Jhon Rawls dalam A Theory of Justice. Keadilan pada dasarnya adalah pendistribusian seluruh nilai sosial – kebebasan dan peluang, pendapatan dan kekayaan, di samping dasar-dasar sosial harga diri secara sama. Jika pendistribusian itu tidak sama, hal itu tetap menjadi keuntungan (anvantage) bagi setiap orang.

Agar keadilan sosial tersebut berjalan kokoh, maka harus ada prinsip yang mendasarinya, yaitu kebebasan (liberty), kesamaan (equality) dan solidaritas (solidarity). Rawls menegaskan bahwa semua prinsip keadilan sosial baru bisa diwujudkan jika didukung oleh institusi sosial (social institution) dan lembaga inilah yang sesungguhnya menjadi subjek keadilan sosial.

Filantropi Islam tetap berperan penting dalam upaya pemberantasan kemiskinan dan penguatan sejumlah pranata keadilan sosial, diantaranya melalui civil society. Dengan optimalisasi lembaga-lembaga ZIS/Wakaf, civil society akan menjadi kuat dan mampu bersaing dengan lembaga yang didanai oleh pemerintah. Fungsi filantropi Islam hendaknya lebih diperluas (universal) orientasinya, tidak hanya terhenti pada sandang dan pangan. Mengingat banyaknya masalah-masalah lain yang berkaitan dengan keadilan social seperti, pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender, serta diskriminasi terhadap permpuan dan anak yang makin marak

E.     Aspek Agama (Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf)

Salah satu sifat Tuhan adalah Maha Pengasih dan Tuhan sangat menyukai orang-orang yang penuh kasih sayang. Nabi Muhammad dikenal sangat penuh kasih sayang dan dermawan, meski dalam keadaan terbatas sekalipun. Abu Bakar dan Umar bin Khattab berlomba menjadi orang yang paling dermawan. Semua menunjukkan ajaran Islam sangat mengutamakan dan menjunjung tinggi kedermawanan.

Dalam diksi mutakhir disebut filantropi. Ajaran tentang zakat, kurban, infaq dan shadaqah dalam Islam memiliki aspek filantropi yang baik. Spirit dasarnya ialah saling berbagi rizki antara yang berpunya dan yang tidak berpunya. Dalam karitas (charity) atau kedermawanan atau filantropi itu terkandung solidaritas antar sesama, sehingga antara pemberi dan penerima selain mendapat rasa kebersamaan dan persaudaraan yang baik, juga akan mengikis kesenjangan sosial yang ada. Bedanya yang pertama datang dari perintah Tuhan, yang kedua merupakan kearifan kemanusiaan. Praktik filantropi merupakan penerapan prinsip jamaah atau manajemen dalam kehidupan sosial keagamaan.

Filantropi adalah jawaban atas kritik Allah dalam surat al-ma’un. Bahwa ritual sholat tidak cukup sebagai bukti iman tanpa berpihak pada kaum tertindas, tidak beruntung dan miskin (dhua’afa). Shalat tanpa pembelaan kepada kaum miskin dan tertindas adalah pembohongan kesaksian iman. Sebelum Allah mengkoreksi itu, zakat dan derma justru dikuasai oleh elit feodal keagamaan yang tidak peduli terhadap penderitaan kaum tertindas seperti yang dimaksud oleh surat al-Ma’un tersebut.

Terdapat beberapa Aspek-aspek Filantropi yang dipraktekkan dalam Islam yang diambil dari pedoman hidup masyarakat muslim (al-Qur’an dan hadis).

Aspek-aspek filantropi tersebut adalah sebagai berikut.:

1.     Shadaqah

Istilah shadaqah (Indonesia: sedekah) banyak ditemukan dalam sumber-sumber Islam, terutama al-Qur’an dan hadis, dengan beragam makna. Ia bisa berarti zakat, yang merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Tetapi juga dapat bermakna derma yang bersifat sukarela, yang kadang-kadang disejajarkan dengan infak.

Dengan demikian, shadaqah dapat dipandang sebagai istilah umum yang menaungi sejumlah praktik filantropis dalam Islam. Ibnu Arabi mendefinisikan shadaqah sebagai ‚ibadah yang timbul dari kehendak bebas berdasarkan kemampuan seseorang.‛ Yang harus digarisbawahi disini adalah kehendak bebas dan kemampuan yang tanpa keduanya berarti seseorang telah mewajibkan sesuatu pada dirinya. Dengan demikian, sedekah dilakukan tanpa paksaan dan bukan di luar batas kemampuan seseorang. Karena itu, sedekah pada dasarnya adalah mendermakan harta diluar kewajiban zakat.

Shadaqah merupakan bentuk kedermawanan Islam yang sangat luas. Ia memiliki dimensi sosial dan keagamaan, yang tidak terbatas hanya bagi umat Islam, tetapi juga bagi umat manusia secara umum. Karena itu, ia menjadi salah satu aspek filantropi Islam yang sangat potensial bagi kesejahteraan secara umum.

2.     Zakat

Berbeda dengan shadaqah yang bersifat sukarela, zakat dikenal sebagai rukun ketiga dari lima rukun Islam (arkan al-Islam) setelah syahadat dan shalat. Bahkan perintah zakat sendiri sering dikaitkan dengan perintah shalat dalam satu lafaz.

Zakat sendiri memiliki dimensi ganda: sebagai tindakan ibadah yang bertujuan untuk menyucikan pembayarnya, dan sebagai tindakan sosial untuk meningkatkan penghasilan penerimanya.

Sehingga tidak heran jika kemudian pembahasan tentang zakat sering ditemukan dalam fikih ibadah, tetapi tidak jarang pula menjadi perhatian fikih politik ekonomi, bersandingan dengan keuangan publik atau suyang dinamis, dari smber-sumber pemasukan negara lainnya. Zakat tidak dikenakan kepada seluruh harta benda seseorang, tetapi hanya harta yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut. Pertama, harta tersebut dimiliki secara nyata. Kedua, kepemilikannya atas harta tersebut bersifat mutlak, dalam arti benar-benar dalam kewenangannya. Ketiga, harta tersebut harus mengalami pertumbuhan. Keempat, harta tersebut melebihi dari kebutuhan dasar seseorang. Kelima, yang wajib dizakati telah mencapai setahun ditangan pemiliknya, kecuali tanaman dan harta temuan (rikaz), yang waktu pembayarannya dilakukan saat panen atai ditemukan. Keenam, harta tersebut telah mencapai jumlah minimal harta yang harus dizakati (nisab), disamping besaran zakat yang harus dikeluarkan (miqdar) darinya.

Zakat merupakan salah satu bentuk filantropi Islam, yang tujuan utamanya adalah keadilan dan kesejahteraan sosial, yang dijiwai oleh semangat mendekatkan diri kepada Tuhan. Disini muncul pertanyaan, mengapa zakat yang bersifat wajib disebut filantropi, yang pada dasarnya merupakan kedermawanan yang bersifat sukarela? Dalam pandangan Dawam Rahardjo, zakat sebenarnya adalah penyucian diri yang bersifat individual. Walaupun ia merupakan kewajiban tetapi sifatnya individual, namun manfaatnya dapat dirasakan dalam lingkungan sosial yang luas.

Dengan demikian, membayar zakat pada dasarnya adalah wajib etis dan karenanya dapat disebut filantropi yang juga didasarkan pada moralitas. Meskipun penerimanya telah ditetapkan, fungsi zakat sesungguhnya sangat luas, termasuk sarana-sarana yang dapat mengantarkan pada tujuan tersebut. Lebih jauh dalam pengelolaannya, disamping oleh LAZIS diperlukan juga keterlibatan negara, sehingga sensifitas kepemimpinan yang simpati dan berkeinginan kuat untuk mengentaskan kemiskinan dan memajukan kesejahteraan umat sangat diperlukan disini.

3.     Wakaf

Bentuk filantropi lain dalam Islam adalah wakaf (waqf). Seperti zakat, wakaf juga masuk ke dalam kategori shadaqah. Akan tetapi, untuk membedakan dari bentuk-bentuk shadaqah lainnya, ia biasanya disebut shadaqah jariyah (shadaqah yang terus mengalir pahalanya). Berbeda dengan shadaqah dan zakat, wakaf tidak diperintahkan (diwajibkan) secara eksplisit dalam al-qur’an.

Meskipun demikian, beberapa ayat mengisyaratkan akan hal itu, seperti: al-Baqarah: 44 dan 224, dan al-Imran: 92. Dua ayat pertama menggunakan kata birr (perbuatan baik), sedangkan ayat terakhir menggunakan kata infaq, yang keduanya merupakan padanan dari filantropi seperti yang diuraikan di atas. Lebih jauh diyakini bahwa tidak ada persoalan yang tidak dijelaskan dalam al-Qur’an, meskipun sangat global yang perincannya ditemukan dalam hadishadis Nabi. Hukum wakaf termasuk dalam kategori ini, dimana secara eksplisit ditemukan dalam hadis, sementara al-Qur’an hanya mengisyaratkan saja.

Dalam lintasan sejarah Islam, fungsi wakaf telah digunakan untuk berbagai tujuan: sebagai lembaga filantropi, agen layanan sosial, dan bahkan sebagai lembaga politik yang bertarung dengan kekuatan penguasa.

 

 

Daftar Pustaka

Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah. 2004.Hukum Wakaf, asrul Sani Fathurrahman (Terj), Jakarta: IIMaN.

Azra, Azyumardi.2003. ‚Diskursus Filantropi Islam dan Civil Society‛ dalam Idris Thaha (ed), Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktek Filantropi Islam, Jakarta: Teraju.

Ahmad Azhar Basyir, 1978. Garis-Garis Sistem Ekonomi Islam. Yogyakarta: BPFE

Barbara Ibarahim. 2008. From Charity to Social Change: Trend in Arab Philanthropy. Kairo : American University in Cairo Press

Gibb, H.A.R., 1954, Modern Trend in Islam, (terj.) L.E. Hakim, Jakarta: Tintamas,

Ginsberg, Morris. 2001. Keadilan dalam Masyarakat, Yogyakarta: Pondok Edukasi.

Ibrahim, Barbara. 2008.From Charity to Social Change: Trends in Arab Philanthropy, Kairo: American University in Cairo Press.

 Ilchman, Warren F., Stanley N. Katz dan Edward L. Queen II. 2006‚Pendahuluan‛ dalam Filantropi di Berbagai Tradisi di Dunia, Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah.

K. Anheier, Helmut dan Regina A. List. 2005.A Dictionary of civil Society: Philantropy and the Non-Profit Sector, London: Routledge.

M. Dawam Raharjo, 2003. Filantropi Islam dan Keadilan Sosial: Mengurai Kebingungan Epistimologis, dalam buku Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktek Filantropi Islam. Jakarta : PBB UIN Syarif Hidayatullah

Payton, Robert L. and Michael P. Moody. 2008. Understanding Philantropy, Indianapolis: Indiana University Press. Qardhawi, Yusuf. 1994. Fiqh Zakat. Beirut: Muassasat al-Risalah.

Rahardjo, M. Dawam. 2003. ‚Filantropi Islam dan Keadilan Sosial: Mengurai Kebingungan Epistemologis,‛ dalam Idris Thaha (ed), Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktek Filantropi Islam, Jakarta: Teraju

Rawls, Jhon. 2006. Teori Keadilan: Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan dalam Negara, Yogyakarta: PustakaPelajar.

Sabiq, Said. 1983. Zakat dan Pembagiannya. Bandung: Ma’arif. Suseno, Franz Magnis. 2003. Kuasa dan Moral, Jakarta: Gramedia.

Ujan, Andre Ata. 2001. Keadilandan Demokrasi: Telaah Filsafat Politik John Rawls, Yogyakarta: Kanisius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERSPEKTIF EKONOMI SYARIAH DALAM BISNIS KONTEMPORER

  MATERI- PENGANTAR BISNIS ISLAM Oleh: Eny Latifah, S.E.Sy.,M.Ak Perspektif Ekonomi Syariah dalam Bisnis Kontemporer   A.      Pengertian Ek...