RUANG LINGKUP EKONOMI ISLAM
A. RUANG LINGKUP EKONOMI ISLAM
Islam sebagai
agama paripurna tidak hanya mengatur permasalahan ibadah dan muamalat, akan
tetapi juga mengatur seleuruh aspek kehidupan termasuk tata kelola negara dan
pemerintahan. Dalam Islam terpenuhinya pekerjaan dan kepentingan publik bagi
rakyat merupakan kewajiban dan moral penguasa tegaknya suatu negara tergantung
kemampuan pemerintah memperoleh pendapatan dan mendistribusikannya kepada
masyarakat secara adil dan merata.[1]
Dalam dunia
ekonomi, kehadiran ekonomi syariah telah memunculkan harapan baru bagi umat
muslim, sebuah ekonomi alternatif dari sistem ekonomi yang telah berkembang,
yaitu sistem ekonomi kapitalisme dan sosialisme sebagai arus utama perdebatan
sebuah sistem ekonomi dunia. Saat ini dunia masih dikendalikan oleh sistem
ekonomi kapitalisme, karena umat muslim sendiri masih terpecah belah dalam hal
pemahaman dan implementasi ekonomi syariah di masing-masing negara. Fakta
menyatakan sebagian pemikir Islam menerima dengan lapang sebab secara
implementasinya ekonomi syariah dipandang masih relatif baru.
Ekonomi syariah
berbeda dibandingkan sistem ekonomi konvensional. Namun, jika dilihat dari
sudut pandang keilmuan, ekonomi syariah dapat disejajarkan dengan sistem
ekonomi kapitalis dan sosialis. Hal tersebut disebabkan ekonomi syariah telah
memenuhi persyaratan sebagai sebuah sistem ekonomi, walau pondasi ekonomi Islam
atau ekonomi syariah merujuk pada al-Qur’an dan Hadis. Oleh karena itu,
pentingnya penerapan ekonomi syariah dalam segala aspek kehidupan.
Secara umum,
pengertian ekonomi adalah salah satu ilmu sosial yang mempelajari aktivitas
manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi dan konsumsi terhadap
barang dan jasa. Di Indonesia, penggunaan istilah ekonomi Islam terkadang
digunakan bergantian dengan istilah ekonomi syariah. Termasuk dalam penggunaan
istilah dalam mata kuliah atau program studi di Perguruan Tinggi. Ada yang menamakan
dengan Ekonomi Islam ada juga yang menamakan Ekonomi Syariah. Hal ini karena
memang pengertian ekonomi Islam juga semakna dengan pengertian ekonomi syariah.
Ekonomi Islam atau ekonomi syariah telah didefinisikan oleh para sarjana muslim
dengan berbagai definisi. Keragaman ini terjadi karena perbedaan perpektif
setiap pakar dalam bidangnya. Pengertian ekonomi Islam menurut para pakar
diuraikan berikut ini.
Ekonomi Islam
adalah bagian dari ilmu ekonomi yang bersifat interdisipliner dalam arti kajian
ekonomi syariah tidak dapat berdiri sendiri, tetapi perlu penguasaan yang baik
dan mendalam terhadap ilmu-ilmu pendukungnya juga terhauap ilmu-ilmu yang
berfungsi sebagai tool of analysis seperti matematika, statistik, logika dan
ushul fiqh.[2]
Menurut Mannan ilmu
ekonomi syariah sebagal suatu ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari
masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam[3].
Sementara menurut Prasetyo ekonomi syariah merupakan ekonomi yang berdasarkan
pada ketuhanan.[4]
Esensi sistem ekonomi ini bertitik tolak dari Allah Azza Wa Jalla
B. MEMBANGUN KRETERIA OBYEK ILMU EKONOMI ISLAM
Setiap cabang
ilmu pengetahuan pasti mempunyai objek yang akan ditelaah atau dipelajari. Ilmu
pengetahuan tidak hanya berfokus pada teori, riset, dan rekayasa perkembangan
teknologi. Ilmu pengetahuan memiliki karakter dasar, prinsip dan struktur yang
semuanya itu menentukan arah dan tujuan pemanfaatan ilmu. Ilmu dipahami sebagai
proses, prosedur, maupun sebagai produk atau hasil. Sebagai proses, ilmu
terdiri dari kegiatan-kegiatan untuk mendapat pengetahuan, wawasan, dan
kesimpulan. Sebagai proses, lahirnya ilmu merupakan hasil capaian dari proses
yang panjang, melibatkan tindakan manusia dalam mengamati, mendekati, dan
memahami objek atau gejala alam maupun sosial.
Sebagai
prosedur, ilmu berkaitan dengan penggunaan cara yang ketat yang digunakan agar
proses mencari ilmu dapat berjalan dengan baik. Untuk menghasilkan sesuatu yang
benar, diperlukan metode atau prosedur yang benar pula. Prosedur membuat kita
mengerti bahwa dibutuhkan cara-cara tertentu untuk mendapatkan sesuatu
kesimpulan (pengetahuan) yang benar. Sebagai produk atau hasil (pengetahuan),
berarti ilmu merupakan hasil dari proses dan aktivitas mengetahui. Dalam hal
ini, ilmu dikenal sebagai suatu hal yang sudah jadi, yang didapat oleh kegiatan
mencari pengetahuan atau kegiatan ilmiah. Produk inilah yang biasa akan
digunakan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan lebih lanjut yang berguna secara
praktis bagi manusia.[5]
Di dalam
membangun sebuah disiplin ilmu diperlukan pembentukan kriteria objeknya sebagai
dasar acuan dalam membangun konsep yang mencakup definisi, latar belakang,
pembahasan, prinsip dasar, serta perbandingan dengan objek lain yang identik.
Untuk merefleksikan hal tersebut, dapat dibuat dalam bentuk pertanyaan yang
dengan menjawab pertanyaan tersebut dapat menyimpulkan apakah suatu objek
kajian dapat menjadi bagian pembahasan dalam ekonomi Islam atau malah menjadi
bagian dari ilmu lainnya.
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:[6]
1.
Apa yang dimaksud dengan (suatu
objek) ilmu ekonomi Islam? Di dalam menjawab pertanyaan pertama diarahkan
kepada definisi dari suatu objek yang akan dan ingin dikaji dalam ekonomi
Islam. Tanpa adanya definisi yang jelas maka kajian yang dilakukan tidak akan
fokus dan terarah. Sebagai contoh, ilmu ekonomi Islam mencoba untuk mengkaji
konsep mashlahah (maslahat) dalam konsumsi. Hal pertama yang harus dilakukan
adalah mendefinisikan apa yang dimaksud dengan mashlahah? Mashlahah adalah segala
bentuk keadaan ataupun perilaku yang mampu meningkatkan kedudukan manusia
sebagai makhluk yang paling mulia.
Terdapat
lima mashlahah mendasar yang diperlukan oleh manusia, yaitu mashlahah fisik,
mashlahah intelektual, mashlahah antargenerasi dan waktu, mashlahah agama, dan
mashlahah materi/kekayaan. Ketika mashlahah dijadikan tujuan bagi pelaku
ekonomi maka arah dan tujuannya akan menuju titik yang sama, yaitu
kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat, karena mashlahah dapat
diperbandingkan maka akan mudah dalam menyiapkan alokasi anggaran untuk
pemenuhan kebutuhan dan penentuan skala prioritas untuk memenuhi kebutuhan tiap
level mashlahah.
2.
Bagaimana perbandingannya (suatu
objek) dengan objek lain yang identik? Di dalam menjawab pertanyaan kedua
mengarah pada perbedaan substantif yang dimiliki ilmu ekonomi Islam dengan ilmu
lainnya, dalam hal ini ilmu ekonomi konvensional.
Misalnya,
masih melanjutkan topik mashlahah, apakah konsep mashlahah merupakan konsep
yang sama dengan utilitas? Apakah terdapat perbedaan perilaku berekonomi dalam
motif ekonomi utilitas versus mashlahah? Ketika secara substansi perbedaan
mashlahah dengan utilitas tidak signifikan, maka kelayakan kajian konsep
mashlahah dalam ekonomi Islam menjadi sebuah pertanyaan besar.
3.
Pertanyaan ketiga masih membahas
definisi dengan mengindikasikan seberapa luas ruang lingkup dari objek tersebut
agar kajiannya fokus dan konsisten. Contohnya, ketika konsep mashlahah menjadi
tujuan dari seseorang untuk berkonsumsi misalnya, seberapa jauh perannya konsep
mashlahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, apakah utilitas
memiliki fungsi identik? Jika ya, bagaimana perbedaannya? Sebagai contoh, dalam
perilaku konsumsi konvensional, kita sering mendengar istilah utilitas sebagai
tujuan dari seseorang untuk berkonsumsi.
Secara
umum, dalam mengukur utilitas terdapat dua pendekatan teoritis. Pertama,
pendekatan cardinal, yang mengasumsikan bahwa kepuasan dapat diukur dari
besarnya pengorbanan yang dilakukan oleh seorang konsumen. Pendekatan yang dimotori
oleh Alfred Marshall, William Stanley Jevons dan Léon Walras ini biasanya
mengaitkan utilitas dengan tingkat harga pasar. Makin besar pengorbanan yang
diberikan, yaitu harga yang mau dibayarkan, makin besar kepuasan konsumen
terhadap barang tersebut. Namun, pengukuran utilitas secara tepat tidak dapat
dijelaskan. Kedua, adalah pendekatan ordinal, yang mengasumsikan bahwa kepuasan
suatu barang tidak dapat dirasakan namun dapat diukur. Konsep utilitas bersifat
subjektif apakah faktor yang mempengaruhi seseorang membeli suatu barang sangat
bergantung pada preferensi individu tersebut seperti negara yang membuat,
kenyamanan, prestis, dan lain-lain.
Sedangkan
di dalam konsep mashlahah kriteria keputusan-keputusan terhadap konsumsi
bersifat tetap untuk setiap individu. Mashlahah individual (individual
mashlahah) akan sejalan dengan mashlahah sosial (social mashlahah). Minuman
beralkohol mungkin memberikan utilitas kepada seseorang tetapi tidak memberikan
utilitas bagi sosial.
Konsep
mashlahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat. Mashlahah tetap
obyektif dalam setiap aktivitas ekonomi baik pada level individu maupun negara.
Hal ini tidak memungkinkan untuk membandingkan kepuasan (utilitas) antara dua
orang (sebutlah A dan B) yang mengkonsumsi barang yang sama. Membandingkan
mashlahah dalam beberapa hal dapat dilakukan. Setidaknya, memungkinkan untuk
membandingkan mashlahah pada tingkatan yang berbeda.
4.
Mengapa perlu ada (suatu objek)
dalam ilmu ekonomi Islam? Pertanyaan keempat ditujukan untuk melihat sejauh
mana pentingnya objek tersebut dikaji dalam ekonomi Islam. Misal, jika sudah
mengetahui definisi dan ruang lingkup mashlahah, lalu apa urgensi konsep
mashlahah dikaji? Apakah konsep mashlahah benar-benar diperlukan dalam sistem
ekonomi Islam?
Sebagai
contoh dari perilaku utilitas dan mashlahah adalah dua orang pengguna produk
kecantikan yang menggunakan produk kecantikan. Sebut saja A dan B. A tidak
terlalu peduli dengan logo halal yang ada pada produk kecantikan yang
digunakannya, yang penting membuat wajahnya glowing atau terlihat tampak putih,
cantik dan mempesona. Sebaliknya, B selalu memperhatikan logo halal dari produk
kecantikan yang digunakannya, baginya efek kecantikan dari kosmetik yang
digunakannya bukanlah yang utama, hal paling utama adalah kandungan dari produk
tersebut harus halal, agar dia merasa nyaman karena telah mematuhi aturan Islam
dalam berkonsumsi.
Dari
contoh di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan adalah merupakan suatu akibat
dari terpenuhinya suatu keinginan, sedangkan mashlahah merupakan suatu akibat
atas terpenuhinya suatu kebutuhan atau fitrah. Besarnya berkah yang diperoleh
berkaitan langsung dengan frekuensi kegiatan konsumsi yang dilakukan. “Semakin
tinggi frekuensi kegiatan yang bermashlahah, maka semakin besar pula berkah
yang akan diterima oleh pelaku konsumsi.”
5.
Bagaimana prinsip dasar (suatu
objek)? Selanjutnya, pertanyaan kelima ditujukan untuk meletakkan
fondasi-fondasi dan asumsi dasar dari objek yang dikaji. Contohnya, jika
maqashid syariah adalah fondasi ekonomi Islam, bagaimana konsep dan
implementasi hal tersebut dibangun dalam mashlahah? Implementasi konsep
mashlahah dalam perilaku konsumsi seperti misalnya ketika seseorang membeli
tempat untuk tinggal, maka pilihannya tergantung pada keinginan pribadi yang
mempertimbangkan berbagai faktor subjektif, seperti lokasi, harga, kenyamanan,
tipe tempat tinggal, dan sebagainya. Tetapi faktor subjektif tersebut juga akan
mencerminkan mashlahah ketika memenuhi kriteria maqashid syariah, seperti
dengan adanya tempat tinggal tersebut apakah berdampak baik pada upaya
penjagaan agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan pemiliknya atau sebaliknya?
Misalnya seorang kepala keluarga bisa jadi akan bermanfaat dan mendatangkan
mashlahah jika ia memilih membeli rumah di perumahan masyarakat yang strategis
dekat dengan tempat ibadah dan tempat strategis lainnya dibandingkan membeli
apartemen yang tempat dan lingkungan sosialnya lebih terbatas.
Penerapan
mashlahah pada konsumsi individual akan sejalan dengan pencapaian mashlahah di
level sosial. Pada contoh pembelian tempat tinggal di atas, pembelian rumah
tinggal yang kebaikan dan manfaat penggunaannya dirasakan oleh orang di
sekitarnya, tetangga dan bahkan lingkungannya, ini membuat pencapaian mashlahah
nya juga untuk sosial. Misalnya rumah tinggal tadi bisa digunakan untuk
silaturahim antar tetangga, tempat pengajian tentu membeli rumah di perumahan
masyarakat akan lebih cocok dibandingkan dengan membeli apartemen.
6.
Bagaimana fungsi dan peran
sejarah dalam pengembangan (suatu objek) ilmu ekonomi Islam? Terakhir, untuk
melihat apakah objek yang dikaji adalah sesuatu yang memiliki penerapan secara
historis Islam, maka peran sejarah sangat dibutuhkan. Akan tetapi, jika objek
kajian tersebut baru maka bagaimana ilmu ekonomi Islam memperlakukannya? Untuk
melihat apakah mashlahah ini merupakan objek yang baru atau lama dalam ekonomi
Islam. Apakah ditemukan literatur– literatur lama yang menyebutkan konsep
mashlahah baik secara eksplisit maupun implisit, dan seterusnya.
C. DEFINISI ILMU EKONOMI ISLAM
Ekonomi adalah
ilmu sosial yang mempelajari aktifitas manusia yang berhubungan dengan
produksi, distribusi, dan konsumsi terhadap barang dan jasa. Istilah “ekonomi”
sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu oikos yang berarti “keluarga, rumah
tangga” dan nomos yang berarti “peraturan, aturan, hukum”. Secara garis besar,
ekonomi diartikan sebagai “aturan rumah tangga” atau “manajemen rumah tangga”.
Ekonomi mencakup kegiatan kontemplasi dalam rangka berkreasi
dan berinovasi untuk
dijadikan solusi dalam memenuhi kebutuhan hidup. Solusi ini
menjawab hal yang berkaitan dengan produksi, distribusi dan konsumsi.
Ekonomi Islam
dalam bahasa Arab diistilahkan dengan al-iqtishad al-Islami. Iqtishad (ekonomi)
didefinisikan sebagai pengetahuan tentang aturan yang berkaitan dengan produksi
kekayaan, mendistribusikan dan mengonsumsinya.[7]
Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang
perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid
sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.
Terdapat
perbedaan penafsiran, pendekatan, dan metodologi yang digunakan oleh para
ekonom muslim dalam membentuk konsep ekonomi Islam. Hal ini disebabkan adanya
perbedaan latar belakang pendidikan, keahlian, dan pengalaman yang dimiliki.
Merujuk pendapat Aslem Haneef,[8]
pemikir ekonomi Islam Malaysia, para pemikir muslim bidang ekonomi
dikelompokkan dalam tiga kategori, yakni:
1)
Kelompok jurist atau pakar bidang
fikih atau hukum Islam sehingga pendekatan yang dilakukan adalah legalistik dan
normatif.
2)
Kelompok modernis yang lebih
berani memberikan interpretasi terhadap ajaran Islam untuk menjawab persoalan
yang dihadapi masyarakat terkini.
3)
Kelompok western-trained moslem
economist, yaitu para praktisi atau ekonom muslim yang berlatar belakang
pendidikan Barat. Mereka mencoba menggabungkan pendekatan fikih dan ekonomi
sehingga ekonomi Islam terkonseptualisasi secara integrated.
Dengan
kata lain, mereka berusaha mengonstruksi ekonomi Islam seperti ekonomi konvensional,
tetapi dengan mereduksi nilai yang tidak sejalan dengan Islam dan memberikan
nilai Islam pada analisis ekonominya.
Pendefinisian
tentang apakah ekonomi Islam berbeda antara ekonom yang satu dengan ekonom
lainnya. M.M Metwally (1993)[9]
mendefinisikan, “Islamic economics may be defined as the study of the economic
behavior of the true Muslim in a society which adheres to the Islamic doctrine
from the Holy Qur’an, the Sunna of The Holy Prophet Muhammad (or the Hadith, or
tradition), the consensus (ijma’) and the analogy (qiyas)”. Menurut Metwally,
yang membedakan antara Islam dan agama lain adalah ajaran yang terdapat dalam
Islam tidak hanya berkaitan dengan masalah ibadah, tetapi turut pula mengatur
permasalahan kehidupan dunia yang dapat dilakukan oleh seorang muslim dalam
kehidupan kesehariannya.
Menurut Monzer
Kahf dalam bukunya The Islamic Economy[10]
menjelaskan bahwa ekonomi Islam adalah bagian dari ilmu ekonomi yang bersifat
interdisipliner dalam arti kajian ekonomi syariah tidak dapat berdiri sendiri,
tetapi perlu penguasaan yang baik dan mendalam terhadap ilmu-ilmu syariah dan
ilmu-ilmu pendukungnya juga terhadap ilmu-ilmu yang berfungsi sebagai tool of
analysis seperti matematika, statistik, logika, dan ushul fiqih.
Muhammad
Abdullah al-Arabi,[11]
ekonomi syariah merupakan sekumpulan dasar umum ekonomi yang kita simpulkan
dari Alquran dan sunah, dan merupakan bangunan perekonomian yang kita dirikan
di atas landasan dasar-dasar tersebut sesuai dengan tiap lingkungan dan masa.
Choudhury[12]
memberikan definisi ekonomi Islam sebagai, “Jumlah total dari studi historis
dan teoritis yang menganalisis kebutuhan manusia dan masyarakat dalam sistem
nilai Islam yang terintegrasi. Dua elemen bidang ini, pertama, barang dan jasa
yang murni dapat dipasarkan beserta harganya dan, kedua, peningkatan manfaat
yang diperoleh dari konsumsi barang dan jasa tersebut..”
Muhammad Abdul
Manan[13]berpendapat
bahwa ilmu ekonomi Islam dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan sosial yang
mempelajari masalah ekonomi masyarakat yang diilhami oleh nilai- nilai Islam.
Ia mengatakan bahwa ekonomi Islam merupakan bagian dari tata kehidupan lengkap
berdasarkan sumber hukum Islam, yaitu: Alquran, sunah, ijmak, dan qiyas. Setiap
pengambilan hukum dalam ekonomi Islam harus berbasis minimal pada keempat hal
tersebut agar hukum yang diambil sesuai dengan prinsip dan filosofi yang
terdapat pada ekonomi Islam.
Muhammad
Nejatullah Siddiqi dalam bukunya, Role of State in the Economy,[14]
memberikan definisi “Islamic economics is ‘the moslem thinker’ response to the
economic challenges of their times. In this endeavor they were aided by the
Qur’an and the Sunnah as well as by reason and experience”. Syed Nawab Heider
Naqvi dalam bukunya, Islam, Economics, and Society,[15]
memberikan rumusan “Islamic economics is the representative Moslem’s behaviour
in a typical muslim society”.
Definisi ekonomi
Islam juga dikemukakan oleh Umer Chapra[16]
bahwa ilmu ekonomi Islam diartikan sebagai cabang pengetahuan yang membantu
merealisasikan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya
alam yang langka yang sesuai dengan maqashid, tanpa mengekang kebebasan
individu untuk menciptakan keseimbangan makroekonomi dan ekologi yang
berkesinambungan, membentuk solidaritas keluarga, sosial, dan jaringan moral
masyarakat.
Dari beberapa
definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ekonomi Islam merupakan ilmu yang
mempelajari tata kehidupan masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonomi yang
meliputi alokasi dan distribusi sumber daya alam yang diimplementasikan berdasarkan
Alquran, hadis, ijmak, dan qiyas sesuai prinsip syariat Islam dalam mewujudkan
kesejahteraan umat.
D. POSISI ILMU EKONOMI ISLAM DIBANDINGKAN
Pada hakikatnya,
ilmu ekonomi Islam merupakan ilmu ekonomi yang membahas dua disiplin ilmu
secara bersamaan, yaitu ilmu ekonomi dan ilmu fikih muamalah. Ilmu ekonomi
bersumber dari pemikiran manusia sedangkan ilmu fikih muamalah bersumber dari
petunjuk Alquran dan hadis yang diwahyukan kepada Nabi. Fikih muamalah
diperoleh melalui para fukaha melalui kaidah ushuliyah dengan merumuskan
beberapa aturan yang harus dipraktikkan dalam kehidupan ekonomi umat dengan
cara menelusuri langsung dari Alquran dan hadis. Proses perumusan tersebut
diperoleh dari hasil pemikiran rasional melalui logika deduktif. Dari kedua
sumber tersebut diperoleh premis mayor yang kemudian dijabarkan menjadi
premis-premis minor untuk mendapatkan kesimpulan yang baik dan benar.
Samuelson dan
Nordhaus, menyatakan bahwa ilmu ekonomi merupakan suatu studi tentang perilaku
masyarakat dalam menggunakan sumber daya yang terbatas (langka) dalam rangka
memproduksi berbagai komoditas, untuk kemudian menyalurkan (mendistribusikan)
komoditas tersebut kepada berbagai individu dan kelompok yang ada dalam suatu
masyarakat.[17]
Jadi ilmu
ekonomi membahas aktivitas yang berkaitan dengan alokasi sumber daya yang
langka untuk kegiatan produksi untuk memproduksi barang dan jasa; ekonomi juga
membahas aktivitas yang berkaitan dengan cara-cara memperoleh barang dan jasa;
juga membahas aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan konsumsi, yakni
kegiatan pemanfaatan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup; serta
membahas aktivitas yang berkaitan dengan kegiatan distribusi, yakni bagaimana
menyalurkan barang dan jasa yang ada di tengah masyarakat. Seluruh kegiatan ekonomi
mulai dari produksi, konsumsi dan distribusi barang dan jasa tersebut semuanya
dibahas dalam ilmu ekonomi yang sering dibahas dalam berbagai literatur ekonomi
kapitalis.
Terdapat
pertentangan antara kebutuhan dan keinginan manusia yang sifatnya tidak terbatas
dengan terbatasnya kapasitas sumber daya ekonomi yang tersedia. Sebagai contoh,
ilmu ekonomi akan membolehkan sistem ekonomi liberal, kapitalis, dan komunis
sepanjang dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia yang menjadi tujuan ekonomi.
Oleh karena itu, yang menjadi masalah pokok dari ekonomi konvensional adalah
kelangkaan (scarcity) dan keinginan manusia yang tidak terbatas. Karena
kelangkaan inilah, maka manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan tentang apa
yang harus diproduksi, bagaimana memproduksi, untuk siapa, bagaimana membagi
produksi dari waktu ke waktu serta bagaimana mempertahankan dan menjaga tingkat
pertumbuhan produksi tersebut.[18]
Pandangan sistem
ekonomi kapitalis di atas yang memasukkan seluruh kegiatan ekonomi mulai dari
produksi, konsumsi, dan distribusi dalam pembahasan ilmu ekonomi berbeda dengan
pandangan sistem ekonomi Islam. Perbedaan ini dapat diketahui Problematika
ekonomi manusia dinilai secara berbeda karena adanya perbedaan sumber ilmu
pengetahuan. Ilmu ekonomi membahas mengenai bagaimana menggunakan atau
mengalokasikan sumber daya ekonomi yang terbatas jumlahnya untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat yang tidak terbatas. Secara lebih spesifik,dengan memahami
pandangan tersebut dengan merujuk pada sumber-sumber hukum Islam berupa Alquran
dan sunah. Di dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW. bersabda:
“Dua telapak
kaki manusia tidak akan bergeser (pada Hari Kiamat) hingga ia ditanya tentang
umumya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya untuk apa ia pergunakan, tentang
hartanya dari mana ia peroleh dan untuk apa ia pergunakan, dan tentang tubuhnya
untuk apa ia korbankan.” (H.R. Tirmidzi dari Abu Barzah r.a..)
Hadis di atas
memberikan gambaran bahwa setiap manusia akan diminta pentanggungjawaban
terhadap empat perkara yakni tentang umurnya, ilmunya, hartanya, dan tubuhnya.
Tentang umur, ilmu dan tubuhnya setiap orang hanya ditanya dengan masing-masing
satu pertanyaan sedangkan berkaitan dengan harta maka setiap orang akan ditanya
dengan dua pertanyaan, yakni dari mana hartanya dia peroleh dan untuk apa
hartanya dia pergunakan. Hal ini memberikan suatu gambaran bahwa Islam memberi
perhatian yang besar terhadap segala aktivitas manusia yang berhubungan dengan
harta. Dengan kata lain, Islam memberikan perhatian yang besar pada bidang
ekonomi.
Bertolak
belakang dengan ilmu ekonomi, fikih muamalah belum tentu dapat menerima ketiga
sistem itu karena masih membutuhkan validasi dari Alquran dan hadis. Menurut
Baqir As-Sadr, sumber daya pada hakikatnya tidak terbatas dan sangat melimpah.
Hal ini didasarkan pada dalil yang menyatakan bahwa Allah SWT menciptakan alam
semesta ini dengan ukuran yang setepat-tepatnya. Allah SWT juga telah
memberikan sumber daya yang cukup untuk umat manusia[19].
Baqir As-Sadr juga menolak pendapat yang menyebutkan bahwa keinginan manusia
tidak terbatas. Ia berpendapat bahwa manusia akan berhenti mengonsumsi suatu
barang atau jasa apabila tingkat kepuasan terhadap barang tersebut menurun atau
nol. Menurutnya, yang menjadi masalah utama dari ekonomi adalah tidak meratanya
distribusi sumber daya di antara manusia.
Untuk memahami
ilmu ekonomi Islam, tidak lepas dari membandingkan perbedaannya dengan ilmu
ekonomi konvensional, sehingga bisa digarisbawahi perbedaannya. Permasalahan
yang ada pada masyarakat yang terus ada adalah mengenai ketidakpastian dan
koordinasi. Ketidakpastian akan apa yang terjadi di masa mendatang, yang
menyebabkan banyak orang memiliki persepsi, dan membuat keputusan berdasarkan
ekspektasi-ekspektasi yang ada.
Berkaitan dengan
masalah pokok yang dihadapi oleh ekonomi konvensional, di kalangan ekonomi
Islam terdapat perbedaan pandangan. Begitu pula dengan ketidakterbatasan
keinginan manusia terhadap kebutuhan barang masih menjadi perdebatan. Ilmu
ekonomi (konvensioanl) yang berkembang di dunia Barat dilandasi dengan
kebebasan individu dalam melakukan kontrak dengan syarat tidak merugikan satu
sama lain. Konsep-konsep ekonomi konvensional versi Barat perlu diredefinisi
agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan syariat Islam. Di antara konsep-konsep
tersebut antara lain:
Pertama, konsep
harta. Masalah yang timbul dalam konsep harta adalah bahwa ilmu ekonomi umum
tidak mengenal adanya nilai dalam harta dalam pemilikan. Sejauh dapat
menimbulkan nilai ekonomis, segala sesuatu dapat diakui sebagai harta. Tidak
heran bila barang- barang haram seperti minuman keras dan daging babi termasuk
properti yang sah untuk dijadikan sebagai salah satu komoditas bisnis.[20]
Kedua, konsep
uang. Pembahasan dalam fikih muamalah mengasumsikan bahwa uang yang digunakan
masyarakat adalah uang komoditi (commodity money), yaitu emas dan perak.
Padahal sejak zaman penjajahan, uang emas dan perak tidak lagi digunakan
sebagai alat tukar. Sebagai gantinya uang kertas menjadi alat tukar yang
berlaku di tengah masyarakat. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum uang
kertas ini. Ada yang menganggap bahwa uang kertas tidak diterima dalam syariah
karena bukan harta riil dan ada pula yang dapat menerimanya.[21]
Ketiga, konsep
bunga dan riba. Di dalam ilmu ekonomi, bunga merupakan asumsi yang tidak lagi
menjadi bahan perdebatan meskipun sampai saat ini para ekonom masih sulit
mencari justifikasi terhadapnya. Di dalam ilmu fikih muamalah, istilah ini
tidak dikenal meskipun pembahasan tentang hukum riba boleh dikatakan telah
selesai dan para ulama sepakat mengharamkannya.[22]
Dengan konsep uang kertas atau abstract money, konsep bunga dan riba menjadi
pembahasan yang berkelanjutan.
Keempat, konsep
time value of money. Sebagian besar teori tentang manajemen keuangan dibangun
berdasarkan konsep nilai dan waktu dari uang yang mengasumsikan bahwa nilai
uang sekarang relatif lebih besar ketimbang di masa yang akan datang. Sementara
itu, di sisi lain tidak didapati penjelasannya dalam fikih muamalah meskipun
perdebatan tentang jual beli tangguh (ba’i mu’ajjal) termasuk diskusi yang
tidak sedikit di antara para ulama.[23]
Kelima, konsep
modal. Modal dalam pengertian ilmu ekonomi adalah segala benda, baik yang fisik
maupun abstrak, yang memiliki nilai ekonomis dan produktif. Termasuk dalam
pengertian ini adalah uang dan intellectual property right (hak atas kekayaan
intelektual). Di dalam fikih muamalah klasik, pengertian modal terbatas pada
benda fisik. Uang hanya dapat berperan sebagai alat tukar. Apabila ia ingin
mejadi modal yang digunakan untuk memperoleh keuntungan ia harus terlebih
dahulu diubah ke dalam bentuk fisik.[24]
Keenam, konsep
lembaga. Ilmu ekonomi tidak mempersoalkan adanya individual entity atau
abstract entity. Berbeda halnya dengan fikih muamalah yang objeknya kepada
mukalaf secara individual. Hal ini akan membawa dampak bagi analisis tentang
kepemilikan dan hubungannya dengan kepemilikan.
Kemudian,
bagaimana posisi ilmu ekonomi Islam dibandingkan dengan ilmu ekonomi
konvensional lain? Selama bertahun-tahun, hingga sampai saat ini, membahas ilmu
ekonomi yang ideal terus men jadi suatu hal yang dicari dan kemudian
dipromosikan. Namun, hingga saat ini, belum ada sistem ekonomi yang berjalan
ideal sesuai dengan apa yang dikampanyekan, karena masih menuai beberapa kritik
terhadap keberjalanannya. Mulai dari sistem aliran klasik yang dibawa oleh Adam
Smith dengan pandangannya akan kepentingan pribadi dan mencari laba
sebanyak-banyaknya pada Abad 1700-an, kemudian disanggah oleh Karl Marx yang
membawa aliran sistem ekonomi sosialis yang mana merupakan kritikan terhadap aliran
klasik, atau disebut Karl Marx merupakan sistem ekonomi kapitalis karena
mengakumulasikan kapital sebesar-besarnya.
Muhammad Rawas
Qal’ah-ji serta pakar hukum dan ahli ekonomi Islam lainnya menyebutkan ada 13
ciri utama ekonomi Islam yang menjadikannya berbeda dengan sistem ekonomi
konvensional. Ketiga belas prinsip ekonomi yang dimaksud adalah sebagai berikut
:[25]
1.
Ekonomi Islam pengaturannya
bersifat ketuhanan/ilahiah (nizhamun rabbaniyyun), mengingat aturannya tidak
ditetapkan oleh manusia, tetapi didasarkan pada aturan-aturan Allah SWT..
2.
Di dalam Islam, ekonomi hanya
satu titik bagian dari Islam secara keseluruhan (juz’un min al-Islam
as-syamil). Tidaklah mungkin memisahkan ekonomi Islam dari rangkaian ajaran
Islam secara keseluruhan yang bersifat utuh dan menyeluruh.
3.
Ekonomi Islam berdimensikan
akidah atau keakidahan (iqtishadun ‘aqidatun), mengingat ekonomi Islam itu
lahirnya dari akidah Islamiyyah yang di dalamnya akan dimintakan
pertanggungjawaban mengenai akidahnya.
4.
Berkarakter ta’abbudi
(thabi’iyyun ta’abbudiyun), mengingat bahwa ekonomi Islam merupakan tata aturan
yang berdimensikan ketuhanan (nizham rabbani), dan setiap ketaatan kepada salah
satu dari sekian banyak aturan Allah SWT, maka hal itu termasuk ketaatan
kepada-Nya, dan setiap ketaatan itu merupakan bentuk ibadah kepada Allah SWT.
Begitu pula ketaatan dalam penerapan aturan-aturan ekonomi Islam merupakan
bentuk ibadah kepada Allah SWT.
5.
Terkait erat dengan akhlak
(murtabithun bil-akhlaq). Islam tidak pernah memprediksi pemisahan antara ekonomi
dengan akhlak, begitupun Islam tidak pernah memetakan sistem ekonomi dalam
lindungan Islam yang tanpa akhlak. Itulah sebabnya, mengapa dalam Islam tidak
ditemukan aktivitas ekonomi seperti perdagangan, perkreditan dan lain
sebagainya semata-mata hanya murni kegiatan ekonomi seperti yang terdapat dalam
ekonomi konvensional. Di dalam Islam, kegiatan ekonomi tidak boleh terlepas
dari kendali akhlak yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran
Islam.
6.
Elastis (al-murunah), artinya
berkembang secara perlahan. Kekhususan al-murunah ini didasarkan pada Alquran
dan hadis sebagai rujukan ekonomi Islam. Sementara itu, implementasinya secara
riil di lapangan diserahkan kepada kesepakatan sosial (masyarakat sosial)
sepanjang tidak menyalahi aturan syariat.
7.
Objektif (al-maudhu’iyyah), dalam
pengertiannya, Islam mengajarkan untuk senantiasa bersikap objektif dalam
melakukan aktivitas ekonomi. Aktivitas ekonomi pada hakikatnya merupakan amanat
yang dilakukan pelaku ekonomi tanpa boleh membeda-bedakan berdasarkan ras,
golongan, warna kulit, maupun agama. Bahkan terhadap musuh sekali pun, Islam
memerintahkan untuk menghormatinya dan memperlakukannya seperti teman dekat.
8.
Memiliki target/sasaran yang
lebih tinggi (al-hadaf as-sami). Bertolak belakang dengan tujuan atau target
ekonomikonvensional yang hanya mengejar kepuasan semata, ekonomi Islam
mempunyai target atau tujuan yang lebih tinggi, yaitu merealisasikan kerohanian
yang lebih tinggi (berkualitas) serta pendidikan kejiwaan yang tenteram.
9.
Perekonomian yang stabil/kokoh
(iqtishadun bina’un). Kekhususan ini antara lain bahwa Islam mengharamkan
bisnis yang membahayakan umat insani. Seperti riba, penipuan, perdagangan
khamar, dan kegiatan-kegiatan kemaksiatan lainnya.
10.
Perekonomian yang berimbang
(iqtishad mutawazin), maksudnya, yaitu bahwa Islam mempunyai tujuan untuk
mewujudkan perekonomian yang seimbang antara kepentingan individu dan
kepentingan sosial, kepentingan dunia dan kepentingan akhirat, serta
keseimbangan antara kebutuhan fisik-biologis dan kebutuhan psikis-rohaniah.
11.
Realistis (al-waqi’iyyah).
Ekonomi Islam paham betul bahwa perkiraan (forecasting) bisnis dengan kenyataan
tidak selamanya bisa selaras. Dalam hal tertentu dapat saja terjadi
pengecualian atau penyimpangan dari hal-hal yang semestinya.
12.
Harta kekayaan itu hakikatnya
adalah milik Allah SWT.. Di dalam prinsip ini, terkandung maksud bahwa
kepemilikan seseorang terhadap sesuatu adalah tidak mutlak. Pendayagunaan harta
dalam Islam harus dikelola dan dimanfaatkan sesuai dengan tuntutan Allah SWT..
13.
Memiliki kecakapan dalam
mengelola harta kekayaan (tarsyid istikhdam al-mal). Setiap orang harus
mempuyai kemampuan dalam mengelola harta seperti hemat dalam berbelanja, tidak
menyerahkan harta kepada orang yang tidak mengerti mengenai pengelolaan harta, tidak
membelanjakannya pada hal-hal yang diharamkan oleh Allah SWT serta tidak
membelanjakannya pada hal- hal yang dapat merugikan orang lain.
E. ARTI PENTING ILMU EKONOMI
Ilmu ekonomi
pada dasarnya adalah ilmu tentang perilaku manusia, karena aktivitas ekonomi
adalah aktivitas manusia, maka analisis dalam ilmu ekonomi harus mendasarkan
diri pada perilaku manusia. Ilmu sosial pada umumnya percaya bahwa perilaku
manusia seringkali adalah rumit, tidak sempurna, terbatas, self- contradictory
dan unpredictable. Sebaliknya, ilmu ekonomi menggunakan model perilaku manusia
yang disebut homo economicus (economic man), yang secara luar biasa
menyederhanakan perilaku manusia sebagai individu ekonomi yang memiliki
sifat-sifat berikut: Perfect self-interest, Perfect rationality, dan Perfect
information.[26]
Di samping itu
bahwa ilmu ekonomi menurut beberapa ahli adalah ilmu yang mempelajari
perilaku-perilaku manusia bagaimana melakukan tindakan pemilihan terhadap
berbagai alternatif yang mungkin ada ketika dihadapkan pada masalah kelangkaan
sehingga tercapai kesejahteraan.[27]Dengan
demikian, dapat diketahui bahwa mempelajari ilmu ekonomi tidak akan lepas dari
belajar ilmu perilaku.
Ekonomi Islam
dibangun atas dasar aksioma atau keyakinan- keyakinan yang menjadikan dasar
perilaku manusia. Aksioma- aksioma tersebut, seperti yang dikutip dari buku
Ekonomi Islam Bank Indonesia,yaitu:[28]
1)
Kehidupan yang sesungguhnya
adalah akhirat, yaitu
kehidupansetelahkematiandidunia.Pemikiranakalmanusiaadalah terbatas, dan sumber
informasi yang sempurna hanyalah Alquran dan hadis.
2)
Kehidupan akhirat merupakan akhir
pembalasan (pengadilan) kehidupan dunia. Kehidupan akhirat dipercaya bukan
merupakan hidup baru yang terlepas dari kehidupan di dunia melainkan kelanjutan
dari hidup di dunia. Kehidupan akhirat merupakan masa pembalasan yang
seadil-adilnya terhadap setiap perbuatan yang pernah dilakukan di dunia.
3)
Pemikiran akal manusia adalah
terbatas, dan sumber informasi yang sempurnahanyalah Alquran dan hadis. Manusia
yang berakal sehat (ulul albab), menurut Islam, adalah mereka yang mampu
menggabungkan antara zikir dan pikir. Berzikir artinya selalu mengingat
petunjuk dari Allah SWT dan Rasul-Nya dalam setiap sendi kehidupan, sedangkan
berpikir artinya selalu menggunakan analisis yang logis dan mendalam dalam
memutuskan hal-hal yang berurusan dengan duniawi.
Urgensi ilmu
ekonomi Islam dapat dianalisis dari dua kriteria yang sebelumnya telah
dijelaskan, yakni kriteria hadd dan fashl. Selain itu, terdapat juga perbedaan
konsep rasionalitas yang terdapat dalam ilmu ekonomi konvensional. Konsep
rasionalitas tersebut merujuk pada sikap self-interest yakni sikap manusia yang
hanya mengedepankan kepentingan pribadinya sendiri untuk mendapatkan
keuntungan. Jika sikap ini terus dilestarikan, maka akan menimbulkan konflik
dengan social interest. Sementara itu, dalam Islamic worldview tidak hanya
mementingkan eksistensi personal, tetapi juga universal atau disebut juga
konsep huquq.[29]Dengan
demikian, segala keputusan dalam mengalokasikan sumber daya yang terbatas akan menciptakan
mashlahah dan menghilangkan mafsadah.
[1]
Komarudin. (2021).
Pengantar Ekonomi
Syariah: Sebuah Tinjauan Teori dan Praktis. Bandung:
Widina Bhakti Persada Bandung.
[2]
Al Arif, N. R., & Euis, A, Teori Mikrobiologi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi
Konvensional. (Jakarta: Grama Publishing, 2010),3
[3]
Mannan, M. A. Ekonomi
Islam: Teori dan Praktek. Jakarta: PT Intermassa,1992),5.
[4]
Prasetyo, Y. (2018). Ekonomi Syariah. Bandung: Aria Mandiri
Group.
[5] Salam, B. (2005). Pengantar Filsafat.
Jakarta: Bumi Aksara.
[6] Nurzaman, Mohammad Soleh. (2019). Pengantar Ekonomi Islam: Sebuah Pendekatan Metodologi. Jakar ta: Salemba Diniyah.
[7] Al-Mishri. (1993). Ushul al-Iqtishad al-Islami. Damsyiq: Dar al-Qalam.
[8] Haneef, M. A. (1995). Contemporary Islamic economic thought:
A selected comparative analysis. Alhoda UK.
[9] Metwally, M.M. (1993), Essays
on Islamic Economics, Academic Publishers, Calcutta,
182 pages.
[10] Kahf, M. (2014). Islamic Economics. Al Manhal.
[11] Muhammad A. Al ‘Arabi. Sistem
Ekonomi Islam Prinsip -Prinsip dan Tujuannya.
Terjemahan oleh Ahmad, Abu dan Umar
S. Anshori. Semarang: PT Bina
Ilmu.
[12] Choudhury, M. A. (1986).
Contributions to Islamic economic
theory: A study in social
economics. Springer.t
[13] Muhammad Abdul Mannan (1985).
Ekonomi Islam: Teori dan Praktis, Jilid. 1, terj. Radiah Abdul Kader. Kuala Lumpur:
A.S. Noordeen.
[14] Siddiqi, Muhammad Nejatullah (1996). Role of state in the Economy:
An Islamic Perspective. Vol. 20. Islamic
Foundation
[15] Naqvi, S. N. H. (Ed.). (2013).
Islam, Economics, and Society
(RLE Politics of Islam). Routledge.
[16] Chapra, M. U. (2001).
Masa depan ilmu ekonomi:
sebuah tinjauan Islam.
Gema Insani.
[17] Samuelson & Wiliam. (1995) . Mikroekonomi Edisi ke-4 (Terjemahan). Jakarta: Erlangga
[18] Rozalinda. (2014) . Ekonomi Islam: Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi. Jakarta: PT Grafindo Persada.
[19] Sadr, Muhammad Baqir. (2008).
Our Economic, dalam “Buku
Induk Ekonomi Islam
Iqtishoduna, terj.Jakarta: Zahra
[20] Hakim, Cecep Maskanul. (2002).
Mu’amalat (Ekonomi Islam):
Sebuah Problem Epistemologis dan Aksiologis.
Makalah disampaikan pada semiloka Pemetaan Studi Hukum Islam Fakultas Syariah
UIN Jakarta
[21] Meera, Ahmed Kameel Meydin.
(2002). The Islamic
Gold Dinar. Kuala
Lumpur: Pelanduk.
[22] Ka’bah, Rifyal. (1999). Hukum Islam di Indonesia. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
[23] Zuhaili, Wahbah. (1989). al-Fiqh al-Islam
wa Adillatuhu, Cet.
3, Beirut: Dar alFikr.
[24] Khan, Fahim. (1996). The Theory
of Capital in Islam. Malaysia: Islamic Research Institute.
[25] Suma, Muhammad Amin. (2008)
. Menggali Akar Mengurai
Serat Ekonomi dan Keuangan Islam. Tangerang: Kholam Publishing
[26] Nurzaman, Mohammad Soleh. (2014). Handout Pelatihan Mikro dan Makro Islam. Program Studi Ilmu Ekonomi
dan Keuangan Islam
[27] Ahman, Eeng, Rohmana, Yana. (2015). Ekonomi
Mikro Suatu Pengantar. Bandung: Rizqi Press.
[28] Bank Indonesia, Tim Penulis.
(2018). Pengantar Ekonomi Islam. BI Institute.
[29] Nurzaman, Mohammad Soleh. (2019). Pengantar Ekonomi Islam:
Sebuah Pendekatan Metodologi. Jakarta: Salemba
Diniyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar