Sabtu, 29 Juni 2024

RUANG LINGKUP EKONOMI ISLAM

 

RUANG LINGKUP EKONOMI ISLAM

 

 

A. RUANG LINGKUP EKONOMI ISLAM

Islam sebagai agama paripurna tidak hanya mengatur permasalahan ibadah dan muamalat, akan tetapi juga mengatur seleuruh aspek kehidupan termasuk tata kelola negara dan pemerintahan. Dalam Islam terpenuhinya pekerjaan dan kepentingan publik bagi rakyat merupakan kewajiban dan moral penguasa tegaknya suatu negara tergantung kemampuan pemerintah memperoleh pendapatan dan mendistribusikannya kepada masyarakat secara adil dan merata.[1]

Dalam dunia ekonomi, kehadiran ekonomi syariah telah memunculkan harapan baru bagi umat muslim, sebuah ekonomi alternatif dari sistem ekonomi yang telah berkembang, yaitu sistem ekonomi kapitalisme dan sosialisme sebagai arus utama perdebatan sebuah sistem ekonomi dunia. Saat ini dunia masih dikendalikan oleh sistem ekonomi kapitalisme, karena umat muslim sendiri masih terpecah belah dalam hal pemahaman dan implementasi ekonomi syariah di masing-masing negara. Fakta menyatakan sebagian pemikir Islam menerima dengan lapang sebab secara implementasinya ekonomi syariah dipandang masih relatif baru.

Ekonomi syariah berbeda dibandingkan sistem ekonomi konvensional. Namun, jika dilihat dari sudut pandang keilmuan, ekonomi syariah dapat disejajarkan dengan sistem ekonomi kapitalis dan sosialis. Hal tersebut disebabkan ekonomi syariah telah memenuhi persyaratan sebagai sebuah sistem ekonomi, walau pondasi ekonomi Islam atau ekonomi syariah merujuk pada al-Qur’an dan Hadis. Oleh karena itu, pentingnya penerapan ekonomi syariah dalam segala aspek kehidupan.

Secara umum, pengertian ekonomi adalah salah satu ilmu sosial yang mempelajari aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi dan konsumsi terhadap barang dan jasa. Di Indonesia, penggunaan istilah ekonomi Islam terkadang digunakan bergantian dengan istilah ekonomi syariah. Termasuk dalam penggunaan istilah dalam mata kuliah atau program studi di Perguruan Tinggi. Ada yang menamakan dengan Ekonomi Islam ada juga yang menamakan Ekonomi Syariah. Hal ini karena memang pengertian ekonomi Islam juga semakna dengan pengertian ekonomi syariah. Ekonomi Islam atau ekonomi syariah telah didefinisikan oleh para sarjana muslim dengan berbagai definisi. Keragaman ini terjadi karena perbedaan perpektif setiap pakar dalam bidangnya. Pengertian ekonomi Islam menurut para pakar diuraikan berikut ini.

Ekonomi Islam adalah bagian dari ilmu ekonomi yang bersifat interdisipliner dalam arti kajian ekonomi syariah tidak dapat berdiri sendiri, tetapi perlu penguasaan yang baik dan mendalam terhadap ilmu-ilmu pendukungnya juga terhauap ilmu-ilmu yang berfungsi sebagai tool of analysis seperti matematika, statistik, logika dan ushul fiqh.[2]

Menurut Mannan ilmu ekonomi syariah sebagal suatu ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam[3]. Sementara menurut Prasetyo ekonomi syariah merupakan ekonomi yang berdasarkan pada ketuhanan.[4] Esensi sistem ekonomi ini bertitik tolak dari Allah Azza Wa Jalla

B. MEMBANGUN KRETERIA OBYEK ILMU EKONOMI ISLAM

Setiap cabang ilmu pengetahuan pasti mempunyai objek yang akan ditelaah atau dipelajari. Ilmu pengetahuan tidak hanya berfokus pada teori, riset, dan rekayasa perkembangan teknologi. Ilmu pengetahuan memiliki karakter dasar, prinsip dan struktur yang semuanya itu menentukan arah dan tujuan pemanfaatan ilmu. Ilmu dipahami sebagai proses, prosedur, maupun sebagai produk atau hasil. Sebagai proses, ilmu terdiri dari kegiatan-kegiatan untuk mendapat pengetahuan, wawasan, dan kesimpulan. Sebagai proses, lahirnya ilmu merupakan hasil capaian dari proses yang panjang, melibatkan tindakan manusia dalam mengamati, mendekati, dan memahami objek atau gejala alam maupun sosial.

Sebagai prosedur, ilmu berkaitan dengan penggunaan cara yang ketat yang digunakan agar proses mencari ilmu dapat berjalan dengan baik. Untuk menghasilkan sesuatu yang benar, diperlukan metode atau prosedur yang benar pula. Prosedur membuat kita mengerti bahwa dibutuhkan cara-cara tertentu untuk mendapatkan sesuatu kesimpulan (pengetahuan) yang benar. Sebagai produk atau hasil (pengetahuan), berarti ilmu merupakan hasil dari proses dan aktivitas mengetahui. Dalam hal ini, ilmu dikenal sebagai suatu hal yang sudah jadi, yang didapat oleh kegiatan mencari pengetahuan atau kegiatan ilmiah. Produk inilah yang biasa akan digunakan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan lebih lanjut yang berguna secara praktis bagi manusia.[5]

Di dalam membangun sebuah disiplin ilmu diperlukan pembentukan kriteria objeknya sebagai dasar acuan dalam membangun konsep yang mencakup definisi, latar belakang, pembahasan, prinsip dasar, serta perbandingan dengan objek lain yang identik. Untuk merefleksikan hal tersebut, dapat dibuat dalam bentuk pertanyaan yang dengan menjawab pertanyaan tersebut dapat menyimpulkan apakah suatu objek kajian dapat menjadi bagian pembahasan dalam ekonomi Islam atau malah menjadi bagian dari ilmu lainnya.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:[6]

1.         Apa yang dimaksud dengan (suatu objek) ilmu ekonomi Islam? Di dalam menjawab pertanyaan pertama diarahkan kepada definisi dari suatu objek yang akan dan ingin dikaji dalam ekonomi Islam. Tanpa adanya definisi yang jelas maka kajian yang dilakukan tidak akan fokus dan terarah. Sebagai contoh, ilmu ekonomi Islam mencoba untuk mengkaji konsep mashlahah (maslahat) dalam konsumsi. Hal pertama yang harus dilakukan adalah mendefinisikan apa yang dimaksud dengan mashlahah? Mashlahah adalah segala bentuk keadaan ataupun perilaku yang mampu meningkatkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia.

Terdapat lima mashlahah mendasar yang diperlukan oleh manusia, yaitu mashlahah fisik, mashlahah intelektual, mashlahah antargenerasi dan waktu, mashlahah agama, dan mashlahah materi/kekayaan. Ketika mashlahah dijadikan tujuan bagi pelaku ekonomi maka arah dan tujuannya akan menuju titik yang sama, yaitu kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat, karena mashlahah dapat diperbandingkan maka akan mudah dalam menyiapkan alokasi anggaran untuk pemenuhan kebutuhan dan penentuan skala prioritas untuk memenuhi kebutuhan tiap level mashlahah.

2.         Bagaimana perbandingannya (suatu objek) dengan objek lain yang identik? Di dalam menjawab pertanyaan kedua mengarah pada perbedaan substantif yang dimiliki ilmu ekonomi Islam dengan ilmu lainnya, dalam hal ini ilmu ekonomi konvensional.

Misalnya, masih melanjutkan topik mashlahah, apakah konsep mashlahah merupakan konsep yang sama dengan utilitas? Apakah terdapat perbedaan perilaku berekonomi dalam motif ekonomi utilitas versus mashlahah? Ketika secara substansi perbedaan mashlahah dengan utilitas tidak signifikan, maka kelayakan kajian konsep mashlahah dalam ekonomi Islam menjadi sebuah pertanyaan besar.

3.         Pertanyaan ketiga masih membahas definisi dengan mengindikasikan seberapa luas ruang lingkup dari objek tersebut agar kajiannya fokus dan konsisten. Contohnya, ketika konsep mashlahah menjadi tujuan dari seseorang untuk berkonsumsi misalnya, seberapa jauh perannya konsep mashlahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, apakah utilitas memiliki fungsi identik? Jika ya, bagaimana perbedaannya? Sebagai contoh, dalam perilaku konsumsi konvensional, kita sering mendengar istilah utilitas sebagai tujuan dari seseorang untuk berkonsumsi.

Secara umum, dalam mengukur utilitas terdapat dua pendekatan teoritis. Pertama, pendekatan cardinal, yang mengasumsikan bahwa kepuasan dapat diukur dari besarnya pengorbanan yang dilakukan oleh seorang konsumen. Pendekatan yang dimotori oleh Alfred Marshall, William Stanley Jevons dan Léon Walras ini biasanya mengaitkan utilitas dengan tingkat harga pasar. Makin besar pengorbanan yang diberikan, yaitu harga yang mau dibayarkan, makin besar kepuasan konsumen terhadap barang tersebut. Namun, pengukuran utilitas secara tepat tidak dapat dijelaskan. Kedua, adalah pendekatan ordinal, yang mengasumsikan bahwa kepuasan suatu barang tidak dapat dirasakan namun dapat diukur. Konsep utilitas bersifat subjektif apakah faktor yang mempengaruhi seseorang membeli suatu barang sangat bergantung pada preferensi individu tersebut seperti negara yang membuat, kenyamanan, prestis, dan lain-lain.

Sedangkan di dalam konsep mashlahah kriteria keputusan-keputusan terhadap konsumsi bersifat tetap untuk setiap individu. Mashlahah individual (individual mashlahah) akan sejalan dengan mashlahah sosial (social mashlahah). Minuman beralkohol mungkin memberikan utilitas kepada seseorang tetapi tidak memberikan utilitas bagi sosial.

Konsep mashlahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat. Mashlahah tetap obyektif dalam setiap aktivitas ekonomi baik pada level individu maupun negara. Hal ini tidak memungkinkan untuk membandingkan kepuasan (utilitas) antara dua orang (sebutlah A dan B) yang mengkonsumsi barang yang sama. Membandingkan mashlahah dalam beberapa hal dapat dilakukan. Setidaknya, memungkinkan untuk membandingkan mashlahah pada tingkatan yang berbeda.

4.         Mengapa perlu ada (suatu objek) dalam ilmu ekonomi Islam? Pertanyaan keempat ditujukan untuk melihat sejauh mana pentingnya objek tersebut dikaji dalam ekonomi Islam. Misal, jika sudah mengetahui definisi dan ruang lingkup mashlahah, lalu apa urgensi konsep mashlahah dikaji? Apakah konsep mashlahah benar-benar diperlukan dalam sistem ekonomi Islam?

Sebagai contoh dari perilaku utilitas dan mashlahah adalah dua orang pengguna produk kecantikan yang menggunakan produk kecantikan. Sebut saja A dan B. A tidak terlalu peduli dengan logo halal yang ada pada produk kecantikan yang digunakannya, yang penting membuat wajahnya glowing atau terlihat tampak putih, cantik dan mempesona. Sebaliknya, B selalu memperhatikan logo halal dari produk kecantikan yang digunakannya, baginya efek kecantikan dari kosmetik yang digunakannya bukanlah yang utama, hal paling utama adalah kandungan dari produk tersebut harus halal, agar dia merasa nyaman karena telah mematuhi aturan Islam dalam berkonsumsi.

Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan adalah merupakan suatu akibat dari terpenuhinya suatu keinginan, sedangkan mashlahah merupakan suatu akibat atas terpenuhinya suatu kebutuhan atau fitrah. Besarnya berkah yang diperoleh berkaitan langsung dengan frekuensi kegiatan konsumsi yang dilakukan. “Semakin tinggi frekuensi kegiatan yang bermashlahah, maka semakin besar pula berkah yang akan diterima oleh pelaku konsumsi.”

5.         Bagaimana prinsip dasar (suatu objek)? Selanjutnya, pertanyaan kelima ditujukan untuk meletakkan fondasi-fondasi dan asumsi dasar dari objek yang dikaji. Contohnya, jika maqashid syariah adalah fondasi ekonomi Islam, bagaimana konsep dan implementasi hal tersebut dibangun dalam mashlahah? Implementasi konsep mashlahah dalam perilaku konsumsi seperti misalnya ketika seseorang membeli tempat untuk tinggal, maka pilihannya tergantung pada keinginan pribadi yang mempertimbangkan berbagai faktor subjektif, seperti lokasi, harga, kenyamanan, tipe tempat tinggal, dan sebagainya. Tetapi faktor subjektif tersebut juga akan mencerminkan mashlahah ketika memenuhi kriteria maqashid syariah, seperti dengan adanya tempat tinggal tersebut apakah berdampak baik pada upaya penjagaan agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan pemiliknya atau sebaliknya? Misalnya seorang kepala keluarga bisa jadi akan bermanfaat dan mendatangkan mashlahah jika ia memilih membeli rumah di perumahan masyarakat yang strategis dekat dengan tempat ibadah dan tempat strategis lainnya dibandingkan membeli apartemen yang tempat dan lingkungan sosialnya lebih terbatas.

Penerapan mashlahah pada konsumsi individual akan sejalan dengan pencapaian mashlahah di level sosial. Pada contoh pembelian tempat tinggal di atas, pembelian rumah tinggal yang kebaikan dan manfaat penggunaannya dirasakan oleh orang di sekitarnya, tetangga dan bahkan lingkungannya, ini membuat pencapaian mashlahah nya juga untuk sosial. Misalnya rumah tinggal tadi bisa digunakan untuk silaturahim antar tetangga, tempat pengajian tentu membeli rumah di perumahan masyarakat akan lebih cocok dibandingkan dengan membeli apartemen.

6.         Bagaimana fungsi dan peran sejarah dalam pengembangan (suatu objek) ilmu ekonomi Islam? Terakhir, untuk melihat apakah objek yang dikaji adalah sesuatu yang memiliki penerapan secara historis Islam, maka peran sejarah sangat dibutuhkan. Akan tetapi, jika objek kajian tersebut baru maka bagaimana ilmu ekonomi Islam memperlakukannya? Untuk melihat apakah mashlahah ini merupakan objek yang baru atau lama dalam ekonomi Islam. Apakah ditemukan literatur– literatur lama yang menyebutkan konsep mashlahah baik secara eksplisit maupun implisit, dan seterusnya.

 

C. DEFINISI ILMU EKONOMI ISLAM

Ekonomi adalah ilmu sosial yang mempelajari aktifitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi terhadap barang dan jasa. Istilah “ekonomi” sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu oikos yang berarti “keluarga, rumah tangga” dan nomos yang berarti “peraturan, aturan, hukum”. Secara garis besar, ekonomi diartikan sebagai “aturan rumah tangga” atau “manajemen rumah tangga”. Ekonomi mencakup kegiatan kontemplasi dalam rangka   berkreasi   dan   berinovasi   untuk   dijadikan   solusi   dalam memenuhi kebutuhan hidup. Solusi ini menjawab hal yang berkaitan dengan produksi, distribusi dan konsumsi.

Ekonomi Islam dalam bahasa Arab diistilahkan dengan al-iqtishad al-Islami. Iqtishad (ekonomi) didefinisikan sebagai pengetahuan tentang aturan yang berkaitan dengan produksi kekayaan, mendistribusikan dan mengonsumsinya.[7] Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.

Terdapat perbedaan penafsiran, pendekatan, dan metodologi yang digunakan oleh para ekonom muslim dalam membentuk konsep ekonomi Islam. Hal ini disebabkan adanya perbedaan latar belakang pendidikan, keahlian, dan pengalaman yang dimiliki. Merujuk pendapat Aslem Haneef,[8] pemikir ekonomi Islam Malaysia, para pemikir muslim bidang ekonomi dikelompokkan dalam tiga kategori, yakni:

1)        Kelompok jurist atau pakar bidang fikih atau hukum Islam sehingga pendekatan yang dilakukan adalah legalistik dan normatif.

2)        Kelompok modernis yang lebih berani memberikan interpretasi terhadap ajaran Islam untuk menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat terkini.

3)        Kelompok western-trained moslem economist, yaitu para praktisi atau ekonom muslim yang berlatar belakang pendidikan Barat. Mereka mencoba menggabungkan pendekatan fikih dan ekonomi sehingga ekonomi Islam terkonseptualisasi secara integrated.

Dengan kata lain, mereka berusaha mengonstruksi ekonomi Islam seperti ekonomi konvensional, tetapi dengan mereduksi nilai yang tidak sejalan dengan Islam dan memberikan nilai Islam pada analisis ekonominya.

Pendefinisian tentang apakah ekonomi Islam berbeda antara ekonom yang satu dengan ekonom lainnya. M.M Metwally (1993)[9] mendefinisikan, “Islamic economics may be defined as the study of the economic behavior of the true Muslim in a society which adheres to the Islamic doctrine from the Holy Qur’an, the Sunna of The Holy Prophet Muhammad (or the Hadith, or tradition), the consensus (ijma’) and the analogy (qiyas)”. Menurut Metwally, yang membedakan antara Islam dan agama lain adalah ajaran yang terdapat dalam Islam tidak hanya berkaitan dengan masalah ibadah, tetapi turut pula mengatur permasalahan kehidupan dunia yang dapat dilakukan oleh seorang muslim dalam kehidupan kesehariannya.

Menurut Monzer Kahf dalam bukunya The Islamic Economy[10] menjelaskan bahwa ekonomi Islam adalah bagian dari ilmu ekonomi yang bersifat interdisipliner dalam arti kajian ekonomi syariah tidak dapat berdiri sendiri, tetapi perlu penguasaan yang baik dan mendalam terhadap ilmu-ilmu syariah dan ilmu-ilmu pendukungnya juga terhadap ilmu-ilmu yang berfungsi sebagai tool of analysis seperti matematika, statistik, logika, dan ushul fiqih.

Muhammad Abdullah al-Arabi,[11] ekonomi syariah merupakan sekumpulan dasar umum ekonomi yang kita simpulkan dari Alquran dan sunah, dan merupakan bangunan perekonomian yang kita dirikan di atas landasan dasar-dasar tersebut sesuai dengan tiap lingkungan dan masa. Choudhury[12] memberikan definisi ekonomi Islam sebagai, “Jumlah total dari studi historis dan teoritis yang menganalisis kebutuhan manusia dan masyarakat dalam sistem nilai Islam yang terintegrasi. Dua elemen bidang ini, pertama, barang dan jasa yang murni dapat dipasarkan beserta harganya dan, kedua, peningkatan manfaat yang diperoleh dari konsumsi barang dan jasa tersebut..”

Muhammad Abdul Manan[13]berpendapat bahwa ilmu ekonomi Islam dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah ekonomi masyarakat yang diilhami oleh nilai- nilai Islam. Ia mengatakan bahwa ekonomi Islam merupakan bagian dari tata kehidupan lengkap berdasarkan sumber hukum Islam, yaitu: Alquran, sunah, ijmak, dan qiyas. Setiap pengambilan hukum dalam ekonomi Islam harus berbasis minimal pada keempat hal tersebut agar hukum yang diambil sesuai dengan prinsip dan filosofi yang terdapat pada ekonomi Islam.

Muhammad Nejatullah Siddiqi dalam bukunya, Role of State in the Economy,[14] memberikan definisi “Islamic economics is ‘the moslem thinker’ response to the economic challenges of their times. In this endeavor they were aided by the Qur’an and the Sunnah as well as by reason and experience”. Syed Nawab Heider Naqvi dalam bukunya, Islam, Economics, and Society,[15] memberikan rumusan “Islamic economics is the representative Moslem’s behaviour in a typical muslim society”.

Definisi ekonomi Islam juga dikemukakan oleh Umer Chapra[16] bahwa ilmu ekonomi Islam diartikan sebagai cabang pengetahuan yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya alam yang langka yang sesuai dengan maqashid, tanpa mengekang kebebasan individu untuk menciptakan keseimbangan makroekonomi dan ekologi yang berkesinambungan, membentuk solidaritas keluarga, sosial, dan jaringan moral masyarakat.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari tata kehidupan masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonomi yang meliputi alokasi dan distribusi sumber daya alam yang diimplementasikan berdasarkan Alquran, hadis, ijmak, dan qiyas sesuai prinsip syariat Islam dalam mewujudkan kesejahteraan umat.

D. POSISI ILMU EKONOMI ISLAM DIBANDINGKAN

Pada hakikatnya, ilmu ekonomi Islam merupakan ilmu ekonomi yang membahas dua disiplin ilmu secara bersamaan, yaitu ilmu ekonomi dan ilmu fikih muamalah. Ilmu ekonomi bersumber dari pemikiran manusia sedangkan ilmu fikih muamalah bersumber dari petunjuk Alquran dan hadis yang diwahyukan kepada Nabi. Fikih muamalah diperoleh melalui para fukaha melalui kaidah ushuliyah dengan merumuskan beberapa aturan yang harus dipraktikkan dalam kehidupan ekonomi umat dengan cara menelusuri langsung dari Alquran dan hadis. Proses perumusan tersebut diperoleh dari hasil pemikiran rasional melalui logika deduktif. Dari kedua sumber tersebut diperoleh premis mayor yang kemudian dijabarkan menjadi premis-premis minor untuk mendapatkan kesimpulan yang baik dan benar.

Samuelson dan Nordhaus, menyatakan bahwa ilmu ekonomi merupakan suatu studi tentang perilaku masyarakat dalam menggunakan sumber daya yang terbatas (langka) dalam rangka memproduksi berbagai komoditas, untuk kemudian menyalurkan (mendistribusikan) komoditas tersebut kepada berbagai individu dan kelompok yang ada dalam suatu masyarakat.[17]

Jadi ilmu ekonomi membahas aktivitas yang berkaitan dengan alokasi sumber daya yang langka untuk kegiatan produksi untuk memproduksi barang dan jasa; ekonomi juga membahas aktivitas yang berkaitan dengan cara-cara memperoleh barang dan jasa; juga membahas aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan konsumsi, yakni kegiatan pemanfaatan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup; serta membahas aktivitas yang berkaitan dengan kegiatan distribusi, yakni bagaimana menyalurkan barang dan jasa yang ada di tengah masyarakat. Seluruh kegiatan ekonomi mulai dari produksi, konsumsi dan distribusi barang dan jasa tersebut semuanya dibahas dalam ilmu ekonomi yang sering dibahas dalam berbagai literatur ekonomi kapitalis.

Terdapat pertentangan antara kebutuhan dan keinginan manusia yang sifatnya tidak terbatas dengan terbatasnya kapasitas sumber daya ekonomi yang tersedia. Sebagai contoh, ilmu ekonomi akan membolehkan sistem ekonomi liberal, kapitalis, dan komunis sepanjang dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia yang menjadi tujuan ekonomi. Oleh karena itu, yang menjadi masalah pokok dari ekonomi konvensional adalah kelangkaan (scarcity) dan keinginan manusia yang tidak terbatas. Karena kelangkaan inilah, maka manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan tentang apa yang harus diproduksi, bagaimana memproduksi, untuk siapa, bagaimana membagi produksi dari waktu ke waktu serta bagaimana mempertahankan dan menjaga tingkat pertumbuhan produksi tersebut.[18]

Pandangan sistem ekonomi kapitalis di atas yang memasukkan seluruh kegiatan ekonomi mulai dari produksi, konsumsi, dan distribusi dalam pembahasan ilmu ekonomi berbeda dengan pandangan sistem ekonomi Islam. Perbedaan ini dapat diketahui Problematika ekonomi manusia dinilai secara berbeda karena adanya perbedaan sumber ilmu pengetahuan. Ilmu ekonomi membahas mengenai bagaimana menggunakan atau mengalokasikan sumber daya ekonomi yang terbatas jumlahnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak terbatas. Secara lebih spesifik,dengan memahami pandangan tersebut dengan merujuk pada sumber-sumber hukum Islam berupa Alquran dan sunah. Di dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW. bersabda:

“Dua telapak kaki manusia tidak akan bergeser (pada Hari Kiamat) hingga ia ditanya tentang umumya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya untuk apa ia pergunakan, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan untuk apa ia pergunakan, dan tentang tubuhnya untuk apa ia korbankan.” (H.R. Tirmidzi dari Abu Barzah r.a..)

Hadis di atas memberikan gambaran bahwa setiap manusia akan diminta pentanggungjawaban terhadap empat perkara yakni tentang umurnya, ilmunya, hartanya, dan tubuhnya. Tentang umur, ilmu dan tubuhnya setiap orang hanya ditanya dengan masing-masing satu pertanyaan sedangkan berkaitan dengan harta maka setiap orang akan ditanya dengan dua pertanyaan, yakni dari mana hartanya dia peroleh dan untuk apa hartanya dia pergunakan. Hal ini memberikan suatu gambaran bahwa Islam memberi perhatian yang besar terhadap segala aktivitas manusia yang berhubungan dengan harta. Dengan kata lain, Islam memberikan perhatian yang besar pada bidang ekonomi.

Bertolak belakang dengan ilmu ekonomi, fikih muamalah belum tentu dapat menerima ketiga sistem itu karena masih membutuhkan validasi dari Alquran dan hadis. Menurut Baqir As-Sadr, sumber daya pada hakikatnya tidak terbatas dan sangat melimpah. Hal ini didasarkan pada dalil yang menyatakan bahwa Allah SWT menciptakan alam semesta ini dengan ukuran yang setepat-tepatnya. Allah SWT juga telah memberikan sumber daya yang cukup untuk umat manusia[19]. Baqir As-Sadr juga menolak pendapat yang menyebutkan bahwa keinginan manusia tidak terbatas. Ia berpendapat bahwa manusia akan berhenti mengonsumsi suatu barang atau jasa apabila tingkat kepuasan terhadap barang tersebut menurun atau nol. Menurutnya, yang menjadi masalah utama dari ekonomi adalah tidak meratanya distribusi sumber daya di antara manusia.

Untuk memahami ilmu ekonomi Islam, tidak lepas dari membandingkan perbedaannya dengan ilmu ekonomi konvensional, sehingga bisa digarisbawahi perbedaannya. Permasalahan yang ada pada masyarakat yang terus ada adalah mengenai ketidakpastian dan koordinasi. Ketidakpastian akan apa yang terjadi di masa mendatang, yang menyebabkan banyak orang memiliki persepsi, dan membuat keputusan berdasarkan ekspektasi-ekspektasi yang ada.

Berkaitan dengan masalah pokok yang dihadapi oleh ekonomi konvensional, di kalangan ekonomi Islam terdapat perbedaan pandangan. Begitu pula dengan ketidakterbatasan keinginan manusia terhadap kebutuhan barang masih menjadi perdebatan. Ilmu ekonomi (konvensioanl) yang berkembang di dunia Barat dilandasi dengan kebebasan individu dalam melakukan kontrak dengan syarat tidak merugikan satu sama lain. Konsep-konsep ekonomi konvensional versi Barat perlu diredefinisi agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan syariat Islam. Di antara konsep-konsep tersebut antara lain:

Pertama, konsep harta. Masalah yang timbul dalam konsep harta adalah bahwa ilmu ekonomi umum tidak mengenal adanya nilai dalam harta dalam pemilikan. Sejauh dapat menimbulkan nilai ekonomis, segala sesuatu dapat diakui sebagai harta. Tidak heran bila barang- barang haram seperti minuman keras dan daging babi termasuk properti yang sah untuk dijadikan sebagai salah satu komoditas bisnis.[20]

Kedua, konsep uang. Pembahasan dalam fikih muamalah mengasumsikan bahwa uang yang digunakan masyarakat adalah uang komoditi (commodity money), yaitu emas dan perak. Padahal sejak zaman penjajahan, uang emas dan perak tidak lagi digunakan sebagai alat tukar. Sebagai gantinya uang kertas menjadi alat tukar yang berlaku di tengah masyarakat. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum uang kertas ini. Ada yang menganggap bahwa uang kertas tidak diterima dalam syariah karena bukan harta riil dan ada pula yang dapat menerimanya.[21]

Ketiga, konsep bunga dan riba. Di dalam ilmu ekonomi, bunga merupakan asumsi yang tidak lagi menjadi bahan perdebatan meskipun sampai saat ini para ekonom masih sulit mencari justifikasi terhadapnya. Di dalam ilmu fikih muamalah, istilah ini tidak dikenal meskipun pembahasan tentang hukum riba boleh dikatakan telah selesai dan para ulama sepakat mengharamkannya.[22] Dengan konsep uang kertas atau abstract money, konsep bunga dan riba menjadi pembahasan yang berkelanjutan.

Keempat, konsep time value of money. Sebagian besar teori tentang manajemen keuangan dibangun berdasarkan konsep nilai dan waktu dari uang yang mengasumsikan bahwa nilai uang sekarang relatif lebih besar ketimbang di masa yang akan datang. Sementara itu, di sisi lain tidak didapati penjelasannya dalam fikih muamalah meskipun perdebatan tentang jual beli tangguh (ba’i mu’ajjal) termasuk diskusi yang tidak sedikit di antara para ulama.[23]

Kelima, konsep modal. Modal dalam pengertian ilmu ekonomi adalah segala benda, baik yang fisik maupun abstrak, yang memiliki nilai ekonomis dan produktif. Termasuk dalam pengertian ini adalah uang dan intellectual property right (hak atas kekayaan intelektual). Di dalam fikih muamalah klasik, pengertian modal terbatas pada benda fisik. Uang hanya dapat berperan sebagai alat tukar. Apabila ia ingin mejadi modal yang digunakan untuk memperoleh keuntungan ia harus terlebih dahulu diubah ke dalam bentuk fisik.[24]

Keenam, konsep lembaga. Ilmu ekonomi tidak mempersoalkan adanya individual entity atau abstract entity. Berbeda halnya dengan fikih muamalah yang objeknya kepada mukalaf secara individual. Hal ini akan membawa dampak bagi analisis tentang kepemilikan dan hubungannya dengan kepemilikan.

Kemudian, bagaimana posisi ilmu ekonomi Islam dibandingkan dengan ilmu ekonomi konvensional lain? Selama bertahun-tahun, hingga sampai saat ini, membahas ilmu ekonomi yang ideal terus men jadi suatu hal yang dicari dan kemudian dipromosikan. Namun, hingga saat ini, belum ada sistem ekonomi yang berjalan ideal sesuai dengan apa yang dikampanyekan, karena masih menuai beberapa kritik terhadap keberjalanannya. Mulai dari sistem aliran klasik yang dibawa oleh Adam Smith dengan pandangannya akan kepentingan pribadi dan mencari laba sebanyak-banyaknya pada Abad 1700-an, kemudian disanggah oleh Karl Marx yang membawa aliran sistem ekonomi sosialis yang mana merupakan kritikan terhadap aliran klasik, atau disebut Karl Marx merupakan sistem ekonomi kapitalis karena mengakumulasikan kapital sebesar-besarnya.

Muhammad Rawas Qal’ah-ji serta pakar hukum dan ahli ekonomi Islam lainnya menyebutkan ada 13 ciri utama ekonomi Islam yang menjadikannya berbeda dengan sistem ekonomi konvensional. Ketiga belas prinsip ekonomi yang dimaksud adalah sebagai berikut :[25]

1.         Ekonomi Islam pengaturannya bersifat ketuhanan/ilahiah (nizhamun rabbaniyyun), mengingat aturannya tidak ditetapkan oleh manusia, tetapi didasarkan pada aturan-aturan Allah SWT..

2.         Di dalam Islam, ekonomi hanya satu titik bagian dari Islam secara keseluruhan (juz’un min al-Islam as-syamil). Tidaklah mungkin memisahkan ekonomi Islam dari rangkaian ajaran Islam secara keseluruhan yang bersifat utuh dan menyeluruh.

3.         Ekonomi Islam berdimensikan akidah atau keakidahan (iqtishadun ‘aqidatun), mengingat ekonomi Islam itu lahirnya dari akidah Islamiyyah yang di dalamnya akan dimintakan pertanggungjawaban mengenai akidahnya.

4.         Berkarakter ta’abbudi (thabi’iyyun ta’abbudiyun), mengingat bahwa ekonomi Islam merupakan tata aturan yang berdimensikan ketuhanan (nizham rabbani), dan setiap ketaatan kepada salah satu dari sekian banyak aturan Allah SWT, maka hal itu termasuk ketaatan kepada-Nya, dan setiap ketaatan itu merupakan bentuk ibadah kepada Allah SWT. Begitu pula ketaatan dalam penerapan aturan-aturan ekonomi Islam merupakan bentuk ibadah kepada Allah SWT.

5.         Terkait erat dengan akhlak (murtabithun bil-akhlaq). Islam tidak pernah memprediksi pemisahan antara ekonomi dengan akhlak, begitupun Islam tidak pernah memetakan sistem ekonomi dalam lindungan Islam yang tanpa akhlak. Itulah sebabnya, mengapa dalam Islam tidak ditemukan aktivitas ekonomi seperti perdagangan, perkreditan dan lain sebagainya semata-mata hanya murni kegiatan ekonomi seperti yang terdapat dalam ekonomi konvensional. Di dalam Islam, kegiatan ekonomi tidak boleh terlepas dari kendali akhlak yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam.

6.         Elastis (al-murunah), artinya berkembang secara perlahan. Kekhususan al-murunah ini didasarkan pada Alquran dan hadis sebagai rujukan ekonomi Islam. Sementara itu, implementasinya secara riil di lapangan diserahkan kepada kesepakatan sosial (masyarakat sosial) sepanjang tidak menyalahi aturan syariat.

7.         Objektif (al-maudhu’iyyah), dalam pengertiannya, Islam mengajarkan untuk senantiasa bersikap objektif dalam melakukan aktivitas ekonomi. Aktivitas ekonomi pada hakikatnya merupakan amanat yang dilakukan pelaku ekonomi tanpa boleh membeda-bedakan berdasarkan ras, golongan, warna kulit, maupun agama. Bahkan terhadap musuh sekali pun, Islam memerintahkan untuk menghormatinya dan memperlakukannya seperti teman dekat.

8.         Memiliki target/sasaran yang lebih tinggi (al-hadaf as-sami). Bertolak belakang dengan tujuan atau target ekonomikonvensional yang hanya mengejar kepuasan semata, ekonomi Islam mempunyai target atau tujuan yang lebih tinggi, yaitu merealisasikan kerohanian yang lebih tinggi (berkualitas) serta pendidikan kejiwaan yang tenteram.

9.         Perekonomian yang stabil/kokoh (iqtishadun bina’un). Kekhususan ini antara lain bahwa Islam mengharamkan bisnis yang membahayakan umat insani. Seperti riba, penipuan, perdagangan khamar, dan kegiatan-kegiatan kemaksiatan lainnya.

10.     Perekonomian yang berimbang (iqtishad mutawazin), maksudnya, yaitu bahwa Islam mempunyai tujuan untuk mewujudkan perekonomian yang seimbang antara kepentingan individu dan kepentingan sosial, kepentingan dunia dan kepentingan akhirat, serta keseimbangan antara kebutuhan fisik-biologis dan kebutuhan psikis-rohaniah.

11.     Realistis (al-waqi’iyyah). Ekonomi Islam paham betul bahwa perkiraan (forecasting) bisnis dengan kenyataan tidak selamanya bisa selaras. Dalam hal tertentu dapat saja terjadi pengecualian atau penyimpangan dari hal-hal yang semestinya.

12.     Harta kekayaan itu hakikatnya adalah milik Allah SWT.. Di dalam prinsip ini, terkandung maksud bahwa kepemilikan seseorang terhadap sesuatu adalah tidak mutlak. Pendayagunaan harta dalam Islam harus dikelola dan dimanfaatkan sesuai dengan tuntutan Allah SWT..

13.     Memiliki kecakapan dalam mengelola harta kekayaan (tarsyid istikhdam al-mal). Setiap orang harus mempuyai kemampuan dalam mengelola harta seperti hemat dalam berbelanja, tidak menyerahkan harta kepada orang yang tidak mengerti mengenai pengelolaan harta, tidak membelanjakannya pada hal-hal yang diharamkan oleh Allah SWT serta tidak membelanjakannya pada hal- hal yang dapat merugikan orang lain.

E. ARTI PENTING ILMU EKONOMI

Ilmu ekonomi pada dasarnya adalah ilmu tentang perilaku manusia, karena aktivitas ekonomi adalah aktivitas manusia, maka analisis dalam ilmu ekonomi harus mendasarkan diri pada perilaku manusia. Ilmu sosial pada umumnya percaya bahwa perilaku manusia seringkali adalah rumit, tidak sempurna, terbatas, self- contradictory dan unpredictable. Sebaliknya, ilmu ekonomi menggunakan model perilaku manusia yang disebut homo economicus (economic man), yang secara luar biasa menyederhanakan perilaku manusia sebagai individu ekonomi yang memiliki sifat-sifat berikut: Perfect self-interest, Perfect rationality, dan Perfect information.[26]

Di samping itu bahwa ilmu ekonomi menurut beberapa ahli adalah ilmu yang mempelajari perilaku-perilaku manusia bagaimana melakukan tindakan pemilihan terhadap berbagai alternatif yang mungkin ada ketika dihadapkan pada masalah kelangkaan sehingga tercapai kesejahteraan.[27]Dengan demikian, dapat diketahui bahwa mempelajari ilmu ekonomi tidak akan lepas dari belajar ilmu perilaku.

Ekonomi Islam dibangun atas dasar aksioma atau keyakinan- keyakinan yang menjadikan dasar perilaku manusia. Aksioma- aksioma tersebut, seperti yang dikutip dari buku Ekonomi Islam Bank Indonesia,yaitu:[28]

1)        Kehidupan yang sesungguhnya adalah akhirat, yaitu kehidupansetelahkematiandidunia.Pemikiranakalmanusiaadalah terbatas, dan sumber informasi yang sempurna hanyalah Alquran dan hadis.

2)        Kehidupan akhirat merupakan akhir pembalasan (pengadilan) kehidupan dunia. Kehidupan akhirat dipercaya bukan merupakan hidup baru yang terlepas dari kehidupan di dunia melainkan kelanjutan dari hidup di dunia. Kehidupan akhirat merupakan masa pembalasan yang seadil-adilnya terhadap setiap perbuatan yang pernah dilakukan di dunia.

3)        Pemikiran akal manusia adalah terbatas, dan sumber informasi yang sempurnahanyalah Alquran dan hadis. Manusia yang berakal sehat (ulul albab), menurut Islam, adalah mereka yang mampu menggabungkan antara zikir dan pikir. Berzikir artinya selalu mengingat petunjuk dari Allah SWT dan Rasul-Nya dalam setiap sendi kehidupan, sedangkan berpikir artinya selalu menggunakan analisis yang logis dan mendalam dalam memutuskan hal-hal yang berurusan dengan duniawi.

Urgensi ilmu ekonomi Islam dapat dianalisis dari dua kriteria yang sebelumnya telah dijelaskan, yakni kriteria hadd dan fashl. Selain itu, terdapat juga perbedaan konsep rasionalitas yang terdapat dalam ilmu ekonomi konvensional. Konsep rasionalitas tersebut merujuk pada sikap self-interest yakni sikap manusia yang hanya mengedepankan kepentingan pribadinya sendiri untuk mendapatkan keuntungan. Jika sikap ini terus dilestarikan, maka akan menimbulkan konflik dengan social interest. Sementara itu, dalam Islamic worldview tidak hanya mementingkan eksistensi personal, tetapi juga universal atau disebut juga konsep huquq.[29]Dengan demikian, segala keputusan dalam mengalokasikan sumber daya yang terbatas akan menciptakan mashlahah dan menghilangkan mafsadah.



[1] Komarudin.  (2021).  Pengantar  Ekonomi  Syariah:  Sebuah  Tinjauan Teori dan Praktis. Bandung: Widina Bhakti Persada Bandung.

[2] Al          Arif, N. R., & Euis, A, Teori Mikrobiologi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional. (Jakarta: Grama Publishing, 2010),3

[3] Mannan, M. A.  Ekonomi Islam: Teori dan Praktek. Jakarta: PT Intermassa,1992),5.

[4] Prasetyo,  Y.    (2018).    Ekonomi    Syariah.    Bandung:     Aria Mandiri Group.

 

[5] Salam, B. (2005). Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara.

 

[6] Nurzaman, Mohammad Soleh. (2019). Pengantar Ekonomi Islam: Sebuah Pendekatan Metodologi. Jakar ta: Salemba Diniyah.

 

[7] Al-Mishri. (1993). Ushul al-Iqtishad al-Islami. Damsyiq: Dar al-Qalam.

 

[8] Haneef, M. A. (1995). Contemporary Islamic economic thought: A selected comparative analysis. Alhoda UK.

 

[9] Metwally, M.M. (1993), Essays on Islamic Economics, Academic Publishers, Calcutta, 182 pages.

[10] Kahf, M. (2014). Islamic Economics. Al Manhal.

[11] Muhammad A. Al ‘Arabi. Sistem Ekonomi Islam Prinsip -Prinsip dan Tujuannya. Terjemahan oleh Ahmad, Abu dan Umar S. Anshori. Semarang: PT Bina Ilmu.

[12] Choudhury, M. A. (1986). Contributions to Islamic economic theory: A study in social economics. Springer.t

[13] Muhammad Abdul Mannan (1985). Ekonomi Islam: Teori dan Praktis, Jilid. 1, terj. Radiah Abdul Kader. Kuala Lumpur: A.S. Noordeen.

 

[14] Siddiqi, Muhammad Nejatullah (1996). Role of state in the Economy: An Islamic Perspective. Vol. 20. Islamic Foundation

[15] Naqvi, S. N. H. (Ed.). (2013). Islam, Economics, and Society (RLE Politics of Islam). Routledge.

[16] Chapra, M. U. (2001). Masa depan ilmu ekonomi: sebuah tinjauan Islam. Gema Insani.

 

[17] Samuelson & Wiliam. (1995) . Mikroekonomi Edisi ke-4 (Terjemahan). Jakarta: Erlangga

 

[18] Rozalinda. (2014) . Ekonomi Islam: Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi. Jakarta: PT Grafindo Persada.

 

[19] Sadr, Muhammad Baqir. (2008). Our Economic, dalam “Buku Induk Ekonomi Islam Iqtishoduna, terj.Jakarta: Zahra

 

[20] Hakim, Cecep Maskanul. (2002). Mu’amalat (Ekonomi Islam): Sebuah Problem Epistemologis dan Aksiologis. Makalah disampaikan pada semiloka Pemetaan Studi Hukum Islam Fakultas Syariah UIN Jakarta

 

[21] Meera, Ahmed Kameel Meydin. (2002). The Islamic Gold Dinar. Kuala Lumpur: Pelanduk.

 

[22] Ka’bah, Rifyal. (1999). Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

 

[23] Zuhaili, Wahbah. (1989). al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Cet. 3, Beirut: Dar alFikr.

 

[24] Khan, Fahim. (1996). The Theory of Capital in Islam. Malaysia: Islamic Research Institute.

 

[25] Suma, Muhammad Amin. (2008) . Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam. Tangerang: Kholam Publishing

 

[26] Nurzaman, Mohammad Soleh. (2014). Handout Pelatihan Mikro dan Makro Islam. Program Studi Ilmu Ekonomi dan Keuangan Islam

 

[27] Ahman, Eeng, Rohmana, Yana. (2015). Ekonomi Mikro Suatu Pengantar. Bandung: Rizqi Press.

 

[28] Bank Indonesia, Tim Penulis. (2018). Pengantar Ekonomi Islam. BI Institute.

 

[29] Nurzaman, Mohammad Soleh. (2019). Pengantar Ekonomi Islam: Sebuah Pendekatan Metodologi. Jakarta: Salemba Diniyah.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERSPEKTIF EKONOMI SYARIAH DALAM BISNIS KONTEMPORER

  MATERI- PENGANTAR BISNIS ISLAM Oleh: Eny Latifah, S.E.Sy.,M.Ak Perspektif Ekonomi Syariah dalam Bisnis Kontemporer   A.      Pengertian Ek...