Sabtu, 29 Juni 2024

PARADIGMA EKONOMI ISLAM

 

PARADIGMA EKONOMI ISLAM

 

 

A. CARA PANDANG EKONOMI ISLAM

Pandangan dunia atau pandangan hidup (worldview) berperan sangat penting dalam sistem masyarakat tertentu. Worldview berfungsi sebagai dasar bagi keseluruhan bangunan pengetahuan.[1] Di bidang ilmu pengetahuan, worldview berfungsi sebagai media kognitif yang menjelaskan posisi ontologis, aturan metodologis, kerangka nilai, dan sebagainya.[2] Oleh karena itu, bangunan ilmu pengetahuan sangat bergantung pada setiap worldview yang dimiliki masyarakat tertentu dan di atas worldview tadi dibangunlah ilmu pengetahuan yang khas[3] serta peradaban yang berbeda dari fondasi peradaban lain.[4]

Pandangan hidup (worldview) merupakan suatu hal yang menunjang keberlangsungan hidup seorang manusia di dunia. Pandangan hidup ini dapat menjadi pedoman atau petunjuk hidup seseorang dalam mencapai tujuannya. Secara analogis, pandangan hidup (worldview) seperti lensa, dan melalui lensa tersebut manusia memandang dunia dan memahami posisinya dalam hierarki ciptaan Tuhan.[5] Di sisi lain, perspektif worldview sejatinya melibatkan jauh lebih dari sekedar seperangkat keyakinan intelektual. Melainkan melibatkan pula konsep dasar dari sistem keyakinan itu sendiri, yang terdiri dari jaringan ide yang saling berhubungan dan membentuk satu kesatuan yang utuh. Hal ini disebabkan worldview akan membentuk, mempengaruhi dan umumnya mengarahkan seseorang untuk berperilaku selama hidupnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, worldview dapat didefinisikan sebagai cara seseorang dalam melihat kehidupan dan dunia pada umumnya. Ada tiga poin penting dari definisi di atas, yaitu bahwa worldview adalah motor bagi perubahan sosial, asas bagi pemahaman realitas dan asas bagi aktivitas ilmiah.[6] Worldview berperan sebagai fondasi ilmu pengetahuan yang membentuk peradaban hidup manusia. Namun, hal ini bukan berarti ilmu pengetahuan dapat menjawab setiap pertanyaan worldview, tetapi itu adalah sumber keyakinan worldview yang kaya dan kuat.[7] Di dalam membentuk disiplin ilmu yang utuh, worldview akan berperan dalam pembangunan definisi, aksioma, dan ruang lingkup beserta karakteristik ilmu pengetahuan tersebut.[8]

Secara sederhana worldview adalah persepsi atau paradigma tentang kehidupan di dunia, dengan worldview ini manusia dapat menjawab pertanyaan tentang hakikat kehidupan di dunia sehingga menjadi basis atau prinsip dalam menjalani hidup. Worldview tidak muncul dengan sendirinya melainkan merupakan proses panjang yang dimulai dari pembentukkan mental, yang dalam prosesnya values sangat berperan. Worldview dapat bersumber dari kitab suci, filsafat, adat istiadat, dan sumber-sumber lain yang dianggap mempengaruhi cara pandang masyarakat tertentu. Terdapat orang- orang yang berpengaruh besar dalam membangun worldview mereka, seperti nabi, filsuf, pahlawan, negarawan, dan sebagainya. Maka dari itu, worldview Islam dapat didefinisikan sebagai sebuah pandangan dunia yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. melalui bimbingan wahyu dari Allah SWT agar dijadikan sebagai paradigma dan tuntunan dalam kehidupan umat Islam.

Worldview Islam mengingatkan manusia agar senantiasa hidup sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia yang menjadi makhluk ciptaan Allah SWT. Hal yang penting lainnya adalah bahwa worldview Islam menanamkan rasa tanggung jawab kepada manusia atau adanya kepercayaan ilahi (al-amanah) yang dilakukan manusia; sejak dahulu manusia dapat melakukan peradilan dengan kepercayaan yang sebagai Khalifah Allah SWT. di muka bumi ini (khalifatullah fil Ardh).

Worldview Islam yang menjadi dasar ini oleh para ulama dan cendekiawan muslim disebut dengan berbagai istilah. Maulana al-Maududi mengistilahkan worldview dengan nazhariyatul Islam (Islamic vision), Sayyid Quttub menggunakan istilah al-tashawwur al islami (Islamic vision), Samih Athif az-Zein menyebutnya al-mabda’ al-islami (Islamic principle), sedangkan Syed Naquib al-Attas menamakannya ru’yatul Islam lil wujud (Islamic worldview). Meskipun secara istilah terjadi perbedaan penyebutan, tetapi secara esensi terdapat kesamaan keyakinan para ulama dan cendekiawan tersebut bahwa pandangan hidup (worldview) seorang muslim haruslah menjadikan Islam sebagai sistem hidup yang mengatur semua sisi kehidupan manusia, yang menjanjikan kesejahteraan dan keselamatan dunia dan akhirat.[9]

Worldview Islam inilah yang kemudian mendasari perilaku seorang muslim dalam kehidupan sehari-harinya di berbagai bidang, mulai dari sosial, ekonomi, politik, pendidikan, dan lainnya. Artinya, segala perbuatan seorang muslim tersebut bergantung pada kepercayaan agama sebagai sumber pengetahuan dan bimbingan dalam hidup. Ajaran Islam yang terdapat dalam Alquran maupun sunah ini menempatkan dunia dalam bentuk wujud yang bisa diindra dan tidak dapat diindra yang mampu dicapai oleh keimanan seorang manusia. Dengan demikian, worldview Islam tidak hanya berkisar tentang rasionalisme akal manusia layaknya pandangan ilmiah dan filosofis Barat, tetapi juga tentang hal gaib yang wajib diyakini oleh manusia dengan bimbingan wahyu Tuhannya.

B. ISLAM SEBAGAI JALAN HIDUP

Secara etimologi, Islam adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang memiliki makna sejahtera, kepatuhan, ketaatan, penyerahan diri, kedamaian dan keselamatan. Patuh dan taat kepada Allah SWT disebut sebagai orang muslim. Dengan demikian, Islam dari segi kebahasan adalah patuh, tunduk, dan taat kepada Allah SWT dalam upaya mencari keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat atas kesadaran dan kemauan diri sendiri, bukan paksaan atau berpura- pura, melainkan sebagai panggilan dari fitrah dirinya sebagai makhluk yang sejak dalam kandungan telah menyatakan patuh dan tunduk kepada Allah SWT.

Secara teoretis, Islam adalah agama yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Muhammad sebagai Rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajarannya yang bukan hanya mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia.[10] Agama Islam menyusun konsep- konsep dengan sistemnya yang mampu menyentuh sisi-sisi kehidupan duniawi secara berimbang dan terintegral. Islam tidak merekomendasikan pemisahan antara berbagai sisi atau segi kehidupan umat manusia. Satu sisi kehidupan tidak akan eksis secara sempurna tanpa sentuhan sisi lainnya. Islam sebagai agama mengatur kehidupan manusia secara universal baik hubungan dengan Allah SWT (Hablumminallah) maupun dalam hubungan sesama manusia (Hablumminannas). Oleh karena itu, Allah SWT. mengingatkan manusia agar menganut ajaran Agama Islam secara menyeluruh dan utuh (kafah).[11]

Islam merupakan ajaran Ilahi yang bersifat integral (menyatu) dan komprehensif (mencakup segala aspek kehidupan). Oleh sebab itu, Islam harus dilihat dan diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari secara komprehensif pula. Semua pekerjaan atau aktivitas dalam Islam, termasuk aktivitas ekonomi, harus tetap dalam bingkai akidah syariah (hukum-hukum Allah SWT),[12] dan akhlak.

C. PARADIGMA EKONOMI ISLAM

Paradigma ekonomi Islam dalam tulisan ini terdiri dari gabungan istilah paradigma dengan frase ekonomi Islam. Paradigma disebutkan dalam Alquran dengan sebutan Tashawwur yang berasal dari akar kata shawwara[13] [14]dan disebutkan dalam Alquran seperti dalam Surah Ali ‘Imran [3]: 6, al-A’raf [7]: 11, Ghafir [40]: 64, al-Hasyr [59]: 24, at-Taghabun [64]: 3 dan al-Infithar [82]: 3. Kata shawwara sebenarnya memiliki tiga arti utama. Pertama, berikan tanggapan atas   penampilan   sesuatu   yang   dijelaskan.   Kedua,   menjelaskan gambaran sebenarnya dari sesuatu.[15] Ketiga, menghasilkan munculnya sesuatu dalam pikiran.[16] Dengan demikian istilah tashawwur secara etimologis berarti tanggapan, uraian, sikap mental atau cara memandang segala sesuatu.

Ekonomi Islam didefinisikan sebagai ilmu dan penggunaan perintah dan aturan syariah untuk melindungi dari ketidakadilan dalam pengadaan dan penggunaan sumber daya alam untuk tujuan memenuhi kebutuhan manusia dan untuk memungkinkan mereka untuk menjalankan tanggung jawabnya kepada Allah SWT. dan masyarakat secara keseluruhan.[17] Ekonomi Islam sebagai ilmu sosial yang mempelajari masalah ekonomi sekelompok orang yang memegang nilai-nilai Islam,[18]dengan nilai-nilai Islam inilah manusia bisa mencapai al-falah.

Menurut Masudul Alam Choudhury, ekonomi Islam adalah studi sejarah, empiris dan teoritis yang akan dianalisis kebutuhan manusia dan masyarakat dalam bimbingan sistem nilai-nilai Islam. Dengan demikian, di sini jelas bahwa setiap kegiatan ekonomi memiliki tujuan. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan akuisisi, konsumsi atau pengelolaan sumber daya. Oleh karena itu, Islam memberikan pedoman dalam akuisisi dan penggunaan sumber daya yang disebut syariah. Sebagai khalifah Allah SWT. di muka bumi, manusia tidak menjadikan dunia sebagai tujuan akhir, melainkan berfungsi sebagai jalan untuk bekal menuju untuk akhirat. Oleh karena itu, tujuan akhir dari semua aktivitas manusia adalah untuk mencapai rida Allah SWT., artinya, manusia akan mencapai al-falah di dunia ini dan di akhirat.[19]

Ketika istilah paradigma digabungkan dengan ungkapan ekonomi Islam ini, kemudian definisi paradigma ekonomi Islam terbentuk. Karena itu, paradigma ekonomi Islam yang dimaksud dalam tulisan ini adalah gambaran komprehensif dan esensial tentang ekonomi Islam yang bertujuan untuk menjelaskan konsep dengan benar dan teliti sehingga menjadi dasar untuk semua pengadaan, penggunaan atau kegiatan manajemen sumber. Ini untuk kebaikan diri sendiri, masyarakat dan negara secara spiritual dan fisik untuk mendapatkan rida Allah SWT.

Paradigma Ekonomi Islam lahir dan dibentuk dari dua sumber utama, yaitu naqli (wahyu) dan ‘aqli (ijtihad). Sumber naqli adalah Alquran atau al-wahy al-matlu (wahyu yang dibaca) dan al-sunnah atau al-wahy ghayr al-matlu (wahyu yang tidak dibaca). Keduanya juga dikenal sebagai al-adillah al-qat’iyyah (bukti bahwa kebenarannya tidak dapat diperdebatkan). Sementara itu, sumbernya aqli, terutama yang telah disepakati adalah al-ijma’ dan al-qiyas. Keduanya juga dikenal sebagai al-adillah al-ijtihadiyyah (pandangan diperoleh melalui kesungguhan pikiran).

Paradigma ekonomi Islam didasarkan pada paradigma Islam. Oleh karena itu, unsur dasar paradigma ilmu ekonomi Islam sama dengan elemen-elemen asas dalam tashawwur Islam, yaitu Allah SWT. sebagai pencipta, manusia sebagai makhluk dan sumber daya alam juga sebagai makhluk. Konstruksi ini menghasilkan enam corak atau pola paradigma ekonomi Islam. Pertama, berdasarkan al-tawhid (keesaan Allah SWT.). Kedua, menggunakan kaidah al-’ubudiyyah (berbakti / beribadah kepada Allah SWT.). Ketiga, manusia sebagai hamba dan khalifah sekaligus pelaku ekonomi Islam. Keempat, mawarid al-tabi’i (sumber daya alam) sebagai alat atau wasilah pembangunan ekonomi. Kelima, al-tawaazun (keseimbangan) antara dunia dan akhirat; dan Keenam, mencapai mardat Allah SWT (rida Allah SWT.).

D. PENDEKATAN ISLAM TERHADAP MASALAH EKONOMI

Pemikiran manusia selalu menitikberatkan pada masalah- masalah ekonomi seperti kemiskinan, uang, barter, fluktuasi harga, pajak dan aturan campur tangan. Permasalahan-permasalahan tersebut bukan hanya terjadi di masa sekarang. Namun, jauh sebelum saat ini. Permasalahan yang dihadapi oleh ilmu ekonomi Islam adalah kesenjangan antara perilaku ideal dengan perilaku riil. Kesenjangan inilah yang kemudian dijadikan alasan bahwa teori-teori ekonomi Islam tidak dapat dibuktikan pada tataran yang empiris oleh para ekonom aliran positivisme.

E. PENDEKATAN INDUKTIF DAN DEDUKTIF

Pendekatan induktif diawali dengan mengekstraksi inti ajaran Islam menjadi elemen-elemen teori ekonomi Islam. Metode berpikir induktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang khusus terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang umum.[20] Di dalam Islam, istilah induktif disebut juga dengan istilah istiqra’. Umumnya, induktif bersumber kepada pengalaman dan lebih berbentuk eksploratif.[21] Pendekatan induktif diartikan sebagai metode penarikan hukum yang berangkat dari problem kontemporer yang kemudian ditarik status hukum syariatnya. Sebelum membahas lebih lanjut, supaya mempermudah pembelajaran, berikut merupakan skema penarikan pendekatan induktif.[22]

Pendekatan deduktif diawali dengan mengekstraksi inti ajaran Islam menjadi elemen-elemen teori ekonomi Islam. Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian- bagiannya yang khusus. Dengan kata lain, metode ini digunakan untuk menghasilkan hukum syariat Islam yang diturunkan langsung dari nas-nas Alquran dan sunah. Di dalam Islam dikenal qiyas dalam ushul fiqh yang dapat dikatakan mirip dengan metode deduktif ini, atau dalam arti lain, qiyas dihasilkan dari logika deduktif analogis (perbandingan). Ulama yang banyak melakukan metode ini adalah Imam Syafi’i.

Di dalam melakukan penelitian, diperlukan metodologi yang dapat membina teori dan menguji hipotesis di lapangan. Dari bagian metodologi penelitian itu terdiri dari komponen falsafah dan operasionalnya. Komponen falsafah di antaranya tasawuf, epistemologi, ontologi, dan aksiologi.

Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, bahwa pendekatan deduktif dalam Islam identik dengan cara untuk menghasilkan hukum syariat. Hukum syariat diartikan sebagai seruan dari Pembuat Hukum yang mengikat perbuatan hamba. Dari definisi tersebut, salah satu syarat bahwa nas Alquran dan sunah dapat menjadi hukum syariat yakni harus mengandung seruan/tuntutan. Adapun skema penarikan hukum syariat dengan pendekatan deduktif.

 

 

F. PENARIKAN HUKUM (ISTINBATHUL AHKAM)

Pada tahap ini, kita akan mengalami proses penarikan hukum syara’ terhadap status perbuatan manusia yang hendak dihukuminya. Lalu, bagaimana proses dalam penarikan hukum ini? Proses yang dilakukan adalah sama dengan proses penarikan hukum syariat dengan pendekatan deduktif. Hal tersebut dikarenakan ketika hendak menarik hukum suatu perbuatan maka paling tidak akan melewati beberapa langkah sebagai berikut:

1)        Menentukan jenis khithob atau seruan. Apakah mengandung perintah atau larangan.

2)        Mencari qarinah/tanda. Apakah bersifat jazm atau ghairu jazm

3)        Menentukan status hukum syariatnya. Apakah wajib, sunah, mubah, makruh, atau haram.

G. MUAMALAH DIATUR DALAM SYARIAH

Hidup merupakan realisasi ibadah kepada Allah SWT., yang segala sesuatunya harus kembali kepada Allah SWT, termasuk di dalamnya aspek muamalah (Q.S. al-An’am [6]: 162): “Katakanlah (Muhammad): Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah SWT, Tuhan semesta alam.”

Di dalam merealisasikan hal tersebut, perlu ada panduan dan rambu-rambu yang menjauhkan manusia dari hal-hal yang merugikan manusia itu sendiri, baik di dunia maupun di akhirat. Rambu-rambu dalam ibadah adalah fikih ibadah dan rambu-rambu dalam muamalah adalah fikih muamalah.[23]

Muncul kesadaran umat untuk melaksanakan ajaran Islam secara benar dan utuh (kafah). Kesadaran itu muncul bertitik tolak dari pemahaman Islam sebagai ajaran yang bersifat universal, bukan hanya menyentuh aspek spiritual-ritual saja, melainkan menyentuh pula aspek   kehidupan   secara   luas,   termasuk   ekonomi.[24] Aktivitas ekonomi dalam bingkai syariah (menurut aturan Allah SWT) adalah melakukan aktivitas ekonomi seseorang harus menyesuaikan diri dengan aturan Alquran dan hadis. Persoalan muamalah ini tidak akan terlepas dari pembahasan syariat untuk membimbing dan memberi petunjuk kepada manusia dalam mencari sumber penghidupan, selain diharapkan dapat memberi kemaslahatan bagi kehidupannya di dunia yang merupakan bagian dari amal ibadah sebagai bekal kehidupan akhirat.[25]

Kata muamalah secara lughowi (bahasa) berasal dari kata a’mila-ya’malu kemudian berubah menjadi ‘aamala-yu’aamilu- mu’aamalah semakna dengan al-muf’alah (saling berbuat) dan dalam muamalah secara terminologi memiliki beberapa pengertian, yaitu: bentuk jamak mu’aamalat. Mua’malah dalam arti umum adalah hubungan antara manusia baik sebagai sesama untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Beberapa pengertian dari muamalah di antaranya:[26]

1)        Muamalah adalah hubungan antara manusia dalam usaha mendapatkan alat-alat kebutuhan jasmaniah dengan cara sebaik-baiknya sesuai dengan ajaran-ajaran dan tuntutan agama.

2)        Muamalah adalah hukum yang mengatur hubungan individu dengan individu lain, atau individu dengan negara Islam, dan atau negara Islam dengan negara lain.

3)        Muamalah adalah peraturan-peraturan yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia.

Sementara itu, menurut etimologi kata muamalah adalah bentuk masdar dari kata amala yang artinya saling bertindak, saling berbuat, dan saling beramal. Pengertian fikih muamalah menurut terminologi dibagi menjadi dua. Pertama dalam arti luas, fikih muamalah adalah aturan-aturan (hukum) Allah SWT yang ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan keduniaan atau urusan yang berkaitan dengan urusan duniawi dan sosial kemasyarakatan. Kedua dalam arti sempit, fikih muamalah lebih menekankan keharusan untuk menaati aturan-aturan Allah SWT yang telah ditetapkan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan cara memperoleh, mengatur, mengelola dan mengembangkan harta benda.

H. PRINSIP DASAR DARI MUAMALAH

Klasifikasi prinsip muamalah terbagi menjadi dua, prinsip umum dan prinsip khusus. Adapun prinsip umumnya, ialah:[27]

1)        Muamalah pada dasarnya boleh (mubah). “Pada dasarnya muamalah itu boleh, atau kaidah lain, pada dasarnya muamalah itu halal hingga ada dalil yang tegak untuk melarangnya.”

2)        Muamalah yang dilakukan untuk mewujudkan kemasalahatan. Hakikat kemaslahatan dalam Islam adalah segala bentuk kebaikan dan manfaat yang berdimensi integral duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual, serta individual dan kolektif. Sesuatu dipandang mengandung maslahat jika memenuhi dua unsur, yakni kepatuhan syariah (halal) dan bermanfaat serta membawa kebaikan (tayib) bagi semua aspek secara integral yang tidak menimbulkan mudarat.  Sebagaimana Djuwain mengatakan dengan mengutip pendapat Ibnu Taimiyyah yang mengatakan: “Syariah diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan, menyempurnakan, mengeliminasi, mereduksi kerusakan, memberikan alternatif pilihan terbaik di antara beberapa pilihan, memberikan nilai maslahat yang maksimal di antara beberapa maslahat, dan menghilangkan nilai kerusakan yang lebih besar dengan menanggung kerusakan yang lebih kecil.” Kaidah ushul al-fiqh: “Pada dasarnya setiap muamalah itu mewujudkan keadilan, menjaga kemaslahatan antara dua belah pihak dan menghilangkan kemudaratan dari keduanya.”

3)        Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keseimbangan (tawaazun). Konsep ini meliputi berbagai segi antara lain keseimbangan antara pembangunan material dan spiritual serta pemanfaatan dan pelestarian sumber daya. Selain itu, keseimbangan kehidupan dunia dengan akhirat, keseimbangan pribadi dan jamaah, keseimbangan antara aspek jasmani dan rohani, akal dan hati, antara das sein dan das sollen, serta mengeliminasi setiap kesenjangan di antara manusia. Dalam hal ini, Islam mengupayakan pula agar pendistribusian harta kekayaan dilakukan secara proporsional.

4)        Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan. Segala bentuk muamalah yang mengandung unsur penindasan tidak dibenarkan. Keadilan adalah menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya dan memberikan sesuatu hanya pada yang berhak, serta memperlakukan sesuatu sesuai posisinya. Implementasi keadilan dalam aktivitas ekonomi berupa aturan prinsip muamalah yang melarang adanya unsur riba, zalim, maysir, garar, dan haram. Di dalam terminologi fikih, adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan sesuatu hanya pada yang berhak serta memperlakukan sesuatu pada posisinya (wadh‘ al-syai` fi mahallih).

Sementara itu, prinsip khususnya, yaitu:

a)        Objek transaksi harus halal. Artinya dilarang melakukan aktivitas ekonomi terkait yang haram.

b)        Adanya keridaan pihak-pihak yang bermualamah. Dasar asas ini adalah an taradhin minkum (saling rela di antara kalian, Q.S. an-Nisa: 29). Asas ini menyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar kerelaan antara masing-masing pihak sebagai prasyarat bagi terwujudnya transaksi. Jika dalam transaksi tidak terpenuhi asas ini, berarti memakan sesuatu dengan cara batil.

c)         Pengurusan dana yang amanah, yaitu menyampaikan hak apa saja kepada pemiliknya, tidak mengambil sesuatu melebihi haknya dan tidak mengurangi hak orang lain.

d)       Pencatatan proses transaksi. Di antara upaya penjagaan dalam sebuah transaksi dari terjadinya sengketa, lupa, kehilangan, dan lainnya maka syariah memerintahkan otentifikasi (tautsiq) melalui pencatatan, kesaksian, jaminan gadai guna menjaga setiap hak dari pemiliknya.

 



1        Açıkgenç, A. (1996). Islamic Science: Towards a Definition. Kuala Lumpur: ISTAC.

2       Hoetoro, A. (2007). Ekonomi Islam Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi. Malang: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.

3        Hoetoro, A. (2007). Ekonomi Islam Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi. Malang: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.

4       Nurzaman, M. S. (2019). Pengantar Ekonomi Islam Sebuah Pendekatan Metodologi. Jakarta: Salemba Diniyah

 

5        Razak, M. A., & Haneef, S. S. (2018). Understanding the Islamic Worldview. IIUM Journal of Economics & Management 5, No. 1 (1997): 39-65

6       Zarkasyi, H. F. (2013). Worldview Islam dan Kapitalisme Barat. Tsaqafah: Jurnal Peradaban Islam, Vol. 9,

No. 1, 15-38.

 

 

 

7       Irzik, G.., & Nola, R. (2009). Worldviews and their relation to science. Journal Springer Science & Education, 729–745.

8       Nurzaman, M. S. (2014). Mikro dan Makro Islam: Rancang Bangun dan Konsep Dasar. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

 

 

 

9       Rivai, V., & Usman, A. N. (2012). Islamic Economics & Finance, Ekonomi dan Keuangan Islam Bukan Alternatif, tetapi Solusi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

 

10     Mujib, A. (2017). Ekonomi Islam Global dalam Ranah FIqh. Jurnal Masharif al-Syariah: Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syariah Vol. 2, No. 2, 1-10

11     Junaidi, H. (2017). Prinsip-prinsip Ekonom Islam: Sebuah Kajian Awal. Jurnal Muamalah Vol.3 No.1, 1-14.

12     Mursal. (2015). Implementasi Prinsip-prinsip Ekonomi Syariah. Jurnal Perspektif Ekonomi Darussalam Vol.1 No.1, 75-84

13      Madkur, ‘Ali Ahmad. (1990). Manhaj al-Tarbiyyah fi al-Tasawwur al-Islamiy. Beirut, Lubnan: Daral-Nahdah al-‘Arabiyyah

14     Mihna, ‘Abda’ ‘Ali. (1993). Lisan al-Lisan Tahdhib Lisan al-‘Arab li al- ‘Allamat Abi al-Fadl Jamal al-Din Muhammad bin Mukram IbnManzur, Jld. 2. Beirut, Lubnan: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

15     Mas‘ud, Jubran. (1990). Al-Ra’id Mu‘jam Lughawiy ‘Asriy, Jld. 2. Beirut, Lubnan: Dar al-‘Ilm li al-Malayi

 

16     Al-Qasimiy, Ahmad Mokhtar bin ‘Umar Muhyi al-Din Sobir bin ‘Ali. (1989). Al-Mu‘jam al-‘Arabi al-Asasi. Tunisia: Larousse

17     Muhammad Akram Khan. (1994). An Introduction to Islamic Economics, Islamabad, Pakistan: International Institute of Islamic Thoughts and Institute of Policies Studies.

 

18     Muhammad Abdul Mannan. (1985). Ekonomi Islam: Teori dan Praktis, Jilid. 1, terj. Radiah Abdul Kader. Kuala Lumpur: A.S. Noordeen.

19     Masudul Alam Choudhury. (1986). Contributions to Islamic Economic Theory: A Study in Sosial Economics. Hong Kong: The MacMillan Press Ltd.

 

 

[20] Rozalinda. (2015). Epistimologi Ekonomi Islam dan Pengembangan pada Kurikulum Ekonomi Islam di Perguruan Tinggi. Human Falah, 2.

[21] Bahari, Z. (2014). Ekonomi Syariah Terkini Perspektif, Metodologi dan Praktik. Konferensi Internasional Pembangunan Islami, (hal. 74). Jember.

[22] Condro, D. (2014). Ekonomi Islam Madzhab Hamfara . Irtikaz.

 

[23] Maulan, R. (2015). Fiqh Muamalah dalam Islam. Diambil kembali dari Takaful Umum: https://takafulumum. co.id/literasi.html 114

[24] Sari, N., & Hasnita, N. (2015). Kontrak (Akad) dan Implementasinya Pada Perbankan Syariah di Indonesia. Banda Aceh: Pena.

 

[25] Rahmawati. (2011). Dinamika Akad dalam Transaksi Ekonomi Syariah. Al-Iqtishad: Vol. III, No. 1, 19-34.

[26] Rohmansyah. (2017). Fiqh Ibadah dan Mu’amalah. Yogyakarta: Lembaga Penelitian, Publikasi dan Pengabdian Masyarakat (LP3M).

 

[27] Madjid, S. S. (2018). Prinsip-prinsip (Asas-asas) Muamalah. J-HES (Jurnal Hukum Ekonomi Syariah), 14- 28.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERSPEKTIF EKONOMI SYARIAH DALAM BISNIS KONTEMPORER

  MATERI- PENGANTAR BISNIS ISLAM Oleh: Eny Latifah, S.E.Sy.,M.Ak Perspektif Ekonomi Syariah dalam Bisnis Kontemporer   A.      Pengertian Ek...