PARADIGMA EKONOMI ISLAM
A. CARA PANDANG EKONOMI ISLAM
Pandangan dunia
atau pandangan hidup (worldview) berperan sangat penting dalam sistem
masyarakat tertentu. Worldview berfungsi sebagai dasar bagi keseluruhan
bangunan pengetahuan.[1]
Di bidang ilmu pengetahuan, worldview berfungsi sebagai media kognitif yang
menjelaskan posisi ontologis, aturan metodologis, kerangka nilai, dan
sebagainya.[2]
Oleh karena itu, bangunan ilmu pengetahuan sangat bergantung pada setiap
worldview yang dimiliki masyarakat tertentu dan di atas worldview tadi
dibangunlah ilmu pengetahuan yang khas[3]
serta peradaban yang berbeda dari fondasi peradaban lain.[4]
Pandangan hidup
(worldview) merupakan suatu hal yang menunjang keberlangsungan hidup seorang
manusia di dunia. Pandangan hidup ini dapat menjadi pedoman atau petunjuk hidup
seseorang dalam mencapai tujuannya. Secara analogis, pandangan hidup
(worldview) seperti lensa, dan melalui lensa tersebut manusia memandang dunia
dan memahami posisinya dalam hierarki ciptaan Tuhan.[5]
Di sisi lain, perspektif worldview sejatinya melibatkan jauh lebih dari sekedar
seperangkat keyakinan intelektual. Melainkan melibatkan pula konsep dasar dari
sistem keyakinan itu sendiri, yang terdiri dari jaringan ide yang saling
berhubungan dan membentuk satu kesatuan yang utuh. Hal ini disebabkan worldview
akan membentuk, mempengaruhi dan umumnya mengarahkan seseorang untuk
berperilaku selama hidupnya.
Berdasarkan
penjelasan di atas, worldview dapat didefinisikan sebagai cara seseorang dalam
melihat kehidupan dan dunia pada umumnya. Ada tiga poin penting dari definisi
di atas, yaitu bahwa worldview adalah motor bagi perubahan sosial, asas bagi
pemahaman realitas dan asas bagi aktivitas ilmiah.[6]
Worldview berperan sebagai fondasi ilmu pengetahuan yang membentuk peradaban
hidup manusia. Namun, hal ini bukan berarti ilmu pengetahuan dapat menjawab
setiap pertanyaan worldview, tetapi itu adalah sumber keyakinan worldview yang
kaya dan kuat.[7]
Di dalam membentuk disiplin ilmu yang utuh, worldview akan berperan dalam
pembangunan definisi, aksioma, dan ruang lingkup beserta karakteristik ilmu
pengetahuan tersebut.[8]
Secara sederhana
worldview adalah persepsi atau paradigma tentang kehidupan di dunia, dengan
worldview ini manusia dapat menjawab pertanyaan tentang hakikat kehidupan di
dunia sehingga menjadi basis atau prinsip dalam menjalani hidup. Worldview
tidak muncul dengan sendirinya melainkan merupakan proses panjang yang dimulai
dari pembentukkan mental, yang dalam prosesnya values sangat berperan. Worldview
dapat bersumber dari kitab suci, filsafat, adat istiadat, dan sumber-sumber
lain yang dianggap mempengaruhi cara pandang masyarakat tertentu. Terdapat
orang- orang yang berpengaruh besar dalam membangun worldview mereka, seperti
nabi, filsuf, pahlawan, negarawan, dan sebagainya. Maka dari itu, worldview
Islam dapat didefinisikan sebagai sebuah pandangan dunia yang dibangun oleh
Nabi Muhammad SAW. melalui bimbingan wahyu dari Allah SWT agar dijadikan
sebagai paradigma dan tuntunan dalam kehidupan umat Islam.
Worldview Islam
mengingatkan manusia agar senantiasa hidup sesuai dengan fitrahnya sebagai
manusia yang menjadi makhluk ciptaan Allah SWT. Hal yang penting lainnya adalah
bahwa worldview Islam menanamkan rasa tanggung jawab kepada manusia atau adanya
kepercayaan ilahi (al-amanah) yang dilakukan manusia; sejak dahulu manusia
dapat melakukan peradilan dengan kepercayaan yang sebagai Khalifah Allah SWT.
di muka bumi ini (khalifatullah fil Ardh).
Worldview Islam
yang menjadi dasar ini oleh para ulama dan cendekiawan muslim disebut dengan
berbagai istilah. Maulana al-Maududi mengistilahkan worldview dengan
nazhariyatul Islam (Islamic vision), Sayyid Quttub menggunakan istilah
al-tashawwur al islami (Islamic vision), Samih Athif az-Zein menyebutnya al-mabda’
al-islami (Islamic principle), sedangkan Syed Naquib al-Attas menamakannya
ru’yatul Islam lil wujud (Islamic worldview). Meskipun secara istilah terjadi
perbedaan penyebutan, tetapi secara esensi terdapat kesamaan keyakinan para
ulama dan cendekiawan tersebut bahwa pandangan hidup (worldview) seorang muslim
haruslah menjadikan Islam sebagai sistem hidup yang mengatur semua sisi
kehidupan manusia, yang menjanjikan kesejahteraan dan keselamatan dunia dan
akhirat.[9]
Worldview Islam
inilah yang kemudian mendasari perilaku seorang muslim dalam kehidupan
sehari-harinya di berbagai bidang, mulai dari sosial, ekonomi, politik,
pendidikan, dan lainnya. Artinya, segala perbuatan seorang muslim tersebut
bergantung pada kepercayaan agama sebagai sumber pengetahuan dan bimbingan
dalam hidup. Ajaran Islam yang terdapat dalam Alquran maupun sunah ini
menempatkan dunia dalam bentuk wujud yang bisa diindra dan tidak dapat diindra
yang mampu dicapai oleh keimanan seorang manusia. Dengan demikian, worldview
Islam tidak hanya berkisar tentang rasionalisme akal manusia layaknya pandangan
ilmiah dan filosofis Barat, tetapi juga tentang hal gaib yang wajib diyakini
oleh manusia dengan bimbingan wahyu Tuhannya.
B. ISLAM SEBAGAI JALAN HIDUP
Secara
etimologi, Islam adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang memiliki makna
sejahtera, kepatuhan, ketaatan, penyerahan diri, kedamaian dan keselamatan.
Patuh dan taat kepada Allah SWT disebut sebagai orang muslim. Dengan demikian,
Islam dari segi kebahasan adalah patuh, tunduk, dan taat kepada Allah SWT dalam
upaya mencari keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat atas
kesadaran dan kemauan diri sendiri, bukan paksaan atau berpura- pura, melainkan
sebagai panggilan dari fitrah dirinya sebagai makhluk yang sejak dalam kandungan
telah menyatakan patuh dan tunduk kepada Allah SWT.
Secara teoretis,
Islam adalah agama yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Muhammad
sebagai Rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajarannya yang bukan hanya
mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia.[10]
Agama Islam menyusun konsep- konsep dengan sistemnya yang mampu menyentuh
sisi-sisi kehidupan duniawi secara berimbang dan terintegral. Islam tidak
merekomendasikan pemisahan antara berbagai sisi atau segi kehidupan umat
manusia. Satu sisi kehidupan tidak akan eksis secara sempurna tanpa sentuhan
sisi lainnya. Islam sebagai agama mengatur kehidupan manusia secara universal
baik hubungan dengan Allah SWT (Hablumminallah) maupun dalam hubungan sesama
manusia (Hablumminannas). Oleh karena itu, Allah SWT. mengingatkan manusia agar
menganut ajaran Agama Islam secara menyeluruh dan utuh (kafah).[11]
Islam merupakan
ajaran Ilahi yang bersifat integral (menyatu) dan komprehensif (mencakup segala
aspek kehidupan). Oleh sebab itu, Islam harus dilihat dan diterjemahkan dalam
kehidupan sehari-hari secara komprehensif pula. Semua pekerjaan atau aktivitas
dalam Islam, termasuk aktivitas ekonomi, harus tetap dalam bingkai akidah
syariah (hukum-hukum Allah SWT),[12]
dan akhlak.
C. PARADIGMA EKONOMI ISLAM
Paradigma
ekonomi Islam dalam tulisan ini terdiri dari gabungan istilah paradigma dengan
frase ekonomi Islam. Paradigma disebutkan dalam Alquran dengan sebutan
Tashawwur yang berasal dari akar kata shawwara[13]
[14]dan
disebutkan dalam Alquran seperti dalam Surah Ali ‘Imran [3]: 6, al-A’raf [7]:
11, Ghafir [40]: 64, al-Hasyr [59]: 24, at-Taghabun [64]: 3 dan al-Infithar
[82]: 3. Kata shawwara sebenarnya memiliki tiga arti utama. Pertama, berikan
tanggapan atas penampilan sesuatu
yang dijelaskan. Kedua,
menjelaskan gambaran sebenarnya dari sesuatu.[15]
Ketiga, menghasilkan munculnya sesuatu dalam pikiran.[16]
Dengan demikian istilah tashawwur secara etimologis berarti tanggapan, uraian,
sikap mental atau cara memandang segala sesuatu.
Ekonomi Islam
didefinisikan sebagai ilmu dan penggunaan perintah dan aturan syariah untuk
melindungi dari ketidakadilan dalam pengadaan dan penggunaan sumber daya alam
untuk tujuan memenuhi kebutuhan manusia dan untuk memungkinkan mereka untuk
menjalankan tanggung jawabnya kepada Allah SWT. dan masyarakat secara
keseluruhan.[17]
Ekonomi Islam sebagai ilmu sosial yang mempelajari masalah ekonomi sekelompok
orang yang memegang nilai-nilai Islam,[18]dengan
nilai-nilai Islam inilah manusia bisa mencapai al-falah.
Menurut Masudul
Alam Choudhury, ekonomi Islam adalah studi sejarah, empiris dan teoritis yang
akan dianalisis kebutuhan manusia dan masyarakat dalam bimbingan sistem
nilai-nilai Islam. Dengan demikian, di sini jelas bahwa setiap kegiatan ekonomi
memiliki tujuan. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan akuisisi, konsumsi atau
pengelolaan sumber daya. Oleh karena itu, Islam memberikan pedoman dalam
akuisisi dan penggunaan sumber daya yang disebut syariah. Sebagai khalifah
Allah SWT. di muka bumi, manusia tidak menjadikan dunia sebagai tujuan akhir,
melainkan berfungsi sebagai jalan untuk bekal menuju untuk akhirat. Oleh karena
itu, tujuan akhir dari semua aktivitas manusia adalah untuk mencapai rida Allah
SWT., artinya, manusia akan mencapai al-falah di dunia ini dan di akhirat.[19]
Ketika istilah
paradigma digabungkan dengan ungkapan ekonomi Islam ini, kemudian definisi
paradigma ekonomi Islam terbentuk. Karena itu, paradigma ekonomi Islam yang
dimaksud dalam tulisan ini adalah gambaran komprehensif dan esensial tentang
ekonomi Islam yang bertujuan untuk menjelaskan konsep dengan benar dan teliti
sehingga menjadi dasar untuk semua pengadaan, penggunaan atau kegiatan
manajemen sumber. Ini untuk kebaikan diri sendiri, masyarakat dan negara secara
spiritual dan fisik untuk mendapatkan rida Allah SWT.
Paradigma Ekonomi
Islam lahir dan dibentuk dari dua sumber utama, yaitu naqli (wahyu) dan ‘aqli
(ijtihad). Sumber naqli adalah Alquran atau al-wahy al-matlu (wahyu yang
dibaca) dan al-sunnah atau al-wahy ghayr al-matlu (wahyu yang tidak dibaca).
Keduanya juga dikenal sebagai al-adillah al-qat’iyyah (bukti bahwa kebenarannya
tidak dapat diperdebatkan). Sementara itu, sumbernya aqli, terutama yang telah
disepakati adalah al-ijma’ dan al-qiyas. Keduanya juga dikenal sebagai
al-adillah al-ijtihadiyyah (pandangan diperoleh melalui kesungguhan pikiran).
Paradigma
ekonomi Islam didasarkan pada paradigma Islam. Oleh karena itu, unsur dasar
paradigma ilmu ekonomi Islam sama dengan elemen-elemen asas dalam tashawwur
Islam, yaitu Allah SWT. sebagai pencipta, manusia sebagai makhluk dan sumber
daya alam juga sebagai makhluk. Konstruksi ini menghasilkan enam corak atau
pola paradigma ekonomi Islam. Pertama, berdasarkan al-tawhid (keesaan Allah
SWT.). Kedua, menggunakan kaidah al-’ubudiyyah (berbakti / beribadah kepada
Allah SWT.). Ketiga, manusia sebagai hamba dan khalifah sekaligus pelaku
ekonomi Islam. Keempat, mawarid al-tabi’i (sumber daya alam) sebagai alat atau
wasilah pembangunan ekonomi. Kelima, al-tawaazun (keseimbangan) antara dunia
dan akhirat; dan Keenam, mencapai mardat Allah SWT (rida Allah SWT.).
D. PENDEKATAN ISLAM TERHADAP MASALAH EKONOMI
Pemikiran
manusia selalu menitikberatkan pada masalah- masalah ekonomi seperti
kemiskinan, uang, barter, fluktuasi harga, pajak dan aturan campur tangan.
Permasalahan-permasalahan tersebut bukan hanya terjadi di masa sekarang. Namun,
jauh sebelum saat ini. Permasalahan yang dihadapi oleh ilmu ekonomi Islam
adalah kesenjangan antara perilaku ideal dengan perilaku riil. Kesenjangan
inilah yang kemudian dijadikan alasan bahwa teori-teori ekonomi Islam tidak
dapat dibuktikan pada tataran yang empiris oleh para ekonom aliran positivisme.
E. PENDEKATAN INDUKTIF DAN DEDUKTIF
Pendekatan
induktif diawali dengan mengekstraksi inti ajaran Islam menjadi elemen-elemen
teori ekonomi Islam. Metode berpikir induktif adalah metode berpikir yang
menerapkan hal-hal yang khusus terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan
dalam bagian-bagiannya yang umum.[20]
Di dalam Islam, istilah induktif disebut juga dengan istilah istiqra’. Umumnya,
induktif bersumber kepada pengalaman dan lebih berbentuk eksploratif.[21]
Pendekatan induktif diartikan sebagai metode penarikan hukum yang berangkat
dari problem kontemporer yang kemudian ditarik status hukum syariatnya. Sebelum
membahas lebih lanjut, supaya mempermudah pembelajaran, berikut merupakan skema
penarikan pendekatan induktif.[22]
Pendekatan
deduktif diawali dengan mengekstraksi inti ajaran Islam menjadi elemen-elemen
teori ekonomi Islam. Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang
menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam
bagian- bagiannya yang khusus. Dengan kata lain, metode ini digunakan untuk
menghasilkan hukum syariat Islam yang diturunkan langsung dari nas-nas Alquran
dan sunah. Di dalam Islam dikenal qiyas dalam ushul fiqh yang dapat dikatakan
mirip dengan metode deduktif ini, atau dalam arti lain, qiyas dihasilkan dari
logika deduktif analogis (perbandingan). Ulama yang banyak melakukan metode ini
adalah Imam Syafi’i.
Di dalam
melakukan penelitian, diperlukan metodologi yang dapat membina teori dan
menguji hipotesis di lapangan. Dari bagian metodologi penelitian itu terdiri
dari komponen falsafah dan operasionalnya. Komponen falsafah di antaranya
tasawuf, epistemologi, ontologi, dan aksiologi.
Sebagaimana yang
telah disinggung sebelumnya, bahwa pendekatan deduktif dalam Islam identik
dengan cara untuk menghasilkan hukum syariat. Hukum syariat diartikan sebagai
seruan dari Pembuat Hukum yang mengikat perbuatan hamba. Dari definisi
tersebut, salah satu syarat bahwa nas Alquran dan sunah dapat menjadi hukum
syariat yakni harus mengandung seruan/tuntutan. Adapun skema penarikan hukum
syariat dengan pendekatan deduktif.
F. PENARIKAN HUKUM (ISTINBATHUL AHKAM)
Pada tahap ini,
kita akan mengalami proses penarikan hukum syara’ terhadap status perbuatan
manusia yang hendak dihukuminya. Lalu, bagaimana proses dalam penarikan hukum
ini? Proses yang dilakukan adalah sama dengan proses penarikan hukum syariat
dengan pendekatan deduktif. Hal tersebut dikarenakan ketika hendak menarik hukum
suatu perbuatan maka paling tidak akan melewati beberapa langkah sebagai
berikut:
1)
Menentukan jenis khithob atau
seruan. Apakah mengandung perintah atau larangan.
2)
Mencari qarinah/tanda. Apakah
bersifat jazm atau ghairu jazm
3)
Menentukan status hukum syariatnya.
Apakah wajib, sunah, mubah, makruh, atau haram.
G. MUAMALAH DIATUR DALAM SYARIAH
Hidup merupakan
realisasi ibadah kepada Allah SWT., yang segala sesuatunya harus kembali kepada
Allah SWT, termasuk di dalamnya aspek muamalah (Q.S. al-An’am [6]: 162): “Katakanlah
(Muhammad): Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah SWT, Tuhan semesta alam.”
Di dalam
merealisasikan hal tersebut, perlu ada panduan dan rambu-rambu yang menjauhkan
manusia dari hal-hal yang merugikan manusia itu sendiri, baik di dunia maupun
di akhirat. Rambu-rambu dalam ibadah adalah fikih ibadah dan rambu-rambu dalam
muamalah adalah fikih muamalah.[23]
Muncul kesadaran
umat untuk melaksanakan ajaran Islam secara benar dan utuh (kafah). Kesadaran
itu muncul bertitik tolak dari pemahaman Islam sebagai ajaran yang bersifat
universal, bukan hanya menyentuh aspek spiritual-ritual saja, melainkan
menyentuh pula aspek kehidupan secara
luas, termasuk ekonomi.[24]
Aktivitas ekonomi dalam bingkai syariah (menurut aturan Allah SWT) adalah
melakukan aktivitas ekonomi seseorang harus menyesuaikan diri dengan aturan
Alquran dan hadis. Persoalan muamalah ini tidak akan terlepas dari pembahasan
syariat untuk membimbing dan memberi petunjuk kepada manusia dalam mencari
sumber penghidupan, selain diharapkan dapat memberi kemaslahatan bagi
kehidupannya di dunia yang merupakan bagian dari amal ibadah sebagai bekal
kehidupan akhirat.[25]
Kata muamalah
secara lughowi (bahasa) berasal dari kata a’mila-ya’malu kemudian berubah
menjadi ‘aamala-yu’aamilu- mu’aamalah semakna dengan al-muf’alah (saling
berbuat) dan dalam muamalah secara terminologi memiliki beberapa pengertian,
yaitu: bentuk jamak mu’aamalat. Mua’malah dalam arti umum adalah hubungan
antara manusia baik sebagai sesama untuk memenuhi kebutuhan masing-masing.
Beberapa pengertian dari muamalah di antaranya:[26]
1)
Muamalah adalah hubungan antara
manusia dalam usaha mendapatkan alat-alat kebutuhan jasmaniah dengan cara
sebaik-baiknya sesuai dengan ajaran-ajaran dan tuntutan agama.
2)
Muamalah adalah hukum yang
mengatur hubungan individu dengan individu lain, atau individu dengan negara
Islam, dan atau negara Islam dengan negara lain.
3)
Muamalah adalah
peraturan-peraturan yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat
untuk menjaga kepentingan manusia.
Sementara itu,
menurut etimologi kata muamalah adalah bentuk masdar dari kata amala yang
artinya saling bertindak, saling berbuat, dan saling beramal. Pengertian fikih
muamalah menurut terminologi dibagi menjadi dua. Pertama dalam arti luas, fikih
muamalah adalah aturan-aturan (hukum) Allah SWT yang ditujukan untuk mengatur
kehidupan manusia dalam urusan keduniaan atau urusan yang berkaitan dengan
urusan duniawi dan sosial kemasyarakatan. Kedua dalam arti sempit, fikih
muamalah lebih menekankan keharusan untuk menaati aturan-aturan Allah SWT yang
telah ditetapkan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan cara memperoleh,
mengatur, mengelola dan mengembangkan harta benda.
H. PRINSIP DASAR DARI MUAMALAH
Klasifikasi
prinsip muamalah terbagi menjadi dua, prinsip umum dan prinsip khusus. Adapun
prinsip umumnya, ialah:[27]
1)
Muamalah pada dasarnya boleh
(mubah). “Pada dasarnya muamalah itu boleh, atau kaidah lain, pada dasarnya
muamalah itu halal hingga ada dalil yang tegak untuk melarangnya.”
2)
Muamalah yang dilakukan untuk
mewujudkan kemasalahatan. Hakikat kemaslahatan dalam Islam adalah segala bentuk
kebaikan dan manfaat yang berdimensi integral duniawi dan ukhrawi, material dan
spiritual, serta individual dan kolektif. Sesuatu dipandang mengandung maslahat
jika memenuhi dua unsur, yakni kepatuhan syariah (halal) dan bermanfaat serta
membawa kebaikan (tayib) bagi semua aspek secara integral yang tidak
menimbulkan mudarat. Sebagaimana Djuwain
mengatakan dengan mengutip pendapat Ibnu Taimiyyah yang mengatakan: “Syariah
diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan, menyempurnakan, mengeliminasi,
mereduksi kerusakan, memberikan alternatif pilihan terbaik di antara beberapa
pilihan, memberikan nilai maslahat yang maksimal di antara beberapa maslahat,
dan menghilangkan nilai kerusakan yang lebih besar dengan menanggung kerusakan
yang lebih kecil.” Kaidah ushul al-fiqh: “Pada dasarnya setiap muamalah itu
mewujudkan keadilan, menjaga kemaslahatan antara dua belah pihak dan
menghilangkan kemudaratan dari keduanya.”
3)
Muamalah dilaksanakan dengan
memelihara nilai keseimbangan (tawaazun). Konsep ini meliputi berbagai segi
antara lain keseimbangan antara pembangunan material dan spiritual serta
pemanfaatan dan pelestarian sumber daya. Selain itu, keseimbangan kehidupan dunia
dengan akhirat, keseimbangan pribadi dan jamaah, keseimbangan antara aspek
jasmani dan rohani, akal dan hati, antara das sein dan das sollen, serta
mengeliminasi setiap kesenjangan di antara manusia. Dalam hal ini, Islam
mengupayakan pula agar pendistribusian harta kekayaan dilakukan secara
proporsional.
4)
Muamalah dilaksanakan dengan
memelihara nilai keadilan. Segala bentuk muamalah yang mengandung unsur
penindasan tidak dibenarkan. Keadilan adalah menempatkan sesuatu hanya pada
tempatnya dan memberikan sesuatu hanya pada yang berhak, serta memperlakukan
sesuatu sesuai posisinya. Implementasi keadilan dalam aktivitas ekonomi berupa
aturan prinsip muamalah yang melarang adanya unsur riba, zalim, maysir, garar,
dan haram. Di dalam terminologi fikih, adil adalah menempatkan sesuatu pada
tempatnya dan memberikan sesuatu hanya pada yang berhak serta memperlakukan
sesuatu pada posisinya (wadh‘ al-syai` fi mahallih).
Sementara
itu, prinsip khususnya, yaitu:
a)
Objek transaksi harus halal.
Artinya dilarang melakukan aktivitas ekonomi terkait yang haram.
b)
Adanya keridaan pihak-pihak yang
bermualamah. Dasar asas ini adalah an taradhin minkum (saling rela di antara
kalian, Q.S. an-Nisa: 29). Asas ini menyatakan bahwa segala transaksi yang
dilakukan harus atas dasar kerelaan antara masing-masing pihak sebagai
prasyarat bagi terwujudnya transaksi. Jika dalam transaksi tidak terpenuhi asas
ini, berarti memakan sesuatu dengan cara batil.
c)
Pengurusan dana yang amanah,
yaitu menyampaikan hak apa saja kepada pemiliknya, tidak mengambil sesuatu
melebihi haknya dan tidak mengurangi hak orang lain.
d)
Pencatatan proses transaksi. Di
antara upaya penjagaan dalam sebuah transaksi dari terjadinya sengketa, lupa,
kehilangan, dan lainnya maka syariah memerintahkan otentifikasi (tautsiq) melalui
pencatatan, kesaksian, jaminan gadai guna menjaga setiap hak dari pemiliknya.
2
Hoetoro, A. (2007). Ekonomi Islam Pengantar
Analisis Kesejarahan dan Metodologi. Malang: Badan Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.
3
Hoetoro, A. (2007). Ekonomi Islam Pengantar Analisis
Kesejarahan dan Metodologi. Malang: Badan Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.
4
Nurzaman, M. S. (2019). Pengantar Ekonomi
Islam Sebuah Pendekatan Metodologi. Jakarta: Salemba Diniyah
5
Razak, M. A., & Haneef, S. S. (2018). Understanding the Islamic Worldview. IIUM Journal of Economics & Management 5, No. 1 (1997): 39-65
6 Zarkasyi, H. F. (2013). Worldview Islam dan Kapitalisme Barat. Tsaqafah:
Jurnal Peradaban Islam, Vol. 9,
No. 1, 15-38.
7
Irzik, G.., & Nola, R. (2009). Worldviews and their relation
to science. Journal Springer
Science & Education, 729–745.
8
Nurzaman, M. S. (2014). Mikro dan Makro Islam: Rancang Bangun dan Konsep Dasar. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
9
Rivai, V., & Usman, A. N. (2012).
Islamic Economics & Finance, Ekonomi
dan Keuangan Islam Bukan Alternatif, tetapi Solusi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
10
Mujib, A. (2017). Ekonomi Islam Global dalam Ranah FIqh. Jurnal Masharif al-Syariah: Jurnal Ekonomi dan Perbankan
Syariah Vol. 2, No. 2, 1-10
11
Junaidi, H. (2017).
Prinsip-prinsip Ekonom Islam:
Sebuah Kajian Awal. Jurnal Muamalah
Vol.3 No.1, 1-14.
12
Mursal. (2015). Implementasi Prinsip-prinsip Ekonomi Syariah.
Jurnal Perspektif Ekonomi Darussalam Vol.1 No.1, 75-84
13
Madkur, ‘Ali Ahmad. (1990).
Manhaj al-Tarbiyyah fi al-Tasawwur al-Islamiy. Beirut, Lubnan: Daral-Nahdah al-‘Arabiyyah
14
Mihna, ‘Abda’ ‘Ali. (1993). Lisan al-Lisan
Tahdhib Lisan al-‘Arab
li al- ‘Allamat Abi al-Fadl Jamal al-Din Muhammad bin Mukram IbnManzur, Jld. 2. Beirut, Lubnan:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
15
Mas‘ud, Jubran. (1990). Al-Ra’id Mu‘jam Lughawiy
‘Asriy, Jld. 2. Beirut, Lubnan: Dar al-‘Ilm li al-Malayi
16
Al-Qasimiy, Ahmad Mokhtar bin ‘Umar Muhyi al-Din Sobir bin ‘Ali. (1989).
Al-Mu‘jam al-‘Arabi al-Asasi. Tunisia: Larousse
17
Muhammad Akram Khan. (1994). An Introduction to Islamic Economics, Islamabad, Pakistan: International Institute of Islamic Thoughts and Institute of Policies Studies.
18
Muhammad Abdul Mannan. (1985). Ekonomi Islam:
Teori dan Praktis, Jilid. 1, terj. Radiah Abdul Kader. Kuala Lumpur: A.S. Noordeen.
19
Masudul Alam Choudhury. (1986). Contributions to Islamic Economic
Theory: A Study in Sosial Economics. Hong Kong:
The MacMillan Press Ltd.
[20] Rozalinda. (2015). Epistimologi Ekonomi Islam dan Pengembangan pada Kurikulum Ekonomi Islam di Perguruan
Tinggi. Human Falah, 2.
[21]
Bahari, Z. (2014).
Ekonomi Syariah Terkini Perspektif, Metodologi dan Praktik.
Konferensi Internasional Pembangunan Islami,
(hal. 74). Jember.
[22] Condro, D. (2014). Ekonomi Islam Madzhab Hamfara
. Irtikaz.
[23] Maulan, R.
(2015). Fiqh Muamalah dalam Islam. Diambil kembali dari Takaful
Umum: https://takafulumum. co.id/literasi.html 114
[24] Sari, N., & Hasnita,
N. (2015). Kontrak
(Akad) dan Implementasinya Pada Perbankan Syariah
di Indonesia. Banda Aceh:
Pena.
[25] Rahmawati. (2011). Dinamika Akad dalam Transaksi Ekonomi Syariah. Al-Iqtishad: Vol. III, No. 1, 19-34.
[26] Rohmansyah. (2017). Fiqh Ibadah dan Mu’amalah. Yogyakarta: Lembaga Penelitian, Publikasi
dan Pengabdian Masyarakat (LP3M).
[27] Madjid, S. S. (2018). Prinsip-prinsip (Asas-asas) Muamalah. J-HES (Jurnal Hukum Ekonomi Syariah), 14- 28.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar