KONSEP LABA DALAM AKUNTANSI SYARIAH
A. PENDAHULUAN
Islam adalah agama
yang sesuaidengan fitrah manusia yang
memberikan pedoman bukan hanya pada aspek spiritual dalam hubungan manusia
dengan Allah Swt., namun juga duniawi atau material dalam hal muamalah manusia
dengan sesama makhluk dan bumi ini. Dalam konteks muamalah, Islam sangat
menganjurkan aktivitas usaha atau bisnis.
Namun, berbeda dengan
tujuan bisnis dalam konteks konvensional
seperti sistem konvensional yang bertujuan untuk memaksimalkan perolehan laba
dan keberlanjutan usaha. Bisnis dalam sistem ekonomi syariah bertujuan utama
untuk memberikan kemaslahatan bukan hanya untuk pemilik namun juga bagi para
pemangku kepentingan termasuk bumi ini. Dalam ekonomi Islam, aktivitas bisnis
juga diatur oleh bingkai syariah, tidak
boleh mengandung unsur-unsur yang
dilarang oleh ajaran Islam. Laba dalam laporan keuangan dapat menjadi tolok ukur kepatuhan suatu perusahaan
dalam operasionalnya kepada syariat Islam.
Dalam akuntansi
syariah dari transaksi didapatkan pendapatan yang berupa laba. Laba tersebut
merupakan bagi hasil margin dan upah atas jasa. Transaksi syariah berlandaskan
pada prinsip persaudaraan dan keadilan, keseimbangan dan universalisme.
Laba merupakan suatu
pos dasar dan penting dalam laporan
keuangan yang memiliki berbagai kegunaan dalam berbagai konteks.
Laba pada umumnya dipandang sebagai
suatu dasar bagi perpajakan, penentuan
kebijakan pembayaran dividen, pedoman investasi dan pengambilan keputusan dan unsur prediksi kinerja
perusahaan.
Definisi laba atau
profit dalam akuntansi konvensional oleh
para akuntan merupakan: “Kelebihan pendapatan (surplus) dari kegiatan
usaha, yang dihasilkan dengan mengaitkan (matching) antara pendapatan (revenue)
dengan beban terkait dalam suatu periode yang bersangkutan (biasanya dalam
waktu tahunan)”
Selanjutnya laba ditentukan setelah proses
tersebut terjadi. Proses pengkaitan (matching) menyebabkan timbulnya
kewajiban untuk mengalokasikan beban yang belum teralokasikan ke dalam neraca.
Bebanbeban yang belum teralokasikan (aktiva non-moneter) bersama-sama dengan
aktiva moneter (misal kas, persediaan, dan piutang) setelah dikurangkan dengan
kewajiban yang timbul menghasilkan sisa yang disebut accounting capital atau
residual equity. Laba akuntansi berhubungan dengan pengukuran modal dan dalam
kenyataannya digunakan sebagai analisis terhadap perubahan modal secara
temporer.
Definisi bebas dari akuntansi adalah identifikasi
transaksi yang kemudian diikuti dengan kegiatan pencatatan, penggolongan, serta
pengikhtisaran transaksi tersebut sehingga menghasilkan laporan keuangan yang
dapat digunakan untuk pengambilan keputusan. Sedangkan definisi bebas dari
syariah adalah aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT untuk dipatuhi oleh
manusia dalam menjalani segala aktivitas hidupnya di dunia. Jadi, Akuntansi
syari’ah dapat diartikan sebagai proses akuntansi atas transaksi-transaksi yang
sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan Allah SWT.
Dari sisi ilmu pengetahuan, akuntansi adalah ilmu
informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan
cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang
dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang,
modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus
mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi.
Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan
timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Kebenaran
dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga
menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba
perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan
adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari
bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah
manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa
saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya,
sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk
itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan
beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari
dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing
B. LABA DALAM AKUNTANSI SYARIAH
Dalam akuntansi
syari’ah, dari transaksi tersebut didapatkan pendapatan yang berupa laba. Laba
tersebut berupa bagi hasil, margin (keuntungan dalam jual beli), dan upah atas
jasa. Transaksi syariah berlandaskan pada prinsip persaudaraan, keadilan
kemaslahatan,keseimbangan dan universalisme.3 Prinsip Persaudaraan (ukhuwah),
merupakan bentuk interaksi sosial dan harmonisasi kepentingan para pihak untuk
kemanfaatan secara umum dan saling tolong-menolong.
Dalam transaksi
syariah meliputi berbagai aspek, yaitu saling mengenal, memahami, menolong,
menjamin, dan saling bernsinergi. Namun meskipun begitu, tetap berpedoman pada
profesionalisme. Prinsip keadilan artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya
dan memberikan sesuatu pada yang berhak dan sesuai posisinya. Implementasi
keadilan dalam Usaha berupa aturan prinsip muamalah yang melarang unsur riba,
dzalim, maisyir, gharar, ihtikar, najasy, risywah, ta’alluq dan penggunaan
unsur haram baik dalam barang dan jasa yang dipergunakan dalam transaksinya,
maupun dalam aktivitas operasionalnya.
Kemudian mengenai
kemaslahatan, dalam hal ini harus memenuhi dua unsur, yaitu halal (sesuai
dengan syariah) dan thayyib (bermanfaat dan membawa kebaikan). Selain itu juga
harus memperhatikan prinsip keseimbangan. Prinsip ini menekankan bahwa manfaat
yang didapat dari transaksi syariah tidak hanya difokuskan pada pemegang saham
yang nantinya akan mendapatkan dividen, namun juga pada semua pihak yang dapat
merasakan manfaat adanya suatu kegiatan ekonomi tersebut. Misalnya saja
masyarakat sekitar dan pemerintah yang mungkin tidak terlibat dalam transaksi
tersebut secara langsung.
Prinsip yang terakhir
yaitu universalisme. Artinya transaksi syariah ini dapat dilakukan semua pihak
yang berkepentingan tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan sesuai
dengan semangat rahmatan lil ‘alamin.
Konsep laba dalam
struktur teori akuntansi dapat diketahui dengan menggunakan pendekatan
sintaksis, semantis, dan pragmatis. Konsep laba secara sintaksis yaitu melalui
aturan-aturan yang mendefinisikannya; secara semantis yaitu melalui hubungan
pada realitas ekonomi yang mendasari;dan secara pragmatis yaitu melalui
penggunaannya oleh investor tanpa memperhatikan bagaimana hal itu diukur dan
mengtahui apa artinya.
Ada perbedaan
mendasar tentang cara pandang antara masyarakat muslim dan masyarakat kapitalis
terhadap perolehan laba. Dalam masyarakat kapitalis tujuan utama sebuah
organisasi atau perusahaan didirikan adalah untuk memaksimalkan laba dari
investasi yang dilakukan untuk perusahaan atau organisasi tersebut. Sedangkan
menurut masyarakat muslim, laba bukanlah tujuan yang paling utama dalam pendirian
suatu perusahaan atau organisasi. Tetapi bukan berarti perusahaan tersebut
tidak boleh mendapatkan laba, hanya saja laba yang diperoleh harus halal dan
sesuai dengan prinsip syari’at Islam.
Ada dua konsep Islam
yang sangat berkaitan dengan pembahasan masalah laba, yaitu adanya mekanisme
pembayaran zakat dan sistem tanpa bunga. Zakat pada prinsipnya merupakan
kesejahteraan agama dan pembayarannya merupakan kewajiban agama. Pelaksanaan
pemungutan zakat seharusnya dilakukan oleh pemerintah dan didistribusikan untuk
kesejahteraan sosial dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah SWT.
Zakat dipungut
terhadap pendapatan (laba), kepemilikan barang-barang tertentu seperti emas dan
perak (atau disetarakan dengan uang), hewan ternak, dan hasil pertaniaan. Hal
ini memerlukan penilaian dan konsep yang jelas untuk menetapkan dasar dan
besarnya zakat yang harus dibayarkan.
Beberapa peneliti
mengungkapkan perlunya konsep-konsep untuk menetapkan laba sebagai dasar
pengenaan zakat, yang merupakan tujuan utama dalam akuntansi syariah. Hal ini
diperkuat oleh pernyataan dari Accounting and Auditing Organization for Islamic
Financial Institution (AAOIFI) dalam Statement of Financial Conceptual
Framework No. 1 yaitu dengan dibedakannya antara tujuan akuntansi keuangan dan
laporan keuangan. Keuntungan penggunaan laba sebagai dasar pembayaran zakat
adalah dapat mengurangi masalah-masalah yang berkaitan dengan konflik
kepentingan, terjadinya. window dreasing, dan kecurangan dalam penyajian dan
pengungkapan laporan keuangan dapat diminimalisir sebaik mungkin.
Karena setiap muslim
(dalam hal ini seorang akuntan muslim) menyadari bahwa hal tersebut dilarang
agama dan dia tidak akan mengambil barang yang bukan menjadi haknya. Sarana
lain selain zakat yang berkaitan dengan pembahasan konsep laba adalah larangan
sistem bunga. Islam melarang sistem penentuan tingkat pengembalian tetap atas
modal, misalnya pengembalian uang tanpa adanya pembagian resiko yang timbul
dari pembayaran angsuran atas pinjaman. Larangan atas sistem bunga dimaksudkan
karena sistem bunga merupakan cara-cara kapitalis dalam melaksanakan usaha.
Dalam akuntansi
konvensional investor seolah-olah dianggap sebagai peminjam modal bukan sebagai
peserta (pemilik) usaha. Dalam Islam perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial
dan moral yang berasal dari konsep Islam bahwa manusia diciptakan oleh Allah
sebagai utusan (khalifah) di bumi untuk mengolah sumber daya yang diberikan
untuk kesejahteraan manusia dan alam. Kepemilikan atas kekayaan dalam Islam
tidak mutlak melainkan kondisional.
Konsep konvensional
menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan
konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan
dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum.
Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba
tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh Beberapa perbedaan lain
antara akuntansi syariah dengan konvensional misalnya pada masalah tujuan
akuntansi.
C. LABA DALAM PERSPEKTIF SYARIAH DAN KONVENSIONAL
Perbedaan paham
idealisme akan menghasilkan perbedaan cara pandang terhadap dunia ini
(worldview) yang mengakibatkan perbedaan dalam berperilaku termasuk dalam
bidang ekonomi. Cara pandang ini juga akan berpengaruh pada perbedaan dalam
menjelaskan konsep laba suatu perusahaan.
1.
Laba dalam
Perspektif Kapitalisme
Makna
laba dalam sistem kapitalisme berdasar pada
ajaran dari Adam Smith, seorang tokoh ekonomi kapitalisme liberal, yang
menjelaskan laba sebagai hasil dari pembagian kerja, kapital, pasar bebas, dan
harga pasar serta dipengaruhi oleh tingkat upah buruh, bunga, kolonialisme,
kepastian kondisi ekonomi, ukuran perusahaan, dan kebijakan pemerintah. Adam
Smith menawarkan konsep pasar bebas dalam sistem ekonomi, di mana pasar harus
bebas dari intervensi pemerintah.
Kebebasan
ini mendorong keserakahan kaum kapitalis untuk bersaing tajam dalam memperoleh
laba dengan memproduksi komoditi yang akhirnya menyebabkan terjadinya kelebihan
produksi. Akibatnya terjadi krisis ekonomi, pengangguran, dan inflasi tinggi
yang sulit dikendalikan.Sebagai anti thesis dari pemikiran Adam Smith yang
dinilai gagal sehingga menyebabkan krisis ekonomi pada tahun 1930-an, Maynard
Keynes hadir dengan pemikiran bahwa harus ada campur tangan pemerintah dalam
aktivitas ekonomi. Perbedaan pemikiran antara Adam Smith dan Maynard Keynes disebabkan
perbedaan kondisi perekonomian.
Pada
zaman Smith, orang yang mencari barang sehingga kaum kapitalis relative lebih
mudah dalam menghasilkan laba, sedangkan pemikiran Keynes lahir dari krisis
ekonomi kapitalis tahun 1930-an dimana barang yang mencari konsumen sehingga
persaingan untuk menghasilkan laba semakin meningkat. Harga pokok produksi yang
terdiri dari biaya bahan baku dan upah buruh serta biaya peralatan produksi
merupakan hal yang ditekankan pada pemikiran Keynes. Perusahaan akan memperoleh
laba jika harga pasar lebih tinggi dari harga pokok produksi suatu barang.
Selain itu, laba juga ditentukan oleh konsumen. Proses produksi akan terus
berjalan jika produk tertentu memberikan kepuasan kepada konsumen.
Perbedaan
mendasar pemikiran Smith dan Keynes adalah keterlibatan pemerintah
dalamperekonomian. Menurut Keynes, salah satu faktor yang juga mempengaruhi
laba suatu perusahaan adalah kebijakan pemerintah baik di bidang fiskal,
moneter, belanja negara, dan biaya modal. Teori ekonomi Keynes ini banyak
diadopsi oleh beberapa negara termasuk Indonesia. Hal yang bisa disimpulkan
dari penjelasan di atas adalah bahwa hakikatnya system ekonomi kapitalis
liberal adalah proses penciptaan laba.
Tujuan
utama perusahaan adalah untuk menghasilkan dan memaksimalkan laba bagi
pemiliknya. Tujuan ini tentu saja berpengaruh besar dalam pola pengelolaan
perusahaan. Hubungan antara kapital dan laba yang kemudian menentukan pola
perilaku manusia (Triyowono et al., 2016). Kapital yang merupakan motor
penggerak sistem sosial kapitalisme liberal harus dikelola untuk menghasilkan
laba yang akan diakumulasi menjadi kapital baru. Perilaku pelaku ekonomi
difokuskan untuk mengelola kapital demi memaksimalkan laba.
Salah
satu aspek perilaku manusia yang juga dipengaruhi oleh konsep laba yang dianut
pahamkapitalisme ini adalah konsep akuntansi. Dampak negatif dari idealisme ini
adalah perilaku kecurangan akuntansi seperti window dressing atau manajemen
laba di mana manajemen berupaya untuk merekayasa laporan keuangan perusahaan
agar memperlihat kinerja keuangan yang diharapkan. Hal ini tentu saja akan
menyesatkan pihak yang berkepentingan.
2.
Laba dalam Perspektif Islam
Ada
pendapat umum yang berkembang bahwa sistem ekonomi Islam tidak mengenal
maksimalisasi keuntungan karena dianggap
tidak berorientasi pada akhirat. Sayangnya tidak ada satu pun dalil dari
Al-Qur’an maupun As-sunnah yang menyatakan hal tersebut. Sebaliknya, ada
beberapa dalil yang menyiratkan tentang bolehnya memperoleh keuntungan dalam
suatu aktivitas bisnis dan bahkan memandangnya sebagai suatu berkah dan rahmat
dari Allah yang harus diperjuangkan. Terkait harta (termasuk keuntungan yang
diperoleh darinya), hal yang dipertanyakan pada hari pertanggung jawaban kelak
adalah “darimana diperoleh” dan “kemana dibelanjakan” harta tersebut, bukan
“mengapa” diperoleh.
Beberapa
dalil baik Al-Qur’an maupun al-Hadits yang menjadi dasar diperbolehkannya
menjadikan laba sebagai salah satu tujuan suatu aktivitas ekonomi.
1)
Al-Qur’an
Dalil
Al-Qur’an pertama adalah QS. Al-Baqarah
ayat 16 yang merupakan satu-satunya ayat yang menyebutkan kata “Rib” yang artinya laba atau
keuntungan sebagai berikut: “Mereka itulah yang membeli kesesatan dengan
petunjuk. Maka perdagangan mereka itu tidak beruntung dan mereka tidak mendapat
petunjuk”.
Salah
satu interpretasi terhadap ayat ini adalah suatu pertukaran tanpa adanya
keuntungan bukanlah suatu perdagangan atau jual beli, kecuali jika mengandung
suatu manfaat dari pihak yang bertransaksi. Jual beli terjadi jika kedua belah
pihak memiliki tujuan untuk memperoleh keuntungan.
Suatu
aktivitas bisnis tanpa adanya keuntungan hanya membuang waktu dan tenaga. Pada
ayat yang lain, Allah mendukung orang-orang beriman yang telah membuat
kesepakatan yang menguntungkan. Jadi kita melihat Allah memuji mereka karena
membuat kesepakatan yang akan menghasilkan keuntungan yang tinggi bagi mereka.
Oleh karena itu, salah satu prinsip bisnis yang dianut adalah pihak-pihak yang
bertransaksi akan samasama memperoleh keuntungan atau manfaat.
2)
Al-Hadits
Ada
beberapa kisah dari sahabat yang menyiratkan bolehkan memperoleh keuntungan
dalam suatu aktivitas bisnis dan bahkan tanpa ada batasan maksimal keuntungan
yang ditetapkan. Seorang sahabat bernama Urwah al-Bariqi yang diberikan satu
dinar oleh Nabi untuk membeli seekor kambing. Dalam perjalanan pulang setelah
membeli kambing, dia ditawari untuk menjual kambing tersebut seharga dua dinar.
Dia menerima kesepakatan transaksi itu, lalu kembali ke pasar untuk membeli
kambing seharga satu dinar lalu setelahnya diserahkan kepada Nabi beserta
dengan keuntungan satu dinar dari penjualan kambing sebelumnya. Nabi
menerimanya dengan senang dan mendoakan keberkahan atas negosiasi transaksi
yang dilakukan Urwah al-Bariqi.
Pada
kondisi tertentu, upaya perolehan keuntungan diwajibkan. Salah satu hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi: “Barang siapa yang menjadi waliharta anak
yatim, maka hendaklah ia memperdagangkanya agar tidak terjerumus zakat”. Hadits
ini mewajibkan para wali harta anak yatim untuk menginvestasikannya dalam kegiatan
yang menghasilkan keuntungan untuk memastikan bahwa keuntungan yang dihasilkan
cukup tidak hanya untuk pembayaran zakat, tetapi juga untuk menutupi biaya
sehari-hari anak yatim.
Hal
ini juga diperintahkan oleh Khalifah Umar bin Khattab yang mengatakan bahwa:
“Lakukan jual beli harta anak yatim untuk menyelematkannya dari zakat”.Walaupun
tidak ada dalil yang mengatur besarnya perolehan keuntungan dalam suatu
aktivitas bisnis, alGazali menyarankan agar para pedagang tidak menjual
barangnya pada tingkat harga yang jauh lebih tinggi dari harga yang berlaku
sebab hal in akan menyebabkan tingkat laba yang berlebihan. Bahkan al-Gazali
memperkirakan bahwa besar harga normal itu kira-kira 5-10% dari harga jual dan menyarankan kepada
para pedagang untuk lebih memperhatikan keuntungan yang sejati yaitu keuntungan
akhirat.
Disimpulkan
bahwa dalam perspektif Islam , profitabilitas memiliki makna yang jauh lebih
luas dari sekedar profit material (Pratama & Jaharuddin, 2018). Konsep laba
harus didasari tauhidullah di mana tujuan pencapaian laba berorientasi pada
akhirat.Lebih jauh dan lebih dalam, makna laba dalam bingkai
spiritualisme-religius yang didasarkan pada filsafat spiritualisme Islam
Al-Ghazali bahwa laba adalah hasil kerja manusia yang diridai Tuhan untuk
dimanfaatkan demi kesejahteraan seluruh umat manusia, lingkungan sosial, dan
kemakmuran lingkungan alam(Triyuwono et al., 2016).
Laba
tidak hanya dipandang sebagai hasil untuk memuaskan tujuan berupa materi,
tetapi untuk membangun akhlak mulia yang sejalan dengan fitrah manusia yaitu
rendah hati (tawadhu), mengutamakan kepentingan umum (itsar), hidup sederhana,
senang membantu orang lain, dan selalu berbuat baik. Dengan memandang laba
sebagai rezeki dari Allah, maka manusia harus mengupayakan memperolehnya tentu
dengan cara-cara yang diridhoi Allah dan menyalurkannya sesuai ketentuan
ketentuan syariah pula. Oleh karena itu, laba bukanlah sepenuhnya menjadi hak
pemilik modal karena modal diyakini sebagai titipan Allah untuk dimanfaatkan
dan dikelola sesuai dengan ketentuannya.
Dengan
memandang laba sebagai rezeki pemberian Allah, maka pemilik perusahaan dan
manajemen yang mengelola perusahaan tersebut akan merasakan kedekatan kepada
sang Pemberi. Sehingga tujuan akhir dari laba adalah untuk memperoleh keridhoan
dan kedekatan kepada Allah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar