Sabtu, 29 Juni 2024

KONSEP LABA DALAM AKUNTANSI SYARIAH

 

KONSEP LABA DALAM AKUNTANSI SYARIAH

 

A. PENDAHULUAN

Islam adalah agama yang sesuaidengan fitrah manusia  yang memberikan pedoman bukan hanya pada aspek spiritual dalam hubungan manusia dengan Allah Swt., namun juga duniawi atau material dalam hal muamalah manusia dengan sesama makhluk dan bumi ini. Dalam konteks muamalah, Islam sangat menganjurkan aktivitas usaha atau bisnis.

Namun, berbeda dengan tujuan bisnis dalam konteks  konvensional seperti sistem konvensional yang bertujuan untuk memaksimalkan perolehan laba dan keberlanjutan usaha. Bisnis dalam sistem ekonomi syariah bertujuan utama untuk memberikan kemaslahatan bukan hanya untuk pemilik namun juga bagi para pemangku kepentingan termasuk bumi ini. Dalam ekonomi Islam, aktivitas bisnis juga diatur oleh  bingkai syariah, tidak boleh mengandung unsur-unsur yang  dilarang oleh ajaran Islam. Laba dalam laporan keuangan dapat  menjadi tolok ukur kepatuhan suatu perusahaan dalam operasionalnya kepada syariat Islam.

Dalam akuntansi syariah dari transaksi didapatkan pendapatan yang berupa laba. Laba tersebut merupakan bagi hasil margin dan upah atas jasa. Transaksi syariah berlandaskan pada prinsip persaudaraan dan keadilan, keseimbangan dan universalisme.

Laba merupakan suatu pos dasar dan penting dalam laporan  keuangan yang memiliki berbagai kegunaan dalam berbagai konteks. Laba  pada umumnya dipandang sebagai suatu dasar bagi perpajakan, penentuan  kebijakan pembayaran dividen, pedoman investasi dan pengambilan  keputusan dan unsur prediksi kinerja perusahaan.

Definisi laba atau profit  dalam akuntansi konvensional oleh para akuntan merupakan: “Kelebihan pendapatan (surplus) dari kegiatan usaha, yang dihasilkan dengan mengaitkan (matching) antara pendapatan (revenue) dengan beban terkait dalam suatu periode yang bersangkutan (biasanya dalam waktu tahunan)”

Selanjutnya laba ditentukan setelah proses tersebut terjadi. Proses pengkaitan (matching) menyebabkan timbulnya kewajiban untuk mengalokasikan beban yang belum teralokasikan ke dalam neraca. Bebanbeban yang belum teralokasikan (aktiva non-moneter) bersama-sama dengan aktiva moneter (misal kas, persediaan, dan piutang) setelah dikurangkan dengan kewajiban yang timbul menghasilkan sisa yang disebut accounting capital atau residual equity. Laba akuntansi berhubungan dengan pengukuran modal dan dalam kenyataannya digunakan sebagai analisis terhadap perubahan modal secara temporer.

Definisi bebas dari akuntansi adalah identifikasi transaksi yang kemudian diikuti dengan kegiatan pencatatan, penggolongan, serta pengikhtisaran transaksi tersebut sehingga menghasilkan laporan keuangan yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan. Sedangkan definisi bebas dari syariah adalah aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT untuk dipatuhi oleh manusia dalam menjalani segala aktivitas hidupnya di dunia. Jadi, Akuntansi syari’ah dapat diartikan sebagai proses akuntansi atas transaksi-transaksi yang sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan Allah SWT.

Dari sisi ilmu pengetahuan, akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi.

Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing

B. LABA DALAM AKUNTANSI SYARIAH

Dalam akuntansi syari’ah, dari transaksi tersebut didapatkan pendapatan yang berupa laba. Laba tersebut berupa bagi hasil, margin (keuntungan dalam jual beli), dan upah atas jasa. Transaksi syariah berlandaskan pada prinsip persaudaraan, keadilan kemaslahatan,keseimbangan dan universalisme.3 Prinsip Persaudaraan (ukhuwah), merupakan bentuk interaksi sosial dan harmonisasi kepentingan para pihak untuk kemanfaatan secara umum dan saling tolong-menolong.

Dalam transaksi syariah meliputi berbagai aspek, yaitu saling mengenal, memahami, menolong, menjamin, dan saling bernsinergi. Namun meskipun begitu, tetap berpedoman pada profesionalisme. Prinsip keadilan artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan sesuatu pada yang berhak dan sesuai posisinya. Implementasi keadilan dalam Usaha berupa aturan prinsip muamalah yang melarang unsur riba, dzalim, maisyir, gharar, ihtikar, najasy, risywah, ta’alluq dan penggunaan unsur haram baik dalam barang dan jasa yang dipergunakan dalam transaksinya, maupun dalam aktivitas operasionalnya.

Kemudian mengenai kemaslahatan, dalam hal ini harus memenuhi dua unsur, yaitu halal (sesuai dengan syariah) dan thayyib (bermanfaat dan membawa kebaikan). Selain itu juga harus memperhatikan prinsip keseimbangan. Prinsip ini menekankan bahwa manfaat yang didapat dari transaksi syariah tidak hanya difokuskan pada pemegang saham yang nantinya akan mendapatkan dividen, namun juga pada semua pihak yang dapat merasakan manfaat adanya suatu kegiatan ekonomi tersebut. Misalnya saja masyarakat sekitar dan pemerintah yang mungkin tidak terlibat dalam transaksi tersebut secara langsung.

Prinsip yang terakhir yaitu universalisme. Artinya transaksi syariah ini dapat dilakukan semua pihak yang berkepentingan tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan sesuai dengan semangat rahmatan lil ‘alamin.

Konsep laba dalam struktur teori akuntansi dapat diketahui dengan menggunakan pendekatan sintaksis, semantis, dan pragmatis. Konsep laba secara sintaksis yaitu melalui aturan-aturan yang mendefinisikannya; secara semantis yaitu melalui hubungan pada realitas ekonomi yang mendasari;dan secara pragmatis yaitu melalui penggunaannya oleh investor tanpa memperhatikan bagaimana hal itu diukur dan mengtahui apa artinya.

Ada perbedaan mendasar tentang cara pandang antara masyarakat muslim dan masyarakat kapitalis terhadap perolehan laba. Dalam masyarakat kapitalis tujuan utama sebuah organisasi atau perusahaan didirikan adalah untuk memaksimalkan laba dari investasi yang dilakukan untuk perusahaan atau organisasi tersebut. Sedangkan menurut masyarakat muslim, laba bukanlah tujuan yang paling utama dalam pendirian suatu perusahaan atau organisasi. Tetapi bukan berarti perusahaan tersebut tidak boleh mendapatkan laba, hanya saja laba yang diperoleh harus halal dan sesuai dengan prinsip syari’at Islam.

Ada dua konsep Islam yang sangat berkaitan dengan pembahasan masalah laba, yaitu adanya mekanisme pembayaran zakat dan sistem tanpa bunga. Zakat pada prinsipnya merupakan kesejahteraan agama dan pembayarannya merupakan kewajiban agama. Pelaksanaan pemungutan zakat seharusnya dilakukan oleh pemerintah dan didistribusikan untuk kesejahteraan sosial dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah SWT.

Zakat dipungut terhadap pendapatan (laba), kepemilikan barang-barang tertentu seperti emas dan perak (atau disetarakan dengan uang), hewan ternak, dan hasil pertaniaan. Hal ini memerlukan penilaian dan konsep yang jelas untuk menetapkan dasar dan besarnya zakat yang harus dibayarkan.

Beberapa peneliti mengungkapkan perlunya konsep-konsep untuk menetapkan laba sebagai dasar pengenaan zakat, yang merupakan tujuan utama dalam akuntansi syariah. Hal ini diperkuat oleh pernyataan dari Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution (AAOIFI) dalam Statement of Financial Conceptual Framework No. 1 yaitu dengan dibedakannya antara tujuan akuntansi keuangan dan laporan keuangan. Keuntungan penggunaan laba sebagai dasar pembayaran zakat adalah dapat mengurangi masalah-masalah yang berkaitan dengan konflik kepentingan, terjadinya. window dreasing, dan kecurangan dalam penyajian dan pengungkapan laporan keuangan dapat diminimalisir sebaik mungkin.

Karena setiap muslim (dalam hal ini seorang akuntan muslim) menyadari bahwa hal tersebut dilarang agama dan dia tidak akan mengambil barang yang bukan menjadi haknya. Sarana lain selain zakat yang berkaitan dengan pembahasan konsep laba adalah larangan sistem bunga. Islam melarang sistem penentuan tingkat pengembalian tetap atas modal, misalnya pengembalian uang tanpa adanya pembagian resiko yang timbul dari pembayaran angsuran atas pinjaman. Larangan atas sistem bunga dimaksudkan karena sistem bunga merupakan cara-cara kapitalis dalam melaksanakan usaha.

Dalam akuntansi konvensional investor seolah-olah dianggap sebagai peminjam modal bukan sebagai peserta (pemilik) usaha. Dalam Islam perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial dan moral yang berasal dari konsep Islam bahwa manusia diciptakan oleh Allah sebagai utusan (khalifah) di bumi untuk mengolah sumber daya yang diberikan untuk kesejahteraan manusia dan alam. Kepemilikan atas kekayaan dalam Islam tidak mutlak melainkan kondisional.

Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh Beberapa perbedaan lain antara akuntansi syariah dengan konvensional misalnya pada masalah tujuan akuntansi.

 

C. LABA DALAM PERSPEKTIF SYARIAH DAN KONVENSIONAL

Perbedaan paham idealisme akan menghasilkan perbedaan cara pandang terhadap dunia ini (worldview) yang mengakibatkan perbedaan dalam berperilaku termasuk dalam bidang ekonomi. Cara pandang ini juga akan berpengaruh pada perbedaan dalam menjelaskan konsep laba suatu perusahaan.

1.        Laba dalam Perspektif Kapitalisme

Makna laba dalam sistem kapitalisme berdasar pada  ajaran dari Adam Smith, seorang tokoh ekonomi kapitalisme liberal, yang menjelaskan laba sebagai hasil dari pembagian kerja, kapital, pasar bebas, dan harga pasar serta dipengaruhi oleh tingkat upah buruh, bunga, kolonialisme, kepastian kondisi ekonomi, ukuran perusahaan, dan kebijakan pemerintah. Adam Smith menawarkan konsep pasar bebas dalam sistem ekonomi, di mana pasar harus bebas dari intervensi pemerintah.

Kebebasan ini mendorong keserakahan kaum kapitalis untuk bersaing tajam dalam memperoleh laba dengan memproduksi komoditi yang akhirnya menyebabkan terjadinya kelebihan produksi. Akibatnya terjadi krisis ekonomi, pengangguran, dan inflasi tinggi yang sulit dikendalikan.Sebagai anti thesis dari pemikiran Adam Smith yang dinilai gagal sehingga menyebabkan krisis ekonomi pada tahun 1930-an, Maynard Keynes hadir dengan pemikiran bahwa harus ada campur tangan pemerintah dalam aktivitas ekonomi. Perbedaan pemikiran antara Adam Smith dan Maynard Keynes disebabkan perbedaan kondisi perekonomian.

Pada zaman Smith, orang yang mencari barang sehingga kaum kapitalis relative lebih mudah dalam menghasilkan laba, sedangkan pemikiran Keynes lahir dari krisis ekonomi kapitalis tahun 1930-an dimana barang yang mencari konsumen sehingga persaingan untuk menghasilkan laba semakin meningkat. Harga pokok produksi yang terdiri dari biaya bahan baku dan upah buruh serta biaya peralatan produksi merupakan hal yang ditekankan pada pemikiran Keynes. Perusahaan akan memperoleh laba jika harga pasar lebih tinggi dari harga pokok produksi suatu barang. Selain itu, laba juga ditentukan oleh konsumen. Proses produksi akan terus berjalan jika produk tertentu memberikan kepuasan kepada konsumen.

Perbedaan mendasar pemikiran Smith dan Keynes adalah keterlibatan pemerintah dalamperekonomian. Menurut Keynes, salah satu faktor yang juga mempengaruhi laba suatu perusahaan adalah kebijakan pemerintah baik di bidang fiskal, moneter, belanja negara, dan biaya modal. Teori ekonomi Keynes ini banyak diadopsi oleh beberapa negara termasuk Indonesia. Hal yang bisa disimpulkan dari penjelasan di atas adalah bahwa hakikatnya system ekonomi kapitalis liberal adalah proses penciptaan laba.

Tujuan utama perusahaan adalah untuk menghasilkan dan memaksimalkan laba bagi pemiliknya. Tujuan ini tentu saja berpengaruh besar dalam pola pengelolaan perusahaan. Hubungan antara kapital dan laba yang kemudian menentukan pola perilaku manusia (Triyowono et al., 2016). Kapital yang merupakan motor penggerak sistem sosial kapitalisme liberal harus dikelola untuk menghasilkan laba yang akan diakumulasi menjadi kapital baru. Perilaku pelaku ekonomi difokuskan untuk mengelola kapital demi memaksimalkan laba.

Salah satu aspek perilaku manusia yang juga dipengaruhi oleh konsep laba yang dianut pahamkapitalisme ini adalah konsep akuntansi. Dampak negatif dari idealisme ini adalah perilaku kecurangan akuntansi seperti window dressing atau manajemen laba di mana manajemen berupaya untuk merekayasa laporan keuangan perusahaan agar memperlihat kinerja keuangan yang diharapkan. Hal ini tentu saja akan menyesatkan pihak yang berkepentingan.

2.         Laba dalam Perspektif Islam

Ada pendapat umum yang berkembang bahwa sistem ekonomi Islam tidak mengenal maksimalisasi keuntungan  karena dianggap tidak berorientasi pada akhirat. Sayangnya tidak ada satu pun dalil dari Al-Qur’an maupun As-sunnah yang menyatakan hal tersebut. Sebaliknya, ada beberapa dalil yang menyiratkan tentang bolehnya memperoleh keuntungan dalam suatu aktivitas bisnis dan bahkan memandangnya sebagai suatu berkah dan rahmat dari Allah yang harus diperjuangkan. Terkait harta (termasuk keuntungan yang diperoleh darinya), hal yang dipertanyakan pada hari pertanggung jawaban kelak adalah “darimana diperoleh” dan “kemana dibelanjakan” harta tersebut, bukan “mengapa” diperoleh.

Beberapa dalil baik Al-Qur’an maupun al-Hadits yang menjadi dasar diperbolehkannya menjadikan laba sebagai salah satu tujuan suatu aktivitas ekonomi.

1)              Al-Qur’an

Dalil Al-Qur’an pertama adalah QS. Al-Baqarah  ayat 16 yang merupakan satu-satunya ayat yang  menyebutkan kata “Rib” yang artinya laba atau keuntungan sebagai berikut: “Mereka itulah yang membeli kesesatan dengan petunjuk. Maka perdagangan mereka itu tidak beruntung dan mereka tidak mendapat petunjuk”.

Salah satu interpretasi terhadap ayat ini adalah suatu pertukaran tanpa adanya keuntungan bukanlah suatu perdagangan atau jual beli, kecuali jika mengandung suatu manfaat dari pihak yang bertransaksi. Jual beli terjadi jika kedua belah pihak memiliki tujuan untuk memperoleh keuntungan.

Suatu aktivitas bisnis tanpa adanya keuntungan hanya membuang waktu dan tenaga. Pada ayat yang lain, Allah mendukung orang-orang beriman yang telah membuat kesepakatan yang menguntungkan. Jadi kita melihat Allah memuji mereka karena membuat kesepakatan yang akan menghasilkan keuntungan yang tinggi bagi mereka. Oleh karena itu, salah satu prinsip bisnis yang dianut adalah pihak-pihak yang bertransaksi akan samasama memperoleh keuntungan atau manfaat.

2)               Al-Hadits

Ada beberapa kisah dari sahabat yang menyiratkan bolehkan memperoleh keuntungan dalam suatu aktivitas bisnis dan bahkan tanpa ada batasan maksimal keuntungan yang ditetapkan. Seorang sahabat bernama Urwah al-Bariqi yang diberikan satu dinar oleh Nabi untuk membeli seekor kambing. Dalam perjalanan pulang setelah membeli kambing, dia ditawari untuk menjual kambing tersebut seharga dua dinar. Dia menerima kesepakatan transaksi itu, lalu kembali ke pasar untuk membeli kambing seharga satu dinar lalu setelahnya diserahkan kepada Nabi beserta dengan keuntungan satu dinar dari penjualan kambing sebelumnya. Nabi menerimanya dengan senang dan mendoakan keberkahan atas negosiasi transaksi yang dilakukan Urwah al-Bariqi.

Pada kondisi tertentu, upaya perolehan keuntungan diwajibkan. Salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi: “Barang siapa yang menjadi waliharta anak yatim, maka hendaklah ia memperdagangkanya agar tidak terjerumus zakat”. Hadits ini mewajibkan para wali harta anak yatim untuk menginvestasikannya dalam kegiatan yang menghasilkan keuntungan untuk memastikan bahwa keuntungan yang dihasilkan cukup tidak hanya untuk pembayaran zakat, tetapi juga untuk menutupi biaya sehari-hari anak yatim.

Hal ini juga diperintahkan oleh Khalifah Umar bin Khattab yang mengatakan bahwa: “Lakukan jual beli harta anak yatim untuk menyelematkannya dari zakat”.Walaupun tidak ada dalil yang mengatur besarnya perolehan keuntungan dalam suatu aktivitas bisnis, alGazali menyarankan agar para pedagang tidak menjual barangnya pada tingkat harga yang jauh lebih tinggi dari harga yang berlaku sebab hal in akan menyebabkan tingkat laba yang berlebihan. Bahkan al-Gazali memperkirakan bahwa besar harga normal itu kira-kira  5-10% dari harga jual dan menyarankan kepada para pedagang untuk lebih memperhatikan keuntungan yang sejati yaitu keuntungan akhirat.

Disimpulkan bahwa dalam perspektif Islam , profitabilitas memiliki makna yang jauh lebih luas dari sekedar profit material (Pratama & Jaharuddin, 2018). Konsep laba harus didasari tauhidullah di mana tujuan pencapaian laba berorientasi pada akhirat.Lebih jauh dan lebih dalam, makna laba dalam bingkai spiritualisme-religius yang didasarkan pada filsafat spiritualisme Islam Al-Ghazali bahwa laba adalah hasil kerja manusia yang diridai Tuhan untuk dimanfaatkan demi kesejahteraan seluruh umat manusia, lingkungan sosial, dan kemakmuran lingkungan alam(Triyuwono et al., 2016).

Laba tidak hanya dipandang sebagai hasil untuk memuaskan tujuan berupa materi, tetapi untuk membangun akhlak mulia yang sejalan dengan fitrah manusia yaitu rendah hati (tawadhu), mengutamakan kepentingan umum (itsar), hidup sederhana, senang membantu orang lain, dan selalu berbuat baik. Dengan memandang laba sebagai rezeki dari Allah, maka manusia harus mengupayakan memperolehnya tentu dengan cara-cara yang diridhoi Allah dan menyalurkannya sesuai ketentuan ketentuan syariah pula. Oleh karena itu, laba bukanlah sepenuhnya menjadi hak pemilik modal karena modal diyakini sebagai titipan Allah untuk dimanfaatkan dan dikelola sesuai dengan ketentuannya.

Dengan memandang laba sebagai rezeki pemberian Allah, maka pemilik perusahaan dan manajemen yang mengelola perusahaan tersebut akan merasakan kedekatan kepada sang Pemberi. Sehingga tujuan akhir dari laba adalah untuk memperoleh keridhoan dan kedekatan kepada Allah

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERSPEKTIF EKONOMI SYARIAH DALAM BISNIS KONTEMPORER

  MATERI- PENGANTAR BISNIS ISLAM Oleh: Eny Latifah, S.E.Sy.,M.Ak Perspektif Ekonomi Syariah dalam Bisnis Kontemporer   A.      Pengertian Ek...