KONSEP HUTANG
DALAM AKUNTANSI SYARIAH
A. PENDAHULUAN
Suatu entitas bisnis ataupun lainnya memerlukan tambahan modal ataupun
hutang kepada pihak lain dalam hal mempertahankan eksistensinya. Termasuk
entitas perbankan syariah. Begitupun dengan Manusia sebagai makhluk sosial
tentu membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya. Hal semacam ini
berlaku dalam segala hal, termasuk dalam pemenuhan rezeki.
Banyak cara yang dilakukan Allah Swt. dalam menyampaikan rezeki pada
hambanya, Di antaranya: melalui disyariatkannya praktik transaksi hutang
piutang sebagai salah satu aspek pemenuhan hajat hidup manusia (Musadad, 2019).
Konsep hutang piutang dalam keilmuan akuntansi syariah berdimensi tolong
menolong (ta`awun).
Dengan demikian, hutang piutang dapat dikatakan sebagai ibadah sosial
yang dalam pandangan Islam memiliki keutamaanyang mulia. Olehnya itu penting
memahami dengan baik apa esensi konsep hutang piutang dalam suatu entitas
bisnis maupun dalam kehidupan bermasyarakat.
Hutang piutangmuncul disebabkan bahwa entitas maupun manusia
(stakeholders) dalam keadaan tertentu, bisa jadi mengalami kesulitan dalam
memenuhi kebutuhan operasionalnya maupun hidupnya. Sehingga jalan meminjam uang
kepada orang lain atau pihak lain adalah jalan penyelesaiannya. Atas dasar ini,
Islam tentu membolehkan seseorang meminjam sejumlah hutang untuk kemudian
dikembalikan kepemiliknya.
B. ARTI DAN DASAR HUKUM HUTANG MENURUT SYARIAH
Hutang berasal dari bahasa arab yaitu qardh yang berarti hutang.
Menurut Abu Al-kasim kata dayn berarti memberi utang atau berhutang. Dayn
mensyaratkan jangka waktu tertentu dalam pengembalian utang, hal ini yang
membedakan al-Qardh yang tidak mensyaratkan jangka waktu tertentu dalam
pengembalian utangnya, dayn lebih umum dari al-qardh. Alqardh secara
terminologis adalah memberikan harta kepada orang yang akan memanfaatkannya dan
mengembalikan gantinya dikemudian hari (Abdullah, 2009).
Dasar hukum dalam hutang piutang pada asalnya mubah atau diperbolehkan
dalam syariah. Bahkan orang yang memberikan hutang kepada orang lain yang
sangat membutuhkan adalah hal yang dianjurkan dalam perspektif agama Islam.
Transaksi akad hutang piutang masuk dalam akad sosial yang mendapatkan janji
pahala yang besar. Asalkan tidak mengandung unsur kezaliman didalamnya dan
menganut prinsip keadilan didalamnya. Konsep keadilan dalam Islam, dijelaskan
dalam QS. AlBaqarah ayat 279, yaitu adil dalam Islam adalah tidak menzalimi dan
tidak dizalimi.
Prinsip keadilan dapat diterjemahkan dengan menempatkan sesuatu pada
tempatnya. Dalam konteks ekonomi termasuk hutang piutang, berarti bahwa setiap
transaksi ekonomi yang dilakukan oleh pelaku ekonomi tidak boleh menzalimi
bahkan sampai merugikan orang lain (Apriyanti, 2018). Hakikatnya, manusia sendiri
sebagai khalifah dimuka bumi ini yang fungsi utamanya menjaga keteraturan
interaksi (muamalah) antar kelompok, agar kekacauan dan keributan dapat
dikurangi atau dihilangkan (Muhammad, 2018).
Jadi, setiap transaksi bisnis, harus didasarkan kepada prinsip
kerelaan antar kedua belah pihak (an taradhim minkum) dan tidak bathil yaitu
tidak ada pihak yang menzalimi dan dizalimi atau dengan kata lain la
tazhlimuna wa la tuzhlamun (Nurhayati & Wasilah, 2013).
C. KEWAJIBAN MENCATAT HUTANG DALAM SYARIAH
Dalam ajaran Islam, orang yang berhutang
dan memberi hutang diwajibkan untuk menulis atau mencatat dengan baik agar
tidak terjadi masalah dikemudian hari. Selain itu, orang yang berhutang harus
memiliki niat yang kuat atau komitmen untuk mengembalikannya. Jika tidak bisa
melunasinya, maka hendaklah kedua belah pihak untuk mufakatsehingga tidak
terjadi konflik dikemudian hari.
Bahkan tidak sedikit kasus yang muncul
dipermukaan masyarakat ataupun suatu entitas karena karena perkara hutang
piutang. Perintah Allah Swt. melalui QS. Al-Baqarah ayat 282 secara jelas
disebutkan pentingnya pencatatan dan akuntansi (proses akuntansi) sebagai bukti
transaksi. Selain itu, akuntansi syariah adalah sebagai bentuk akuntabilitas
yang terpercaya dan sebagai pondasi etika informasi laporan suatu entitas
(Rahman et al., 2019).
Sebagaimana perintah agama yang terkandung
dalam QS. Al-Baqarah ayat 282 yang terjemahannya: “... dan janganlah kamu bosan
menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya”.
Dalam ayat di atas menjelaskan kebenaran yang secara eksplisit tersaji adalah
bahwa Allah Swt. memerintahkan umat Islam menuliskan transaksi baik yang kecil
maupun yang besar (Warsono & Hardono, 2012).
Lantas bagaimana kalau orang yang
berhutang mengalami kesulitan dalam melunasinya. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 280,
terdapat anjuran untuk memberikan kelonggaran waktu kepada orang yang berutang
dan mengikhlaskan utang apabila orang tersebut benar-benar tidak mampu dinilai
sebagai kebaikan dan Shadaqah.
D. RUKUN DAN SYARATBERHUTANG DALAM TINJAUAN SYARIAH
Rukun, Syarat, dan Prinsip Berhutang dalam
Tinjauan Syariah Adapun yang menjadi syarat dan rukun yang harus dipenuhi dalam
hutang-piutang (Violita et al., 2018), seperti diuraikan berikut ini.
1.
Sighat Sighat yang dimaksud dalam akad adalah ijab dan qabul.
Masing-masing kedua belah pihak memiliki kesepakatan dan menunjukkan mereka
saling rida atau rela.
2.
Akad (Adanya Pelaku) Akad yang dimaksud adalah para pihak yang
melakukan transaksi yang memberi hutang dan penghutang. Adapun syarat-syarat
bagi penghutang adalah baligh, berakal sehat dan pandai yang bisa membedakan
baik dan buruk.
3.
Harta yang Dihutangkan Harta yang akan dipinjamkan harus berupa harta
(aset) yang ada takarannya, baik yang bisa ditimbang, diukur, maupun dihitung.
Sebagai wujud bentuk implementasi dari paradigma dan asas yang telah
ditetapkan, transaksi syariah harus memenuhi karakteristik dan persyaratan
(Warsono & Jufri, 2011), sebagai berikut:
a.
Transaksi hanya dilakukan berdasarkan prinsip saling paham dan saling
rida.
b.
Prinsip kebebasan bertransaksi diakui sepanjang objeknya halal dan
baik (thayib) dan tidak haram.
c.
Tidak mengandung unsur riba, zalim, maysir, gharar. Hutang diatur
dalam Islam karena memang merupakan salah satu sektor kecil dalam urusan
ekonomi umat.
Hutang bukan saja dilakukan oleh orang
yang tidak mampu, namun oleh orang yang mampu juga dari sisi ekonomi. Adapun
prinsip-prinsip hutang yang harus diperhatikan (Iska, 2012), meliputi:
1.
Jika terpaksa berhutang, jangan berhutang diluar kemampuan.
2.
Jika hutang telah dilakukan, harus ada niat untuk membayarnya. Harus
memiliki komitmen untuk mengembalikan hutang.
3.
Harus disadari bahwa hutang itu merupakan alternatif terakhir ketika
segala usaha untuk mendapatkan sejumlah dana secara halal dan tunai mengalami
kebuntuan
E. KONSEP HUTANG DALAM AKUNTANSI SYARIAH
Hutang biasa dikenal dengan istilah liabilitas dalam keilmuan
akuntansi. Hakikat hutang dalam Islam adalah sebuah bentuk pertolongan bagi
debitur (orang yang meminjam uang). Dengan demikian, wajib kepada debitur agar
berniat membayar sejumlah hutangnya. Disisi lain, kreditur (tempat meminjam
uang) menerima pengembalian aset yang dipinjamkannya dientitas dengan jalan
yang baik.
Akhlak yang baik dalam hutang piutang adalah berbuat baik dalam
mengembalikan pinjaman.Dalam konsep syariah, hutang piutang merupakan akad
transaksi ekonomi yang berdimensi tolong menolong (ta`awun). Oleh karena itu,
penting menginternalisasikan nilai tafahum (saling memahami) dalam berakad
transaksi hutang piutang baik dilingkungan entitas ataupun dalam bermasyarakat.
Hutang secara terminologi adalah memberikan harta kepada orang yang
akan memanfaatkannya dan mengembalikan ganti rugi dikemudian hari (Abdullah bin
Muhammad ath-Thayyar, 2009: 152). Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah, hutang adalah penyediaan dana atau tagihan antar lembaga keuangan
syariah dengan pihak peminjam untuk melakukan pembayaran secara tunai atau
cicilan dalam dalam jangka waktu tertentu. Definisi yang dikemukakan dalam
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah bersifat apikatif dalam akad pinjam-meminjam
antara nasabah dan Lembaga Keuangan Syariah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar