EKONOMI ISLAM DALAM LINTAS
SEJARAH
A. OVERVIEW GREAT GAP SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM
Joseph
Schumpeter (1997: 73-74)[1]
mengenalkan istilah “great gap” dalam perkembangan pemikiran ekonomi. Ada
kekosongan pemikiran ekonomi selama lebih dari lima abad. Setelah peradaban
Yunani, tidak ditemukan adanya pemikiran ekonomi hingga pada masa St. Thomas
Aquinas (1225-1274 M). Buku Summa Theologica dianggap sebagai buku pertama yang
mengupas pemikiran ekonomi yang komprehensif sejak era Yunani.
Pandangan ini
memberikan pemahaman bahwa selama lebih dari 500 tahun sebelum era Skolastik,[2]
tidak ada pemikiran ekonomi yang signifikan. Dengan kata lain, masa kegelapan
Eropa berlaku secara universal, yakni kegelapan tersebut tidak hanya dirasakan
oleh Eropa, tetapi juga belahan bumi yang lain.[3]
Pemikiran ini
juga disampaikan oleh para cendekiawan Barat lainnya, seperti Erick Roles
(1954), Spiegel (1964) dan Tawney (1964) yang mengungkapkan bahwa pandangan
skolastik hanya merujuk pada pandangan Aristoteles dan tradisi Kristen Ibrani.
Tidak ada tokoh Arab pun yang dijadikan sebagai referensi. Demikian halnya
Spengler-Allen yang menegaskan bahwa abad 500 – 1200 Masehi adalah abad
kekosongan (Ghazanfar, 2003).
Hal ini tentunya
berbeda dengan fakta sejarah, di mana ketika Eropa mengalami kegelapan, justru
bagian dunia lain, di jazirah Arab dan daerah Islam lainnya sedang mencapai
peradaban yang tinggi. Banyak cendekiawan muslim yang berbicara tentang
ekonomi, dan tidak sedikit yang menuangkan pemikirannya dalam sebuah buku.
Tokoh ekonom
muslim dan pemikirannya akan disampaikan di sub bab berikutnya.
Oleh karenanya,
pemikiran Schumpeter tersebut sangat disesalkan. Mengingat bukunya (History of
Economic Analysis) senantiasa menjadi rujukan, maka pemahaman tentang adanya
“great gap” ini akan terus digaungkan oleh para ekonomi lainnya (pengikutnya).
Meski demikian, masih terdapat beberapa cendekiawan Barat yang ahli di bidang
sejarah abad pertengahan yang menegasikan adanya “great gap”: [4]
1.
Butler menyatakan tidak ada
mahasiswa sejarah yang mempelajari budaya Eropa yang dapat mengonstruksi
nilai-nilai intelektual pada masa abad pertengahan kecuali ia menyadari adanya
peran dari Islam.
2.
Tanpa adanya pengaruh dari
filsafat peripatetik Arab, maka teologi Aquinas tidak akan pernah terpikirkan
sebagai filosofinya. (Harris: 40).
3.
Fakta bahwa Aquinas mengambil ide
dan stimulasi dari berbagai sumber menegaskan bahwa Aquinas adalah eklektik dan
kurang dalam originalitas pemikirannya. Dengan kata lain, semakin kita
mengetahui tentang filosofi Aristoteles, Islam, dan Yahudi serta Kristen
sebelumnya, maka kita akan dibuat bertanya-tanya tentang pemikiran Aquinas;
manakah yang khas darinya (Copelston, 181).
4.
Pada abad ke-12 dan ke-13,
berbagai karya filsafat Arab sangat mempengaruhi terciptanya sintesis
Aristoteles Kriastiani yang diusung oleh St. Albert (the Great) dan St. Thomas
Aquinas yang pengaruhnya tidak hanya ekstensif dan nyata, bahkan terus ber
langsung dan semakin beragam (Rescher, 156–7).
5.
Arab sudah meninggalkan kesan
intelektual terhadap Eropa jauh sebelumnya. Dunia Kristen harus mengakui bahwa
hal tersebut sangat jelas dipahami, sebagaimana siapa pun dapat memahami
nama-nama bintang di langit (Draper, Vol. 2, 42).
Pengaruh
pemikiran cendekiawan muslim terhadap perkembangan pemikiran di dunia Eropa
abad pertengahan dimungkinkan melalui sejumlah hal, di antaranya: penerjemahan
pemikiran-pemikiran tokoh muslim, pendidikan, petualangan, perdagangan, perang
salib, diplomasi, dan juga ziarah religi ke Palestina. [5]
Penerjemahan
karya-karya intelektual muslim ke dalam bahasa Eropa merupakan faktor
terpenting yang mempengaruhi pemikiran para cendekiawan Eropa. Meski demikian,
kontribusi umat Islam terhadap keilmuan hanya diakui sebatas sebagai penerjemah
dari pemikiran Yunani. Dengan kata lain, pemikiran ulama Islam dianggap tidak
ada yang orisinal, sehingga cendekiawan Barat merasa tidak perlu untuk
mencantumkan kontribusi pemikiran muslim, tetapi langsung merujuk kepada
pemikiran Yunani kuno. Asumsi ini tentunya tidak tepat. Sejatinya, apa yang
dilakukan oleh para cendekiawan muslim tidak semata menerjemahkan, tetapi juga
memberikan komentar atas pemikiran Yunani, mengkritisi dan juga menambahkan
pemikiran mereka. Dengan hal tersebut, para cendekiawan Barat dapat memahami
pemikiran Yunani kuno dengan kritis dan lebih baik.
Pendidikan
juga menjadi faktor kunci yang berpengaruh. Peradaban Islam yang lebih tinggi
tatkala itu mendorong minat warga Eropa untuk menuntut ilmu hingga ke pusat
Pendidikan Islam di Spanyol, Maroko, Mesir dan lainnya. Sebagai contoh,
Adelardus Bathensis, seorang filsuf Inggris yang merantau mempelajari bahasa
Arab, belajar di sana lalu membawa pulang dengan bekal berbagai keilmuan yang
ia dapatkan. Bahkan, sejumlah bangsawan kerajaan Eropa tidak segan untuk
mengirimkan putra putrinya untuk belajar di berbagai pusat keilmuan di negara
muslim.
Alhasil,
pemikiran ekonomi Islam telah mempengaruhi pemikiran para ekonom skolastik dan
juga merkantilis. Pengaruh ini tidak dapat disembunyikan. Interaksi antara
Barat dan Timur; antara pemikiran Yunani, Kristiani dan Islam dapat dijelaskan
pada Gambar 4.1. Pemikiran Yunani, Kristiani (Bibel), dan juga Islam
bersama-sama mempengaruhi pemikiran ekonom skolastik. Dari gambar tersebut,
dapat juga dipahami bahwa ekonomi Islam bukanlah pemikiran baru. Ia telah hadir
dan berkembang pesat di abad ke-10 hingga abad ke-15. Setelah itu, pemikiran
ekonomi Islam mengalami stagnasi sebagaimana yang akan dijelaskan pada sub-bab
berikutnya.
Meski
demikian, masih diperlukan kajian kritis yang mendalam terkait pemikiran
ekonomi yang signifikan setelah abad 15, mengingat terdapat kekhilafahan Turki
Utsmani yang berkembang cukup pesat pada waktu itu. Setidaknya, terdapat
sejumlah tokoh muslim yang dapat dikaji lebih dalam terkait pemikiran
ekonominya pada waktu, di antaranya Kinalizade Ali Celebi (1511- 1572) yang
menulis satu bab tentang “Tadbir Al Manzil” (sekarang ilmu ekonomi), Mustafa
Nuri Bey (1844–1906) yang menulis Mebahis-i İlm-i Servet (Tema-tema alam ilmu
kekayaan), Mehmed Akif Ersoy (1873-1936) yang menjelaskan pentingnya etos
kerja, dan Said Nursi Badiuzaaman (1877-1960) yang membahas konsep rezeki dalam
bukunya Risalah Nur.
B. LINTAS SEJARAH HASIL PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM
Mempelajari
pemikiran ekonom muslim terdahulu bukanlah ditujukan untuk semata membanggakan
keagungan kekayaan intelektual umat Islam. Mempelajari sejarah adalah untuk
mengetahui bagaimana mereka menyelesaikan permasalahan ekonomi mereka pada masa tersebut, sehingga dapat menjadi
pedoman untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi di saat ini atau masa
mendatang.[6]
Secara garis
besar, sejarah pemikiran ekonomi Islam memiliki empat fase perkembangan:[7]
1)
Fase pertama, yakni masa fondasi.
Fase ini dimulai dari awal sejarah Islam hingga tahun 450 H/1058 M. Ekonomi
masih dibahas oleh para ahli fikih, filsuf, dan juga para sufi.
2)
Fase kedua. Pada fase ini,
pemikiran ekonomi Islam berkembang secara pesat. Dimulai dari tahun 450 H/1058
M hingga tahun 850 H/1446 M. Pada masa ini lahir banyak karya intelektual,
termasuk di bidang ekonomi.
3)
Fase ketiga. Periode ini adalah
terjadinya stagnasi. Tidak ditemukannya pemikiran ekonomi Islam yang
signifikan. Periode ini dimulai dari tahun 850 H/1446 M hingga 1350 H/1932 M.
C. Fase keempat.
Ini adalah periode kebangkitan. Dimulai dari tahun 1932 hingga saat ini. Islahi
(2008) membagi lebih detail lagi periode ini per seperempat abad. Seperempat
abad pertama adalah masa pre take of, yakni munculnya semangat dari para
pemimpin negara muslim untuk melakukan reformasi atau perubahan sistem ekonomi.
Upaya untuk menggali pemikiran ulama klasik tentang isu-isu ekonomi mulai
digalakkan. Pada seperempat abad ke-20 yang kedua adalah masa take of, yakni
mulai bermunculan tulisan tentang pemikiran ekonomi Islam dan bagaimana
pandangan Islam terhadap permasalahan ekonomi bila dibandingkan dengan
pemikiran Barat. Di seperempat abad ke-20 yang ketiga, munculnya tokoh-tokoh
cendekiawan muslim yang memulai gerakan untuk mengampanyekan ekonomi Islam.
Upaya ini akhirnya mendapatkan dukungan secara institusional di seperempat abad
ke-20 yang terakhir. Rekonstruksi dan pengakuan terhadap pemikiran ekonomi
Islam semakin masif. Adapun seperempat abad pertama di abad 21 ini kita dapat
menyaksikan semakin meluasnya penerimaan dunia atas ekonomi Islam.
Secara praktis,
ekonomi Islam tidak hanya sekadar bank Islam, tetapi sudah meluas ke industri
keuangan lainnya (asuransi, pasar modal, dll), bahkan sudah meluas ke berbagai
sektor industri lainnya, yang kita sebut dengan industri halal. Banyak negara,
baik muslim maupun non-muslim yang sudah bergerak untuk menjadi pusat industri
halal dunia.
D. FASE PERTAMA PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM
Fase pertama,
yakni masa fondasi. Fase ini dimulai dari awal sejarah Islam hingga tahun 450
H/1058 M. Ekonomi masih dibahas oleh para ahli fikih, filsuf, dan juga para
sufi. Lahirnya ekonomi Islam diawali pada masa Rasulullah SAW.. Beliau meletakkan
fondasi ekonomi setelah hijrah ke Madinah. Di fase awal kenabian, sebelum
hijrah, fokus utama masih kepada penguatan akidah umat Islam. Belum lagi, di
Makkah, kekuatan umat Islam belum begitu kuat, baik secara politik dan juga
ekonomi. Setelah hijrah ke Madinah, Rasulullah SAW. mulai membangun peradaban
Islam. Hal pertama kali yang dilakukan oleh Rasulullah SAW., setelah hijrah,
adalah membangun modal sosial yang kuat di antara masyarakat; mempersaudarakan
kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Stabilitas keamanan juga dijaga dengan
kesepakatan piagam Madinah dengan non-muslim. [8]
Di dalam aspek
ekonomi, Rasulullah SAW. telah membangun sejumlah institusi pasar di Madinah.
Beliau juga membangun baitulmal sebagai perbendaharaan negara. Kewajiban
pelaksanaan zakat juga ditetapkan di tahun kedua setelah hijrah. Semangat
berbagi juga terus didorong dengan infak dan wakaf. Rambu-rambu atau aturan
hukum bisnis juga mulai diatur dengan syariah Islam.
Rasulullah SAW.
mewariskan dua fondasi utama ajaran Islam: Alquran dan sunah. Dua hal tersebut
merupakan sumber hukum agama Islam. Panduan bagi para produsen dan konsumen
dalam berperilaku. Sebagai contoh, Alquran mengharamkan bagi produsen untuk
mengambil keuntungan dengan cara yang batil (al-Baqarah [2]: 188 dan an-Nisa [4]:
29). Adapun bentuk-bentuk kebatilan dalam jual beli,
Kemudian
dijelaskan Rasulullah SAW. dengan sejumlah larangan, di antaranya larangan
menimbun (ihtikar) dan juga menyembunyikan cacat (tadlis). Sepeninggal
Rasulullah SAW. (632 M/11 H), umat Islam dipimpin oleh sejumlah sahabat yang
disebut dengan khulafa’ur rasyidin (632– 661 M). Tidak hanya sebagai pemimpin
pemerintahan, mereka juga adalah orang yang alim di bidang agama. Seiring
dengan terhentinya wahyu, maka diperlukan ijtihad dari para pemimpin dan para
ulama dalam menyelesaikan permasalahan umat.
Khalifah
pertama, Abu Bakar ash-Shiddiq (632-634 M) dikenal dengan ketegasannya dalam
memerangi mereka yang enggan untuk membayar zakat. Meskipun mendapatkan
penolakan dari sejumlah sahabat, terutama Umar bin Khattab r.a., Abu Bakar r.a.
sangat tegas dengan keputusannya untuk memerangi mereka yang memisahkan antara
salat dan zakat. Alhasil, kestabilan sosial, politik dan ekonomi terjaga dengan
baik. Selain itu, Abu Bakar r.a. memberikan tunjangan kepada para istri nabi
dan veteran perang Badar dan Uhud.
Khalifah kedua,
Umar bin Khattab r.a. (634-644 M), dikenal dengan kebijakannya yang memperkuat
tata kelola pemerintahan. Di bidang ekonomi, Umar membangun institusi hisbah
yang di antara fungsi utamanya adalah pengawasan pasar. Beliau juga
memberlakukan kebijakan ‘usyur (bea cukai) sebagai sebuah kebijakan resiprokal.
Berbeda dengan Abu Bakar r.a. yang membagikan tunjangan bulanan secara merata,
Umar bin Khattab membagikan tunjangan kepada para istri nabi dan sahabat nabi
berdasarkan tingkat kedekatannya dengan Nabi dan masa keislamannya. Selain itu,
kebijakan Umar yang orisinal adalah kaitannya dengan pembagian harta perang, di
mana Ia memutuskan tidak membagikan tanah yang berhasil ditaklukkan di Iraq dan
Syam kepada para pejuang yang ikut peperangan. Umar bin Khattab lebih memilih
untuk menahan kepemilikan negara atas tanah tersebut dan menetapkan sewa atas
pemanfaatan tanah tersebut. Kebijakan ini dikenal dengan kebijakan kharaj.[9]
Sementara itu,
Khalifah ketiga, Utsman bin Affan (644-656 M) meneruskan apa yang telah
dibangun oleh Khalifah Umar. Pendapatan negara dari sektor agricultural
meningkat pesat hingga lebih dari lima kali lipat di masa Utsman. Hal ini tidak
lepas dari kebijakannya untuk memperbolehkan pengelolaan tanah negara oleh
individu masyarakat, sehingga beban negara berkurang dan pemanfaatan tanah
menjadi lebih optimal. Meski demikian, hal ini dinilai menjadi benih feodalisme
di Islam.[10]
Seiring dengan sulitnya bagi pemerintah untuk menghitung harta zakat yang
tersimpan (baathin), Utsman mencukupkan para petugasnya untuk hanya menghitung
harta zakat yang tampak (zhahir). Adapun harta yang tersimpan, maka itu
tetaplah menjadi kewajiban muzaki untuk menyalurkannya.
Khalifah
terakhir adalah Ali bin Abi Thallib (656-661 M). Terdapat empat isu besar yang
disampaikannya kepada para gubernurnya; moralitas, keadilan, kedamaian dan
keamanan, serta kesejahteraan ekonomi masyarakat. Sektor pertanian masih
menjadi perhatian utama. Ali r.a. menekankan pentingnya pemerintah untuk lebih
memperhatikan produktivitas dari lahan pertanian daripada hanya sekadar
memperhatikan penarikan pajak atas tanah tersebut. Di aspek perdagangan, beliau
menegaskan larangan penimbunan yang dapat membahayakan masyarakat.[11]
Setelah berakhirnya
khulafa’ur rasyidin pada tahun 661 M, kekhalifahan dipegang oleh Bani Umayyah
(661-750 M) kemudian Bani Abbasiyah (750-1000 M) di mana pemilihan kepala
negara (khalifah) bukan didasarkan pada hasil syura, tetapi lebih kepada
dinasti keluarga. Akibatnya, banyak khalifah yang tidak memiliki keilmuan di
bidang agama. Oleh karena itu, pada masa kekhalifahan dinasti, muncullah
sejumlah ulama yang menjadi hakim agung yang senantiasa memberikan fatwa dan
nasihat kepada para khalifah. Di antaranya adalah Abu Yusuf (113–182 H /
731–798 M) dan Abù al-Hasan al-Màwardì (364–450 H / 972–1058 M). El-Ashker dan
Wilson menyebutkan bahwa hanya Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dinilai
memiliki kealiman di bidang syariah di antara para khalifah Bani Umayyah dan Bani
Abbasiyah. [12]
Abu Yusuf
merupakan hakim agung di masa Harun ar-Rasyid (786-809 M), puncak kejayaan Bani
Abbasiyah. Beliau menyusun sebuah buku fenomenal yang dianggap sebagai buku
ekonomi Islam yang pertama. Beliau menyusun kitab al-Kharaj sebagai nasihat pada
pemerintah atas permintaan Sang Khalifah. Buku tersebut berisikan tentang
keuangan publik Islam; pendapatan dan pengeluaran negara. Beberapa ulama lain
setelahnya juga mencoba menulis buku dengan judul yang sama, “al-Kharaj”, yakni
Yahya bin Adam (757–818 M) dan Qudama ibn Ja’far al-Katib (864–932 M). Meski
demikian, kitab Abu Yusuf dinilai masih lebih komprehensif.
Adapun
al-Mawardi merupakan hakim agung pada masa al-Qoim bi Amrillah (1031-1075 M).
Bukunya yang terkenal adalah al-Ahkam as-Sulthoniyah. Buku tersebut banyak
bicara tentang tata kelola pemerintah, termasuk di antaranya adalah mengatur
pendapatan dan belanja negara, serta institusi hisbah (salah satu tugas
utamanya adalah mengawasi pasar/praktik muamalah).
Selain Abu Yusuf
dan al-Mawardi, terdapat sejumlah hakim[13]
yang juga membuat karya di bidang ekonomi, di antaranya; a) Al-Syaibani
(750-804 M) dengan karyanya Kitab Al-Iktisab (Buku tentang Mencari
Penghasilan). Pemikirannya lebih bersifat mikro, yakni terkait dengan konsumsi,
produksi dan distribusi. Beliau menyinggung empat sumber utama penghasilan;
jasa sewa, industri, pertanian, dan perdagangan. b) Abu Ubaid. (w. 224 H / 838
M). Ia menulis buku yang sangat komprehensif, al-Amwal (Harta/Wealth). Buku
tersebut menjelaskan aspek mikro dan makro sekaligus, yakni bicara tentang
sumber harta dan pajak yang berlaku atasnya. Selain itu, buku tersebut
menjelaskan berbagai pandangan ulama sebelumnya dan juga melengkapi bukunya
dengan sanad periwayatan hadis yang lebih lengkap, serta menunjukkan surat-surat/dokumen
resmi para khalifah.[14]
Di lain sisi,
muncul sejumlah ulama besar yang pandangannya diikuti oleh mayoritas umat Islam
hingga saat ini. Mereka adalah para ulama empat mazhab: Imam Hanafi, Imam
Maliki, Imam Syafii dan Imam Hambali. Bahkan, pemikiran mereka juga
mempengaruhi pandangan sejumlah tokoh ekonomi Islam yang disebutkan di atas.
Contohnya, Abu
Yusuf yang merupakan murid dari Imam Hanafi, maka pendapatnya banyak mengikuti
mazhab hanafi. Sementara itu, al-Mawardi bermazhab syafi’i, sehingga pembahasan
tata kelola negara dalam bukunya tersebut lebih banyak merujuk kepada pandangan
Imam Syafi’i, meskipun beliau juga mencantumkan pandangan imam yang lain.
Menariknya, beberapa tahun kemudian, Abu Ya’la al-Fara’ (988–1066 M) yang juga
hakim agung menulis tata kelola pemerintahan dengan judul yang sama hanya dari
sudut pandang mazhab hambali.
Perbedaan utama
di antara mereka adalah dalam aspek ushul fiqh. Sejauh mana rasionalitas dapat
digunakan dalam mengambil suatu kesimpulan hukum. Mereka diklasifikasikan ke
dalam dua kelompok; ahlu al-ra’yi (yang sering menggunakan pendapat akal) dan
ahlu al-hadith (yang lebih mengedepankan sumber dari hadis). Mazhab hanafi
sering menggunakan metode istihsan dan qiyas dalam menjawab isu-isu baru.
Sementara mazhab maliki lebih mengedepankan kepada hadis Rasul dan juga amalan
penduduk Madinah serta konsensus dari para khulafa ar-rasyidin. Imam Syafii
yang merupakan murid dari Imam Malik mencoba menggabungkan antara rasionalitas
Imam Hanafi dan penggunaan hadis Imam Malik. Selanjutnya, mazhab hambali yang
lebih ketat dalam penggunaan hadis.[15]
Secara umum, di
masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, ekonomi umat Islam tumbuh secara
signifikan; arus urbanisasi semakin meningkat dan perdagangan semakin semarak
seiring makin meluasnya wilayah Islam. Sejumlah kantor dan biro baru didirikan
oleh pemerintah; kantor pos, biro kesekretariatan, biro segel, biro
al-mustaghallat/BUMN, biro pusat audit, dan lainnya.
Kebijakan
ekonomi yang paling signifikan adalah percetakan mata uang dinar dan dirham
secara mandiri, tidak lagi bergantung kepada dinar Romawi dan dirham Persia.
Reformasi moneter ini diawali oleh Khalifah Abdul Malik (Umayyah). Adapun
sejumlah kebijakan lainnya justru dinilai tidak pro kepada rakyat. Hal ini
sebagaimana reformasi kebijakan Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) yang
mereformasi sistem perekonomian khalifah Daulah Umayyah sebelumnya:
mengembalikan aset warga yang direbut oleh para pejabat negara secara zalim dan
tidak lagi mengambil pajak atas mualaf.[16]
Dapat disimpulkan
bahwa periode pertama ini merupakan fondasi utama dari pemikiran ekonomi Islam.
Prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam bersumber kepada Alquran dan sunah,
kemudian dikembangkan melalui sejumlah ijtihad dari para khulafaur rasyidin.
Pergantian sistem pemerintahan menjadi dinasti pada masa Bani Umayyah dan
Abbasiyah, menjadikan para khalifah tidak memiliki ilmu syariah yang mumpuni
kecuali khalifah Umar bin Abdul Aziz. Oleh karenanya, muncullah sejumlah ulama
yang mayoritasnya adalah hakim yang memberikan buah pemikirannya di bidang
ekonomi Islam. Pemikiran ekonomi Islam yang tertuang ke dalam sebuah buku mulai
ditemukan pada kitab al-Kharraj karangan Imam Abu Yusuf atas permintaan
Khalifah Harun ar-Rasyid. Pada periode ini pula, ulama mazhab yang empat mulai
berkembang dan mempengaruhi pemikiran para tokoh ekonomi Islam, termasuk Abu
Yusuf yang merupakan murid dari Imam Abu Hanifah.
Buku-buku yang
hadir pada periode ini sudah meliputi aspek ekonomi mikro dan makro. Aspek
mikro berkaitan dengan berbagai sektor ekonomi yang menjadi sumber penghasilan
masyarakat. Adapun aspek makro terfokus pada permasalahan keuangan publik
Islam, yakni pendapatan dan belanja negara. Pendapatan negara pada masa
Rasulullah SAW. adalah zakat, fa’i, dan ganimah serta jizyah. Sumber pendapatan
bertambah pada kekhilafahan Umar bin Khattab. Beliau menambahkan kharaj (pajak
atas tanah) dan juga usyr (bea cukai). Pada saat dinasti Abbasiyah, pajak
sebagai sumber pendapatan negara berkembang menjadi beragam, di antaranya:[17]
a)
Pajak atas pasar, diterapkan pada
tahun 784 M oleh Khalifah al-Mahdi (775-785 M). Pajak itu diberlakukan kepada
toko-toko yang ada di pasar yang besarannya mencapai 33%, sehingga mendorong
pemberontakan di Mesir selama 2 tahun.
b)
Cukai atas penjualan perumahan
yang ditanggung oleh penjual hingga 2%.
c)
FASE
Pajak atas warisan dengan besaran maksimum sepertiga (33,3%)
d)
Pajak
perikanan, retribusi atas produk perikanan dimana pajak digunakan untk
perbaikan pelabuhan
E. KEDUA PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM
Pada fase ini,
pemikiran ekonomi Islam berkembang secara pesat. Dimulai dari tahun 450 H./1058
M hingga tahun 850 H/1446 M. Pada masa ini lahir banyak karya intelektual,
termasuk di bidang ekonomi. Di antara tokoh tersebut adalah Al-Ràghib
al-Asfahànì (w. 502 H. / 1108 M.), Abù-Hamid al-Ghazàlì (450–505 H./1058– 1111
M.), Ja’fer al-Dìmashqì (late 12th century), Ibn-Taymìyah (1263 - 1328 M),
Ibn-al-Ukhùwwah (w. 1329 M), Ibn-Khaldùn (1332–1406 M), Al-Maqrizi (w. 1442 M).
Bahasan etika
dalam berekonomi disinggung oleh al-Asfahani dan al-Ghazali. Al-Asfahani dalam
bukunya al-Dzarì”ah fi Makàrìm al-Sharì”ah menyebutkan empat isu pokok: a)
manusia; urgensi, fungsi dan kebutuhannya, b) aktivitas produksi, c) harta dan
sumber harta serta relasinya dengan manusia, d) pengeluaran: pengeluaran yang
seimbang dan yang tidak seimbang.
Al-Ghazali juga
banyak bicara tentang etika. Lebih jauh ia mengungkapkan pentingnya
religiositas yang bukan sekadar halal dan haram. Beliau juga bicara tentang
fungsi uang dan bagaimana memperlakukan uang (larangan penimbunan uang dan riba
atas uang). Sebagaimana al-Ashfahani, beliau juga membahas tentang pentingnya
aktivitas produksi. Pemikiran lain yang juga penting Imam al-Ghazali adalah
pembagian dharuriyah, hajiyah dan tahsiniyah, di mana dharuriyah adalah tujuan
Islam yang lima (maqashid syariah): menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta.
Di dalam aspek
perdagangan, Ja’fer al-Dìmashqì (akhir abad ke-12) menyusun sebuah buku yang
berjudul al-Isyarah fi Mahasin al-Tijarah di tahun 1175 M. Sesuai dengan
judulnya, buku tersebut membahas detail tentang perdagangan. Beliau mengawali
bahasannya dengan klasifikasi harta; mana yang bisa diperdagangkan dan mana
yang tidak. Dalam hal ini, uang adalah harta yang tidak dapat diperdagangkan.
Sebagaimana al-Ashfahani dan Ghazali, beliau juga menyinggung masalah
spesialisasi kerja dengan menjadikan roti sebagai contoh bahasan. Bahasan mikro
lainnya adalah tentang permintaan dan penawaran serta yang membentuk harga
suatu produk. Harga bergantung pada tiga hal: biaya produksi, seberapa besar
tenaga pekerja yang dilibatkan, serta permintaan akan barang tersebut. Beliau
juga menyinggung disparitas harta antar-wilayah.
Di dalam aspek
bisnis, beliau menasihati para penjual untuk berperilaku jujur dan adil serta
toleran dalam harga (keuntungan sewajarnya) untuk menjaga loyalitas konsumen.
Adapun institusi
hisbah yang pernah dibahas oleh Imam al-Mawardi kembali dibahas dengan lebih
detail oleh sejumlah ulama pada periode ini. Mereka adalah Ibnu Taymiyah (1263
- 1328 M) dan Ibnu al-Ukhuwah (w. 1329 M). Pada dasarnya, institusi hisbah
memiliki tugas dan wewenang yang sangat luas, yakni sebagai pengawas di
permasalahan ibadah dan juga permasalahan muamalat. Amar makruf nahi munkar
(mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Sejatinya, al-Mawardi juga
menulis buku khusus tentang hisbah, dengan judul, al-Rutbah fi Thalab
al-Hisbah.
Pembahasan
hisbah disinggung oleh al-Ghazali dalam bukunya Ihya’ Ulumiddin. Pembahasan
dalam buku spesifik dapat dilihat pada karangan Ibnu Taimiyah di al-Hisbah fil
Islam, karangan asy-Syayzari di Nihayat al-Rutbah fi Thalab al-Hisbah, dan Ibnu
al-Ukhuwah di bukunya Ma’alim al-Qurbah fi Ahkam al-Hisbah. Buku karangan Ibnu
Taimiyah dinilai memiliki pembahasan mendalam dalam aspek teori, seperti
prinsip dasar institusi hisbah dan kontroversi seputar boleh tidaknya
pemerintah melakukan intervensi harga di pasar. Sementara itu, karya al-Ukhuwah
meliputi berbagai permasalahan teknis yang dihadapi oleh seorang muhtasib
(pejabat di institusi hisbah). Oleh karenanya, ia merinci dengan detail tugas
seorang muhtasib.
Kajian ekonomi
dengan metode analisis sejarah dimulai oleh Ibnu Khaldun (1332–1406 M) lalu
dilanjutkan oleh muridnya al-Maqrizi
(w.1442M).IbnuKhaldunmenceritakanbagaimanaberbagaiperadaban manusia muncul,
mencapai puncaknya, lalu hilang. Pajak yang tinggi (baca: mencekik) dinilai
sebagai salah satu faktor yang menyebabkan keretakan sebuah peradaban. Tingkat
pajak yang rendah akan mendorong produksi, sehingga ekonomi meningkat,
penerimaan pajak akan meningkat. Pajak yang tinggi akan mendorong masyarakat
berhenti produksi, sehingga ekonomi menurun, lalu penerimaan pajak akan
menurun, maka peradaban akan menurun. Beliau juga berpandangan bahwa pemerintah
seharusnya tidak berbisnis/ berkompetisi dengan pihak swasta, karena pihak
swasta akan bisa kalah dengan mudah. Hal ini merupakan disincentive bagi pihak
swasta untuk berproduksi/berdagang, yang dampaknya juga bisa kembali kepada
rendahnya penerimaan pajak negara.
Ibnu Khaldun
menekankan bahwa Allah SWT. telah menyediakan segala sesuatu buat manusia,
tetapi manusia perlu untuk bekerja untuk mendapatkan hal tersebut guna
mendapatkan keuntungan dan juga keperluan bagi hidupnya. Di dalam memproduksi
kebutuhan manusia, hal tersebut tidak dapat dilakukan sendirian, perlu
dikerjakan secara kolaborasi dengan manusia lainnya. Beliau memberikan contoh
pembuatan roti, sebagaimana contoh yang diberikan oleh ulama sebelumnya, bahwa
produksi roti memerlukan sejumlah pekerjaan yang mengharuskan adanya kolaborasi
beberapa orang. Di sini pentingnya spesialisasi pekerjaan (division of labor).
Beliau juga menyinggung tentang perdagangan internasional, karena adanya
perbedaan keahlian antar-kota/negara.
Beliau juga
membahas tentang hubungan jumlah populasi dan produksi, di mana keduanya saling
mempengaruhi. Kota yang banyak penduduknya akan menghasilkan produksi yang
lebih besar, sehingga memerlukan jumlah tenaga kerja yang banyak, sehingga
penduduk semakin meningkat dan produksi juga demikian. Maka kesejahteraan kota
tersebut akan semakin besar. Demikian halnya, semakin banyak interaksi demand
dan supply, maka harga akan semakin murah.[18]
Beliau mendorong
penggunaan emas dan perak sebagai standar moneter yang tepat. Hal ini yang
kemudian diperkuat oleh analisis sejarah yang dilakukan oleh muridnya,
al-Maqrizi. Memulai analisisnya tentang sejarah perekonomian Mesir dari sebelum
banjir Nabi Nuh a.s. hingga ke masanya, ia menyimpulkan beberapa hal yang
menjadi penyebab tingginya harga (inflasi).
Salah satu
faktor utamanya adalah banyaknya peredaran uang fulus (tembaga),[19]selain
itu faktor pajak yang tinggi, korupsi, dan juga bencana alam.
F. FASE KETIGA PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM
Fase ketiga.
Periode ini adalah terjadinya stagnasi. Di mana tidak ditemukannya pemikiran
ekonomi Islam yang signifikan. Periode ini dimulai dari tahun 850 H/1446 M
hingga 1350 H/1932 M. Para ulama fikih pada masa ini cenderung lebih banyak
mengutip pemikiran para ulama sebelumnya dan juga mengeluarkan fatwa
berdasarkan mazhab mereka masing-masing. Di abad 19 M dan awal abad 20 M, mulai
muncul sejumlah tokoh yang mendorong pengembangan pemikiran berbasis Alquran
dan sunah. Di antara para tokoh tersebut adalah Syah Waliyullah (1703-1762 M)
dan Muhammad Iqbal (1877-1938 M).
Di dalam bukunya
Hujjatullah al-Balighoh, Syah Waliyullah menjelaskan bahwa manusia adalah
makhluk sosial. Kesejahteraan manusia bergantung kepada kerja sama yang baik di
antara mereka, seperti aktivitas perdagangan/pertukaran, kontrak, bagi hasil,
dan lainnya. Adapun judi dan riba justru menzalimi pihak lain, sehingga ini
bukanlah kerja sama yang baik. Lebih lanjut, beliau mengungkapkan dua faktor
utama turunnya perekonomian/ peradaban di negaranya (Kerajaan Mughal di India).
Pertama, keuangan negara terbebani dengan berbagai belanja yang tidak
produktif. Kedua, tingginya pajak atas petani, pedagang, produsen, sehingga
menghancurkan ekonomi mereka dan mendorong pada upaya pemberontakan.
Adapun Muhammad
Iqbal, beliau menyaksikan kuatnya penjajahan Barat atas berbagai negara Islam
di berbagai belahan dunia, dan juga keruntuhan kekhalifahan Turki Utsmani pada
tahun 1924. Beliau menyampaikan kritiknya terhadap dua sistem ekonomi yang
berkembangan; kapitalisme dan sosialime. Beliau mendorong terwujudnya keadilan
sosial sebagai tugas utama negara Islam dan menjadikan zakat instrumen
pentingnya.[20]
G. FASE KEEMPAT PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM
Fase keempat.
Ini adalah periode kebangkitan. Dimulai dari tahun 1932 hingga saat ini. Di
dekade 30-an hingga 60-an, banyak negara muslim yang sudah mendapatkan
kemerdekaannya. Oleh karenanya, muncul perhatian yang lebih mendalam tentang
sistem ekonomi apa yang mesti digunakan oleh negara-negara muslim di tengah
dominasi sistem kapitalis dan sistem komunis. Islahi (2008) menyebut periode
kuartal kedua abad ke-20 dengan periode “take off”, yakni mulai muncul berbagai
karya pemikiran tentang permasalahan- permasalahan ekonomi dari perspektif Islam.
Pada periode
ini, institusi ekonomi modern, seperti perbankan, asuransi, pasar modal, sistem
perpajakan dan lainnya menjadi sorotan terkait kepatuhannya terhadap
nilai-nilai Islam. Struktur ekonomi, sistem kepemilikan, sistem produksi dan
juga ekonomi pembangunan dikaji dengan lebih detail. Sistem ekonomi Islam,
terutama di aspek keuangan publik, seperti zakat dan ‘ushr, jaminan sosial,
sistem perbankan tanpa bunga menjadi isu yang dikembangkan di periode tersebut.
Pada dekade
60-an dan 70-an, sejumlah cendekiawan muslim mempublikasikan analisisnya
tentang konsumsi, produksi, bagi hasil, zakat dan dampak penghapusan bunga bagi
perekonomian. Konferensi Internasional Ekonomi Islam Pertama yang dilaksanakan
di Makkah pada tahun 1976 menjadi tonggak era baru pengembangan ilmu ekonomi
Islam. Setelah itu, berbagai konferensi atau seminar ekonomi Islam semakin
semarak.
Di antara tokoh
utama ekonomi Islam di fase ini adalah Abu A’la al-Mawdudi (1903-1979), Umer
Chapra (1933-sekarang), Nejatullah ash-Sidqi (1931-sekarang), Baqir as-Sadr
(1935-1980) dan lainnya. Sejatinya, al-Mawdudi bukanlah seorang ekonom. Ia
adalah seorang jurnalis, filsuf, ulama dan juga aktivis politik. Meski
demikian, tulisan dan juga pidatonya tentang ekonomi telah menginspirasi dan
mempengaruhi pemikiran ekonomi di Pakistan dan juga dunia. Sejumlah karya
beliau di bidang ekonomi adalah: Sud (Riba), Islam Aur Jadid Ma’ashi Nazariyat
(Islam dan Ideologi Ekonomi Modern), Mas’ala-i-Milkiyat-i-Zamin (Permasalahan
Kemilikan Tanah), Insan ka Ma’ashi Mas’ala (Permasalahan Ekonomi Manusia dan
Solusi Islam),Qur’an Key Ma’ashi Nazriyat (Pandangan Alquran tentang Ekonomi),
Ma’ashiyat e Islam (Ekonomi Islam), Islami Ma’ashiyat Key Bunyadi Usul (Prinsip
Dasar Ekonomi Islam). [21]
Umer Chapra
merupakan ekonom Pakistan-Saudi. Kepakarannya dan kontribusinya di bidang
ekonomi, diakui oleh dunia Islam. Sejumlah penghargaan internasional diberikan
kepadanya. Buku-bukunya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, di antara
bukunya yang terkenal adalah Towards a Just Monetary System (Menuju Sistem
Moneter yang Adil), Islam and the Economic Challenge (Islam dan Tantangan
Ekonomi), The Future of Economics: An Islamic Perspective (Masa Depan Ekonomi:
Perspektif Islam), The Islamic Vision of Development in the Light of Maqasid
Al-Shari’ah (Visi Islam terhadap Pembangunan dalam Kerangka Maqasid
Al-Shari’ah).
Falsafah dasar
yang membedakan antara ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalisme dan ekonomi
sosialisme ditulis secara komprehensif oleh Baqir as-Sadr (1935-1980) dalam
bukunya Iqtishaduna (Ekonomi Kita). Buku yang ditulis tahun 1950-an dan pertama
kali dipublikasikan pada tahun 1961 telah mempengaruhi pemikiran banyak
cendekiawan. Karyanya tersebut mendapat pujian dari banyak pihak karena
dianggap mampu menjelaskan perspektif Islam terhadap ideologi Barat
(kapitalisme dan sosialisme) dan meletakkan fondasi dasar bagi ekonomi Islam.
Karyanya yang lain adalah Bank La Rabbawi Fil Islam (Bank Islam tanpa Bunga). [22]
Sementara itu,
Nejatullah ash-Sidqi (1931-sekarang) merupakan emeritus profesor ekonomi di
universitas Aligarh. Beliau menulis 16 buku dalam bahasa Inggris, 13 dalam
bahasa Urdu, dan 7 dalam bahasa Arab. Karyanya telah diterjemahkan ke dalam
berbagai bahasa, seperti bahasa Indonesia, Melayu, Turki, Persi, dan India. Fokus
pemikirannya terkait dengan keuangan Islam, sejarah pemikiran ekonomi Islam,
kebijakan publik Islam, dan lainnya. Atas kontribusinya di ekonomi Islam,
sejumlah penghargaan internasional diberikan kepadanya.[23]
Saat ini, lebih
dari empat dekade setelah konferensi ekonomi Islam pertama, telah muncul
berbagai institusi keuangan syariah baik itu perbankan maupun non-perbankan.
Selain itu, zakat dan wakaf beserta keuangan mikro syariah sebagai motor
penggerak instrumen keuangan sosial yang diharapkan dapat mengentaskan
kemiskinan dan juga meningkatkan kualitas pendidikan serta kesehatan
masyarakat. Hal yang disayangkan adalah perkembangan tataran praktis ekonomi
Islam telah menyedot perhatian para pemikir ekonomi Islam, sehingga kajian
fondasi keilmuan ekonomi Islam tidak banyak diperhatikan. [24]
Dominasi ekonomi
mainstream (non-Islam) masih kuat hingga saat ini. Buku-buku teks mereka masih
diajarkan di berbagai tingkat pendidikan di berbagai belahan dunia, termasuk di
negara-negara muslim. Ilmu ekonomi Islam mulai diterima, tetapi bukan sebagai
ilmu tersendiri melainkan sebagai sebuah bagian dari ilmu ekonomi secara umum.
Sistem perekonomian berbasis riba masih belum tergantikan. Di tataran praktis,
sistem keuangan Islam masih bersifat pelengkap dan bukan yang utama.
H. Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam di Indonesia
Di Indonesia,
perkembangan ekonomi Islam sejatinya memiliki akar yang kuat pada masa
kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Penggunaan dinar dan dirham di sejumlah
kerajaan Islam Nusantara menjadi bukti nyata. Kerajaan Aceh Darussalam membuat
mata uang sendiri yang ditulis dengan huruf Arab pada masa kepemimpinan Sultan
Alaiddin Ri’ayat Syah al-Qahhar (945-979 H /1539-1571 M). Praktik pajak
perdagangan pada masa kerajaan Islam Nusantara juga menerapkan pembedaan cukai
atas muslim dan non-muslim sebagaimana yang diberlakukan pada kekhilafahan
Islam.[25]
Di dalam aspek
pemikiran ekonomi, terdapat dua tokoh ekonomi yang sejauh ini bisa ditelusuri,
yakni Nurudin ar-Raniri dan Syaikh Abdul Ra’uf Al-Sinkili. Ar-Raniri menulis
buku Bustan Salatin pada tahun 1638 atas perintah Sultan Iskandar Thani of Aceh
(1636-1641). Buku tersebut berbicara menyinggung masalah wakaf. Sementara itu,
Syaikh Abdul Ra’uf al-Sinkili menulis buku dengan judul ‘Mirât al- Thullab,’
atas perintah Tajul Alam Saiatuddin Syah (1641-1675). Setelah itu, belum
dijumpai kembali tokoh pemikir ekonomi di Nusantara seiring dengan penjajahan
dari negara-negara Eropa.[26]
Di dalam
pengembangan ekonomi Islam ternyata para pemikir atau cendekiawan muslim
Indonesia telah banyak memberikan kontribusinya, tetapi pemikiran ekonomi Islam
nya tidak cukup dikenal oleh para cendekiawan muslim dunia karena tidak ditulis
atau diterjemahkan dalam bahasa dunia, misalnya Inggris dan Arab. Karya
Khairuddin Yunus merupakan salah satunya yang ditulis dalam bahasa Arab dan
Inggris, seperti Economic System of Islam dan Hadzihi Hiya Indunisiya.
Di awal abad
ke-20 dapat dijumpai sejumlah pemikiran ekonomi dari tokoh intelektual muslim
Indonesia. Isu ekonomi yang menjadi perhatian adalah tentang hubungan Islam
dengan sistem kapitalisme dan sosialisme yang mendominasi perekonomian dunia
masa itu. Gerakan Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Rida
ditengarai juga berpengaruh terhadap gerakan keumatan dan juga pemikiran
ekonomi di Indonesia.
Tokoh pejuang
kemerdekaan, H.O.S Tjokroaminoto menulis buku yang berjudul Islam dan
Sosialisme pada tahun 1924. Di tengah perdebatan ideologi antara kapitalisme,
beliau berpandangan bahwa sistem sosialisme lebih dekat kepada Islam. Meski
demikian, ia menegaskan bahwa apa yang ia yakini adalah sosialisme Islam,
prinsip sosialime yang dibangun berdasarkan nilai-nilai Islam.
Sejumlah tokoh
lainnya adalah H.M. Rasjidi yang menulis Islam dan Sosialisme (1966),
Sjafruddin Parawiranegara yang menulis Apa Jang Dimaksud dengan Sistem Ekonomi
Islam (1967), Zainal Abidin Ahmad yang menulis Dasar-Dasar Ekonomi Islam
(1950), Kahruddin Yunus yang menulis Sistem Ekonomi Kemakmuran Bersama
Bersamaisme (1955), dan Buya Hamka yang menulis Keadilan Sosial dalam Islam
(1951). [27]
Di kuartal
keempat abad 20, mulai muncul diskusi tentang sistem keuangan tanpa bunga,
mengikuti isu dunia Islam waktu itu. Diskur- sus ini melahirkan pendirian
institusi Baitul Mal wat Tamwil sebagai lembaga keuangan mikro syariah.
Selanjutnya, bank syariah perta- ma, Bank Muamalat beroperasi pada tahun 1992.
Semenjak itu, pe- mikiran ekonomi Islam terus berkembang, terutama pasca krisis
moneter 1998, di mana sistem keuangan Islam dinilai lebih tahan ter- hadap
krisis. Saat ini, banyak tokoh ekonomi Islam yang bermunculan diiringi dengan
mulai banyaknya Perguruan Tinggi yang mengajarkan ekonomi Islam. Buku-buku
ekonomi Islam juga mulai banyak ditemu- kan di berbagai toko buku.
[1]BukunyaHistoryofEconomcAnalysispertamakaliditerbitkanpadatahun1954setelahkematiannya.Schum- peter meninggal
di tahun 1950
[2] Skolastik adalah pemikiran ekonomi di
abad pertengahan setelah greap gap, sekitar abad13-15.Pemikiran merekabanyakberkaiatandengannormadanetikayangberbasispadaajarangereja.Mayoritasmerekaadalah para cendekiawan di bidang Teologi.
[3] Ghazanfar,
S. M. (2003). Scholastic Economics And
Arab Scholars: The “Great Gap” thesis reconsidered. In Medieval
Islamic Economic Thought (pp. 22-38).
Routledge.
[4] Ghazanfar,
S. M. (2003). Scholastic Economics And
Arab Scholars: The “Great Gap” thesis reconsidered. In Medieval
Islamic Economic Thought (pp. 22-38).
Routledge.
[5] Islahi, A. A. (2014). History of Islamic Economic Thought: Contributions of Muslim Scholars to Economic
Thought and Analysis. Edward Elgar Publishing
[6] Islahi, A. A. (2008, April).
Thirty Years of Research
on History of Islamic Economic
Thought: Assessment and Future Directions, Conference Papers. In The 7th International Conference in Islamic Economics: Thirty Years of Research
in Islamic Economics (pp. 123-134).
[7] Shiddiqi, M.
N. (1992). Islamic Economic Thought:
Foundations, Evolution, and Needed Direction. In Sadeq M (ed),
Reading In Islamic Economic Thought.
[8] Bahasan modal sosial dalam Islam dapat dibaca pada Faizin dan Akbar (2018). Tafsir Ekonomi
Kontemporer.Gema Insani Press
[9] El-Ashker, A., & Wilson,
R. (2006). Islamic
economics: A short history. Brill,
hal. 100
[10] El-Ashker, A., & Wilson, R. (2006). Islamic
economics: A short history,
112
[11] El-Ashker, A., & Wilson, R. (2006). Islamic
economics: A short history,
122
[12] El-Ashker, A., & Wilson, R. (2006). Islamic
economics: A short history,
157
[13] Meskipun tidak sampai ke derajat hakim
agung
[14] El-Ashker & Wilson (2006)
[15] El-Ashker & Wilson, 167
[16] Ucapanya yang terkenal adalah
kami diutus sebagai
Dai Islam bukan sebagai pemungut
pajak.
[17] El-Ashker & Wilson, 152
[18] Boulakia, Jean David C.
(1971). Ibn Khaldun: A
Fourteenth-Century Economist. Journal of Political Economy,
Vol. 79, No. 5,
pp. 1105-1118
[19]Al-Maqrizi
dalam bukunya Ighatsatul Ummah menyampaikan bahwa penggunaan tembaga secara luas
sebagai mata uang di Mesir
kala itu menjadikan harga-harga barang menjadi
mahal. Oleh karenanya, beliau menegaskan bahwa uang negara mestilah dinar (emas) dan
dirham (perak). Kenaikan harga sangat terasa
dirasakan masyarakat karena penggunaan fulus (tembaga), yang sebenarnya
kenaikan tersebut tidak terlalu
tinggi harganya jika dinilai dengan
dinar dan dirham.
[20] Shiddiqi, M. N. (1992).
Islamic Economic Thought: Foundations, Evolution, and Needed
Direction. In Sadeq M (ed), Reading In Islamic Economic
Thought.
[21] Centre for Islamic Economics
(CIE), International Islamic
University Malaysia (2020).
[22] Furqoni, H.
(2019). Wilson, R. (1998). Fahlevi, M. (2019). Baqir as-Sadr merupakah tokoh
Syiah Iraq. Pemikirannya tidak hanya
sebatas soal ekonomi, tapi juga meliputi kritik sosial politik. Pemerintah Iraq menganggapnya sebagai seseorang yang berbahaya, sehingga
beliau diisolasi dan pada akhirnya
dihukum mati di tahun
1980.
[24] Haneef & Furqoni (2009)
[25] Haneef & Furqoni (2009)
[26] Qayum, Abdul, et al. (in-press). Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam. Bank Indonesia dan KNEKS
[27] Qayum, Abdul, et al. (in-press). Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam.28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar