Sabtu, 29 Juni 2024

EKONOMI ISLAM DALAM LINTAS SEJARAH

EKONOMI ISLAM DALAM LINTAS SEJARAH

 

 

A. OVERVIEW GREAT GAP SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM

Joseph Schumpeter (1997: 73-74)[1] mengenalkan istilah “great gap” dalam perkembangan pemikiran ekonomi. Ada kekosongan pemikiran ekonomi selama lebih dari lima abad. Setelah peradaban Yunani, tidak ditemukan adanya pemikiran ekonomi hingga pada masa St. Thomas Aquinas (1225-1274 M). Buku Summa Theologica dianggap sebagai buku pertama yang mengupas pemikiran ekonomi yang komprehensif sejak era Yunani.

Pandangan ini memberikan pemahaman bahwa selama lebih dari 500 tahun sebelum era Skolastik,[2] tidak ada pemikiran ekonomi yang signifikan. Dengan kata lain, masa kegelapan Eropa berlaku secara universal, yakni kegelapan tersebut tidak hanya dirasakan oleh Eropa, tetapi juga belahan bumi yang lain.[3]

Pemikiran ini juga disampaikan oleh para cendekiawan Barat lainnya, seperti Erick Roles (1954), Spiegel (1964) dan Tawney (1964) yang mengungkapkan bahwa pandangan skolastik hanya merujuk pada pandangan Aristoteles dan tradisi Kristen Ibrani. Tidak ada tokoh Arab pun yang dijadikan sebagai referensi. Demikian halnya Spengler-Allen yang menegaskan bahwa abad 500 – 1200 Masehi adalah abad kekosongan (Ghazanfar, 2003).

Hal ini tentunya berbeda dengan fakta sejarah, di mana ketika Eropa mengalami kegelapan, justru bagian dunia lain, di jazirah Arab dan daerah Islam lainnya sedang mencapai peradaban yang tinggi. Banyak cendekiawan muslim yang berbicara tentang ekonomi, dan tidak sedikit yang menuangkan pemikirannya dalam sebuah buku.

Tokoh ekonom muslim dan pemikirannya akan disampaikan di sub bab berikutnya.

 

Oleh karenanya, pemikiran Schumpeter tersebut sangat disesalkan. Mengingat bukunya (History of Economic Analysis) senantiasa menjadi rujukan, maka pemahaman tentang adanya “great gap” ini akan terus digaungkan oleh para ekonomi lainnya (pengikutnya). Meski demikian, masih terdapat beberapa cendekiawan Barat yang ahli di bidang sejarah abad pertengahan yang menegasikan adanya “great gap”: [4]

1.         Butler menyatakan tidak ada mahasiswa sejarah yang mempelajari budaya Eropa yang dapat mengonstruksi nilai-nilai intelektual pada masa abad pertengahan kecuali ia menyadari adanya peran dari Islam.

2.         Tanpa adanya pengaruh dari filsafat peripatetik Arab, maka teologi Aquinas tidak akan pernah terpikirkan sebagai filosofinya. (Harris: 40).

3.         Fakta bahwa Aquinas mengambil ide dan stimulasi dari berbagai sumber menegaskan bahwa Aquinas adalah eklektik dan kurang dalam originalitas pemikirannya. Dengan kata lain, semakin kita mengetahui tentang filosofi Aristoteles, Islam, dan Yahudi serta Kristen sebelumnya, maka kita akan dibuat bertanya-tanya tentang pemikiran Aquinas; manakah yang khas darinya (Copelston, 181).

4.         Pada abad ke-12 dan ke-13, berbagai karya filsafat Arab sangat mempengaruhi terciptanya sintesis Aristoteles Kriastiani yang diusung oleh St. Albert (the Great) dan St. Thomas Aquinas yang pengaruhnya tidak hanya ekstensif dan nyata, bahkan terus ber langsung dan semakin beragam (Rescher, 156–7).

5.         Arab sudah meninggalkan kesan intelektual terhadap Eropa jauh sebelumnya. Dunia Kristen harus mengakui bahwa hal tersebut sangat jelas dipahami, sebagaimana siapa pun dapat memahami nama-nama bintang di langit (Draper, Vol. 2, 42).

Pengaruh pemikiran cendekiawan muslim terhadap perkembangan pemikiran di dunia Eropa abad pertengahan dimungkinkan melalui sejumlah hal, di antaranya: penerjemahan pemikiran-pemikiran tokoh muslim, pendidikan, petualangan, perdagangan, perang salib, diplomasi, dan juga ziarah religi ke Palestina. [5]

Penerjemahan karya-karya intelektual muslim ke dalam bahasa Eropa merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi pemikiran para cendekiawan Eropa. Meski demikian, kontribusi umat Islam terhadap keilmuan hanya diakui sebatas sebagai penerjemah dari pemikiran Yunani. Dengan kata lain, pemikiran ulama Islam dianggap tidak ada yang orisinal, sehingga cendekiawan Barat merasa tidak perlu untuk mencantumkan kontribusi pemikiran muslim, tetapi langsung merujuk kepada pemikiran Yunani kuno. Asumsi ini tentunya tidak tepat. Sejatinya, apa yang dilakukan oleh para cendekiawan muslim tidak semata menerjemahkan, tetapi juga memberikan komentar atas pemikiran Yunani, mengkritisi dan juga menambahkan pemikiran mereka. Dengan hal tersebut, para cendekiawan Barat dapat memahami pemikiran Yunani kuno dengan kritis dan lebih baik.

 

Pendidikan juga menjadi faktor kunci yang berpengaruh. Peradaban Islam yang lebih tinggi tatkala itu mendorong minat warga Eropa untuk menuntut ilmu hingga ke pusat Pendidikan Islam di Spanyol, Maroko, Mesir dan lainnya. Sebagai contoh, Adelardus Bathensis, seorang filsuf Inggris yang merantau mempelajari bahasa Arab, belajar di sana lalu membawa pulang dengan bekal berbagai keilmuan yang ia dapatkan. Bahkan, sejumlah bangsawan kerajaan Eropa tidak segan untuk mengirimkan putra putrinya untuk belajar di berbagai pusat keilmuan di negara muslim.

Alhasil, pemikiran ekonomi Islam telah mempengaruhi pemikiran para ekonom skolastik dan juga merkantilis. Pengaruh ini tidak dapat disembunyikan. Interaksi antara Barat dan Timur; antara pemikiran Yunani, Kristiani dan Islam dapat dijelaskan pada Gambar 4.1. Pemikiran Yunani, Kristiani (Bibel), dan juga Islam bersama-sama mempengaruhi pemikiran ekonom skolastik. Dari gambar tersebut, dapat juga dipahami bahwa ekonomi Islam bukanlah pemikiran baru. Ia telah hadir dan berkembang pesat di abad ke-10 hingga abad ke-15. Setelah itu, pemikiran ekonomi Islam mengalami stagnasi sebagaimana yang akan dijelaskan pada sub-bab berikutnya.

 

Meski demikian, masih diperlukan kajian kritis yang mendalam terkait pemikiran ekonomi yang signifikan setelah abad 15, mengingat terdapat kekhilafahan Turki Utsmani yang berkembang cukup pesat pada waktu itu. Setidaknya, terdapat sejumlah tokoh muslim yang dapat dikaji lebih dalam terkait pemikiran ekonominya pada waktu, di antaranya Kinalizade Ali Celebi (1511- 1572) yang menulis satu bab tentang “Tadbir Al Manzil” (sekarang ilmu ekonomi), Mustafa Nuri Bey (1844–1906) yang menulis Mebahis-i İlm-i Servet (Tema-tema alam ilmu kekayaan), Mehmed Akif Ersoy (1873-1936) yang menjelaskan pentingnya etos kerja, dan Said Nursi Badiuzaaman (1877-1960) yang membahas konsep rezeki dalam bukunya Risalah Nur.

B. LINTAS SEJARAH HASIL PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM

Mempelajari pemikiran ekonom muslim terdahulu bukanlah ditujukan untuk semata membanggakan keagungan kekayaan intelektual umat Islam. Mempelajari sejarah adalah untuk mengetahui bagaimana mereka menyelesaikan permasalahan ekonomi mereka  pada masa tersebut, sehingga dapat menjadi pedoman untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi di saat ini atau masa mendatang.[6]

Secara garis besar, sejarah pemikiran ekonomi Islam memiliki empat fase perkembangan:[7]

1)        Fase pertama, yakni masa fondasi. Fase ini dimulai dari awal sejarah Islam hingga tahun 450 H/1058 M. Ekonomi masih dibahas oleh para ahli fikih, filsuf, dan juga para sufi.

2)        Fase kedua. Pada fase ini, pemikiran ekonomi Islam berkembang secara pesat. Dimulai dari tahun 450 H/1058 M hingga tahun 850 H/1446 M. Pada masa ini lahir banyak karya intelektual, termasuk di bidang ekonomi.

3)        Fase ketiga. Periode ini adalah terjadinya stagnasi. Tidak ditemukannya pemikiran ekonomi Islam yang signifikan. Periode ini dimulai dari tahun 850 H/1446 M hingga 1350 H/1932 M.

C. Fase keempat. Ini adalah periode kebangkitan. Dimulai dari tahun 1932 hingga saat ini. Islahi (2008) membagi lebih detail lagi periode ini per seperempat abad. Seperempat abad pertama adalah masa pre take of, yakni munculnya semangat dari para pemimpin negara muslim untuk melakukan reformasi atau perubahan sistem ekonomi. Upaya untuk menggali pemikiran ulama klasik tentang isu-isu ekonomi mulai digalakkan. Pada seperempat abad ke-20 yang kedua adalah masa take of, yakni mulai bermunculan tulisan tentang pemikiran ekonomi Islam dan bagaimana pandangan Islam terhadap permasalahan ekonomi bila dibandingkan dengan pemikiran Barat. Di seperempat abad ke-20 yang ketiga, munculnya tokoh-tokoh cendekiawan muslim yang memulai gerakan untuk mengampanyekan ekonomi Islam. Upaya ini akhirnya mendapatkan dukungan secara institusional di seperempat abad ke-20 yang terakhir. Rekonstruksi dan pengakuan terhadap pemikiran ekonomi Islam semakin masif. Adapun seperempat abad pertama di abad 21 ini kita dapat menyaksikan semakin meluasnya penerimaan dunia atas ekonomi Islam.

Secara praktis, ekonomi Islam tidak hanya sekadar bank Islam, tetapi sudah meluas ke industri keuangan lainnya (asuransi, pasar modal, dll), bahkan sudah meluas ke berbagai sektor industri lainnya, yang kita sebut dengan industri halal. Banyak negara, baik muslim maupun non-muslim yang sudah bergerak untuk menjadi pusat industri halal dunia.  

D. FASE PERTAMA PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM

Fase pertama, yakni masa fondasi. Fase ini dimulai dari awal sejarah Islam hingga tahun 450 H/1058 M. Ekonomi masih dibahas oleh para ahli fikih, filsuf, dan juga para sufi. Lahirnya ekonomi Islam diawali pada masa Rasulullah SAW.. Beliau meletakkan fondasi ekonomi setelah hijrah ke Madinah. Di fase awal kenabian, sebelum hijrah, fokus utama masih kepada penguatan akidah umat Islam. Belum lagi, di Makkah, kekuatan umat Islam belum begitu kuat, baik secara politik dan juga ekonomi. Setelah hijrah ke Madinah, Rasulullah SAW. mulai membangun peradaban Islam. Hal pertama kali yang dilakukan oleh Rasulullah SAW., setelah hijrah, adalah membangun modal sosial yang kuat di antara masyarakat; mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Stabilitas keamanan juga dijaga dengan kesepakatan piagam Madinah dengan non-muslim. [8]

Di dalam aspek ekonomi, Rasulullah SAW. telah membangun sejumlah institusi pasar di Madinah. Beliau juga membangun baitulmal sebagai perbendaharaan negara. Kewajiban pelaksanaan zakat juga ditetapkan di tahun kedua setelah hijrah. Semangat berbagi juga terus didorong dengan infak dan wakaf. Rambu-rambu atau aturan hukum bisnis juga mulai diatur dengan syariah Islam.

Rasulullah SAW. mewariskan dua fondasi utama ajaran Islam: Alquran dan sunah. Dua hal tersebut merupakan sumber hukum agama Islam. Panduan bagi para produsen dan konsumen dalam berperilaku. Sebagai contoh, Alquran mengharamkan bagi produsen untuk mengambil keuntungan dengan cara yang batil (al-Baqarah [2]: 188 dan an-Nisa [4]: 29). Adapun bentuk-bentuk kebatilan dalam jual beli,

Kemudian dijelaskan Rasulullah SAW. dengan sejumlah larangan, di antaranya larangan menimbun (ihtikar) dan juga menyembunyikan cacat (tadlis). Sepeninggal Rasulullah SAW. (632 M/11 H), umat Islam dipimpin oleh sejumlah sahabat yang disebut dengan khulafa’ur rasyidin (632– 661 M). Tidak hanya sebagai pemimpin pemerintahan, mereka juga adalah orang yang alim di bidang agama. Seiring dengan terhentinya wahyu, maka diperlukan ijtihad dari para pemimpin dan para ulama dalam menyelesaikan permasalahan umat.

 

Khalifah pertama, Abu Bakar ash-Shiddiq (632-634 M) dikenal dengan ketegasannya dalam memerangi mereka yang enggan untuk membayar zakat. Meskipun mendapatkan penolakan dari sejumlah sahabat, terutama Umar bin Khattab r.a., Abu Bakar r.a. sangat tegas dengan keputusannya untuk memerangi mereka yang memisahkan antara salat dan zakat. Alhasil, kestabilan sosial, politik dan ekonomi terjaga dengan baik. Selain itu, Abu Bakar r.a. memberikan tunjangan kepada para istri nabi dan veteran perang Badar dan Uhud.

Khalifah kedua, Umar bin Khattab r.a. (634-644 M), dikenal dengan kebijakannya yang memperkuat tata kelola pemerintahan. Di bidang ekonomi, Umar membangun institusi hisbah yang di antara fungsi utamanya adalah pengawasan pasar. Beliau juga memberlakukan kebijakan ‘usyur (bea cukai) sebagai sebuah kebijakan resiprokal. Berbeda dengan Abu Bakar r.a. yang membagikan tunjangan bulanan secara merata, Umar bin Khattab membagikan tunjangan kepada para istri nabi dan sahabat nabi berdasarkan tingkat kedekatannya dengan Nabi dan masa keislamannya. Selain itu, kebijakan Umar yang orisinal adalah kaitannya dengan pembagian harta perang, di mana Ia memutuskan tidak membagikan tanah yang berhasil ditaklukkan di Iraq dan Syam kepada para pejuang yang ikut peperangan. Umar bin Khattab lebih memilih untuk menahan kepemilikan negara atas tanah tersebut dan menetapkan sewa atas pemanfaatan tanah tersebut. Kebijakan ini dikenal dengan kebijakan kharaj.[9]

Sementara itu, Khalifah ketiga, Utsman bin Affan (644-656 M) meneruskan apa yang telah dibangun oleh Khalifah Umar. Pendapatan negara dari sektor agricultural meningkat pesat hingga lebih dari lima kali lipat di masa Utsman. Hal ini tidak lepas dari kebijakannya untuk memperbolehkan pengelolaan tanah negara oleh individu masyarakat, sehingga beban negara berkurang dan pemanfaatan tanah menjadi lebih optimal. Meski demikian, hal ini dinilai menjadi benih feodalisme di Islam.[10] Seiring dengan sulitnya bagi pemerintah untuk menghitung harta zakat yang tersimpan (baathin), Utsman mencukupkan para petugasnya untuk hanya menghitung harta zakat yang tampak (zhahir). Adapun harta yang tersimpan, maka itu tetaplah menjadi kewajiban muzaki untuk menyalurkannya.

Khalifah terakhir adalah Ali bin Abi Thallib (656-661 M). Terdapat empat isu besar yang disampaikannya kepada para gubernurnya; moralitas, keadilan, kedamaian dan keamanan, serta kesejahteraan ekonomi masyarakat. Sektor pertanian masih menjadi perhatian utama. Ali r.a. menekankan pentingnya pemerintah untuk lebih memperhatikan produktivitas dari lahan pertanian daripada hanya sekadar memperhatikan penarikan pajak atas tanah tersebut. Di aspek perdagangan, beliau menegaskan larangan penimbunan yang dapat membahayakan masyarakat.[11]

Setelah berakhirnya khulafa’ur rasyidin pada tahun 661 M, kekhalifahan dipegang oleh Bani Umayyah (661-750 M) kemudian Bani Abbasiyah (750-1000 M) di mana pemilihan kepala negara (khalifah) bukan didasarkan pada hasil syura, tetapi lebih kepada dinasti keluarga. Akibatnya, banyak khalifah yang tidak memiliki keilmuan di bidang agama. Oleh karena itu, pada masa kekhalifahan dinasti, muncullah sejumlah ulama yang menjadi hakim agung yang senantiasa memberikan fatwa dan nasihat kepada para khalifah. Di antaranya adalah Abu Yusuf (113–182 H / 731–798 M) dan Abù al-Hasan al-Màwardì (364–450 H / 972–1058 M). El-Ashker dan Wilson menyebutkan bahwa hanya Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dinilai memiliki kealiman di bidang syariah di antara para khalifah Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. [12]

Abu Yusuf merupakan hakim agung di masa Harun ar-Rasyid (786-809 M), puncak kejayaan Bani Abbasiyah. Beliau menyusun sebuah buku fenomenal yang dianggap sebagai buku ekonomi Islam yang pertama. Beliau menyusun kitab al-Kharaj sebagai nasihat pada pemerintah atas permintaan Sang Khalifah. Buku tersebut berisikan tentang keuangan publik Islam; pendapatan dan pengeluaran negara. Beberapa ulama lain setelahnya juga mencoba menulis buku dengan judul yang sama, “al-Kharaj”, yakni Yahya bin Adam (757–818 M) dan Qudama ibn Ja’far al-Katib (864–932 M). Meski demikian, kitab Abu Yusuf dinilai masih lebih komprehensif.

Adapun al-Mawardi merupakan hakim agung pada masa al-Qoim bi Amrillah (1031-1075 M). Bukunya yang terkenal adalah al-Ahkam as-Sulthoniyah. Buku tersebut banyak bicara tentang tata kelola pemerintah, termasuk di antaranya adalah mengatur pendapatan dan belanja negara, serta institusi hisbah (salah satu tugas utamanya adalah mengawasi pasar/praktik muamalah).

 

Selain Abu Yusuf dan al-Mawardi, terdapat sejumlah hakim[13] yang juga membuat karya di bidang ekonomi, di antaranya; a) Al-Syaibani (750-804 M) dengan karyanya Kitab Al-Iktisab (Buku tentang Mencari Penghasilan). Pemikirannya lebih bersifat mikro, yakni terkait dengan konsumsi, produksi dan distribusi. Beliau menyinggung empat sumber utama penghasilan; jasa sewa, industri, pertanian, dan perdagangan. b) Abu Ubaid. (w. 224 H / 838 M). Ia menulis buku yang sangat komprehensif, al-Amwal (Harta/Wealth). Buku tersebut menjelaskan aspek mikro dan makro sekaligus, yakni bicara tentang sumber harta dan pajak yang berlaku atasnya. Selain itu, buku tersebut menjelaskan berbagai pandangan ulama sebelumnya dan juga melengkapi bukunya dengan sanad periwayatan hadis yang lebih lengkap, serta menunjukkan surat-surat/dokumen resmi para khalifah.[14]

Di lain sisi, muncul sejumlah ulama besar yang pandangannya diikuti oleh mayoritas umat Islam hingga saat ini. Mereka adalah para ulama empat mazhab: Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafii dan Imam Hambali. Bahkan, pemikiran mereka juga mempengaruhi pandangan sejumlah tokoh ekonomi Islam yang disebutkan di atas.

Contohnya, Abu Yusuf yang merupakan murid dari Imam Hanafi, maka pendapatnya banyak mengikuti mazhab hanafi. Sementara itu, al-Mawardi bermazhab syafi’i, sehingga pembahasan tata kelola negara dalam bukunya tersebut lebih banyak merujuk kepada pandangan Imam Syafi’i, meskipun beliau juga mencantumkan pandangan imam yang lain. Menariknya, beberapa tahun kemudian, Abu Ya’la al-Fara’ (988–1066 M) yang juga hakim agung menulis tata kelola pemerintahan dengan judul yang sama hanya dari sudut pandang mazhab hambali.

Perbedaan utama di antara mereka adalah dalam aspek ushul fiqh. Sejauh mana rasionalitas dapat digunakan dalam mengambil suatu kesimpulan hukum. Mereka diklasifikasikan ke dalam dua kelompok; ahlu al-ra’yi (yang sering menggunakan pendapat akal) dan ahlu al-hadith (yang lebih mengedepankan sumber dari hadis). Mazhab hanafi sering menggunakan metode istihsan dan qiyas dalam menjawab isu-isu baru. Sementara mazhab maliki lebih mengedepankan kepada hadis Rasul dan juga amalan penduduk Madinah serta konsensus dari para khulafa ar-rasyidin. Imam Syafii yang merupakan murid dari Imam Malik mencoba menggabungkan antara rasionalitas Imam Hanafi dan penggunaan hadis Imam Malik. Selanjutnya, mazhab hambali yang lebih ketat dalam penggunaan hadis.[15]

Secara umum, di masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, ekonomi umat Islam tumbuh secara signifikan; arus urbanisasi semakin meningkat dan perdagangan semakin semarak seiring makin meluasnya wilayah Islam. Sejumlah kantor dan biro baru didirikan oleh pemerintah; kantor pos, biro kesekretariatan, biro segel, biro al-mustaghallat/BUMN, biro pusat audit, dan lainnya.

Kebijakan ekonomi yang paling signifikan adalah percetakan mata uang dinar dan dirham secara mandiri, tidak lagi bergantung kepada dinar Romawi dan dirham Persia. Reformasi moneter ini diawali oleh Khalifah Abdul Malik (Umayyah). Adapun sejumlah kebijakan lainnya justru dinilai tidak pro kepada rakyat. Hal ini sebagaimana reformasi kebijakan Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) yang mereformasi sistem perekonomian khalifah Daulah Umayyah sebelumnya: mengembalikan aset warga yang direbut oleh para pejabat negara secara zalim dan tidak lagi mengambil pajak atas mualaf.[16]

Dapat disimpulkan bahwa periode pertama ini merupakan fondasi utama dari pemikiran ekonomi Islam. Prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam bersumber kepada Alquran dan sunah, kemudian dikembangkan melalui sejumlah ijtihad dari para khulafaur rasyidin. Pergantian sistem pemerintahan menjadi dinasti pada masa Bani Umayyah dan Abbasiyah, menjadikan para khalifah tidak memiliki ilmu syariah yang mumpuni kecuali khalifah Umar bin Abdul Aziz. Oleh karenanya, muncullah sejumlah ulama yang mayoritasnya adalah hakim yang memberikan buah pemikirannya di bidang ekonomi Islam. Pemikiran ekonomi Islam yang tertuang ke dalam sebuah buku mulai ditemukan pada kitab al-Kharraj karangan Imam Abu Yusuf atas permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid. Pada periode ini pula, ulama mazhab yang empat mulai berkembang dan mempengaruhi pemikiran para tokoh ekonomi Islam, termasuk Abu Yusuf yang merupakan murid dari Imam Abu Hanifah.

Buku-buku yang hadir pada periode ini sudah meliputi aspek ekonomi mikro dan makro. Aspek mikro berkaitan dengan berbagai sektor ekonomi yang menjadi sumber penghasilan masyarakat. Adapun aspek makro terfokus pada permasalahan keuangan publik Islam, yakni pendapatan dan belanja negara. Pendapatan negara pada masa Rasulullah SAW. adalah zakat, fa’i, dan ganimah serta jizyah. Sumber pendapatan bertambah pada kekhilafahan Umar bin Khattab. Beliau menambahkan kharaj (pajak atas tanah) dan juga usyr (bea cukai). Pada saat dinasti Abbasiyah, pajak sebagai sumber pendapatan negara berkembang menjadi beragam, di antaranya:[17]

a)        Pajak atas pasar, diterapkan pada tahun 784 M oleh Khalifah al-Mahdi (775-785 M). Pajak itu diberlakukan kepada toko-toko yang ada di pasar yang besarannya mencapai 33%, sehingga mendorong pemberontakan di Mesir selama 2 tahun.

b)        Cukai atas penjualan perumahan yang ditanggung oleh penjual hingga 2%.

c)         FASE Pajak atas warisan dengan besaran maksimum sepertiga (33,3%)

d)        Pajak perikanan, retribusi atas produk perikanan dimana pajak digunakan untk perbaikan pelabuhan

E. KEDUA PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM

Pada fase ini, pemikiran ekonomi Islam berkembang secara pesat. Dimulai dari tahun 450 H./1058 M hingga tahun 850 H/1446 M. Pada masa ini lahir banyak karya intelektual, termasuk di bidang ekonomi. Di antara tokoh tersebut adalah Al-Ràghib al-Asfahànì (w. 502 H. / 1108 M.), Abù-Hamid al-Ghazàlì (450–505 H./1058– 1111 M.), Ja’fer al-Dìmashqì (late 12th century), Ibn-Taymìyah (1263 - 1328 M), Ibn-al-Ukhùwwah (w. 1329 M), Ibn-Khaldùn (1332–1406 M), Al-Maqrizi (w. 1442 M).

Bahasan etika dalam berekonomi disinggung oleh al-Asfahani dan al-Ghazali. Al-Asfahani dalam bukunya al-Dzarì”ah fi Makàrìm al-Sharì”ah menyebutkan empat isu pokok: a) manusia; urgensi, fungsi dan kebutuhannya, b) aktivitas produksi, c) harta dan sumber harta serta relasinya dengan manusia, d) pengeluaran: pengeluaran yang seimbang dan yang tidak seimbang.

Al-Ghazali juga banyak bicara tentang etika. Lebih jauh ia mengungkapkan pentingnya religiositas yang bukan sekadar halal dan haram. Beliau juga bicara tentang fungsi uang dan bagaimana memperlakukan uang (larangan penimbunan uang dan riba atas uang). Sebagaimana al-Ashfahani, beliau juga membahas tentang pentingnya aktivitas produksi. Pemikiran lain yang juga penting Imam al-Ghazali adalah pembagian dharuriyah, hajiyah dan tahsiniyah, di mana dharuriyah adalah tujuan Islam yang lima (maqashid syariah): menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Di dalam aspek perdagangan, Ja’fer al-Dìmashqì (akhir abad ke-12) menyusun sebuah buku yang berjudul al-Isyarah fi Mahasin al-Tijarah di tahun 1175 M. Sesuai dengan judulnya, buku tersebut membahas detail tentang perdagangan. Beliau mengawali bahasannya dengan klasifikasi harta; mana yang bisa diperdagangkan dan mana yang tidak. Dalam hal ini, uang adalah harta yang tidak dapat diperdagangkan. Sebagaimana al-Ashfahani dan Ghazali, beliau juga menyinggung masalah spesialisasi kerja dengan menjadikan roti sebagai contoh bahasan. Bahasan mikro lainnya adalah tentang permintaan dan penawaran serta yang membentuk harga suatu produk. Harga bergantung pada tiga hal: biaya produksi, seberapa besar tenaga pekerja yang dilibatkan, serta permintaan akan barang tersebut. Beliau juga menyinggung disparitas harta antar-wilayah.

Di dalam aspek bisnis, beliau menasihati para penjual untuk berperilaku jujur dan adil serta toleran dalam harga (keuntungan sewajarnya) untuk menjaga loyalitas konsumen.

Adapun institusi hisbah yang pernah dibahas oleh Imam al-Mawardi kembali dibahas dengan lebih detail oleh sejumlah ulama pada periode ini. Mereka adalah Ibnu Taymiyah (1263 - 1328 M) dan Ibnu al-Ukhuwah (w. 1329 M). Pada dasarnya, institusi hisbah memiliki tugas dan wewenang yang sangat luas, yakni sebagai pengawas di permasalahan ibadah dan juga permasalahan muamalat. Amar makruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Sejatinya, al-Mawardi juga menulis buku khusus tentang hisbah, dengan judul, al-Rutbah fi Thalab al-Hisbah.

Pembahasan hisbah disinggung oleh al-Ghazali dalam bukunya Ihya’ Ulumiddin. Pembahasan dalam buku spesifik dapat dilihat pada karangan Ibnu Taimiyah di al-Hisbah fil Islam, karangan asy-Syayzari di Nihayat al-Rutbah fi Thalab al-Hisbah, dan Ibnu al-Ukhuwah di bukunya Ma’alim al-Qurbah fi Ahkam al-Hisbah. Buku karangan Ibnu Taimiyah dinilai memiliki pembahasan mendalam dalam aspek teori, seperti prinsip dasar institusi hisbah dan kontroversi seputar boleh tidaknya pemerintah melakukan intervensi harga di pasar. Sementara itu, karya al-Ukhuwah meliputi berbagai permasalahan teknis yang dihadapi oleh seorang muhtasib (pejabat di institusi hisbah). Oleh karenanya, ia merinci dengan detail tugas seorang muhtasib.

Kajian ekonomi dengan metode analisis sejarah dimulai oleh Ibnu Khaldun (1332–1406 M) lalu dilanjutkan oleh muridnya al-Maqrizi (w.1442M).IbnuKhaldunmenceritakanbagaimanaberbagaiperadaban manusia muncul, mencapai puncaknya, lalu hilang. Pajak yang tinggi (baca: mencekik) dinilai sebagai salah satu faktor yang menyebabkan keretakan sebuah peradaban. Tingkat pajak yang rendah akan mendorong produksi, sehingga ekonomi meningkat, penerimaan pajak akan meningkat. Pajak yang tinggi akan mendorong masyarakat berhenti produksi, sehingga ekonomi menurun, lalu penerimaan pajak akan menurun, maka peradaban akan menurun. Beliau juga berpandangan bahwa pemerintah seharusnya tidak berbisnis/ berkompetisi dengan pihak swasta, karena pihak swasta akan bisa kalah dengan mudah. Hal ini merupakan disincentive bagi pihak swasta untuk berproduksi/berdagang, yang dampaknya juga bisa kembali kepada rendahnya penerimaan pajak negara.

Ibnu Khaldun menekankan bahwa Allah SWT. telah menyediakan segala sesuatu buat manusia, tetapi manusia perlu untuk bekerja untuk mendapatkan hal tersebut guna mendapatkan keuntungan dan juga keperluan bagi hidupnya. Di dalam memproduksi kebutuhan manusia, hal tersebut tidak dapat dilakukan sendirian, perlu dikerjakan secara kolaborasi dengan manusia lainnya. Beliau memberikan contoh pembuatan roti, sebagaimana contoh yang diberikan oleh ulama sebelumnya, bahwa produksi roti memerlukan sejumlah pekerjaan yang mengharuskan adanya kolaborasi beberapa orang. Di sini pentingnya spesialisasi pekerjaan (division of labor). Beliau juga menyinggung tentang perdagangan internasional, karena adanya perbedaan keahlian antar-kota/negara.

Beliau juga membahas tentang hubungan jumlah populasi dan produksi, di mana keduanya saling mempengaruhi. Kota yang banyak penduduknya akan menghasilkan produksi yang lebih besar, sehingga memerlukan jumlah tenaga kerja yang banyak, sehingga penduduk semakin meningkat dan produksi juga demikian. Maka kesejahteraan kota tersebut akan semakin besar. Demikian halnya, semakin banyak interaksi demand dan supply, maka harga akan semakin murah.[18]

Beliau mendorong penggunaan emas dan perak sebagai standar moneter yang tepat. Hal ini yang kemudian diperkuat oleh analisis sejarah yang dilakukan oleh muridnya, al-Maqrizi. Memulai analisisnya tentang sejarah perekonomian Mesir dari sebelum banjir Nabi Nuh a.s. hingga ke masanya, ia menyimpulkan beberapa hal yang menjadi penyebab tingginya harga (inflasi).

Salah satu faktor utamanya adalah banyaknya peredaran uang fulus (tembaga),[19]selain itu faktor pajak yang tinggi, korupsi, dan juga bencana alam.

F. FASE KETIGA PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM

Fase ketiga. Periode ini adalah terjadinya stagnasi. Di mana tidak ditemukannya pemikiran ekonomi Islam yang signifikan. Periode ini dimulai dari tahun 850 H/1446 M hingga 1350 H/1932 M. Para ulama fikih pada masa ini cenderung lebih banyak mengutip pemikiran para ulama sebelumnya dan juga mengeluarkan fatwa berdasarkan mazhab mereka masing-masing. Di abad 19 M dan awal abad 20 M, mulai muncul sejumlah tokoh yang mendorong pengembangan pemikiran berbasis Alquran dan sunah. Di antara para tokoh tersebut adalah Syah Waliyullah (1703-1762 M) dan Muhammad Iqbal (1877-1938 M).

Di dalam bukunya Hujjatullah al-Balighoh, Syah Waliyullah menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Kesejahteraan manusia bergantung kepada kerja sama yang baik di antara mereka, seperti aktivitas perdagangan/pertukaran, kontrak, bagi hasil, dan lainnya. Adapun judi dan riba justru menzalimi pihak lain, sehingga ini bukanlah kerja sama yang baik. Lebih lanjut, beliau mengungkapkan dua faktor utama turunnya perekonomian/ peradaban di negaranya (Kerajaan Mughal di India). Pertama, keuangan negara terbebani dengan berbagai belanja yang tidak produktif. Kedua, tingginya pajak atas petani, pedagang, produsen, sehingga menghancurkan ekonomi mereka dan mendorong pada upaya pemberontakan.

Adapun Muhammad Iqbal, beliau menyaksikan kuatnya penjajahan Barat atas berbagai negara Islam di berbagai belahan dunia, dan juga keruntuhan kekhalifahan Turki Utsmani pada tahun 1924. Beliau menyampaikan kritiknya terhadap dua sistem ekonomi yang berkembangan; kapitalisme dan sosialime. Beliau mendorong terwujudnya keadilan sosial sebagai tugas utama negara Islam dan menjadikan zakat instrumen pentingnya.[20]

G. FASE KEEMPAT PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM

Fase keempat. Ini adalah periode kebangkitan. Dimulai dari tahun 1932 hingga saat ini. Di dekade 30-an hingga 60-an, banyak negara muslim yang sudah mendapatkan kemerdekaannya. Oleh karenanya, muncul perhatian yang lebih mendalam tentang sistem ekonomi apa yang mesti digunakan oleh negara-negara muslim di tengah dominasi sistem kapitalis dan sistem komunis. Islahi (2008) menyebut periode kuartal kedua abad ke-20 dengan periode “take off”, yakni mulai muncul berbagai karya pemikiran tentang permasalahan- permasalahan ekonomi dari perspektif Islam.

Pada periode ini, institusi ekonomi modern, seperti perbankan, asuransi, pasar modal, sistem perpajakan dan lainnya menjadi sorotan terkait kepatuhannya terhadap nilai-nilai Islam. Struktur ekonomi, sistem kepemilikan, sistem produksi dan juga ekonomi pembangunan dikaji dengan lebih detail. Sistem ekonomi Islam, terutama di aspek keuangan publik, seperti zakat dan ‘ushr, jaminan sosial, sistem perbankan tanpa bunga menjadi isu yang dikembangkan di periode tersebut.

Pada dekade 60-an dan 70-an, sejumlah cendekiawan muslim mempublikasikan analisisnya tentang konsumsi, produksi, bagi hasil, zakat dan dampak penghapusan bunga bagi perekonomian. Konferensi Internasional Ekonomi Islam Pertama yang dilaksanakan di Makkah pada tahun 1976 menjadi tonggak era baru pengembangan ilmu ekonomi Islam. Setelah itu, berbagai konferensi atau seminar ekonomi Islam semakin semarak.

Di antara tokoh utama ekonomi Islam di fase ini adalah Abu A’la al-Mawdudi (1903-1979), Umer Chapra (1933-sekarang), Nejatullah ash-Sidqi (1931-sekarang), Baqir as-Sadr (1935-1980) dan lainnya. Sejatinya, al-Mawdudi bukanlah seorang ekonom. Ia adalah seorang jurnalis, filsuf, ulama dan juga aktivis politik. Meski demikian, tulisan dan juga pidatonya tentang ekonomi telah menginspirasi dan mempengaruhi pemikiran ekonomi di Pakistan dan juga dunia. Sejumlah karya beliau di bidang ekonomi adalah: Sud (Riba), Islam Aur Jadid Ma’ashi Nazariyat (Islam dan Ideologi Ekonomi Modern), Mas’ala-i-Milkiyat-i-Zamin (Permasalahan Kemilikan Tanah), Insan ka Ma’ashi Mas’ala (Permasalahan Ekonomi Manusia dan Solusi Islam),Qur’an Key Ma’ashi Nazriyat (Pandangan Alquran tentang Ekonomi), Ma’ashiyat e Islam (Ekonomi Islam), Islami Ma’ashiyat Key Bunyadi Usul (Prinsip Dasar Ekonomi Islam). [21]

Umer Chapra merupakan ekonom Pakistan-Saudi. Kepakarannya dan kontribusinya di bidang ekonomi, diakui oleh dunia Islam. Sejumlah penghargaan internasional diberikan kepadanya. Buku-bukunya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, di antara bukunya yang terkenal adalah Towards a Just Monetary System (Menuju Sistem Moneter yang Adil), Islam and the Economic Challenge (Islam dan Tantangan Ekonomi), The Future of Economics: An Islamic Perspective (Masa Depan Ekonomi: Perspektif Islam), The Islamic Vision of Development in the Light of Maqasid Al-Shari’ah (Visi Islam terhadap Pembangunan dalam Kerangka Maqasid Al-Shari’ah).

Falsafah dasar yang membedakan antara ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalisme dan ekonomi sosialisme ditulis secara komprehensif oleh Baqir as-Sadr (1935-1980) dalam bukunya Iqtishaduna (Ekonomi Kita). Buku yang ditulis tahun 1950-an dan pertama kali dipublikasikan pada tahun 1961 telah mempengaruhi pemikiran banyak cendekiawan. Karyanya tersebut mendapat pujian dari banyak pihak karena dianggap mampu menjelaskan perspektif Islam terhadap ideologi Barat (kapitalisme dan sosialisme) dan meletakkan fondasi dasar bagi ekonomi Islam. Karyanya yang lain adalah Bank La Rabbawi Fil Islam (Bank Islam tanpa Bunga). [22]

Sementara itu, Nejatullah ash-Sidqi (1931-sekarang) merupakan emeritus profesor ekonomi di universitas Aligarh. Beliau menulis 16 buku dalam bahasa Inggris, 13 dalam bahasa Urdu, dan 7 dalam bahasa Arab. Karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, seperti bahasa Indonesia, Melayu, Turki, Persi, dan India. Fokus pemikirannya terkait dengan keuangan Islam, sejarah pemikiran ekonomi Islam, kebijakan publik Islam, dan lainnya. Atas kontribusinya di ekonomi Islam, sejumlah penghargaan internasional diberikan kepadanya.[23]

Saat ini, lebih dari empat dekade setelah konferensi ekonomi Islam pertama, telah muncul berbagai institusi keuangan syariah baik itu perbankan maupun non-perbankan. Selain itu, zakat dan wakaf beserta keuangan mikro syariah sebagai motor penggerak instrumen keuangan sosial yang diharapkan dapat mengentaskan kemiskinan dan juga meningkatkan kualitas pendidikan serta kesehatan masyarakat. Hal yang disayangkan adalah perkembangan tataran praktis ekonomi Islam telah menyedot perhatian para pemikir ekonomi Islam, sehingga kajian fondasi keilmuan ekonomi Islam tidak banyak diperhatikan. [24]

Dominasi ekonomi mainstream (non-Islam) masih kuat hingga saat ini. Buku-buku teks mereka masih diajarkan di berbagai tingkat pendidikan di berbagai belahan dunia, termasuk di negara-negara muslim. Ilmu ekonomi Islam mulai diterima, tetapi bukan sebagai ilmu tersendiri melainkan sebagai sebuah bagian dari ilmu ekonomi secara umum. Sistem perekonomian berbasis riba masih belum tergantikan. Di tataran praktis, sistem keuangan Islam masih bersifat pelengkap dan bukan yang utama.

H. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam di Indonesia

Di Indonesia, perkembangan ekonomi Islam sejatinya memiliki akar yang kuat pada masa kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Penggunaan dinar dan dirham di sejumlah kerajaan Islam Nusantara menjadi bukti nyata. Kerajaan Aceh Darussalam membuat mata uang sendiri yang ditulis dengan huruf Arab pada masa kepemimpinan Sultan Alaiddin Ri’ayat Syah al-Qahhar (945-979 H /1539-1571 M). Praktik pajak perdagangan pada masa kerajaan Islam Nusantara juga menerapkan pembedaan cukai atas muslim dan non-muslim sebagaimana yang diberlakukan pada kekhilafahan Islam.[25]

Di dalam aspek pemikiran ekonomi, terdapat dua tokoh ekonomi yang sejauh ini bisa ditelusuri, yakni Nurudin ar-Raniri dan Syaikh Abdul Ra’uf Al-Sinkili. Ar-Raniri menulis buku Bustan Salatin pada tahun 1638 atas perintah Sultan Iskandar Thani of Aceh (1636-1641). Buku tersebut berbicara menyinggung masalah wakaf. Sementara itu, Syaikh Abdul Ra’uf al-Sinkili menulis buku dengan judul ‘Mirât al- Thullab,’ atas perintah Tajul Alam Saiatuddin Syah (1641-1675). Setelah itu, belum dijumpai kembali tokoh pemikir ekonomi di Nusantara seiring dengan penjajahan dari negara-negara Eropa.[26]

Di dalam pengembangan ekonomi Islam ternyata para pemikir atau cendekiawan muslim Indonesia telah banyak memberikan kontribusinya, tetapi pemikiran ekonomi Islam nya tidak cukup dikenal oleh para cendekiawan muslim dunia karena tidak ditulis atau diterjemahkan dalam bahasa dunia, misalnya Inggris dan Arab. Karya Khairuddin Yunus merupakan salah satunya yang ditulis dalam bahasa Arab dan Inggris, seperti Economic System of Islam dan Hadzihi Hiya Indunisiya.

Di awal abad ke-20 dapat dijumpai sejumlah pemikiran ekonomi dari tokoh intelektual muslim Indonesia. Isu ekonomi yang menjadi perhatian adalah tentang hubungan Islam dengan sistem kapitalisme dan sosialisme yang mendominasi perekonomian dunia masa itu. Gerakan Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Rida ditengarai juga berpengaruh terhadap gerakan keumatan dan juga pemikiran ekonomi di Indonesia.

Tokoh pejuang kemerdekaan, H.O.S Tjokroaminoto menulis buku yang berjudul Islam dan Sosialisme pada tahun 1924. Di tengah perdebatan ideologi antara kapitalisme, beliau berpandangan bahwa sistem sosialisme lebih dekat kepada Islam. Meski demikian, ia menegaskan bahwa apa yang ia yakini adalah sosialisme Islam, prinsip sosialime yang dibangun berdasarkan nilai-nilai Islam.

 

Sejumlah tokoh lainnya adalah H.M. Rasjidi yang menulis Islam dan Sosialisme (1966), Sjafruddin Parawiranegara yang menulis Apa Jang Dimaksud dengan Sistem Ekonomi Islam (1967), Zainal Abidin Ahmad yang menulis Dasar-Dasar Ekonomi Islam (1950), Kahruddin Yunus yang menulis Sistem Ekonomi Kemakmuran Bersama Bersamaisme (1955), dan Buya Hamka yang menulis Keadilan Sosial dalam Islam (1951). [27]

Di kuartal keempat abad 20, mulai muncul diskusi tentang sistem keuangan tanpa bunga, mengikuti isu dunia Islam waktu itu. Diskur- sus ini melahirkan pendirian institusi Baitul Mal wat Tamwil sebagai lembaga keuangan mikro syariah. Selanjutnya, bank syariah perta- ma, Bank Muamalat beroperasi pada tahun 1992. Semenjak itu, pe- mikiran ekonomi Islam terus berkembang, terutama pasca krisis moneter 1998, di mana sistem keuangan Islam dinilai lebih tahan ter- hadap krisis. Saat ini, banyak tokoh ekonomi Islam yang bermunculan diiringi dengan mulai banyaknya Perguruan Tinggi yang mengajarkan ekonomi Islam. Buku-buku ekonomi Islam juga mulai banyak ditemu- kan di berbagai toko buku.



[1]BukunyaHistoryofEconomcAnalysispertamakaliditerbitkanpadatahun1954setelahkematiannya.Schum- peter meninggal di tahun 1950

 

[2] Skolastik adalah pemikiran ekonomi di abad pertengahan setelah greap gap, sekitar abad13-15.Pemikiran merekabanyakberkaiatandengannormadanetikayangberbasispadaajarangereja.Mayoritasmerekaadalah para cendekiawan di bidang Teologi.

 

[3] Ghazanfar, S. M. (2003). Scholastic Economics And Arab Scholars: The “Great Gap” thesis reconsidered. In Medieval Islamic Economic Thought (pp. 22-38). Routledge.

 

[4] Ghazanfar, S. M. (2003). Scholastic Economics And Arab Scholars: The “Great Gap” thesis reconsidered. In Medieval Islamic Economic Thought (pp. 22-38). Routledge.

 

[5] Islahi, A. A. (2014). History of Islamic Economic Thought: Contributions of Muslim Scholars to Economic Thought and Analysis. Edward Elgar Publishing

[6] Islahi, A. A. (2008, April). Thirty Years of Research on History of Islamic Economic Thought: Assessment and Future Directions, Conference Papers. In The 7th International Conference in Islamic Economics: Thirty Years of Research in Islamic Economics (pp. 123-134).

 

[7] Shiddiqi, M. N. (1992). Islamic Economic Thought: Foundations, Evolution, and Needed Direction. In Sadeq M (ed), Reading In Islamic Economic Thought.

 

[8] Bahasan modal sosial dalam Islam dapat dibaca pada Faizin dan Akbar (2018). Tafsir Ekonomi Kontemporer.Gema Insani Press

 

[9] El-Ashker, A., & Wilson, R. (2006). Islamic economics: A short history. Brill, hal. 100

[10] El-Ashker, A., & Wilson, R. (2006). Islamic economics: A short history, 112

[11] El-Ashker, A., & Wilson, R. (2006). Islamic economics: A short history, 122

[12] El-Ashker, A., & Wilson, R. (2006). Islamic economics: A short history, 157

[13] Meskipun tidak sampai ke derajat hakim agung

 

[14] El-Ashker & Wilson (2006)

[15] El-Ashker & Wilson, 167

 

[16] Ucapanya yang terkenal adalah kami diutus sebagai Dai Islam bukan sebagai pemungut pajak.

 

[17] El-Ashker & Wilson, 152

 

[18] Boulakia, Jean David C. (1971). Ibn Khaldun: A Fourteenth-Century Economist. Journal of Political Economy, Vol. 79, No. 5, pp. 1105-1118

[19]Al-Maqrizi dalam bukunya Ighatsatul Ummah menyampaikan bahwa penggunaan tembaga secara luas sebagai mata uang di Mesir kala itu menjadikan harga-harga barang menjadi mahal. Oleh karenanya, beliau menegaskan bahwa uang negara mestilah dinar (emas) dan dirham (perak). Kenaikan harga sangat terasa dirasakan masyarakat karena penggunaan fulus (tembaga), yang sebenarnya kenaikan tersebut tidak terlalu tinggi harganya jika dinilai dengan dinar dan dirham.

 

 

 

[20] Shiddiqi, M. N. (1992). Islamic Economic Thought: Foundations, Evolution, and Needed Direction. In Sadeq M (ed), Reading In Islamic Economic Thought.

 

[21] Centre for Islamic Economics (CIE), International Islamic University Malaysia (2020).

 

[22] Furqoni, H. (2019). Wilson, R. (1998). Fahlevi, M. (2019). Baqir as-Sadr merupakah tokoh Syiah Iraq. Pemikirannya tidak hanya sebatas soal ekonomi, tapi juga meliputi kritik sosial politik. Pemerintah Iraq menganggapnya sebagai seseorang yang berbahaya, sehingga beliau diisolasi dan pada akhirnya dihukum mati di tahun 1980.

 

[24] Haneef & Furqoni (2009)

 

[25] Haneef & Furqoni (2009)

 

[26] Qayum, Abdul, et al. (in-press). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Bank Indonesia dan KNEKS

 

[27] Qayum, Abdul, et al. (in-press). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.28

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERSPEKTIF EKONOMI SYARIAH DALAM BISNIS KONTEMPORER

  MATERI- PENGANTAR BISNIS ISLAM Oleh: Eny Latifah, S.E.Sy.,M.Ak Perspektif Ekonomi Syariah dalam Bisnis Kontemporer   A.      Pengertian Ek...