Rabu, 11 Januari 2023

Sejarah Manajemen Syariah

 SEJARAH MANAJEMEN SYARIAH

  

A. PENDAHULUAN

Pembahasan pertama dalam manajemen sayari’ah adalah perilaku  yang terkait dengan nilai-nilai keimanan dan ketauhidan. Jika setiap perilaku orang yang terlibat dalam sebuah kegiatan dilandasi dengan nilai tauhid, maka diharapkan perilakunya akan terkendali dan tidak terjadi perilaku KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) karena menyadari adanya pengawasan dari Allah SWT.

Hal ini berbeda dengan perilaku dalam manajemen konvensional yang sama sekali tidak terkait bahkan terlepas dari nilai-nilai tauhid. Orang-orang yang menerapkan manajemen konvensional tidak merasa adanya pengawasan melekat, kecuali semata mata pengawasan dari pemimpin atau atasan. Setiap kegiatan dalam manajemen syari’ah di upayakan menjadi amal soleh yang bernilai abadi .

Manajemen menurut pandangan Islam merupakan manajemen yang adil. Batasan adil adalah pimpinan tidak ”menganiaya” bawahan dan bawahan tidak merugikan pimpinan maupun perusahaan yang di tempati. Bentuk penganiayaan yang dimaksudkan adalah mengurangi atau tidak memberikan hak bawahan dan memaksa bawahan untuk bekerja melebihi ketentuan. Seyogyanya kesepakatan kerja dibuat untuk kepentingan bersama antara pimpinan dan bawahan. Jika seorang manajer mengharuskan bawahannya bekerja melampaui waktu kerja yang ditentukan, maka sebenarnya manajer itu telah mendzalimi bawahannya. Dan ini sangat bertentangan dengan ajaran agama Islam .

Manajemen islam harus didasari nilai-nilai dan etika islam. Islam yang ditawarkan berlaku universal tanpa mengenal ras dan agama. Boleh saja berbisnis dengan label islam  dengan segala labelnya, namun bila nilai-nilai dan akhlak islam dalam melakukan bisnis tersebut ditinggalkan, maka tidaklah lagi pantas dianggap sebagai islam .

Pada dasarnya manajemen sudah ada sejak manusia itu ada, manajemen sebetulnya sama usianya dengan kehidupan manusia, mengapa demikian, karena pada dasarnya manusia dalam kehidupan sehari-harinya tidak bisa terlepas dari prinsip-prinsip manajemen, baik langsung maupun tidak langsung, baik disadarai ataupun tidak disadari. Contohnya dalam kehidupan sehari-hari kita seperti mengatur diri kita atau jadwal tugas-tugas kita, kita sudah melakukan yang namanya manajemen.

Nabi Adam dan Siti Hawa sebagai manusia pertama menghuni dunia dengan tekun telah menata sejarah kehidupan manusia tahap demi tahab dengan tatanan yang perspektif. Tatanan kehidupan manusia melalui tata cara yang selalu berkembang sesuai dengan situasi dan kondisinya. Tatanan kehidupan yang tertata baik dan terarah merupakan sendi-sendi manajemen yang tidak bisa terpisahkan dengan kehidupan manusia.

Tatanan kehidupan manusia dari berbagai bentuknya secara serta merta tidak akan terlepas dengan yang namanya manajemen dari bentuk dan keadaan yang multi dimensi. Tentunya manajemen menjadi keniscayaan bagi kehidupan manusia untuk selalu di inovasi sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga manajemen bisa memberi manfaat yang lebih baik. Disini penulis akan membahas manajemen dalam agama islam dan perkembanganya.

 

B. SEJARAH MANAJEMEN SYARIAH

Berbeda dengan manajemen konvensional, manajemen yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis Nabi (Sunnah) ini sarat dengan nilai yang diatur dalam syariah Islam. Oleh karenanya lebih dikenal dengan manajemen Islam atau lebih populer dengan sebutan manajemen syariah atau manajemen yang ada dalam koridor syariah, atau yang dipandu oleh aturan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Oleh karena itu manajemen syariah adalah manajemen yang tidak bebas nilai, karena manajemen syariah tidak hanya berorientasi pada kehidupan dunia, tetapi juga berorientasi kepada kehidupan di akhirat (nanti di sana), yang hanya bisa dipahami dalam sistem kepercayaan agama Islam.

Perkembangan ilmu manajemen di dalam Islam dapat dilihat dari beberapa catatan sejarah. Salah satunya adalah Nizam alidari yang bermakna sistem tata laksana. Terdapat beberapa peristiwa pada masa kekhalifahan Islam yang dapat dikemukakan bertalian dengan perkembangan ilmu manajemen ini adalah sebagai berikut:

1.   Tahun 1 Hijriyah (622 Masehi)

Atas bimbingan wahyu dari Allah SWT, Rasulullah SAW, membangun struktur Negara Islam yang khas di Madina yang bertahan hingga 14 abad kemudian. Struktur dengan bentuk dan system Islam yang memiliki 4 ciri sebagai berikut: (a). Negara Islam tidak berbentuk persekutuan, persemakmuran, tetapi kesatuan. (b). System pemerintahan Islam adalah sisten khalifah atau imamah. (c). System pemerintahan Islam adalah system Syura. (d). System manajemen pemerintahannya bersifat terpusat, sedangkan administrasinya menganut system tak terpusat.

2.   Tahun 2 Hijriyah (624 Masehi)

Atas usulan Al-Warid bin Hisyam bin Al-Mughiroh (seorang sahabat yang pernah melihat praktek pengelolahan kas Negara di Syam) untuk membuat system pengarsipan/ administrasi dari pengelolahan kas Negara sebagaimana yang telah dilakukan raja-raja di Syam, Khalifah umar memperbaharui tekhnik organisasi dan dokumentasi Baitul Maal, zaman khaliafah Muawiyah, ilmu tatalaksana pemerintahan berkembang dengan ilmu-ilmu lainnya seperti ekonomi, sejarah, politik dan social. Dalaam era belakangan ini telah muncul sebuah paradigma manajemen baru, yaitu manajemen Islam, walaupun belum ada kesepakatan ahli mengenai hal tersebut. Paradigm manajemen Islam tersebut memiliki dua makna: (a). Manajemen sebagai Ilmu Manajemen dipandang sebagai salah satu ilmu umum yang tidak berkaitan dengan nilai, peradaban manapun, sehingga hukum mempelajarinya adalah fardu kifayah. (b). Manajemen sebagai aktivasi Yaitu manajemen terikat pada aturan syara’, nilai Islam. Manajemen Islam berpijak pada akidah islam. Aqidah Islam adalah dasar Ilmu pengetahuan.

 

C. PERKEMBANGAN MANAJEMEN SYARIAH

Perhatian umat islam terhadap ilmu manajemen khususnya sebenarnya dapat dilacak dari beberapa aktivitas yang ditemukan pada masa kekhalifahan  islam. Menurut langgulung (1988), terhadap beberapa penulis yang menyatakan bahwa pengembangan ilmu-ilmu yang ada saat itu tidaklah dipisahkan sebagai sistem ilmu yang berdiri sendiri, namun sebagai system ilmu lain. Salah satunya adalah Nizam al-idari atau sistem tatalaksana yang merupakan padanan bagi istilah manajemen yang digunakan kala itu .

 

Managing an organization is a skilful job. Today, globally operated organizations are faced with numerous challenges. How corporate leaders should approach their obligations is one of the important queries at the desk of business researchers. leaders first surrender their authorities to ‘divine’ instructions and then gain knowledge and practices from those instructions for a holistic approach to organizational management. Surrendering to ‘divine’ instructions inculcates humility, responsibility and self accountability among organizational leaders to fulfill their duties at their best. Holistic approach to organizational management provides corporate leaders with more options to deal with issues innovatively .

 

Sebenarnya terdapat perbedaan mendasar antara manajemen syariah (islam) dengan manajemen modern. Keduanya berbeda dalam hal tujuan, bentuk aturan teknis, penyebarluasan dan disiplin keilmuannya. Disamping itu, pengembangan pemikiran modern oleh Negara barat telah berlangsung sangat dinamis.  Di satu sisi, masyarakat muslim belum optimal dalam mengembangkam kristalisasi pemikiran manajemen syariah dari penggalan sejarah (turats) yang otentik, baik dari segi teori maupun praktik. Padahal Rasulallah telah bersabda bahwa: “Telah aku tinggalkan atas kalian semua satu perkara, jikakalian berpegang teguh atasnya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya setelah ku, yaitu kitab allaah (alqur’an) dan sunnah ku (Hadis) .

Sesungguhnya rasulallah dalam kapasitasnya adalah sebagai pemimpin dan imam yang berusaha memberikan metode, tata cara atau solusi bagi kemaslahatan hidup umatnya, dan yang dipandangnya relevan dengan kondisi zaman yang ada. Bahkan terkadang  Rasulallah  bermusyawarah dan  meminta pendapat dari para sahabat atas persoalan yang tidak ada ketentuan wahyunya. Rasulallah  mengambil pendapat mereka walaupun  mungkin bertentangan dengan pendapat pribadinya.

Proses dan sistem manajemen yang diterapkan rasulallah bersifat tidak mengikat bagi para pemimpin dan umat setelahnya. Persoalan hidup terus berkembang dan berubah searah dengan putaran waktu dan perbedaan tempat. Yang dituntut oleh syariat adalah para pemimpin dan umatnya harus berpegang  teguh pada asas manfaat dan maslahah, serta tidak menyia-nyiakan ketentuan  nash syari’. Namun, mereka tidak terikat untuk mengikuti sistem manajemen Rasul dalam pemilihan pegawai, misalnya, kecuali, jika metode itu memberikan asas maslahah yang lebih, maka ia harus mengikutinya. Jika ia menolaknya, ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanah. Dan hal ini diharamkan oleh allah dan Rasul-Nya.

 

Standar asas manfaat dan masalah  tidaklah bersifat rigid. Ia bisa berubah dari waktu ke waktu. Dan dari satu  tempat ke tempat lainnya. Untuk itu, manajemen dalam  islam bersandar pada hasil ijtihad pemimpim dan umatnya. Dengan catatan, ia tidak boleh bertentangan dengan konsep dasar dan prinsip hukum utama yang bersumber dari alqur’an dan al-sunnah, serta tidak bertolak belakang dengan rincian hukum syara’ yang telah dimaklumi. Umat muslim masih memiliki ruang untuk melakukan inovasi atas persoalan detail yang belum terdapat ketentuan syari’nya .

 

D. MANAJEMEN SYARIAH ZAMAN RASULULLAH

Sekitar 571 M, seorang bayi keturunan Quraisy lahir di Mekah. Bangsa Quraisy memberi julukan al-Amin (yang terpecaya). Al-Qur’an (pada surah 3:144, 33:40, 48:29, 47:2) menyebutnya Muhammad dan hanya sekali (pada surah 61:6) menyebutnya Ahmad, Kemudian nama seterusnya yang ia sandang adalah Muhammad (yang terpuji). Muhammad SAW mulai berperan sebagai Nabi sekaligus sebagai Rasul setelah ia menerima wahyu kenabian pada menjelang akhir bulan Ramadhan tahun 610 M. Sejak menjadi Nabi dan Rasul ini Muhammad SAW memulai kegiatan manajemen yang secara ringkasnya dapat diringkaskan sebagai berikut:

1. Ketika perkembangan Islam mulai nampak dan Islam di dakwahkan secara terang-terangan dengan persuasif,. Rasulullah SAW mulai mengutus para sahabat untuk dijadikan sebagai duta guna mendakwahkan agama dan memungut zakat masyarakat Arab pada waktu itu. Tugas utama yang harus dilakukan utusan adalah memberikan pelajaran agama terlebih dahulu kepada pemimpin kabilah dan diharapkan dapat merambah pada kaumnya. Rasul telah mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman dengan uraian tugas yang jelas seraya bersada: “Engkau aku utus untuk datang kepada kaum ahli kitab. Persoalan utama yang harus engkau dakwahkan kepada mereka adalah mengajak untuk beribadah kepada Allah SWT. Beritahukan kepada mereka bahwa Allah SWT mewajibkan membayar zakat. Zakat diwajibkan bagi orang-orang kaya, dan selanjutnya dibagikan kepada fakir miskin. Jika mereka mentaatinya, ambilah dari mereka dan jaga kemulian harta mereka. Dan takutlah terhadap doa orang yang terzalimi, karena doa mereka tidak ada hijab dari Allah”. Rasulullah juga selektif dalam memilih pegawainya, yaitu mereka yang agamanya kuat (shalih) dan merupakan pioner dalam masuk agama Islam. Dan bahkan juga Rasulullah sering minta pendapat sahabat tentang track

record (kepribadian calon pegawai).

2. Rasulullah SAW juga memiliki Majelis Syura semacam think tank (staf ahli) yang dimulai setelah berdirinya negara “kota Madinah” Majelis Syura difungsikan oleh Rasulullah sebagai tempat berdiskusi dan bermusyawarah untuk membicarakan masalah-masalah yang dihadapi yang berkenaan masalah keagamaan, pemerintahan, kemasyarakatan, dan hubungan dengan bangsa atau negara lain. Ini menunjukkan Rasulullah SAW itu seorang yang sangat menghargai kemampuan dan profesionalisme orangorang yang dipimpinnya. Mereka yang masuk dalam think tank ini adalah para sahabat atau orang-orang yang memiliki kecermatan dalam berpikir, kedalaman ilmu agamanya, kuat imannya, dan rajin mendakwahkan agama Islam.

3. Rasulullah SAW juga melakukan pembagian tugas dan wewenang, seperti: Ali bin Abi Thalib menangani kesekretariatan dan perjanjian-perjanjian yang dilakukan Rasulullah, Hudzaifah bin Almin menangani dokumen rahasia Rasulullah, Abdullah bin Al-Arqam bertugas menarik zakat dari para raja, Zubair bin Awam dan Juhaim bin Shalt bertugas mencatat harta zakat, Mughirah bin Syu’bah dan Hasyim bin Namir bertugas mencatat utang piutang dan transaksi muamalah, Zaid bin Tsabit bertugas sebagai penterjemah dalam bahasa Parsi, Romawi, Qibty, Habsy, dan Yahudi. Najiyah al Tafawi dan Nafi’ bin Dzarib al-Naufal bertugas menulis mushaf,

dan lain-lain

Kalau kita telusuri sejarah, perjuangan Nabi Muhammad SAW sungguh merupakan suatu fenomena yang spektakuler. Dirinya mampu membentuk suatu peradaban terbesar hanya dalam kurun waktu 23 tahun. Wakt yang sangat singkat untuk membentuk peradaban yang begitu kokoh dan terbesar luas hingga kini. Dapat kita renungkan bahwa kesuksesan tersebut tentu tidak mungkin terjadi tanpa adanya manajemen yang baik – walaupun pada waktu itu belum muncul yang namanya istilah manajemen. Sekarang ini, manajemen merupakan istilah yang sudah dipahami dan dimengerti oleh manusia secara luas.

Nabi Muhammad SAW mengelola (manage) dan mempertahankan (mantain) kerjasama dengan stafnya dalam waktu yang lama dan bukan hanya hubungan sesaat. Salah satu kebiasaan Nabi adalah memberikan reward atas kreativitas dan prestasi yang ditunjukkan stafnya.

Menurut Hidayat, manajemen Islam pun tidak mengenal perbedaan perlakuan (diskriminasi) berdasarkan suku, agama, atau pun ras. Nabi Muhammad SAW bahkan pernah bertransaksi bisnis dengan kaum Yahudi. Ini menunjukkan bahwa Islam menganjurkan pluralitas dalam bisnis maupun manajemen .

 

Islam is a universal faith which is simple and easy to understand and rationalise. it is based on there fundamental principles which are: tawhid (unity), khilafah (vicegenerency), and adalah (justice). these principles not only frame the islamic worldview, they also constitute the fountain-head of the maqasid and the strategy. thus there is no question of a patchwork or an after-thought in response to the conflicting demands of pluralist groups or social classes. the islamic worldview, maqasid and strategy are blended together into a consistent whole and there is complete harmony between them. for the benefit of those who are not familiar with these concepts and to indicate how the Islamic world view, maqasid and strategy are dovetailed into a consistent whole to enable the islamic economic system to realise is goals, it is desirable to state briefly the meaning and significance of these three fundamental principles .

 

Menurut Abu Sin untuk dapat dikategorikan manajemen islam ada empat hal yang harus dipenuhi.

Pertama, manajemen isami harus didasari nilai-nilai dan akhlak islami. Etika bisnis yang ditawarkan salafy dan salam berlaku universal tanpa mengenal ras dan agama. Boleh saja berbisnis dengan label islam dengan segala atributnya, namun bila nilai-nilai dan akhlak berbisnis ditinggalkan, cepat atau lambat bisnisnya akan hancur.

Kedua, kompensasi ekonomis dan penekanan terpenuhinya kebutuhan dasar pekerja. Cukuplah menjadi suatu kezaliman bila perusahaan memanipulasi semangat jihad seorang pekerja dengan menahan haknya, kemudian menghiburnya dengan mengiming-iming pahala yang besar. Urusan pahala, Allah yang mengatur. Urusan kompensasi ekonomis, kewajiban perusahaan membayarnya.

Ketiga, faktor kemanusiaan dan spiritual sama pentingnya dengan kompensasi ekonomis. Pekerja di perlakukan dengan hormat dan diikutsertakan dalam pengambilan keputusan. Tingkat partisipaif pekerja tergantung pada intelektual dan kematangan psikologisnya. Bila hak-hak ekonomisnya tidak ditahan, pekerja dengan semangat jihad akan mau dan mampu melaksanakan tugasnya jauh melebihi kewajiban.

Keempat, system dan struktur organisasi sama pentingnya, kedekatan atasan dan bawahan dalam ukhuwah islamiyah, tidak berarti menghilangkan otoritas formal dan ketaatan pada atasan selama tidak bersangkut dosa.

 

 

E. MANAJEMEN SYARIAH ZAMAN KHULAFAURROSYIDIN

Praktik Manajemen yang dilakukan Khulafaur Rasyidin sebagai berikut:

a. Abu Bakar Ash-Siddiq

Pada zaman pemerintahan Abu Bakar aktivitas manajemen yang dilakukannya antara lain menata wilayah kekuasaan Islam dibagi menjadi beberapa provinsi. Wilayah Hijaz terdiri dari 3 provinsi, yaitu Mekkah, Madinah, dan Thaif. Wilayah Yaman dibagi menjadi 8 provinsi, yaitu Shai’a, Hadralmaut, Haulan, Zabad, Rama Al-Jundi, Najran, Jarsy, dan Bahrain. Masing-masing provinsi dipimpin oleh seorang gubernur. Diantara tugas para Gubernur adalah mendirikan sholat, menegakkan peradilan, menarik, mengelola dan membagikan zakat, melaksanakan had, dan mereka mempunyai kekuasaan pelaksanaan peradilan secara simultan. Pada zaman khalifah Abu Bakar ini sudah pula ada pengawasan terhadap kinerja Karyawan (Philip K. Hitti, 2010: 139).

b. Umar bin Khattab

Setelah Abu Bakar meninggal dunia tugas khalifah diteruskan oleh Umar bin Khattab. Umar memerintah dari tahun 634-644 M. Pada zaman pemerintahan Umar bin Khattab kegiatan manajemen semakin luas. Salah satu diantaranya dipraktekkannya konsep dasar hubungan antara negara dan rakyat, tugas pelayanan publik dan menjaga kepentingan rakyat dari otoritas pemimpin. Umar juga melakukan pemisahan antara kekuasaan peradilan dengan kekuasaan eksekutif, serta menetapkan ada lembaga pengawasan terhadap kinerja pegawai publik. Pengawasan ini dimaksudkan untuk menjaga penduduk dari tindak kezaliman dan kesewenangan pegawai pelayanan publik atau seorang pemimpin.

c.    Usman bin Affan

Ia menjadi khalifah dari tahun 644-656 M. Pada zaman khalifah Utsman bin Affan, pertama-tama kegiatan manajemen yang dilakukannya adalah menjaga dan melestarikan sistem pemerintahan yang sudah ditetapkan oleh khalifah Umar bin Khattab. Khalifah Utsman lebih mengakomodir keinginan rakyatnya ketika mereka meminta untuk mencopot dan melengser pemimpin mereka. Paling tidak ada tiga gubernur dilengserkan atas permintaan rakyat yaitu Mughirah bin Syu’bah Gubernur Kufah dan menggantinya dengan Walid bin Uqbah. Satu saat khalifah Utsman mendengar Walid minum khamar, lalu khalifah Utsman memanggilnya ke Madinah, kemudian memberi had bagi Walid dan mencopotnya dari posisi gubernur dan menggantinya dengan Sa’id bin Ash. Kemudian khalifah Utsman juga mencopot Abi Musa Al-Asy’ari dari jabatan gubernur dan menggantinya dengan Abdullah bin Amir (anak paman khalifah Utsman dari pihak wanita). Khalifah Utsman juga mencopot Amr bin Ash dari jabatan Gubernur Mesir dan menggantinya dengan Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh, dan ia pun menetapkan Marwan bin Hakim sebagai ketua Dewan (Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh adalah anak paman khalifah Utsman dari pihak lelaki). Pada masa kekhalifahan Utsman ini terdapat indikasi nepotisme. Hal ini membuat sekelompok sahabat mencela kepemimpinan Utsman karena lebih memilih keluarga dari pada para sahabat yang menjadi pioner dalam Islam.

d.  Ali bin Abi Thalib

Ali bin Abi Thalib terpilih menjadi khalifah menggantikan Utsman bin Affan dari tahun 656-661 M. Pada zaman khalifah Ali bin Abi Thalib kegiatan manajemen yang menonjol yang dilakukannya adalah memilih gubernur dengan sangat selektif, begitu juga dalam mengangkat pegawai. Ia menasehatkan kepada para gubernur; “Janganlah engkau mengangkat pegawai karena ada unsur kecintaan dan kewalian (nepotisme), karena hal itu akan menciptakan golongan durhaka dan khianat. Pilihlah pegawai karena pengalaman dan kompetensi yang dimilikinya, ketaqwaannya dan keturunan orang shaleh, serta orang tersebut merupakan pioner dalam Islam. Mereka adalah orang yang memiliki akhlak mulia, argumen yang shahih, tidak mengejar kemuliaan (pangkat) dan mempunyai pandangan yang luas atas suatu persoalan.” Khalifah Ali juga mengajarkan sistem renumerasi dan ia berkata; “Sempurnakanlah gaji yang mereka terima, karena upah itu akan memberi kekuatan kepada mereka untuk memperbaiki diri.” Khalifah Ali juga konsen terhadap kepentingan masyarakat dan mempunyai

perhatian khusus terhadap keadilan dan menjauhi tindak kezaliman

F. MANAJEMEN SYARIAH ZAMAN BANI UMAYYAH DAN BANI ABBASIYAH

Praktik Manajemen yang dilakukan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah

a. Manajemen Zaman Bani Umayyah (660-750 M)

Pada zaman Bani Umayyah, perkembangan manajemen yang dimulai pada zaman Khulafa al-Rasyidin dapat dikatakan tidak dapat berkembang secara alami. Manajemen pada masa ini mengalami stagnasi. Hal ini disebabkan karena adanya persoalan dalam percaturan politik pemerintahan, tepatnya terjadi perseteruan politik di kalangan elit sahabat. Dampaknya manajemen pemerintahan tidak lagi berjalan di atas prinsip-prinsip politik yang (Philip K. Hitti, 2010:152) digariskan Rasulullah SAW. Politik tidak lagi mengindahkan prinsip syura (musyawarah) dalam proses pemilihan anggota ahlul hilli wal ‘aqdi (anggota DPR) dari para sahabat. Perseteruan politik ini menyebabkan munculnya beberapa pemberontakan terhadap pemerintahan Bani Umayyah, diantaranya yang dilakukan oleh kaum Khawarij dan Bani Abbasiyah.

Meski demikian situasi dan kondisi pemerintahan Bani Umayah, sejarah tetap mencatat ada kemajuan di bidang manajemen, khusus manajemen pemerintahan yang terjadi perluasan di al-Diwan (lembaga, kantor, departemen) yang telah berkembang menjadi lima (5) Diwan, yaitu Diwan al Jund (angkatan perang), Diwan al-Kharaj (keuangan), Diwan Al-Rasail (sekretariat), Diwan al-Khatam (otorisasi stempel), dan Diwan al-Barid (kantor pos) yang tersentralisasi di pusat pemerintahan. Dan di setiap provinsi terdapat tiga (3) macam diwan, yakni Diwan al-Jund, al-Rasail, dan al-Maliyah (keuangan). Sistem yang berlaku untuk masing-masing diwan ini merupakan adopsi dari Persia.4

b.     Manajemen Zaman Bani Abbasiyah (750-1258 M)

Pada Zaman Bani Abbasiyah pemerintahan Islam mempunyai peran yang cukup signifikan termasuk di bidang manajemen. Selain lembaga pemerintahan, pada sistem peradilan juga pada zaman ini dibentuk lembaga al-Hisbah yang mengawasi kehidupan sosial masyarakat, dan memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi mungkar). Al-Hisbah sendiri merupakan lembaga dalam rangka manajemen pemerintahan dan orang yang pertama kali menekankan peran Al-Hisbah ini adalah Rasulullah SAW yang di tengah-tengah kesibukannya sebagai pemimpin agama, kepala pemerintahan, dan kepala keluarga masih menyempatkan waktunya untuk mengawasi kegiatan para pelaku pasar di kota Madinah. Diriwayatkan oleh sebuah hadits; Rasulullah suatu ketika mengunjungi pasar dan melewati seorang pedagang makanan, Rasul menghampiri pedagang itu dan memasukkan tangannya ke dalam tumpukan makanan itu dan menemukan makanan itu basah di dalamnya, Rasulullah SAW bersabda; “Apa yang terjadi dengan makanan ini?” Pedagang itu berkata: “Makanan ini telah basah terkena hujan”. Rasulullah SAW menjawabnya: “Mengapa tidak engkau taruh di atas agar dapat dilihat orang-orang? Barang siapa menipu kita, maka tidak termasuk dalam golongan kita”. Seorang muhtasib (petugas hisbah) memiliki sejumlah tugas, diantaranya:

1. Menyelesaikan persoalan-persoalan publik, tindak pidana (jinayat)

2. Memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran

3. Menjaga adab, tata krama, dan Amanah

4. Menjaga/mengawasi hak-hak syara

5. Mengawasi pelaksanaan sistem pasar, takaran dan timbangan.

Melihat peran dan fungsi lembaga al-Hisbah ini cukup berat dan sangat strategis, maka mayoritas ulama fiqih memberikan persyaratan yang ketat kepada orang yang akan menduduki jabatan di lembaga ini. Seorang muhtasib haruslah seorang: muslim, merdeka, baligh, adil, ahli fiqih, berpengalaman, paham terhadap hukum syariah sehingga bisa ber-amar ma’ruf nahi mungkar, ucapannya tidak berbeda dengan tindakan, menjaga diri dari harta masyarakat, memiliki pandangan ke depan (visioner), mempunyai sikap sabar, setiap ucapan dan tindakannya untuk Allah dan bertujuan untuk mendapatkan ridho Allah.

Berdasarkan keterangan dan penjelasan-penjelasan di atas tentang konsep dan praktek manajemen dalam masamasa awal Islam sampai dengan masa Bani Abbasiyah jelas menunjukkan adanya hubungan erat (benang merah) antara konsep dasar Islam dengan pemikiran manajemen.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERSPEKTIF EKONOMI SYARIAH DALAM BISNIS KONTEMPORER

  MATERI- PENGANTAR BISNIS ISLAM Oleh: Eny Latifah, S.E.Sy.,M.Ak Perspektif Ekonomi Syariah dalam Bisnis Kontemporer   A.      Pengertian Ek...