Selasa, 03 Januari 2023

Perilaku Produsen dan Konsumen Dalam Ekonomi Islam

 PERILAKU PRODUSEN DAN KONSUMEN DALAM EKONOMI ISLAM

 

A. PENDAHULUAN

Pada saat ini belum ada suatu negara atau masyarakat Islampun yang menerapkan prinsip konsumsi yang sepenuhnya berdasarkan ajaran al-Qur’an, sunnah Rasullulllah SAW, ajaran yang di laksanakan para sahabat r.a. konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar dalam setiap perekonomian, karena tidak ada kehidupan bagi manusia tampa konsumsi. Oleh karena itu kegiatan ekonomi mengarah kepada pemenuhan tuntutan konsumsi bagi manusia terhadap tugasnya dalam kehidupan.

Kegiatan produksi merupakan mata rantai dari konsumsi dan distribusi. Kegiatan produksilah yang menghasilkan barang dan jasa, kemudian dikonsumsi oleh para konsumen. Tanpa produksi maka kegiatan ekonomi akan berhenti, demikian pula sebaliknya. Untuk menghasilkan barang dan jasa kegiatan produksi melibatkan banyak faktor produksi. Pada umumnya faktor produksi ini terdiri atas alam, tenaga kerja, modal dan kewirausahaan. Keempat faktor produksi ini bekerja sama satu sama lainnya untuk menghasilkan barang dan jasa. Dalam produksi permasalahan yang muncul tidak hanya berkenaan dengan apa tujuan dan prinsip dasar dalam produksi, tetapi juga bagaimana pegorganisasian faktor produksi serta penentuan harga input maupun output yang sesuai dengan tujuan dari produksi.

Sedangkan Dalam ekonomi islam, konsumsi dinilai sebagai sarana wajib yang seorang muslim tidak bisa mengabaikannya dalam merealisasikan tujuan yang dikehendaki Allah dalam penciptaan manusia, yaitu merealisasikan pengabdian sepenuhnya hanya kepada-Nya. Baik konsumsi atau produksi dalam Islam telah disebutkan bahwa keduanya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan syariah Islam yang ada.

B. KONSEP PERILAKU PRODUSEN DALAM EKONOMI ISLAM

Produksi adalah sebuah proses yang telah terlahir di muka bumi ini semenjak manusia menghuni planet ini. Produksi sangat prinsip bagi kelangsungan hidup dan juga peradaban manusia dan bumi. Sesungguhnya produksi lahir dan tumbuh dari menyatunya manusia dengan alam. Dr. Muhammad Rawwas Qalahji memberikan padanan kata “produksi” dalam bahasa Arab dengan kata al-intaj yang secara harfiyah dimaknai dengan ijadu sil‟atin (mewujudkan atau mengadakan sesuatu) atau khidmatu mu‟ayyanatin bi istikhdami muzayyajin min „anashir alintaj dhamina itharu zamanin muhaddadin (pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan pengabungan unsur-unsur produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas). Kegiatan produksi merupakan mata rantai dari konsumsi dan distribusi. Kegiatan produksilah yang menghasikan barang dan jasa, kemudian dikonsumsi oleh para konsumen.

Beberapa ahli ekonomi islam memberikan definisi yang berbeda mengenai pengertian produksi, meskipun substansinya sama. Berikut pengertian produksi menurut para ekonomi muslim kontemporer.

1) Kahf (1992)

Kegiatan produksi dalam perspektif Islam adalah usaha manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam Islam, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat (falah).

2) Mannan (1992)

Menekankan pentingnya motif altruisme bagi produsen yang Islami, sehingga ia menyikapi dengan hati-hati konsep Pareto Optimality dan Given Demand Hypothesis yang banyak dijadikan sebagai konsep dasar produksi dalam ekonomi konvensional.

3) Rahman (1995)

Menekankan pentingnya keadilan dan kemerataan produksi (distribusi output produksi secara merata ke seluruh lapisan masyarakat).

4)  Ul Haq (1996)

Tujuan produksi adalah memenuhi kebutuhan yang bersifat fardhu kifayah, yaitu kebutuhan yang bagi banyak orang pemenuhannya menjadi keharusan.

5) Siddiqi (1992)

Produksi sebagai proses penyediaan barang dan jasa dengan memperhatikan keadilan dan mashlahahnya bagi masyarakat. Sepanjang produsen telah berlaku adil dan membawa kebaikan bagi masyarakat, ia telah bertindak secara Islami.

Manusia dengan akalnya yang sempurna telah diperintahkan oleh Allah untuk dapat terus mengoleh alam ini bagi kesinambungan alam itu sendiri, dalam hal ini nampaklah segala macam kegiatan produksi amat bergantung kepada siapa yang memproduksi (subyek) yang diharapkan dapat menjadi pengolah alam ini menuju kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Dalam konsep ekonomi konvensional, produksi dimaksudkan untuk memperoleh laba sebesar besarnya, berbeda dengan tujuan produksi dalam islam yang bertujuan untuk memberikan Mashlahah yang maksimum bagi konsumen. Walaupun dalam ekonomi islam tujuan utamannya adalah memaksimalkan mashlahah, memperoleh laba tidaklah dilarang selama berada dalam bingkai tujuan dan hukum islam.

Secara lebih spesifik, tujuan kegiatan produksi adalah meningkatkan kemashlahatan yang bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk diantaranya: 1. Pemenuhan kebutuhan manusai pada tingkat moderat. 2. Menemukan kebutuhan masyarakat dan pemenuhannya. 3. Menyiapkan persediaan barang/jasa dimasa depan. 4. Pemenuhan sarana bagi kegaitan social dan ibadah kepada Allah.

Tujuan produksi yang pertama sangat jelas, yaitu pemenuhan sarana kebutuhan manusia pada takaran moderat. Hal ini akan menimbulkan setidaknya dua implikasi. Pertama, produsen hanya menghasilkan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan meskipun belum tentu merupakan keinginan konsumen. Barang dan jasa yang dihasilkan harus memiliki manfaat riil bagi kehidupan yang islami. Kedua, kuantitas produksi tidak akan berlebihan, tetapi hanya sebatas kebutuhan yang wajar. Produksi barng dan jasa secara berlebihan tidak saja menimbulkan mis-alokasi sumber daya ekonomi dan kemubadziran, tetapi juga menyebabkan terkurasnya sumber daya ekonomi ini secara cepat.

Tujuan yang terakhir yaitu pemenuhan sarana bagi kegiatan social dan ibadah kepada Allah. Sebenarnya ini merupakan tujuan produksi yang paling orisinal dari ajaran islam. Dengn kata lain, tujuan produksi adalah mendapatkan berkah, yang secara fisik belum tentu dirasakan oleh pengusaha itu sendiri

C. KONSEP PERILAKU KONSUMEN DALAM EKONOMI ISLAM

Konsumsi pada hakikatnya adalah mengeluarkan sesuatu dalam rangka memenuhi kebutuhan. Dalam kerangka Islam perlu dibedakan dua tipe pengeluaran yang dilakukan oleh konsumen muslim yaitu pengeluaran tipe pertama dan pengeluaran tipe kedua. Pengeluaran tipe pertama adalah pengeluaran yang dilakukan seorang muslim untuk memenuhi kebutuhan duniawinya dan keluarga (pengeluaran dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dunia namun memiliki efek pada pahala diakhirat). Pengeluaran tipe kedua adalah pengeluaran yang dikeluarkan semata–mata bermotif mencari akhirat.

Konsumsi adalah suatu kegiatan manusia mengurangi atau menghabiskan nilai guna suatu barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan, baik secara berangsur-angsur maupun sekaligus. Pihak yang melakukan konsumsi disebut konsumen. Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar dalam setiap perekonomian, karena tiada kehidupan bagi manusia tanpa konsumsi. Oleh karena itu, kegiatan ekonomi mengarah kepada pemenuhan tuntutan konsumsi bagi manusia. Sebab, mengabaikan konsumsi berarti mengabaikan kehidupan dan juga mengabaikan penegakan manusia terhadap tugasnya dalam kehidupan.Dalam sistem perekonomian, konsumsi memainkan peranan penting. Adanya konsumsi akan mendorong terjadinya produksi dan distribusi. Dengan demikian akan menggerakkan roda-roda perekonomian.

Tujuan utama konsumsi seorang muslim adalah sebagai sarana penolong untuk beribadah kepada Allah. Sesungguhnya mengkonsumsi sesuatu dengan niat untuk meningkatkan stamina dalam ketaatan pengabdian kepada Allah akan menjadikan konsumsi itu bernilai ibadah yang dengannya manusia mendapatkan pahala.

Sebab hal-hal yang mubah bisa menjadi ibadah jika disertai niat pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah, seperti: makan, tidur dan bekerja, jika dimaksudkan untuk menambah potensi dalam mengabdi kepada Ilahi. Dalam ekonomi islam, konsumsi dinilai sebagai sarana wajib yang seorang muslim tidak bisa mengabaikannya dalam merealisasikan tujuan yang dikehendaki Allah dalam penciptaan manusia, yaitu merealisasikan pengabdian sepenuhnya hanya kepada-Nya.

Pelaku konsumsi atau orang yang menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya disebut konsumen. Perilaku konsumen adalah kecenderungan konsumen dalam melakukan konsumsi, untuk memaksimalkan kepuasannya. Dengan kata lain, perilaku konsumen adalah tingkah laku dari konsumen, dimana mereka dapat mengilustrasikan pencarian untuk membeli, menggunakan, mengevaluasi dan memperbaiki suatu produk dan jasa mereka. Perilaku konsumen (consumer behavior) mempelajari bagaimana manusia memilih di antara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumberdaya (resources) yang dimilikinya.

Norma dan Etika dalam Konsumsi

1) Seimbang dalam Konsumsi

Islam mewajibkan kepada pemilik harta agar menafkahkan sebagian hartannya untuk kepentingan diri, keluarga, dan fi sabilillah. Islam mengharamkan sikap kikir. Di sisi lain, islam juga mengharamkan sikap boros dan menghamburkan harta. Inilah bentuk keseimbangan yang diperintahkan dalam Al-Quran yang mencerminkan sikap keadilan dalam konsumsi. Seperti yang diisyaratkan dalam Q.S Al-Isra’ [17]: 29: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.”

2) Membelanjakan harta pada bentuk yang dihalalkan dan dengan cara yang baik

Islam mendorong dan memberi kebebasan kepada individu agar membelanjakan hartanya untuk membeli barang-barang yang baik dan halal dalam memenuhi kebutuhan hidup. Kebebasan itu diberikan dengab ketentuaan tidak melanggar batas-batas yang suci serta tidak mendatangkan bahaya terhadap keamanan dan kesejahteraan masyarakat dan negara.9 Senada dengan hal ini Abu al-A’la al-Maududi menjelaskan, islam menutup semua jalan bagi manusia untuk membelanjakan harta yang mengakibatkan kerusakan akhlak di tengah masyarakat, seperti judi yang hanya memperturutkan hawa nafsu. Dalam QS. Al-Maidah (5) : 88 di tegaskan : “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.”

3) Larangan Bersikap Israf (Royal), dan Tabzir (Sia-sia)

Adapun nilai-nilai akhlak yang terdapat dalam konsep konsumsi adlah pelarangan terhadap sikap hidup mewah. Gaya hidup mewah adalah perusak individu dan masyarakat, karena menyibukan manusia dengan hawa nafsu, melalaikannya dari hal-hal yang mulia dan akhlak yang luhur. Disamping itu, membunuh semnagat jihad. Ali Abd ar-Rasul juga menilai dalam masalah ini bahwa gaya hidup mewah (israf) merupakan faktor yang memicu terjadinya dekadensi moral masyarakat yang akhirnya membawa kehancuran masyarakat tersebut. Bagi Afzalur Rahman, kemewahan (israf) merupakan berlebih-lebihan dalam kepuasan pribadi atau membelanjakan harta untuk hal-hal yang tidak perlu.

Dalam QS. Al-A’araf [7]: 31. Allah telah memperingatkan akan sikap ini: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orangorang yang berlebih-lebihan.” Sikap hidup mewah bisanya diiringi oleh sikap hidup berlebebihan (melampaui batas atau israf). Israf atau royal menurut Afzalur Rahman ada tiga pengertian yaitu, memhambur-hamburkan kekayaan pada hal-hal yang diharamkan seperti mabuk-mabukan, pengeluaran yang berlebih-lebihan pada ha;-hal yang di halalkan tanpa peduli apakah itu sesuai dengan kemampuan atau tidak, dan pengeluaran dengan alasan kedermawanan hanaya sekedar pamer belaka. Sebagaimana Al-Qur’an mengecam kemewahan sikap berlebihan dan tabzir (pemborosan) dengan menggolongkan kepada saudara setan dalam QS. Al-Israa’ [17]: 26-27. Sebaliknya, Al-Qur’an memuji dan menyanjung sikap orang-orang yang berbuat ekonomis dan hemat dalam kehidupan mereka. Dalam hal ini. Al-Qur’an menginginkan sikap ekonomis menjadi moral agama yang fundamental dan moral pribadi kaum muslim.

4) Model Keseimbangan Konsumsi Islami

Keseimbangan konsumsi dalam ekonomi Islam didasarkan pada prinsip keadilan distribusi. Jika tuan A mengalokasikan pendapatannya setahun hanya untuk kebutuhan materi, dia tidak berlaku adil karena ada pos yang belum dibelanjakan, yaitu konsumsi sosial. Jika demikian, sesungguhnya dia hanya bertindak untuk jalannya diakhirat nanti.

Secara sederhana Metwally (1995: 26-23) telah memberikan kontribusi yang sangat berarti dalam perumusan keseimbangan konsumsi Islami. Dimana : S : Sedekah H : Harga barang dan jasa BR : Barang JS : Jasa Z : Zakat (2,5%) P : Jumlah pendapatan. Seorang konsumen muslim akan mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan duniawi dan ukhrawinya. Setelah dia mendapatkan dalam jumlah tertentu. Dia zakati hartanya terlebih dahulu. Dari sini kita mulai melihat muara keunikannya perilaku konsumen muslim. Setelah kewajiban zakat dia tunaikan sebesar 2.5 % dari uang yang dihasilkan secara halal, kemudian dia penuhi pos-pos konsumsi mulai dari barang, jasa, hingga sedekah.

5)  Batasan Konsumsi dalam Syari’ah

Dalam Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan keimanan menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang cenderung memengaruhi kepribadian manusia, yaitu dalam bentuk perilaku, gaya hidup, selera, sikap-sikap terhadap manusia, sumber daya dan  ekologi. Keimanan sangat memperngaruhi sifat, kuantitas, dan kualitas konsumsi baik dalam bentuk material maupun spiritual. Dalam konteks inilah kita dapat berbicara tentang bentuk – bentuk halal dan haram, pelarangan terhadap israf, pelarangan terhadap bermewah – mewahan dan bermegah – megahan, konsumsi sosial, dan aspek – aspek normatif lainnya. Kita melihat batasan konsumsi dalam Islam sebagaimana diurai dalam Alqur’an surah Al-Baqarah [2]: 168 -169: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dibumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah – langkah setan; karena setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu. Sesungguhnya setan hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.”

Oleh sebab itu, dalam menghapus perilaku israf Islam memerintahkan:

a. Memprioritaskan konsumsi yang lebih diperlukan dan lebih manfaat

b. Menjauhkan konsumsi yang berlebihan-lebihan untuk semua jenis komoditi

Dari sinilah kesejahteraan yang islami itu dibangun. Kesejahteraan itu tidak tepat apabila diukur dengan kemewahan seseorang. Namun, kesejahteraan lebih tepat bila di ukur terpenuhinya maslahat lima kebutuhan dasar yang disongkong oleh kelengkapan hajiyah dan tahsiniyatnya.

Prinsip-Prinsip Konsumsi Menurut Abdul Mannan, dalam melakukan konsumsi terdapat lima prinsip dasar, yaitu:

1. Prinsip Keadilan

Prinsip ini mengandung arti ganda mengenai mencari rizki yang halal dan tidak dilarang hukum. Artinya, sesuatu yang dikonsumsi itu didapatkan secara halal dan tidak bertentangan dengan hukum. Berkonsumsi tidak boleh menimbulkan kedzaliman, berada dalam koridor aturan atau hukum agama, serta menjunjung tinggi kepantasan atau kebaikan. Islam memiliki berbagai ketentuan tentang benda ekonomi yang boleh dikonsumsi dan yang tidak boleh dikonsumsi. “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi” (QS. al-Baqarah,2 : 169). Keadilan yang dimaksud adalah mengkonsumsi sesuatu yang halal (tidak haram) dan baik (tidak membahayakan tubuh). Kelonggaran diberikan bagi orang yang terpaksa, dan bagi orang yang suatu ketika tidak mempunyai makanan untuk dimakan. Ia boleh memakan makanan yang terlarang itu sekedar yang dianggap perlu untuk kebutuhannya ketika itu saja.

2. Prinsip Kebersihan

Bersih dalam arti sempit adalah bebas dari kotoran atau penyakit yang dapat merusak fisik dan mental manusia, misalnya: makanan harus baik dan cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Sementara dalam arti luas adalah bebas dari segala sesuatu yang diberkahi Allah. Tentu saja benda yang dikonsumsi memiliki manfaat bukan kemubaziran atau bahkan merusak.“Makanan diberkahi jika kita mencuci tangan sebelum dan setelah memakannya” (HR Tarmidzi). Prinsip kebersihan ini bermakna makanan yang dimakan harus baik, tidak kotor dan menjijikkan sehingga merusak selera. Nabi juga mengajarkan agar tidak meniup makanan: ”Bila salah seorang dari kalian minum, janganlah meniup ke dalam gelas” (HR Bukhari).

3. Prinsip Kesederhanaan

Sikap berlebih-lebihan (israf) sangat dibenci oleh Allah dan merupakan pangkal dari berbagai kerusakan di muka bumi. Sikap berlebih-lebihan ini mengandung makna melebihi dari kebutuhan yang wajar dan cenderung memperturutkan hawa nafsu atau sebaliknya terlampau kikir sehingga justru menyiksa diri sendiri. Islam menghendaki suatu kuantitas dan kualitas konsumsi yang wajar bagi kebutuhan manusia sehingga tercipta pola konsumsi yang efesien dan efektif secara individual maupun sosial; “Makan dan minumlah, tapi jangan berlebihan; Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (QS. al-A’raf [7]: 31). Arti penting ayat-ayat ini adalah bahwa kurang makan dapat mempengaruhi jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi dengan berlebih-lebihan tentu akan berpengaruh pada perut.

4. Prinsip Kemurahan hati.

Allah dengan kemurahan hati-Nya menyediakan makanan dan minuman untuk manusia (QS. al-Maidah [5]: 96). Maka sifat konsumsi manusia juga harus dilandasi dengan kemurahan hati. Maksudnya, jika memang masih banyak orang yang kekurangan makanan dan minuman maka hendaklah kita sisihkan makanan yang ada pada kita, kemudian kita berikan kepada mereka yang sangat membutuhkannya. Dengan mentaati ajaran Islam maka tidak ada bahaya atau dosa ketika mengkonsumsi benda-benda ekonomi yang halal yang disediakan Allah karena kemurahan-Nya. Selama konsumsi ini merupakan upaya pemenuhan kebutuhan yang membawa kemanfaatan bagi kehidupan dan peran manusia untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah maka Allah elah memberikan anugrah-Nya bagi manusia.

5. Prinsip Moralitas. Pada akhirnya konsumsi seorang muslim secara keseluruhan harus dibingkai oleh moralitas yang dikandung dalam Islam sehingga tidak semata – mata memenuhi segala kebutuhan. Allah memberikan makanan dan minuman untuk keberlangsungan hidup umat manusia agar dapat meningkatkan nilai-nilai moral dan spiritual. Seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan dan menyatakan terimakasih setelah makan.

Berikut ini merupakan kaidah-kaidah terpenting dalam konsumsi:

1) Kaidah Syariah. Yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan konsumsi di mana terdiri dari:

2) Kaidah Akidah, yaitu mengetahui hakikat konsumsi adalah sebagai sarana untuk ketaatan/ beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai makhluk yang mendapatkan beban khalifah dan amanah di bumi yang nantinya diminta pertanggungjawaban oleh penciptanya. Jika seorang muslim menikmati rizki yang dikaruniakan Allah kepadanya, maka demikian itu bertitik tolak dari akidahnya bahwa ketika Allah memberikan nikmat kepada hamba-hamba-Nya, maka Dia senang bila tanda nikmat-Nya terlihat pada hamba-hamba-Nya.

3) Kaidah Ilmiah, yaitu seorang ketika akan mengkonsumsi harus tahu ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukamhukum yang berkaitan dengannya, apakah merupakan sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.

4) Kaidah Amaliah, yaitu merupakan aplikasi dari kedua kaidah yang sebelumnya, maksudnya memperhatikan bentuk barang konsumsi. Sebagai konsekuensi akidah dan ilmu yang telah diketahui tentang konsumsi islami tersebut, seseorang ketika sudah berakidah yang lurus dan berilmu, maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang halal atau syubhat.

5) Kaidah Kuantitas. Yaitu tidak cukup bila barang yang dikonsumsi halal, tapi dalam sisi kuantitas (jumlah) nya harus juga dalam batas-batas syariah, yang dalam penentuan kuantitas ini memperhatikan beberapa faktor ekonomis, sebagai berikut:

6) Sederhana, yaitu mengkonsumsi yang sifatnya tengah-tengah antara menghamburkan harta (boros) dengan pelit, tidak bermewah-mewah, tidak mubadzir, hemat. Boros dan pelit adalah dua sifat tercela, dimana masing-masing memiliki bahaya dalam ekonomi dan sosial. Karena itu terdapat banyak Nash alQur’an dan as-Sunnah yang mengecam kedua hal tersebut, dan karena masing-masing keluar dari garis kebenaran ekonomi yang memiliki dampak-dampak yang buruk.

7) Kesesuaian antara konsumsi dan pemasukan, artinya dalam mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang.

8) Penyimpanan (menabung) dan pengembangan (investasi), artinya tidak semua kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan kekayaan itu sendiri.

9) Kaidah Memperhatikan Prioritas Konsumsi. Yaitu, di mana konsumen harus memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu:

10) Primer, yaitu konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya, dunia dan agamanya serta orang terdekatnya, yakni nafkah-nafkah pokok bagi manusia yang dapat mewujudkan lima tujuan syariat (yakni memelihara jiwa, akal, agama, keturunan dan kehormatan). Tanpa kebutuhan primer kehidupan manusia tidak akan berlangsung. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan makan, minum, tempat tinggal, kesehatan, rasa aman, pengetahuan dan pernikahan.

11) Sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat kualitas hidup yang lebih baik, yakni kebutuhan manusia untuk memudahkan kehidupan, agar terhindar dari kesulitan. Kebutuhan ini tidak perlu dipenuhi sebelum kebutuhan primer terpenuhi.

12) Tersier, yaitu kebutuhan yang dapat menciptakan kebaikan dan kesejahteraan dalam kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan ini tergantung pada bagaimana pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder.

13) Kaidah Sosial. Yaitu mengetahui faktor-faktor sosial yang berpengaruh dalam kuntitas dan kualitas konsumsi, yakni memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya;

14)  Kepentingan Umat, yaitu saling menanggung dan menolong sebagaimana bersatunya suatu badan yang apabila sakit pada salah satu anggotanya, maka anggota badan yang lain juga akan merasakan sakitnya.

15) Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam berkonsumsi apalagi jika dia adalah seorang tokoh atau pejabat yang banyak mendapat sorotan di masyarakatnya.

16) Tidak membahayakan orang lain yaitu dalam mengkonsumsi justru tidak merugikan dan memberikan madharat ke orang lain.

17) Kaidah Lingkungan, yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan kondisi potensi daya dukung sumber daya alam yang ada di bumi dan keberlanjutannya (hasil olahan dari sumber daya alam), serta tidak merusak lingkungan, baik bersifat materi maupun non materi.

18) Kaidah Larangan mengikuti dan Meniru, yaitu tidak meniru atau mengikuti perbuatan konsumsi yang tidak mencerminkan etika konsumsi islami, seperti mengikuti dan meniru pola konsumsi masyarakat kafir dan larangan bersenang-senang (hedonis), misalnya: suka menjamu dengan tujuan bersenang-senang atau memamerkan kemewahan dan menghambur-hamburkan harta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERSPEKTIF EKONOMI SYARIAH DALAM BISNIS KONTEMPORER

  MATERI- PENGANTAR BISNIS ISLAM Oleh: Eny Latifah, S.E.Sy.,M.Ak Perspektif Ekonomi Syariah dalam Bisnis Kontemporer   A.      Pengertian Ek...