Selasa, 03 Januari 2023

Harta, Uang, Dan Kepemilikan Dalam Perspektif Islam

 HARTA, UANG, DAN KEPEMILIKAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

 

A. PENDAHULUAN

Harta termasuk salah satu keperluan pokok manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini, sehingga oleh para ulama ushul fiqh persoalan harta dimasukkan ke dalam salah satu ad-daruriyyat al-khamsah (lima keperluan pokok), yang terdiri atas, agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Atas dasar itu, mempertahankan harta dari segala upaya yang dilakukan orang lain dengan cara yang tidak sah, termasuk ke dalam kelompok yang mendasar dalam Islam.

Sekalipun seseorang diberi Allah memiliki harta, baik banyak atau sedikit, tidak boleh berlaku sewenang-wenang dalam menggunakan hartanya itu. Kebebasan seseorang untuk memiliki dan memanfaatkan hartanya adalah sebatas yang diperbolehkan oleh syara’. Oleh sebab itu, dalam pemilikan dan penggunaan harta, disamping untuk kemaslahatan pribadi, juga harus dapat memberikan manfaat dan kemaslahatan pada orang lain. Inilah di antara fungsi sosial dari harta itu, karena suatu harta sebenarnya adalah milik Allah yang dititipkan ke tangan-tangan manusia.

Manusia tidak memiliki harta secara mutlak karena harta sebagai titipan sehingga dalam pandangan tentang harta, terdapat hak-hak orang lain. Konsekuensi logis dari hal itu adalah adanya kewajiban bagi manusia untuk mengeluarkan sebagian kecil hartanya untuk berzakat dan ibadah lainnya. Penggunaan harta dalam ajaran Islam harus senantiasa dalam pengabdian kepada Allah dan dimanfaatkan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Pemanfaatan harta pribadi tidak boleh hanya untuk pribadi pemilik harta, melainkan juga digunakan untuk fungsi sosial dalam rangka membantu sesama manusia.

Hak-hak orang lain yang terdapat di dalam harta seseorang inilah yang disebut dengan hak masyarakat yang berfungsi sosial untuk kesejahteraan sesama manusia. Rasulullah saw juga melarang membuang- buang harta yang mengandung pengertian bahwa sekalipun seseorang telah memiliki harta yang berlimpah, tidak boleh dan tidak berhak ia membuang hartanya secara percuma, karena di dalam harta itu terkait dan tersangkut hak-hak orang lain yang memerlukannya.

B. KONSEP HARTA DAN KEPEMILIKAN

Konsep mengenai harta dan kepemilikan merupakan salah satu pokok bahasan yang penting dalam Islam. Harta atau dalam bahasa arab disebut al-maal secara bahasa berarti condong, cenderung atau miring. Sedangkan secara istilah diartikan sebagai segala sesuatu yang sangat diinginkan oleh manusia untuk menyimpan dan memilikinya. Ibnu Najm mengatakan, bahwa harta kekayaan, sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh ulama-ulama ushul fiqh, adalah sesuatu yang dapat dimiliki dan disimpan untuk keperluan tertentu dan hal itu terutama menyangkut yang kongkrit. Menurut para fuqaha, harta dalam perspektif Islam bersendi pada dua unsur; Pertama, unsur ‘aniyyah dan Kedua, unsur ‘urf. Unsur ‘aniyyah berarti harta itu berwujud atau kenyataan (a’yun). sebagai contoh, manfaat sebuah rumah yang dipelihara manusia tidak disebut harta, tetapi termasuk milik atau hak. Sedangkan unsur ‘urf  adalah segala sesuatu yang dipandang harta oleh seluruh manusia atau oleh sebagian manusia, tidaklah manusia memelihara  sesuatu kecuali menginginkan manfaatnya, baik manfaat yang bersifat madiyyah maupun ma’nawiyyah.

Dalam Islam kedudukan harta merupakan hal penting yang dibuktikan bahwa terdapat lima maqashid syariah yang salah satu diantaranya adalah al-maal atau harta. Islam meyakini bahwa semua harta di dunia ini adalah milik Allah ta’ala, manusia hanya berhak untuk memanfaatkannya saja. Meskipun demikian, Islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Untuk itu Islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai muamalah seperti jual beli, sewa-menyewa, gadai menggadai, dan sebagainya, serta melarang penipuan, riba dan mewajibkan kepada orang yang merusak barang orang lain untuk membayarnya, harta yang dirusak oleh anak-anak yang di bawah tanggungannya, bahkan yang dirusak oleh binatang peliharaannya sekalipun.

Perlindungan Islam terhadap harta benda seseorang tercermin dalam firmanNya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (Q.S. An-Nisa: 29-32).

Pembagian Jenis-jenis Harta

1. Harta Mutaqawwim dan Harta Ghair al -mutaqawwim

Harta mutaqawwim ialah segala sesuatu yang dapat dikuasai dengan pekerjaan dan dibolehkan syara’ untuk  memanfaatkannya. Maksud pengertian harta ghair al-Mutaqawwim merupakan kebalikan dari harta mutaqawwim, yakni segala sesuatu yang tidak dapat dikuasai dengan pekerjaan dan dilarang oleh syara’ untuk memanfaatkannya.

2. Mal Mitsli dan Mal Qimi

Harta mitsli dan qimi  sebagai sesatu yang memiliki persamaan atau kesetaraan di pasar, tidak ada perbedaan yang pada bagian bagiannya atau kesatuannya. harta yang ada duanya atau dapat ditukar dengan hal serupa dan sama disebut mitsli dan harta yang tidak duanya atau berbeda secara tepat disebut qimi.

3. Mal Istihlak dan Mal Isti’mal

Harta istihlak merupakan harta yang penggunaannya hanya sekali pakai sedangkan harta isti’mal harta yang penggunaannya bisa berkali-kali pakai.

4. Mal Manqul dan Mal Ghair al-Manqul

Harta manqul yaitu harta yang dapat dipindahkan dan diubah dari tempat satu ketempat yang lain, baik tetap pada bentuk dan keadaan semula ataupun berubah bentuk dan keadaannya dengan perpindahan dan perubahan tersebut. Sedangkan harta ghair al-manqul maksudnya segala sesuatu yang tetap (harta tetap), yang tidak mungkin dipindahkan dan diubah posisinya dari satu tempat ketempat yang lain menurut asalnya, seperti kebun, rumah, pabrik, sawah dan lainnya.

5. Harta ‘Ain dan Dayn

Harta ‘ain yaitu harta yang berbentuk. sedangkan, harta dayn harta yang menjadi tanggung jawab seperti uang yang dititipkan ke orang lain.

6. Harta Nafi’I

Harta nafi’i yaitu harta yang tidak berbentuk

7. Harta Mamluk, Mubah dan Mahjur

Harta mamluk yaitu harta yang statusnya memilikik kepemilikian baik individu, umum atau negara. harta mubah yaitu hukum harta pada asalnya yaitu tidak ada yang memiliki. sedangkan, harta mahjur yaitu harta yang tidak boleh dimilikioleh pribadi.

8. Harta Dapat Dibagi dan Tidak Dapat Dibagi

Pembagian harta ini didasari oleh potensi harta menimbulkan kerugian atau kerusakan apabila dibagikan. harta yang dapat dibagi yaitu harta tidak menimbulkan kerugian atau kerusakan apabila dibagikan seperti beras. sedangkan, harta yang tidak dapat dibagi yaitu harta menimbulkan kerugian atau kerusakan apabila dibagikan seperti benda-benda mewah.

9. Harta Pokok dan Hasil

Harta pokok ialah harta yang mungkin menumbulkan harta lain atau dalam istilah ekonomi disebut harta modal.

10. Harta Khas dan ‘Am

Harta khas yaitu harta milik individu yang tidak boleh diambil manfaatnya jika tidak direstui pemiliknya. sedangkah harta am yaitu harta milik umum yang dibebaskan dalam mengambil manfaatnya.

 

Selain harta, hal penting dalam bahasan syariah islam yaitu tentang kepemilikan harta itu sendiri. kepemilikan (al-milkiyyah) adalah istilah hukum Islam yang menandakan hubungan antara manusia dan harta yang menjadikan harta itu secara khusus melekat padanya. Berdasarkan definisi ini, perolehan properti oleh seorang individu, dengan cara yang sah, memberikan hak kepadanya untuk memiliki hubungan eksklusif dengan properti itu, menggunakan atau menanganinya selama tidak ada hambatan hukum untuk berurusan seperti itu. Pada dasarnya menurut firman Allah SWT sesungguhnya seluruh harta atau kekayaan adalah milik Allah SWT seperti firmannya pada Ayat alquran surat Al-maidah: 20 “Dan ingatlah ketika musa berkata kepada kaumnya: hai kaumku, ingatlah nikmat allah atasmu keika ia mengangkat nabi-nabi diantaramu, dan dijadikannya kamu orang-orang yang merdeka, dan diberikannya kepadamu apa-apa yang belum pernah diberikan kepada seseorangpun diantara umat umat yang lain.” Dalam Islam kepemilikan harta dibagia atas kepemilikan pribadi atau individu, kepemilikan bersama atau komunal/umum dan kepemilkan milik negara.

Islam mengakui kepemilikan individu asal didapatkan dan dibelanjakan dengan cara yang syar’i. harta pribadi dalam penggunaanya tidak boleh memiliki dampak negatif terhadap pihak lain. selain itu, individu bebas dalam pemanfaatan harta miliknya secara produktif, melindungi harta tersebut dan memindahkannya dengan dibatasi oleh syariat yang ada. hal ini untuk mengurangi kesia-siaan dalam kepemilikan harta.

Selain kepemilikan pribadi Islam juga mengakui kepemilikan umum dan Negara. kepemilikan umum meliputi mineral padat, cair dan gas yang asalnya dari dalam perut bumi. benda benda tersebut dimasukkan ke dalam golongan milik umum karena memiliki kebermanfaatan besar bagi masyarakat dan menyangkut hajat hidup masyarakat itu sendiri sehingga dimasukkan kedalam golongan harta milik umum dan dikelola oleh negara. sedangkan, harta milik negara yaitu segala bentuk penarikan yang dilakukan oleh negara secara syari kepada masyarakatnya seperti pajak, hasil pengelolahan pertanian, perdagangan dan industri yang masuk kedalam kas negara. harta milik negara ini kemudian dibelanjakan untuk kepentingan warganya.

C. KONSEP UANG

Dalam ekonomi Islam, secara etimologi uang berasal dari kata al-naqdu, pengertiannya ada beberapa makna yaitu: al-naqdu berarti yang baik dari dirham, menggenggam dirham, membedakan dirham, dan al-naqdu juga berarti tunai. Kata nuqud tidak terdapat dalam al-Quran dan hadis, karena bangsa Arab umumnya tidak menggunakan nuqud untuk menunjukkan harga.

Mereka menggunakan kata dinar untuk menunjukkan mata uang yang terbuat dari emas dan kata dirham untuk menunjukkan alat tukar yang terbuat dari perak. Mereka juga menggunakan wari’ untuk menunjukkan dirham perak, kata ‘ain untuk menunjukkan dinar emas.

Sedangkan kata fulus (uang tembaga) adalah alat tukar tambahan yang digunakan untuk membeli barang-barang murah.Uang menurut fuqaha tidak terbatas pada emas dan perak yang dicetak, tapi mencakup seluruh jenisnya dinar, dirham dan fulus.Untuk menunjukkan dirham dan dinar mereka mengunakan istilah naqdain.

Namun mereka berbeda pendapat apakah fulus termasuk dalam istilah naqdain atau tidak.Menurut pendapat yang mu’tamad dari golongan Syafi’iyah, fulus tidak termasuk naqd, sedangkan Mazhab Hanafi berpendapat bahwa naqd mencakup fulus.

Defenisi nuqd menurut Abu Ubaid (wafat 224 H), seperti yang dikutip Ahmad Hasan dirham dan dinar adalah nilai harga sesuatu. Ini berarti dinar dan dirham adalah standar ukuran nilai yang dibayarkan dalam transaksi barang dan jasa.Senada dengan pendapat ini, Al-Ghazali (wafat 595 H) menyatakan, Allah menciptakan dinar dan dirham sebagai hakim penengah diantara seluruh harta, sehinga seluruh harta bisa diukur dengan keduanya. Ibn al-Qayyim (wafat 751 H) berpendapat dinar dan dirham adalah nilai harga barang komoditas. Ini mengisyaratkan bahwa uang adalah standar unit ukuran untuk nilai harga komoditas.

Pengertian uang secara konvensional atau kontemporer yaitu: Menurut Robertson, uang adalah segala sesuatu yang diterima umum sebagai alat pembayaran barang-barang. Menurut R.S Sayes mendefinisikan uang sebagai segala sesuatu yang diterima umum untuk membayar hutang. Menurut A.C Pigou memberikan definisi bahwa uang adalah segala sesuatu yang diterima umum untuk dapat digunakan sebagai alat penukaran. Menurut Albert Gailort Hart, uang adalah kekayaan yang mana pemiliknya dapat melunaskan hutangnya dalam jumlah yang tertentu pada waktu itu juga. Dapat disimpulkan bahwa uang adalah benda-benda yang disetujui oleh masyarakat sebagai alat perantara untuk mengadakan tukar menukar/perdagangan.

Disetujui adalah terdapat kata sepakat di antara anggota-anggota masyarakat untukmenggunakan satu atau beberapa benda sebagai alat perantara dalam kegiatan tukar menukar.

Ciri-ciri Uang  yaitu : a. Nilainya tidak mengalami perubahan dari waktu ke waktu. b. Mudah dibawa-bawa. c. Mudah disimpan tanpa mengurangi nilainya. d. Tahan lama. e. Jumlahnya terbatas (tidak berlebih-lebihan). f. Bendanya mempunyai mutu yang sama

Fungsi Uang yaitu: a. Uang sebagai perantara tukar menukar. b. Uang sebagai Ukuran Harga c. Uang sebagai satuan nilai d. Uang sebagai Media Transaksi e. Uang sebagai alat bayaran tertunda f. Uang sebagai alat penyimpan nilai. g. Uang Media Menyimpan Nilai

Uang sebagai Public goods, modal sebagai Private Goods. Dalam Islam, Capital is private goods, sedangkan money is pulic goods. Uang ketika mengalir adalah publics goods (Flow concept), kemudian mengendap dalam kepemilikan seseorang (stock concept), uang tersebut menjadi milik pribadi (Pivate goods).

Pengertian tentang uang dan modal menurut jenis barangnya, yaitu uang merupakan public goods artinya uang merupakan harta milik umum, Sedangkan modal merupakan Private good artinya barang/harta milik pribadi. Artinya ketika uang itu masih beredar di masyarakat dan belum mengendap pada masyarakat itu berarti bisa dikatakan public goods. Dan ketika sampai ketangan masyarakat dan mengendap itu dikatakan modal atau private goods.

Konsep public goods belum dikenal dalam teori ekonomi Islam sampai tahun 1980-an. Baru setelah muncul ekonomi lingkungan, maka kita berbicara tentang externalities, publlic good, dan sebagainya.

Dalam Islam, konsep ini sudah lama dikenal, yaitu ketika Rasulullah mengatakan bahwa “Manusia mempunyai hak bersama dengan tiga hal: air, rumput dan api” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Ibn Majah).

Dengan demikian berserikat dalam hal public goods bukan merupakan hal yang baru dalam ekonomi islam. Untuk lebih jelasnya konsep private dan public goods masing-masing dapat diilustrasikan dengan mobil dan jalan tol. Mobil adalah private goods (Capital) dan jalan tol adalah public goods (money).

Apabila mobil tersebut menggunakan jalan tol baru kita dapat menikmati jalan tol. Namun, apabila mobil tersebut tidak menggunakan jalan tol, maka kita tidak akan dapat menikmati jalan tol tersebut. Dengan kata lain jika uang diinvestikan dalam proses produksi, maka kita baru akan mendapatkan lebih banyak uang.

Sedangkan dalam konsep konvensional uang capital dapat menjadi private goods. Maka bagi mereka jika mobil diparkir digarasi ataupun digunakan dijalan tol, maka mereka akan tetap menikmati manfaat dari jalan tol tesebut. Apakah uang diinvestasikan pada proses tersebut maka mereka akan mendapatkan uang yang lebih banyak. Disinilah letak keanehan bunga yang dikemukakan oleh para ekonom konvensional. Semakin cepat perputaran uang akan semakain baik. Seperti contoh pada aliran air masuk dan aliran air keluar. Sewaktu air mengalir, disebut sebagai uang, sedangkan apabila air tersebut mengendapa maka bisa dikatakan capital. Wadah tempat mengendapnya merupakan private goods sedangkan air merupakan adalah public goods. Uang seperti air, apabila air (uang) dialirkan maka air ( uang ) tersebut akan bersih dan sehat (bagi ekonomi). Apabila air (uang) dibiarkan mengendap dalam suatu tempat (menimbun uang) maka air tersebut akan keruh.

Uang adalah adalah public good/milik masyarakat, dan oleh karenanya penimbunan uang (atau dibiarkan tidak produktif) berarti mengurangi jumlah uang beredar. Implikasinya, proses pertukaran dalam perekonomian terhambat. Disamping itu penumpukan uang/harta juga dapat mendorong manusia cenderung pada sifat-sifat tidak baik seperti tamak, rakus dan malas beramal(zakat, infak dan sadaqah).

D. LANDASAN DASAR KEPEMILIKAN HARTA DALAM ISLAM

Islam mengatur konsep dasar dan sebab-sebab kepemilikan harta. Ada beberapa sebab terjadinya pindah kepemilikan baik pada tataran individu maupun negara, yang diakui oleh Islam. Syarat utama terjadinya pindah milik itu adalah mengharuskan sesuai dengan standar syara’.  Jika ada suatu kepemilikan yang diperoleh tidak melalui prosedur syar’i yang sah, maka akan berakibat pada batalnya hak kepemilikan itu, sehingga melazimkan pengembalian barang kepada pemilik asalnya (al-maliku al-ashly).  

Apabila pemiliknya sudah tidak dijumpai lagi, maka harta yang tidak sah dikuasai secara syara’ tersebut hendaknya diserahkan ke baitul mal atau mashalih al-muslimin.

 منArtinya, "Dilihat dari sisi timbulnya hak kepemilikan individu, Islam mengatur bahwasanya kepemilikan itu harus berasal dari sebab yang masyru’. Jika timbul dari sebab yang tidak masyru’, maka Islam tidak membolehkannya serta tidak mengakui hak kepemilikannya. Bahkan, Islam memerintahkan agar diserahkan kembali kepada orang yang berhak menerimanya dan pemilik asalnya. Bila tidak dijumpai, maka diserahkan ke baitu al-maal.” : Tiga Persoalan Pokok dalam Upaya Pemerataan Kepemilikan Tanah Pertanyaannya, adalah apa saja yang menjadi sebab timbulnya kepemilikan syar’i tersebut? Berikut ini ulasannya.  Beberapa Sebab Kepemilikan Syar’i dalam Islam’

Ada beberapa sebab lahirnya kepemilikan syar’i dalam Islam, antara lain: Pertama, melalui jalan penguasaan dan penundukan  Ketika suatu harta masih ada di alam, maka untuk sah menjadi hak milik, seorang muslim perlu melakukan langkah-langkah seperti: berburu, mencari kayu bakar, menambang, melakukan ihya'ul mawat pada wilayah yang belum ada hak kepemilikan sedikitpun. Syekh Abdul Karim Zidan, salah seorang fuqaha mu’ashir menyatakan:

Artinya, “Beberapa sebab syar’i hadirnya kepemilikan adalah melalui jalan penguasaan yang mubah. Secara berturut-turut, contoh penguasaan lewat jalur satu ini, adalah berburu, ihya'ul mawat, penguasaan atas pada rumput dan gembalaan, menambang, menyimpan. Seluruhnya memiliki syarat-syarat khusus yang harus dipatuhi.” Kedua, melangsungkan kontrak atau pertukaran.  

Artinya, "Perakadan dan pembelanjaan seumpama jual beli, hibah, wasiat, ijarah, syirkah, bagi hasil, bagi hasil penanaman, dan lain-lain. Syarat sah dari seluruh akad dan pembelanjaan ini adalah apabila dilakukan sesuai dengan yang disyariatkan.” Ketiga, mawarits. Harta pusaka (tirkah) merupakan hak yang harus dibagi kepada ahli waris, secara syara’.

Artinya, “Mawarits, yakni apabila si mayit meninggalkan ahli waris yang berhak mewaris kepemilikan harta tinggalannya dengan sebab-sebab dan syarat-syarat tertentu yang sudah dikenal dalam ilmu mawaris dan beberapa kitab fikih lainnya.” Keempat, harta yang diperoleh dari hasil pengembangan atau penunaian kewajiban pihak lain, misalnya zakat, hak nafaqah syar’iyyah, sedekah, hibah, atau wakaf.  

Artinya, “Adapun mengenai beberapa aturan kepemilikan ditinjau dari sisi tetap aset fisik dan bisanya dikembangkan, maka diperlukan langkah-langkah meninjau hal-hal yang disyariatkan, antara lain hak dan kewajiban yang berlaku atas harta insan lain seperti hak zakat dan nafkah syar’i. Hal yang sama juga berlaku pada beberapa harta kepemilikan yang bersifat berkembang, maka Islam telah membatasi mengenai cara-cara yang boleh ditempuh dalam pengembangannya, seperti: melalui perdagangan, bagi hasil cocok tanam, syirkah, dan lain-lain. Islam tidak mengakui kepemilikan atas harta yang diperoleh dari jalan batil dan yang diharamkan, misalnya lewat jalan riba, jual beli khamr dan dihasilkan dari membuka kasino.”  Walhasil, di dalam Islam. syara’ tidak memandang pada pentingnya kuantitas (kammiyah) atau kualitas (nau’iyyah) harta. Yang diperhatikan oleh syara’, adalah bahwa harta wajib diperoleh, didapatkan dan dibelanjakan sesuai dengan aturan yang dibolehkan oleh syara’. Jika benar cara perolehannya, maka sah untuk dimiliki. Bila tidak benar cara perolehannya, maka tidak sah untuk dimiliki, dikuasai serta dibelanjakan. Bila harta itu diperoleh lewat jalur yang tidak benar secara syara’, maka hakikatnya harta itu adalah harta ghashab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERSPEKTIF EKONOMI SYARIAH DALAM BISNIS KONTEMPORER

  MATERI- PENGANTAR BISNIS ISLAM Oleh: Eny Latifah, S.E.Sy.,M.Ak Perspektif Ekonomi Syariah dalam Bisnis Kontemporer   A.      Pengertian Ek...