PERKEMBANGAN
MANAJEMEN SYARIAH
Sejarah
adalah catatan yang sampai kapanpun tidak ada yang mampu menghapusnya meski
ingin. Ilmu manajemen sudah ada sejak Allah memanajemen makhluk yang mana yang
akan diciptakan terlebih dahulu. Setelah itu manajemen diteruskan makhluk-makhluNya.
Penerapan
manajemen sangatlah luas, bisa diterapkan diberbagai sisi kehidupan. Tanpa
manajemen akan terjadi kekacauan dan keterlambatan karena berjalan tidak sesui
dengan manajemen (perencanaan/skedul) yang sebelumnya telah dibuat.
A.
SEJARAH MANAJEMEN SYARIAH
Manajemen
syariah telah ada sejak zaman Nabi Adam hingga Nabi Muhammad dan sampai
sekarang manajemen diterapkan dalam kehidupan. Bukti bahwa manajemen sudah ada
zaman dahulu adalah:
1. Zaman
Nabi Adam
Peristiwa penetapan pasangan pada putra Nabi Adam
yaitu Qabil dan Habil. Siti hawa selalu melahirkan anak kembar, sepasang satu
laki dan satunya lagi perempuan. Nabi Adam sudah menetapkan peraturan sesuai
apa yang di syariatkan Allah SWT agar melakukan persilangan yaitu habil dengan
saudara kembarnya habil. Qabil memiliki saudara kembar yang berparas cantik
sedangkan habil saudara kembarnya berparas kurang cantik. Qabil telah melanggar
peraturan karena dia hanya ingin menikah dengan saudaranya yang berparas cantik
itu dan tidak mengizinkan Habil menikahi kembarannya.
2. Zaman
Nabi Nuh
Nabi Nuh memakai manajemen dakwah yang baik. Beliau
berdakwah siang dan malam dengan cara yang menyejukkan. Metode dahwah Nabi Nuh
patut kita pelajari dan kita ikuti karena beliau menyampaikan dakwah dengan
halus,jelas, dan argumentative. Seorang manajer harus merencanakan sesuatu
dengan rapi, jangan semata-mata berorientasi pada hasil (laba saja) karena itu
tidak menjadi ukuran mutlak berhasil atau tidaknya usaha kita. Meskipun manusia
yang berencana, bekerja, memanejemen dan melakukan kerja keras tapi Allah SWT
lah menentukan.
3. Zaman
Nabi Yusuf
Nabi Yusuf merupakan contoh dan leader yang
berhasil. Beliau melakukan tindakan preventif dengan mengajukan jabatan menjadi
kepala logistic Negara (KABULOG) karena dia dikenal dengan “Hafidzun Alim”. Hafidz disini memiliki
makna amanah, transparan, dan jujur. Sedangkan kata Alim berarti memiliki
pengetahuan di bidangnya. Nabi Yusuf mampu mengatasi “musim paceklik” dimana
rakyat sulit bisa memenuhi bahan pangan di masa-masa tertentu. Karena Nabi
Yusuf memiliki manajemen yang baik hal itu bisa diatasi dan rakyat merasa
sejahtera dikala Nabi Yusuf sebagai Kabulog.
4. Zaman
Nabi Ibrahim
Ketika Nabi Ibrahim mendapat perintah dari Allah
SWT untuk menyembelih anaknya Nabi Ismail beliau menggunakan manajemen yang
trasnparan dan kejujuran. Meskipun perintah Allah SWT itu mutlak dilakukan,
Nabi Ibrahim dalam implementasi tetap melakukan dialog dengan Nabi Ismail
dengan penuh kesadaran.
5. Zaman
Nabi Muhammad SAW
Manajemen yang dilakukan Rasulullah SAW berbeda
dengan nabi-nabi terdahulu. Nabi memiliki insting penilaian yang luar biasa
atas keahlian dari para sahabat-sahabatnya. Keputusan Rasulullah tidak
mengizinkan sahabat Abu Bakar dan Umar bin Khattab menjadi panglima perang itu
karena beliau melihat potensi besar yang ada pada sahabatnya itu tidak terletak
pada panglima tetapi ada pada posisi negarawan. Manajemen Rasulullah ini
dikenal dengan sebutan “the right in the righ place”.
Sekitar 571 M, seorang bayi keturunan Quraisy lahir
di Mekah. Bangsa Quraisy memberi julukan al-Amin (yang terpecaya). Al-Qur’an
(pada surah 3:144, 33:40, 48:29, 47:2) menyebutnya Muhammad dan hanya sekali
(pada surah 61:6) menyebutnya Ahmad, Kemudian nama seterusnya yang ia sandang
adalah Muhammad (yang terpuji). Muhammad SAW mulai berperan sebagai Nabi
sekaligus sebagai Rasul setelah ia menerima wahyu kenabian pada menjelang akhir
bulan Ramadhan tahun 610 M. Sejak menjadi Nabi dan Rasul ini Muhammad SAW
memulai kegiatan manajemen yang secara ringkasnya dapat diringkaskan sebagai
berikut:
a) Ketika
perkembangan Islam mulai nampak dan Islam didakwahkan secara terang-terangan
dengan persuasif, Rasulullah SAW mulai mengutus para sahabat untuk dijadikan
sebagai duta guna mendakwahkan agama dan memungut zakat masyarakat Arab pada
waktu itu. Tugas utama yang harus dilakukan utusan adalah memberikan pelajaran
agama terlebih dahulu kepada pemimpin kabilah dan diharapkan dapat merambah
pada kaumnya. Rasul telah mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman dengan uraian tugas
yang jelas seraya bersada: “Engkau aku utus untuk datang kepada kaum ahli
kitab. Persoalan utama yang harus engkau dakwahkan kepada mereka adalah
mengajak untuk beribadah kepada Allah SWT. Beritahukan kepada mereka bahwa
Allah SWT mewajibkan membayar zakat. Zakat diwajibkan bagi orang-orang kaya,
dan selanjutnya dibagikan kepada fakir miskin. Jika mereka mentaatinya, ambilah
dari mereka dan jaga kemulian harta mereka. Dan takutlah terhadap doa orang
yang terzalimi, karena doa mereka tidak ada hijab dari Allah”. Rasulullah juga
selektif dalam memilih pegawainya, yaitu mereka yang agamanya kuat (shalih) dan
merupakan pioner dalam masuk agama Islam. Dan bahkan juga Rasulullah sering
minta pendapat sahabat tentang track record (kepribadian calon pegawai). Bahkan
Rasulullah juga pernah menolak permintaan Abu Azar Al-Ghifari untuk dijadikan
pegawai di salah satu wilayah, karena ada persyaratan kompetensi yang tidak
terpenuhi (istilah sekarang job requirement unfulfield).
b)
Rasulullah SAW juga memiliki Majelis Syura semacam think tank (staf ahli) yang dimulai setelah berdirinya negara “kota
Madinah” Majelis Syura difungsikan oleh Rasulullah sebagai tempat berdiskusi
dan bermusyawarah untuk membicarakan masalah masalah yang dihadapi yang
berkenaan masalah keagamaan, pemerintahan, kemasyarakatan, dan hubungan dengan
bangsa atau negara lain. Ini menunjukkan Rasulullah SAW itu seorang yang sangat
menghargai kemampuan dan profesionalisme orangorang yang dipimpinnya. Mereka
yang masuk dalam think tank ini adalah para sahabat atau orang-orang yang
memiliki kecermatan dalam berpikir, kedalaman ilmu agamanya, kuat imannya, dan
rajin mendakwahkan agama Islam. Majelis Syura di zaman Rasulullah ini terdiri
dari 7 orang sahabat Anshar, dan 7 orang sahabat Muhajirin. Diantara mereka itu
adalah Hamzah, Ja’far, Abu Bakar, Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Salman, Usman,
Hudzaifah, Abu Dzar, Miqdat danBilal.
c)
Rasulullah SAW juga melakukan pembagian tugas dan wewenang, seperti: Ali bin
Abi Thalib menangani kesekretariatan dan perjanjian-perjanjian yang dilakukan
Rasulullah, Hudzaifah bin Almin menangani dokumen rahasia Rasulullah, Abdullah
bin Al-Arqam bertugas menarik zakat dari para raja, Zubair bin Awam dan Juhaim
bin Shalt bertugas mencatat harta zakat, Mughirah bin Syu’bah dan Hasyim bin
Namir bertugas mencatat utang piutang dan transaksi muamalah, Zaid bin Tsabit
bertugas sebagai penterjemah dalam Bahasa Parsi, Romawi, Qibty, Habsy, dan
Yahudi.5 Najiyah al Tafawi dan Nafi’ bin Dzarib al-Naufal bertugas menulis
mushaf, dan lain-lain.
6. Zaman Khulafauroshiddin
a) AbuBakar
AbuBakar adalah pendukung dan teman setia Muhammad
yang paling awal. Setelah Muhammad SAW meninggal dunia, ia terpilih sebagai
penerus Muhammad pada tanggal 8 Juni 632 M. Pada zaman pemerintahan Abu Bakar
aktivitas manajemen yang dilakukannya antara lain menata wilayah kekuasaan
Islam dibagi menjadi beberapa provinsi. Wilayah Hijaz terdiri dari 3 provinsi,
yaitu Mekkah, Madinah, dan Thaif. Wilayah Yaman dibagi menjadi 8 provinsi,
yaitu Shai’a, Hadralmaut, Haulan, Zabad, Rama Al-Jundi, Najran, Jarsy, dan
Bahrain. Masing-masing provinsi dipimpin oleh seorang gubernur. Diantara para
gubernur itu adalah: Itab bin Usaid, Amr bin Ash, Utsman bin Abi Al-Ash,
Muhajir bin Abi Umayah, Ziyad bin Ubaidillah Al-Ansyari, Abu Musa Al-Asy’ari,
Muadz bin Jabal, Ala’ bin Al-Hadarami, Syarhabil bin Hasanah, Abi Sofyan,
Khalid bin Walid, dan lain-lain. Diantara tugas para Gubernur adalah mendirikan
sholat, menegakkan peradilan, menarik, mengelola dan membagikan zakat,
melaksanakan had, dan mereka mempunyai kekuasaan pelaksanaan peradilan secara
simultan. Pada zaman khalifah Abu Bakar ini sudah pula ada pengawasan terhadap
kinerja karyawan.
b) Umar bin Khattab
Setelah Abu Bakar meninggal dunia tugas khalifah
diteruskan oleh Umar bin Khattab. Umar memerintah dari tahun 634-644 M. Pada
zaman pemerintahan Umar bin Khattab kegiatan manajemen semakin luas. Salah satu
diantaranya dipraktekkannya konsep dasar hubungan antara negara dan rakyat,
tugas pelayanan publik dan menjaga kepentingan rakyat dari otoritas pemimpin.
Umar juga melakukan pemisahan antara kekuasaan peradilan dengan kekuasaan
eksekutif, serta menetapkan ada lembaga pengawasan terhadap kinerja pegawai publik.
Pengawasan ini dimaksudkan untuk menjaga penduduk dari tindak kezaliman dan
kesewenangan pegawai pelayanan publik atau seorang pemimpin.
c) Usman bin Affan
Usman bin Affan terpilih sebagai khalifah ke-3
menggantikan Umar bin Khattab. Ia menjadi khalifah dari tahun 644-656 M.9 Pada
zaman khalifah Utsman bin Affan, pertama-tama kegiatan manajemen yang
dilakukannya adalah menjaga dan melestarikan sistem pemerintahan yang sudah
ditetapkan oleh khalifah Umar bin Khattab. Khalifah Utsman lebih mengakomodir
keinginan rakyatnya ketika mereka meminta untuk mencopot dan melengser pemimpin
mereka. Paling tidak ada tiga gubernur dilengserkan atas permintaan rakyat
yaitu Mughirah bin Syu’bah Gubernur Kufah dan menggantinya dengan Walid bin
Uqbah. Satu saat khalifah Utsman mendengar Walid minum khamar, lalu khalifah
Utsman memanggilnya ke Madinah, kemudian memberi had bagi Walid dan mencopotnya
dari posisi gubernur dan menggantinya dengan Sa’id bin Ash. Kemudian khalifah
Utsman juga mencopot Abi Musa Al-Asy’ari dari jabatan gubernur dan menggantinya
dengan Abdullah bin Amir (anak paman khalifah Utsman dari pihak wanita).
Khalifah Utsman juga mencopot Amr bin Ash dari jabatan Gubernur Mesir dan
menggantinya dengan Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh, dan ia pun menetapkan
Marwan bin Hakim sebagai ketua Dewan (Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh adalah anak
paman khalifah Utsman dari pihak lelaki). Pada masa kekhalifahan Utsman ini
terdapat indikasi nepotisme. Hal ini membuat sekelompok sahabat mencela
kepemimpinan Utsman karena lebih memilih keluarga dari pada para sahabat yang
menjadi pioneer dalam Islam.
d) Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib terpilih menjadi khalifah
menggantikan Utsman bin Affan dari tahun 656-661 M. Pada zaman khalifah Ali bin
Abi Thalib kegiatan manajemen yang menonjol yang dilakukannya adalah memilih
gubernur dengan sangat selektif, begitu juga dalam mengangkat pegawai. Ia
menasehatkan kepada para gubernur; “Janganlah engkau mengangkat pegawai karena
ada unsur kecintaan dan kewalian (nepotisme), karena hal itu akan menciptakan
golongan durhaka dan khianat. Pilihlah pegawai karena pengalaman dan kompetensi
yang dimilikinya, ketaqwaannya dan keturunan orang shaleh, serta orang tersebut
merupakan pioner dalam Islam. Mereka adalah orang yang memiliki akhlak mulia,
argumen yang shahih, tidak mengejar kemuliaan (pangkat) dan mempunyai pandangan
yang luas atas suatu persoalan.”
Khalifah Ali juga mengajarkan sistem renumerasi dan
ia berkata; “Sempurnakanlah gaji yang mereka terima, karena upah itu akan memberi
kekuatan kepada mereka untuk memperbaiki diri.” Khalifah Ali juga konsen
terhadap kepentingan masyarakat dan mempunyai perhatian khusus terhadap
keadilan dan menjauhi tindak kezaliman.
Dari sejarah manajemen yang diterapkan baik di
zaman nabi dan sahabatnya dapat kita gambarkan Sebuah perusahaan yang sudah
lama berdiri tidak berarti tidak akan hancur suatu ketika. Hal itu bisa terjadi
bilamana manajemen yang digunakan kurang tepat dan hanya mengandalkan hasil
tanpa memperhatikan budaya kerja. Sejarah bisnis yang Rasulullah dan sahabatnya
memberi pelajaran bagi kita agar menjalankan segala bisnis dengan penuh
kejujuran dan amanah yang penuh, bukan hanya semata-mata ingin mendapatkan
keuntungan (dunia) saja tetapi juga keberkahan (keridloan Allah). Keuntungan
maksimal tiada arti bilamana tidak ada keberkahan di dalamnya. Keuntungan
tersebut akan membawa kehancuran nantinya. Rasulullah juga mengajarkan tentang
bisnis yaitu lakukanlah bisnis dengan penuh keihlasan karena segala amal ibadah
yang kita jalankan di dunia ini akan menghantarkan kepada keridloan Allah
bilamana kita jalankan dengan penuh keikhlasan.
B. EKONOMI
DAN BISNIS SYARIAH KONTEMPORER
Masterplan
Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024 menunjukkan bahwa ekonomi dan keuangan
syariah mengalami perkembangan dalam duawarsa terakhir, baik secara global
maupun nasional The State of The Global
Islamic Economy Report 2018/2019 melaporkan besaran pengeluaran makanan dan
gaya hidup halal umat Islam di dunia mencapai USD 2,1 Triliun pada Tahun 2017
dan akan diperkirakan akan terus tumbuh mencapai USD 3 Triliun pada 2023. Indonesia sebagai negara dengan penduduk
muslim terbesar di dunia, Indonesia belum dapat berperan secara optimal dalam
memenuhi permintaan atas produk halal yang di inginkan dunia. Saat ini
Indonesia berada pada tingkat Sepuluh sebagai produsen halal product dunia, hal
ini terjadi karena ketidakseimbangan antara produksi dan tingkat konsumsi atas
halal product yang ada.
Fokus utama implementasi pengembangan ekonomi
syariah adalah sektor riil, terutama yang berpotensi dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi secara nasional. Secara lebih spesifik, yang dipilih adalah
sektor produksi dan jasa. Terutama yang sudah menerapkan label halal sebagai
diferensiasi dari produk lain. Dalam mewujudkan keseimbangan antara penyediaan
produk yang telah dihasilkan dan tingginya tingkat konsumsi masyarakat itu
membutuhkan peran dari Lembaga Keuangan yang mampu menopang dan menjadi
pendamping para pengusaha penghasil produk halal yang ada di Indonesia. Tingkat
usaha tersebut tidak hanya yang kapasitas besar saja tapi tingkat kecil seperti
Unit Usaha Kecil dan Menengah (UKM) juga harus ikut mengembangkan produk halal.
Di Era disruption memberikan corak tersendiri bagi
dunia bisnis syariah. Tidak hanya pada sektor lembaga keuangan tetapi juga
aneka bisnis mulai beralih kepada bisnis yang berbasis syariah. Sektor
Perbankan yang sejak 2007 telah mulai beroperasional dengan menggunakan sistem
keuangan berbasis syariah. Dan di era digital ini banyak bisnis pariisata, makanan,
perhotelan, rumah sakit semua mulai mengarah kepada sistem syariah. Hal ini
akan memberikan atmosfer bisnis syariah yang semakin diminati oleh para
investor dan masyarakat baik di Indonesia manupun di mancanegara.
Pengembangan ekonomi dan bisnis syariah telah
diadopsi ke dalam kerangka besar kebijakan ekonomi Indonesia dewasa ini. Hal
tersebut dipelopori oleh Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan tanah air,
dengan menetapkan perbankan syariah sebagai salah satu pilar penyangga
dual-banking sytem dan mendorong pangsa pasar bank-bank syariah yang lebih luas
sesuai cetak biru perbankan syariah (Bank Indonesia, 2002).
Selain
itu Departemen Keuangan melalui Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
(Bapepam-LK) mengakui keberadaan lembaga keuangan syariah non banking seperti
asuransi syariah, pasar modal syariah, reksadana syariah, pengadaian syariah
dan lainnya. Sementara, Departemen Agama telah mengeluarkan akreditasi bagi
organisasi pengelola zakat baik di tingkat pusat maupun daerah.
Perkembangan ekonomi dan bisnis syariah kontemporer
dewasa ini semakin meningkat, terutama peningkatan di bidang pertumbuhan
lembaga keuangan syariah, baik perbankan syariah maupun lembaga keuangan mikro
syariah. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya
mendukung penuh ekonomi dan bisnis syariah, sehingga sentiment pertumbuhan
ekonomi dan bisnis akan selalu positif.
C. BUDAYA
KERJA BAGI UMAT ISLAM
Kata budaya adalah sebagai suatu perkembangan dari
bahasa sansekerta “budhayah” yaitu bentuk jamak dari budhi atau akal, dan kata
majmuk budi-daya, yang berarti daya dari budi, dengan kata lain, budayah adalah
daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa. Sedangkan kebudayaanmerupakan
pengembangan dari budaya yaitu hasil dari cipta, karsa dan rasa tersebut.
Budaya kerja merupakan kelompok pola perilaku yang
melekat secara keseluruhan pada diri sendiri setiap individu dalam sebuah
organisasi. Membangun budaya berarti juga meningkatkan dan mempertahankan
sisi-sisi positif, seta berupaya membiasakan (habituating proces) pola perilaku
tertentu agar tercipta suatu bentuk baru yang lebih baik.
Budaya kerja menurut Hadari Nawawi, budaya kerja
adalah kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang oleh pegawai dalam suatu
organisasi, pelanggaran dengan kebiasaan ini memang tidak ada sangsi tegas,
namun dari pelaku organisasi secara moral telah menyepakati.
Dalam manajemen berbasis syariah, seorang pemimpin
organisasi baik organisasi publik maupun organisasi bisnis dituntut untuk
memiliki etos kerja Islami yang bertumpu pada akhlakul karimah. Islam
menjadikan akhlak sebagai energy batin yang terus menyala dan mendorong setiap
langkah kehidupan kita dalam koridor jalan yang lurus. Ciri-ciri orang yang
bekerja dengan etos kerja Islami nampak pada sikap dan perilaku dalam kehidupan
seharihari yang dilandasi oleh keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu
ibadah dan berprestasi itu indah. Toto Tasmara menyebutnya ada semacam
panggilan dari hatinya terus menerus memperbaiki diri, mencari prestasi bukan
prestise, dan tampil sebagai bagian dari umat yang terbaik (khairu ummah).
Sikap dan perilaku yang tergolong budaya kerja (etos kerja Islami) ini
seyogianya dimiliki/menjadi bagian dari keseharian dalam aktivitas seorang
pemimpin yang Islami. Sikap dan perilaku tersebut adalah:
1.
Menghargai
waktu
Seorang yang beretos kerja Islami sangat menghargai
betapa berharganya waktu, satu detik saja berlalu tak mungkin lagi kembali. Dan
bagi orang yang mampu mengelola waktu dengan baik, maka ia akan memperoleh
optimalisasi dalam kehidupan, sebaliknya apabila tidak mampu mengelolanya maka
ia tidak mendapatkan apa-apa. Demikian tingginya nilai waktu menurut Al-Qur’an,
akan tetapi bagaimana dengan kenyataan, tengoklah dengan mata hati yang bening
dan bijak, betapa banyak diantara kita yang mengabaikan nilai waktu, sehingga
menyebabkan kita terpuruk dalam kelemahan dan kerugian. Kita hafal surah
al-Ashr, tetapi tidak mampu menangkap esensinya dan tidak pandai
mempraktikannya. Betapa banyak di antara kita yang telah membuang-buang aset ilahiyah
(waktu) ini, dan pada saat yang sama juga banyak orang yang berkeringat
berjuang memenuhi seruan (hayya ‘alal falaah) dengan kerja keras, namun di
antara kita masih ada orang terpenjara dalam kemalasan.
2. Ikhlas
Ikhlas artinya bersih, murni, tidak terkontaminasi
dengan sesuatu yang mengotori. Orang yang ikhlas dalam bekerja memandang
tugasnya sebagai pengabdian, sebagai amanah yang harus dilakukan tanpa pretensi
apapun, dan dilaksanakan secara profesional. Ikhlas bukan hanya output dari
cara kita melaksanakan pekerjaan dengan melayani orang lain, tetapi juga ikhlas
menjadi input (masukan) dalam membentuk kepribadian. yang didasarkan pada sikap
yang bersih, seperti misalnya dalam hal mencari rejeki, seorang mukhlis dia
tidak mau mengambil dari yang kotor seperti hasil dari korupsi, manipulasi,
menipu dan sebagainya. Dalam keikhlasan tersimpan pula suasana hati yang rela
bahwa yang dilakukannya tidak mengharapkan imbalan kecuali hanya untuk
menunaikan amanah dengan sebaikbaiknya. Kalaupun ada imbalan (reward) itu bukan
tujuan utama, melainkan sekedar akibat sampingan dari pengabdiannya. Ikhlas
merupakan energi batin yang dapat membentengi diri dari segala bentuk yang
kotor,
3. Jujur
Dalam jiwa seorang yang jujur terdapat nilai rohani
yang menentukan sikap berpihak kepada kebenaran, moral yang terpuji dan
bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya sehingga ia hadir
sebagai orang yang berintegritas yang mempunyai kepribadian terpuji dan utuh.
Sifat jujur merupakan mutiara akhlak yang akan menempatkan seseorang dalam
kedudukan yang mulia (maqamam mahmuda) orang yang jujur berani menyatakan sikap
secara transparan, terbebas dari segala kepalsuan dan penipuan. Hatinya terbuka
dan selalu bertindak lurus dan oleh karena itu ia memiliki keberanian moral
yang sangat kuat. Seperti halnya keikhlasan, kejujuran juga tidak datang dari
luar, tetapi dari bisikan kalbu yang secara terus menerus mengetuk-ngetuk dan
membisikkan nilai moral luhur yang didorong hati nurani manusia yang fitrah,
kejujuran bukan sebuah paksaan, melainkan panggilan dari dalam diri seseorang.
Perilaku jujur diikuti oleh sikap bertanggung jawab atas apa yang diperbuat
(intergritas), sehingga kejujuran dan tanggung jawab ibarat dua sisi mata uang.
4. Komitmen
Komitmen (i’tikad)
adalah keyakinan yang mengikat seseorang sedemikian rupa kukuhnya dan
menggerakkan perilakunya menuju ke arah tujuan yang diyakininya. Orang yang
mempunyai komitmen yang kuat terhadap pilihan pekerjaannya adalah orang paling
merasakan kepuasan dari pekerjaannya dan paling rendah tingkat stresnya. Daniel
Goleman dalam bukunya Working With Emotional Intelegency mengidentifikasi
ciri-ciri orang yang berkomitmen sebagai berikut:
a. Siap berkorban demi pemenuhan sasaran
organisasi (perusahaan) yang lebih penting.
b. Merasakan dorongan semangat dalam hal yang
lebih besar.
c. Menggunakan nilai-nilai kelompok dalam
pengambilan keputusan dan penjabaran pilihan-pilihan.
Terkait
dengan komitmen ini, penelitian yang dilakukan oleh Prof. Curtis Verscheor
membuktikan bahwa perusahaan yang memiliki komitmen terhadap nilai-nilai moral
lebih berhasil secara finansial dibanding perusahaan yang tidak memiliki
komitmen moral.
Dalam
komitmen terbangun sebuah tekad, keyakinan yang melahirkan vitalitas yang penuh
gairah. Orang yang memiliki komitmen tidak mengenal kata menyerah, mereka hanya
akan berhenti menapaki cita-citanya di jalan yang lurus bila langit sudah
runtuh. Komitmen adalah soal tindakan, kesungguhan, dan kesinambungan.
5. Istiqamah
Seorang
pemimpin yang profesional memiliki sikap konsisten (istiqamah) dalam bekerja dan memperjuangkan apa yang menjadi tujuan
organisasi. Ia taat azas dan mempertahankan prinsip serta komitmennya dalam
menghadapi tantangan dalam pekerjaannya sekalipun berhadapan dengan resiko yang
membahayakan dirinya, termasuk dalam pengertian ini kesiapannya untuk
disingkirkan dari komunitasnya, karena orang-orang yang bersekongkol
berseberangan sikap dengannya. Sikap konsisten (istiqamah) ini akan melahirkan kepercayaan diri yang kuat, memiliki
integritas, serta mampu mengelola tekanan (stress)
dan tetap hidup penuh gairah. Istiqamah berarti ketika berhadapan dengan segala
rintangan ia masih tetap berdiri tegak. Konsisten berarti tetap menapaki jalan
yang lurus sekalipun berbagai halangan telah menghadang. Istiqamah (konsisten) ini bukan sekedar idealisme, tetapi sebuah
karakter yang melekat pada jiwa setiap pemimpin sejati yang memiliki semangat “la ilaaha illallah” sebagaimana yang
dilakukan oleh seorang sahabat Nabi Bilal bin Rabbah “Ahad… Ahad” ketika
mengalami siksaan musuh-musuh Islam. Dalam bahasa yang mudah, istiqamah itu ibarat berjalansampai ke
batas, ibarat berlayar sampai ke pulau tetap tangguh menghadapi rintangan
sampai tujuan tercapai. Rasulullah SAW sendiri telah memberikan contoh bagaimana
bersikap istiqamah (konsisten) dalam
memperjuangkan kebenaran agama Islam.
6. Kreatif
Orang yang kreatif selalu ingin mencoba metode dan
gagasan baru dan asli untuk mencapai efektivitas dan efisiensi dalam
melaksanakan pekerjaannya. Orang kreatif selalu bekerja dengan sistematis
dengan mengemukakan data dan informasi yang relevan. Orang kreatif bisa
berfikir dengan otak kanan, yaitu mencari alternatif pemecahan masalah, mencari
jawaban pertanyaan why and what if dan what and how.
Goleman menerangkan ciri-ciri orang yang kreatif
yang disebutnya star performer memiliki beberapa ciri penting diantaranya:
a. Kuatnya motivasi untuk berprestasi
b. Komitmen kepada visi dan sasaran tempat bekerja
c. Inisiatif dan optimis
7. Disiplin
Disiplin adalah kemampuan mengendalikan diri dengan
tetap taat walaupun dalam situasi yang sangat menekan. Orang yang memiliki
disiplin sangat berhati-hati dalam mengelola pekerjaannya serta penuh tanggung
jawab memenuhi kewajiban. Seorang pemimpin organisasi punya kewajiban tidak
hanya menanamkan disiplin terhadap diri sendiri, tetapi juga menanamkan
disiplin kepada bawahan (orang-orang yang ada dalam pembinaannya).
Mendisiplinkan diri sendiri saja sulit apalagi mendisiplinkan orang lain
(bawahan). Seorang pemimpin yang ingin membangun disiplin perusahaanya.
misalnya disiplin kerja, masuk kerja 08.00 pulang 16.00. Dia tidak bisa
menggerakkannya hanya dengan perintah, semua karyawan agar mentaati disiplin
kerja masuk bekerja jam 08.00 dan pulang jam 16.00, sementara dia sendiri masuk
kerja jam 09.00, apalagi kalau itu sudah jadi kebiasaannya, jangan harap akan
berhasil, malah bisa jadi bahan cemoohan anak buah. Kalau ia ingin berhasil
mendisiplinkan karyawan masuk dan pulang kerja, maka ia sebagai pemimpin harus
bisa jadi contoh/teladan bagi anak buahnya, jadi ia harus memulai dari dirinya
sendiri (ibda binafsik), pemimpin yang baik memang pemimpin yang mau berkorban
untuk memberi contoh/teladan kepada bawahan, bukan hanya ngomong (bil lisan)
tapi dengan berbuat (bil hal).
8. Percaya Diri
Orang yang percaya diri dapat melahirkan kekuatan,
keberanian, dan tegas dalam bertindak, orang percaya diri tangkas (tidak ragu)
dalam mengambil keputusan tanpa nampak sikap arogan dan defensif serta tangguh
mempertahankan pendiriannya. Orang yang percaya diri hadir di tengah-tengah
lingkungannya bagaikan lampu yang terang benderang, ia memancarkan raut wajah
yang cerah dan berkharisma. Orang-orang yang berada disekitarnya merasa
tercerahkan, tenteram dan muthma’innah. Sebuah penelitian oleh Bayatzis
membuktikan para penyelia, manajer, dan eksekutif yang percaya diri lebih
berprestasi dari orang yang biasa-biasa saja. Orang yang percaya diri adalah
orang yang sudah memenangkan setengah dari permainan, dan orang yang ragu-ragu
adalah orang yang kalah sebelum bertanding.
Refleksi dari sikap percaya diri itu nampak dari
indikator kepribadiannya:
a) Berani
menyatakan pendapat atau gagasannya sendiri walaupun beresiko, misalnya menjadi
orang yang tidak populer atau malah dikucilkan.
b) Mampu
menguasai emosi, tetap tenang dengan berpikir jernih walaupun dalam tekanan
(under presure)
c) Memiliki
independensi yang kuat sehingga tidak mudah terpengaruh oleh sikap orang lain
walaupun pihak lain itu mayoritas, kebenaran menurutnya tidak selalu
dicerminkan oleh kelompok yang mayoritas.
9. Bertanggung Jawab
Bertanggung jawab dapat didefinisikan sebagai sikap
dan tindakan seseorang di dalam menerima sesuatu sebagai amanah dan penuh rasa
tanggung jawab. Orang yang sudah terbiasa bertanggung jawab dalam bekerja mempersepsi
pekerjaannya sebagai amanah yang harus ditunaikan dengan penuh kesungguhan yang
pada akhirnya melahirkan keyakinan bahwa itu merupakan bagian dari ibadah dan
bekerja yang baik dan berprestasi itu sesuatu yang bernilai (indah). Seorang
pemimpin perlu menumbuhkembangkan sikap bertanggung jawab di kalangan
bawahannya dengan menanamkan paradigma berpikir dan sikap mental yang amanah.
Amanah adalah sesuatu yang harus dipertanggung jawabkan untuk mendapat
keridhaan Allah. Amanah yang tidak ditunaikan akan mendapat murka Allah. Harta
yang dimiliki, jabatan, dan bahkan hidup kita ini semuanya merupakan amanah,
karena di dalamnya ada muatan tanggung jawab untuk meningkatkan dan
mengembangkannya menjadi lebih baik. Menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya merupakan
ciri orang yang profesional, karena orang yang profesional itu adalah orang
yang mengerti apa arti tanggung jawab. Pengertian dari tanggung jawab itu bukan
sesuatu yang dibuat-buat, tetapi asli bersumber dari hati nurani seseorang. Dan
apa kata hati nurani itu tidak bisa ditutuptutupi, apalagi menodainya.
10.
Leadership
Leadership artinya
memiliki jiwa kepemimpinan (khalifah bil ardhi), yang bermakna mengambil peran
sebagai pemimpin dalam kehidupan di muka bumi. Kepemimpinan berarti mengambil
posisi memimpin dan sekaligus menanamkan peran sebagai pemimpin sehingga
kehadirannya memberikan manfaat dan pengaruh positif kepada lingkungannya.
Seorang pemimpin adalah orang yang mempunyai personalitas yang tinggi. Pemimpin
yang baik adalah pemimpin yang punya keyakinan tetapi tidak segan menerima
kritik, bahkan mempertimbangkan apa yang baik. Pemimpin yang baik bukan tipikal
orang yang mengekor, karena sebagai seorang pemimpin ia sudah terlatih berpikir
kritis analitis, karena ia sadar dan yakin, seluruh hidup dan kehidupannya akan
dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah.
Gaya kepemimpinan Rasulullah SAW adalah gaya
kepemimpinan yang memadukan tiga komponen yang sangat diperlukan oleh seorang
pemimpin yaitu: visi, value dan vitality.
Visi : artinya
mampu menjelaskan arah dan tujuan serta alasannya.
Value : artinya
memimpin dengan cinta kasih, menggerakkan orang lain dengan keteladanan, dan
memiliki prinsip-prinsip nilai (integrity).
Vitality: artinya
memiliki daya vitalitas atau energi yang sangat kuat sehingga mampu
menggerakkan orang lain, melebihi daya tahan fisik maupun mental.
Selain sebagai pemimpin yang visioner, beberapa
teori/ gaya kepemimpinan lainnya juga dapat ditemukan pada diri Muhammad SAW,
misalnya empat fungsi kepemimpinan (the 4
rules of leadership) yang di zaman modern ini dikembangkan oleh Stephen
Covey juga melekat pada diri Muhammad SAW.
a. Pathfinding
:
Fungsi ini mengungkap bagaimana upaya sang pemimpin
memahami dan memenuhi kebutuhan utama para stakeholdernya (berkenaan dengan
visi, misi dan strategi). Fungsi ini ditemukan dalam diri Muhammad SAW yang
terefleksi dari upaya beliau melakukan berbagai langkah dalam mengajak umat ke
jalan yang benar seperti misalnya Muhammad SAW berhasil membangun suatu tatanan
sosial yang modern dengan memperkenalkan nilai-nilai kesetaraan universal,
semangat kemajemukan, multi kulturalisme, rule of law, dan sebagainya.
b. Aligning
Fungsi ini berkaitan dengan bagaimana menyelaraskan
keseluruhan sistem dalam organisasi agar mampu bekerja dan saling sinerji.
Muhammad SAW mampu menyeleraskan berbagai strategi untuk mencapai tujuan dengan
menyiarkan ajaran Islam dan membangun tatanan sosial yang baik dan modern,
sistem hukum yang kuat, hubungan diplomasi dengan penguasa-penguasa di sekitar
Madinah, dan sistem pertahanan yang kuat, sehingga Madinah tumbuh menjadi
negara baru yang cukup berpengaruh pada waktu itu.
c. Empowering
Fungsi ini berhubungan dengan upaya pemimpin untuk
menumbuhkan lingkungan agar setiap orang dalam organisasi mampu melakukan yang
terbaik dan mempunyai komitmen yang kuat, memahami sifat pekerjaan dan tugas
yang diembannya, mendelegasikan tugas dan tanggung jawab kepada bawahan yang
dipimpinnya, siapa mengerjakan apa dan bertanggung jawab kepada siapa, dan
menyediakan dukungan sumber daya yang diperlukan. Dalam sirah nabawiyah
diceritakan kecakapan Muhammad SAW dalam mensinergikan berbagai potensi yang
dimiliki para pengikutnya dalam mencapai tujuan, seperti mengatur strategi
dalam perang Uhud, beliau menempatkan pasukan pemanah di atas bukit untuk
melindungi pasukan inpanteri. Beliau juga dengan bijak mempersatukan kaum
Muhajirin dan kaum Anshar ketika mulai membangun masyarakat Madinah. Beliau juga
mengangkat para pejabat sebagai amir (kepala daerah) atau hakim berdasarkan
kompetensi dan track record masing-masing. Hasilnya, dalam waktu yang tidak
terlalu lama (± 10 th) beliau berhasil meletakkan dasar-dasar tatanan sosial
masyarakat modern. Pemimpin dunia lainnya mungkin butuh waktu lebih dari itu.
d. Modeling
Fungsi ini berhubungan dengan bagaimana pemimpin
itu menjadi panutan bagi bawahan/orangorang yang dipimpinnya. Bagaimana
pemimpin itu bertanggung jawab atas tutur katanya, sikap, prilaku, dan
keputusan-keputusan yang diambilnya. Sejauh mana ia melakukan apa yang
dikatakannya. Muhammad SAW adalah seorang yang selalu melaksanakan apa yang ia
katakan, dan beliau sangat membenci orang yang mengatakan semata tetapi tidak
melaksanakan apa yang ia katakan itu.
11. Entrepreneur
Seorang pemimpin juga dituntut untuk memiliki jiwa entrepreneur (wiraswasta). Seorang yang
berjiwa wirausaha adalah orang yang selalu melihat setiap sudut kehidupan ini
sebagai peluang dan kemudian berani mencobanya. Seorang pemimpin mempunyai
tanggung jawab untuk memajukan kehidupan orang-orang yang berada dalam pembinaannya,
dan tugas tanggung jawab itu akan lebih mudah bila si pemimpin tadi dapat
mengadopsi apa yang menjadi sifat dasar seorang wirausahawan (entrepreneur),
seperti:
a. Selalu
menyukai dan menyadari adanya ketetapan dan perubahan. Ketetapan itu ada konsep
akidah (Q.S Al- Anbiya; 25), dan perubahan dilaksanakan pada masalah-masalah
mu’amalah, termasuk peningkatan kualitas kehidupan (Q.S Ar-Ra’ad; 11).
b. Bersifat
inovatif, yang membedakannya dengan orang lain. Al-Qur’an menempatkan manusia sebagai khalifah dengan
tugas memakmurkan bumi dan melakukan perubahan serta perbaikan (Al-Hadits).
c. Berupaya
secara sungguh-sungguh untuk bermanfaat bagi orang lain, sebagaimana maksud
hadits berikut:
Manusia yang baik adalah manusia yang bermanfaat
bagi orang lain. Siapa yang membantu seseorang untuk menyelesaikan kesulitan di
dunia, niscaya Allah akan melepaskannya dari kesulitan di hari kemudian. (HR.
Ath-Thabrani).
Siapa yang menyayangi seseorang di dunia, maka yang
dilangit akan menyayanginya . (HR. Baihaqi)
Tidak disebut seseorang beriman sebelum ia
menyayangi saudaranya sebagaimana ia menyayangi dirinya sendiri. (HR. Muslim).
d. Berupaya
secara terus-menerus membangun karakter dan kepribadian karyawan (orang-orang
yang dalam pembinaannya) untuk membekalinya memasuki kehidupan yang penuh
persaingan.
12. Fastabiqul
Khairat
Seorang pemimpin yang bergairah memiliki semangat
berlomba dalam kebajikan untuk meraih prestasi. Berlomba untuk mencapai
prestasi diri bukan asal berlomba (nekad), tapi berlomba dengan penuh perhitungan.
Ibarat orang yang ingin bertanding ia lebih dahulu harus menjaga stamina,
mengumpulkan kekuatan untuk merebut kemenangan “The Winner”. Seorang pemimpin
yang mempunyai semangat entrepreneur juga bukan orang yang mudah menyerah
(putus asa) dalam menghadapi keadaan. Ia menyadari sepenuhnya keuletan dan
kegigihan dalam memperjuangkan sesuatu, sebenarnya adalah fitrah manusia,
sehingga sikap malas dan kehilangan sikap “sense of competition” adalah suatu
kondisi yang melawan fitrah kemanusiaannya dan sekaligus menghianati fungsinya
sebagai “khalifah fil ardh”. Seorang pemimpin yang berkarakter wirausaha tidak
pernah menyerah pada kegagalan.
Era Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) baru saja
dimulai. Dan sekarang dunia telah memasuki era industri 5.0, dimana percepatan
Tehnologi dalam mendampingi kegiatan manusia di bumi ini sangatlah relative
cepat. Banyak perusahan-perusahaan yang mengadopsi budaya asing yang diyakini
begitu maju dan berkembang. Pertannyaanya, budaya seperti apa yang harus kita
ikuti? Budaya Asing tidak selamanya negative dan tidak selamanya positif.
Budaya Asing boleh diadopsi dengan catatan sesuai dengan Islam. Budaya
penghargaan atas waktu dan ketepatan dalam memenuhi janji, selalu dianggap
sebagai budaya Barat, padahal itu adalah bagian dari ajaran Islam.Q.S-Mu’minun
ayat 8 yang artinya:” dan (sungguh beruntung) orang yang memelihara
amanat-amanat dan janjinya”
Ayat diatas
menegaskan amanat dan memenuhi janji adalah bagian dari budaya Islam. Jika
perusahaan benar-benar menepati sesuai dengan janji mereka, hal itu merupakan
suatu kekuatan yang luar biasa. Penghargaan atas waktu, pemenuhan janji, dan
pelayanan kepada konsumen dengan baik merupakan budaya yang harus dikembangkan.
Pameo
bisnis disebutkan bahwa konsumen adalah raja. Meskipun konsumen bukanlah raja,
tetapi konsumen harus tetap dihargai. Dalam Islam sendiri mengajarkan “tamu
adalah raja” dimana segala yang datang menghampiri kita harus kita layani
dengan baik dan ramah, agar tidak memberikan kesan yang negatif untuk diri kita
maupun lingkungan sekitar kita.
Bisnis syariah sekarang harus pandai-pandai dalam
mempelajari budaya bangsa sendiri dan Internasional, strategi dalam berbisnis
syariah jangan sampai terhanyut dengan kebutuhan Tehnologi yang selalu ada
sebagai pelengkap berbisnis. Sebagai Muslim harus bisa mengontrol etika atau
akhlak yang telah Rasulullah contohkan, jangan sampai karena mengikuti Era
Industri 5.0 kita melupakan prinsip-prinsip syariah dalam menjalankan bisnis.
Dari itu fahami budaya asing dan tetap melestarikan budaya Islam dalam
menjalankan bisnis.
D. SISTEM
KERJA BARAT DALAM PANDANGAN ISLAM
Untuk
membangun budaya kerja yang baik, diperlukan orang yang baik pula. Di Barat ada
perusahaan yang menerapkan system mengeluarkan karyawan dengan prestasi
terendah. Jumlah karyawan yang dikeluarkan tersebut mencapai 10% setiap tahun.
Bagaimana pandangan Islam tentang aturan itu?
Muamalah
dalam Islam membahas hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang
lain. Hal itu pun terikat hak dan kewajiban. Aturan yang mengharuskan 10%
karyawan akan di nilai berdasar prestasi terendah harus keluar setiap tahunnya,
tetap sah dan mubah jika memang telah disepakati di awal (sesuai kontrak di
awal kerja). Meskipun hal tersebut diperbolehkan tetap harus memandang nilai
kemanusiaan, misalnya dengan mutasi atau mengalihkan kepada perusahaan yang
membutuhkan. Manfaat aturan ini adalah agar karyawan termotivasi dan optimal
dalam menjalankan kinerjanya di perusahaan.
Sistem kerja yang ada di Barat mungkin tidak sama
dengan apa yang ada di Indonesia. Salah satu faktor yang berperan disini adalah
gaya kepemimpinan. Bila seorang pemimpin otoriter dalam menjalankan bisnisnya,
maka di dalam kamus dia tidak ada kata berhenti dan tidak ada kata rugi, mereka
akan mencoba membeikan sanksi tegas kepada karyawanya agar tidak
menghentikan pekerjaanya dan harus
mendapatkan keuntungan bagaimanapun caranya. Hal itu mungkin akan sulit
diterapkan di Indonesia karena atmosfer bisnis memiliki kaitan erat dengan
nilai-nilai kemanusiaan. Hablum minannas sangatlah penting untuk menguatkan
ukhuwah Islamiyah sesama Muslim, dan Indonesia adalah negara yang mayoritas masyarakatnya
adalah Islam.
Meskipun demikian tidak sulit bagi Indonesia
menjalankan prinsip seperti sistem Barat, hanya saja hal itu dilakukan dengan
tidak terpaksa, karena Islam sendiri mengajarkan amanah, disiplin, kebersihan,
dan kejujuran dalam segala hal. Bilamana seseorang memiliki keimanan yang kuat
maka sistem baratpun akan mudah dijalankan tanpa harus takut dengan adanya
sanksi atas pelanggaran sistem tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar