Kamis, 10 Maret 2022

KEDUDUKAN AQIDAH, SYARIAH DAN AKHLAK

 KEDUDUKAN AQIDAH, SYARIAH, DAN AKHLAK

 

A.    DEFINISI ISLAM

Islam adalah kata bahasa Arab yang terambil dari kata salima yang berarti selamat, damai, tunduk, pasrah, dan berserah diri. Obyek penyerahan diri ini adalah Pencipta seluruh alam semesta, yakni Allah SWT. Dengan demikian islam berarti penyerahan diri kepada Allah SWT. 

Tegasnya agama disisi Allah ialah penyerahan diri yang sesungguhnya kepada Allah. Jadi walaupun seseorang mengaku beragama islam, kalau dia tidak menyerah yang sesesungguhnya kepada Allah, belumlah dia islam.

Selanjutnya islam memandang bahwa hidu manusia di dunia ini hanyalah sebagian kecil dari perjelanan kehidupan manusia, karena setelah kehidupan di dunia ini masih ada lagi kehidupan akhirat yang kekal abadi. Namun demikian, nasib seseorang di akhirat nanti bergantung pada apa yang ia kerjakan selama di dunia, sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW. ad-dunya mazra’at al-akhirat (dunia adalah ladang akhirat). Disinilah letak peranan islam sebagai pedoman dan petunjuk hidup manusia di dunia (way of life).

Konsekuensi dari pandangan di atas adalah bahwa ajaran islam tidak hanya terbatas pada masalah hubungan pribadi antara seorang individu dengan penciptanya (hablum minallah), namun mencakup pula masalah hubungan antarsesama manusia (hablum minannas), bahkan juga hubungan antar manusia dengan makhluk lainnya termasuk dengan alam semesta dan lingkungan.

B.     ASPEK-ASPEK DALAM AJARAN ISLAM

Tiga aspek ajaran Islam yang sudah dijabarkan diatas sebenarnya terkait satu sama lain, tidak bisa dipisah-pisahkan.

Iman adalah fondasi bangunan keagamaan seseorang agar ia dapat berperilaku (beraklak) mulia. Kuat lemahnya iman seseorang dapat diukur dan diketahui dari perilaku akhlaknya, karena iman yang kuat akan mewujudkan akhlak yang baik dan mulia, sedangkan iman yang lemah akan mewujudkan akhlak yang buruk. Di lain pihak, bangunan keagamaan ini tidka dapat tegak tanpa tiang-tiang penyangga, yakni islam. Artinya, iman itu menurut pengamalan.  Pandu pengamalan ini diberikan oleh syariat (Islam), yang bila dilaksanakan dengan baik akan membuahkan akhlak yang baik pula.

Agama Islam  memiliki tiga aspek utama, yakni aspek aqidah, aspek syariah, dan aspek akhlak.Akidah disebut juga iman, sedangkan syariah adalah islam, dan akhlak disebut juga ihsan. Aqidah menunjukan kebenaran islam, syariah menunjukan keadilan islam, dan akhlak menunjukan keindahan islam.

1.      Aspek Aqidah

Kata aqidah berasal dari bahasa Arab yaitu ‘aqad yang berarti ikatan. Menurut ahli bahasa, defenisi aqidah adalah sesuatu yang dengannya diikatkan hati dan perasaan halus manusia atau yang dijadikan agama oleh manusia dan dijadikannya pegangan. Jadi, akidah ini bagaikan ikatan perjanjian yang kokoh yang tertanam jauh di dalam lubuk hati sanubari manusia. Ia merupakan suatu bentuk pengakuan/persaksian secara sadar mengenai keyakinan, keimanan, dan kepercayaan, bahwa ada suatu Zat Yang Maha Esa yang telah menciptakan seluruh alam ini beserta isinya.

Singkatnya, aspek akidah yang berhubungan dengan masalah-masalah keimanan dan dasar-dasar agama (ushuluddin). Karena itu, sering kali kata ‘aqidah dan iman digunakan secara bergantian.

2.      Aspek Syariah

Ajaran Islam tidaklah berhenti pada kepercayaan saja. Setelah kita memahami tentang iman serta mempercayai keenam rukun iman, pertanyaan berikutnya adalah apa yang selanjutnya harus dilakukan? Jalan manakah yang harus ditempuh? Manakah yang benar dan manakah yang salah? Apa yang mesti dikerjakan dan apa pula yang harus dihindari? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas diberikan oleh syariah.

Syariah adalah kata bahasa arab yang secara harfiahnya berarti jalan yang ditempuh atau garis yang mestinya dilalui. Secara terminology, defenisi syariah adalah peraturan-peraturan dan hukum yang telah digariskan oleh Allah, atau yang telah digariskan pokok-pokoknya dan dibebankan kepada kaum muslimin supaya mematuhinya, supaya syariah ini diambil oleh orang islam sebagai  penghubung di antaranya dengan manusia. Singkatnya, syariha itu berisi peraturan dan hukum-hukum, yang menentukan garis hidup  yang harus dilalui oleh seorang Muslim.

Menurut ajaran Islam, syariat itu berasal dari Allah. Sebab itu maka sumber syariat, sumber hukum dan sumber undang-undang datang dari Allah sendiri, yang disampaikan kepada manusia dengan perantara rasul dan termaktub di dalam kitab-kitab suci. Namun demikian, tidak seperti akidah yang sifatnya konstan, syariah mengalami perkembangan sesuai dengan kemajuan peradaban manusia. Karena itu, syariah yang berlaku di zaman Nabi Nuh a.s, berbeda dengan syariah di zaman Nabi Musa a.s, dan berbeda pula dengan Nabi Ibrahim a.s, Isa a.s, dan Nabi Muhammad saw. Sebabnya ialah karena setiap umat tentu menghadapi situasi dan kondisi yang khas dan unik, sesuai dengan keadaan mereka sendiri, hal ihwal jalan pikirannya serta perkembangan kerohaniannya. Jadi penerapan syariah ini mengikuti evolusi peradaban manusia, seiring dengan diutusnya rasul-rasul keada umat-umat tertentu pada zaman-zaman tertentu. Proses perkembangan syariah ini pada akhirnya tuntas dengan diutusnya Nabi Muhammad saw. yang membawa syariah Islam. Dengan demikian, tidak ada lagi perkembangan syariah syariah sesudah Nabi Muhammad saw., karena Islam sudah rampung, tuntas dan sempurna. 

Aspek syariah mengalami beberapa pengaruh terhadap perubahan zaman, hukum, dan fiqih. Berikut penjelasan dari pengaruh aspek syariah atas ketiga (3) unsur tersebut:

a.       Syariah dan Perubahan

Fakta menunjukkan bahwa persoalan-persoalan yang dihadapi manusia sepeninggal Nabi Muhammad saw., terus berkembang. Muncul persoalan-persoalan baru yang dahulunya tidak pernah terjadi pada masa-masa nabi. Masyarakat berkembang dengan dinamis dari waktu ke waktu, dan dari tempat ke tempat.

Pertanyaannya adalah, mungkinkah semua perubahan itu diakomodasi oleh syariah yang sudah rampung 14 abad yang lalu? Tidakkah perubahan yang terjadi itu mengharuskan adanya perubahan-perubahan pula dalam syariah?

Sesuai defenisi syariat di atas, kita tau bahwa syariat ada dua bagian, yakni bagian ibadah yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah (hablum minallah), dan bagian muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia (hablum minannas). Bagian ibadah terangkum dalam Rukun Islam yang lima. Sedangkan bagian mualamah mencakup semua aspek hidup manusia dalam interaksinya dengan manusia lain, mulai dari masalah pernikahan, perdagangan/ekonomi, sosial sampai polotik.

Pada bagian ibadah, umumnya tidak terjadi perubahan (evolusi) apa pun. Kondisi hubungan kejiwaan antara seorang hamba dengan Allah tidak berbeda pada zaman nabi dengan zaman informasi kini. Sholat, doa, puasa, zakat, dan haji tetap dapat dilakukan tanpa perlu menyesuaikan dengan perkembangan zaman/tempat. Jadi, dalam soal ibadah, pertanyaan di atas menjadi tidak relevan.

Namun bagaimana dengan masalah-masalah muamalah? Bukanlah masalah muamalah yang dihadapi Rasullah saw sudah jauh berbeda dengan masalah muamalah di zaman modern? Lalu bagaimana caranya masalah perbankan diatur dalam islam?

Di sinilah justru letaknya fleksibelitas syariah islam. Pada umumnya, syariat islam dalam bidang muamalah hanya memberikan petunjuk-petunjuk dan prinsip-prinsip yang sifatnya umum dan mendasar. Hal-hal rinci, detail, dan teknis tidak diatur, tetapi diserahkan kepada manusia melalui proses ijtihad. Nabi bersabda, “Antum a’lamu bi umuuri dunyakum” kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.

Dengan latar belakang di atas, para ulama telah merumuskan suatu kaidah dasar dalam syariah, yang disebut dengan dua hukum asal, yakni hukum asal ibadat dan hukum asal muamalah. Hukum asal ibadat menyatakan bahwa segala sesuatu dilarang dikerjakan, kecuali yang ada petunjuknya dalam Qur’an dan Sunnah. Sedangkan hukum asal muamalah menyatakan bahwa “segala sesuatu dibolehkan, kecuali ada larangan dalam Qur’an atau Sunnah”

b.      Syariah dan Fiqih

Syariah islam adalah hokum-hukum dan peraturan yang dibebankan oleh Allah swt, kepada hamba-hamba-Nya. Syariat berisi perintah-perintah dan larangan. Perintah dan larang ini dalam bahasa teknis ilmu fiqih disebut hukum taklifi. Ketika perintah dan larangan ini disampaikan kepada manusia, maka timbul usaha untuk memahami dan menafsirkan perintah dan larangan tersebut.

Pemahaman dan penafsiran ini dilakukan secara sistematis oleh para ulama dengan menggunakan metode tertentu. Hasil dari usaha sistematis untuk memahami dan menafsirkan perintah dan larangan Allah swt, ini dinamakan fiqih. Singkatnya, fiqih adalah tafsiran ulama atas syariah.

c.       Pembagian hukum

Ketika para ulama berusaha untuk menafsirkan dan memahami syariah yang berisi perintah dan larangan Allah swt itu, maka mereka mendapati bahwa menurut kepastiannya, perintah dan larangan itu (yakni hukum taklifi), dapat digolongkan menjadi dua, yakni yang sifatnya pasti dan tidak pasti. Perintah yang pasti disebut wajib, sedangkan larangan yang pasti disebut haram. Perintah yang tidak pasti disebut  mandub (sunnah), sedangkan larangan yang tidak pasti disebut makruh. Disamping perintah dan larangan Allah memberikan pilihan (takhyir) dan ini disebut mubah. Jadi secara umum, ada lima hokum syara’ yang dikenal dalam fiqih Islam, yakni wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram.

3.  Aspek Akhlak

Akhlak (etika) sering disebut sebagai ihsan (berasal dari kata Arab hasan, yang berarti baik). Defenisi ihsan dinyatakan sendiri oleh nabi dalam hadist berikut: “ihsan adalah engkau beribadat kepada Tuhan seolah-olah engkau melihat-Nya sendiri , kalaupun engkau tidak melihat-Nya, maka ia melihatmu.” HR. Muslim.

Karena itu wajarlah jika akhlak menjadi tujuan puncak dari diutusnya nabi-nabi, dan menjadi tolak ukur kualitas keberagaman seseorang. Ini dinyatakan sendiri oleh nabi dalam salah satu hadistnya, “bahwasanya aku diutus Allah menyempurnakan akhlak (budi pekerti).” HR. Ahmad.

Seperti halnya dengan syariat yang mengatur hablum minallah dan hablum minannas, maka akhlak pun demikian. Akhlak memberikan panduan bagaimana seseorang harus berperilaku terhadap Allah, dan juga terhadap sesama makhluk.

Islam sebagai agama merupakan konsep yang mengatur kehidupan manusia secara komprehensif, menyeluruh dan universal baik dalam hubungannya dengan Sang Pencipta (Habluminallah) maupun dengan altern manusia (Hablumminannas).

Berkaitan fungsinya sebagai makhluk altern yang saling berinteraksi dan menjalankan ekonomi, Islam telah membarikan konsep dasar untuk mengatur mua’amalah amaliyah antar altern manusia itu.

Secara garis besarnya konsep dasar ekonomi Islam adalah sebagai berikut:

a)      Islam menempatkan fungsi uang semata-mata sebagai alat tukar dan bukan sebagai komoditi, sehingga tidak layak untuk diperdagangkan apalagi mengandung altern ketidakpastian atau spekulasi (gharar) sehingga yang ada adalah bukan harga uang apalagi dikaitkan dengan berlalunya waktu tetapi nilai uang untuk menukar dengan barang.

b)      Riba dalam segala bentuknya dilarang bahkan dalam ayat Alquran tentang pelarangan riba yang terakhir yaitu surat Al Baqarah ayat 278-279 secara tegas dinyatakan sebagai berikut:

 

Hai orang-orang yang beriman takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa riba itu jika kamu orang beriman. Kalau kamu tiada memperbuatnya ketahuilah ada peperangan dari Allah dan RasulNya terhadapmu dan jika kamu bertobat maka untukmu pokok-pokok hartamu. Kamu tidak menganiaya dan tidak pula teraniaya

 

c)      Larangan riba juga terdapat dalam ajaran alterna baik perjanjian lama maupun perjanjian baru yang pada intinya menghendaki pemberian pinjaman pada orang lain tanpa meminta bunga sebagai imbalan.

d)     Meskipun masih ada sementara pendapat khususnya di Indonesia yang masih meragukan apakah bunga bank termasuk riba atau bukan, maka sesungguhnya telah menjadi kesepakatan ulama, ahli fikih dan Islamic banker dikalangan dunia Islam yang menyatakan bahwa bunga bank adalah riba dan riba diharamkan.

e)      Tidak memperkenankan berbagai bentuk kegiatan yang mengandung altern spekulasi dan perjudian termasuk didalamnya aktivitas ekonomi yang diyakini akan mendatangkan kerugian bagi masyarakat.

f)       Harta harus berputar (diniagakan) sehingga tidak boleh hanya berpusat pada segelintir orang dan Allah sangat tidak menyukai orang yang menimbun harta sehingga tidak produktif dan oleh karenanya bagi mereka yang mempunyai harta yang tidak produktif akan dikenakan zakat yang lebih besar dibanding jika diproduktifkan. Hal ini juga dilandasi ajaran yang menyatakan bahwa kedudukan manusia dibumi sebagai khalifah yang menerima amanah dari Allah sebagai pemilik mutlak segala yang terkandung didalam bumi dan tugas manusia untuk menjadikannya sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan manusia.

g)      Bekerja dan atau mencari nafkah adalah ibadah dan wajib dlakukan sehingga tidak seorangpun tanpa bekerja – yang berarti siap menghadapi resiko – dapat memperoleh keuntungan atau manfaat(bandingkan dengan perolehan bunga bank dari deposito yang bersifat tetap dan altern tanpa resiko).

h)      Dalam berbagai bidang kehidupan termasuk dalam kegiatan ekonomi harus dilakukan secara transparan dan adil atas dasar suka sama suka tanpa paksaan dari pihak manapun. Antaradlin min kum.

i)        Adanya kewajiban untuk melakukan pencatatan atas setiap transaksi khususnya yang tidak bersifat tunai dan adanya saksi yang bisa dipercaya (simetri dengan profesi akuntansi dan alternat).

j)        Zakat sebagai alternativ untuk pemenuhan kewajiban penyisihan harta yang merupakan hak orang lain yang memenuhi syarat untuk menerima, demikian juga anjuran yang kuat untuk mengeluarkan infaq dan shodaqah sebagai manifestasi dari pentingnya pemerataan kekayaan dan memerangi kemiskinan.

C.    HUBUNGAN IMAN DAN KEPUASAN DALAM PERILAKU EKONOMI

Perlaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup sangat beraneka ragam jalan yang ditempuh. Tidak jarang manusia menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan jalan korupsi, kejahatan atau criminal hanya demi mendapat harta yang berlimpah. Bila itu yang ditunjukkan manusia dalam berperilaku atas pemenuhan kepuasan diri maka sesungguhnya iman seseorang itu lemah.

Manusia yang beriman akan selalu menanamkan dihati dia kebaikan dan kemanfaatan dirinya untuk orang lain, dan selalu menjalankan segala apa yang dianjurkan syariah dan menjauhkan diri terhadap hal-hal yang dilarang oleh agama. Perilaku seseorang dalam memenuhi kepuasan bila di imbangi dengan keimanan yang kuat maka selain dia mendapatan kepuasan lahiriyah dia juga akan mendapatkan kepuasan bathiniyah.

Implementasi perilaku manusia yang selalu diselimuti dengan keimanan akan bisa mendatangkan rezeqi yang berkah dan akan membawa kepada kebaikan, jiwa yang dimiliki juga akan bisa memberi pengaruh positif untuk disekitar dia. “ karena sebaik-baik manusia adalah yang berguna untuk orang lain” hal itu bisa dilihat pada gambar di bawah ini hubungan keimanan dan kepuasan dalam perilaku ekonomi.

 

 

\

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERSPEKTIF EKONOMI SYARIAH DALAM BISNIS KONTEMPORER

  MATERI- PENGANTAR BISNIS ISLAM Oleh: Eny Latifah, S.E.Sy.,M.Ak Perspektif Ekonomi Syariah dalam Bisnis Kontemporer   A.      Pengertian Ek...