KEDUDUKAN AQIDAH, SYARIAH, DAN AKHLAK
A.
DEFINISI
ISLAM
Islam adalah kata bahasa Arab yang terambil dari kata salima yang berarti selamat, damai,
tunduk, pasrah, dan berserah diri. Obyek penyerahan diri ini adalah Pencipta
seluruh alam semesta, yakni Allah SWT. Dengan demikian islam berarti penyerahan
diri kepada Allah SWT.
Tegasnya agama disisi Allah ialah penyerahan diri yang sesungguhnya
kepada Allah. Jadi walaupun seseorang mengaku beragama islam, kalau dia tidak
menyerah yang sesesungguhnya kepada Allah, belumlah dia islam.
Selanjutnya islam memandang bahwa hidu manusia di dunia ini hanyalah
sebagian kecil dari perjelanan kehidupan manusia, karena setelah kehidupan di
dunia ini masih ada lagi kehidupan akhirat yang kekal abadi. Namun demikian,
nasib seseorang di akhirat nanti bergantung pada apa yang ia kerjakan selama di
dunia, sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW. ad-dunya
mazra’at al-akhirat (dunia adalah ladang akhirat). Disinilah letak peranan
islam sebagai pedoman dan petunjuk hidup manusia di dunia (way of life).
Konsekuensi dari pandangan di atas adalah bahwa ajaran islam tidak
hanya terbatas pada masalah hubungan pribadi antara seorang individu dengan
penciptanya (hablum minallah), namun
mencakup pula masalah hubungan antarsesama manusia (hablum minannas), bahkan juga hubungan antar manusia dengan
makhluk lainnya termasuk dengan alam semesta dan lingkungan.
B.
ASPEK-ASPEK DALAM AJARAN ISLAM
Tiga aspek ajaran Islam yang sudah dijabarkan diatas sebenarnya
terkait satu sama lain, tidak bisa dipisah-pisahkan.
Iman adalah fondasi bangunan keagamaan seseorang agar ia dapat
berperilaku (beraklak) mulia. Kuat lemahnya iman seseorang dapat diukur dan
diketahui dari perilaku akhlaknya, karena iman yang kuat akan mewujudkan akhlak
yang baik dan mulia, sedangkan iman yang lemah akan mewujudkan akhlak yang
buruk. Di lain pihak, bangunan keagamaan ini tidka dapat tegak tanpa
tiang-tiang penyangga, yakni islam. Artinya, iman itu menurut pengamalan. Pandu pengamalan ini diberikan oleh syariat
(Islam), yang bila dilaksanakan dengan baik akan membuahkan akhlak yang baik
pula.
Agama Islam memiliki tiga aspek utama, yakni aspek aqidah, aspek syariah, dan aspek akhlak.Akidah disebut juga iman, sedangkan syariah adalah islam, dan akhlak disebut juga ihsan. Aqidah menunjukan kebenaran islam, syariah menunjukan keadilan islam, dan akhlak menunjukan keindahan islam.
1.
Aspek
Aqidah
Kata aqidah berasal dari bahasa Arab yaitu ‘aqad yang berarti ikatan. Menurut ahli
bahasa, defenisi aqidah adalah
sesuatu yang dengannya diikatkan hati dan perasaan halus manusia atau yang
dijadikan agama oleh manusia dan dijadikannya pegangan. Jadi, akidah ini
bagaikan ikatan perjanjian yang kokoh yang tertanam jauh di dalam lubuk hati
sanubari manusia. Ia merupakan suatu bentuk pengakuan/persaksian secara sadar
mengenai keyakinan, keimanan, dan kepercayaan, bahwa ada suatu Zat Yang Maha
Esa yang telah menciptakan seluruh alam ini beserta isinya.
Singkatnya, aspek
akidah yang berhubungan dengan masalah-masalah keimanan dan dasar-dasar agama (ushuluddin). Karena itu, sering kali
kata ‘aqidah dan iman digunakan secara bergantian.
2.
Aspek
Syariah
Ajaran Islam
tidaklah berhenti pada kepercayaan saja. Setelah kita memahami tentang iman
serta mempercayai keenam rukun iman, pertanyaan berikutnya adalah apa yang
selanjutnya harus dilakukan? Jalan manakah yang harus ditempuh? Manakah yang
benar dan manakah yang salah? Apa yang mesti dikerjakan dan apa pula yang harus
dihindari? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas diberikan oleh syariah.
Syariah adalah kata
bahasa arab yang secara harfiahnya berarti jalan yang ditempuh atau garis yang
mestinya dilalui. Secara terminology, defenisi syariah adalah
peraturan-peraturan dan hukum yang telah digariskan oleh Allah, atau yang telah
digariskan pokok-pokoknya dan dibebankan kepada kaum muslimin supaya
mematuhinya, supaya syariah ini diambil oleh orang islam sebagai penghubung di antaranya dengan manusia.
Singkatnya, syariha itu berisi peraturan dan hukum-hukum, yang menentukan garis
hidup yang harus dilalui oleh seorang
Muslim.
Menurut ajaran Islam,
syariat itu berasal dari Allah. Sebab itu maka sumber syariat, sumber hukum dan
sumber undang-undang datang dari Allah sendiri, yang disampaikan kepada manusia
dengan perantara rasul dan termaktub di dalam kitab-kitab suci. Namun demikian,
tidak seperti akidah yang sifatnya konstan, syariah mengalami perkembangan
sesuai dengan kemajuan peradaban manusia. Karena itu, syariah yang berlaku di
zaman Nabi Nuh a.s, berbeda dengan syariah di zaman Nabi Musa a.s, dan berbeda
pula dengan Nabi Ibrahim a.s, Isa a.s, dan Nabi Muhammad saw. Sebabnya ialah
karena setiap umat tentu menghadapi situasi dan kondisi yang khas dan unik,
sesuai dengan keadaan mereka sendiri, hal ihwal jalan pikirannya serta
perkembangan kerohaniannya. Jadi penerapan syariah ini mengikuti evolusi
peradaban manusia, seiring dengan diutusnya rasul-rasul keada umat-umat
tertentu pada zaman-zaman tertentu. Proses perkembangan syariah ini pada
akhirnya tuntas dengan diutusnya Nabi Muhammad saw. yang membawa syariah Islam.
Dengan demikian, tidak ada lagi perkembangan syariah syariah sesudah Nabi
Muhammad saw., karena Islam sudah rampung, tuntas dan sempurna.
Aspek syariah
mengalami beberapa pengaruh terhadap perubahan zaman, hukum, dan fiqih. Berikut
penjelasan dari pengaruh aspek syariah atas ketiga (3) unsur tersebut:
a. Syariah dan Perubahan
Fakta menunjukkan
bahwa persoalan-persoalan yang dihadapi manusia sepeninggal Nabi Muhammad saw.,
terus berkembang. Muncul persoalan-persoalan baru yang dahulunya tidak pernah
terjadi pada masa-masa nabi. Masyarakat berkembang dengan dinamis dari waktu ke
waktu, dan dari tempat ke tempat.
Pertanyaannya
adalah, mungkinkah semua perubahan itu diakomodasi oleh syariah yang sudah
rampung 14 abad yang lalu? Tidakkah perubahan yang terjadi itu mengharuskan
adanya perubahan-perubahan pula dalam syariah?
Sesuai defenisi
syariat di atas, kita tau bahwa syariat ada dua bagian, yakni bagian ibadah
yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah (hablum minallah), dan bagian muamalah yang mengatur hubungan
manusia dengan manusia (hablum minannas). Bagian ibadah terangkum dalam Rukun
Islam yang lima. Sedangkan bagian mualamah mencakup semua aspek hidup manusia
dalam interaksinya dengan manusia lain, mulai dari masalah pernikahan,
perdagangan/ekonomi, sosial sampai polotik.
Pada bagian ibadah,
umumnya tidak terjadi perubahan (evolusi) apa pun. Kondisi hubungan kejiwaan
antara seorang hamba dengan Allah tidak berbeda pada zaman nabi dengan zaman
informasi kini. Sholat, doa, puasa, zakat, dan haji tetap dapat dilakukan tanpa
perlu menyesuaikan dengan perkembangan zaman/tempat. Jadi, dalam soal ibadah,
pertanyaan di atas menjadi tidak relevan.
Namun bagaimana
dengan masalah-masalah muamalah? Bukanlah masalah muamalah yang dihadapi
Rasullah saw sudah jauh berbeda dengan masalah muamalah di zaman modern? Lalu
bagaimana caranya masalah perbankan diatur dalam islam?
Di sinilah justru
letaknya fleksibelitas syariah islam. Pada umumnya, syariat islam dalam bidang
muamalah hanya memberikan petunjuk-petunjuk dan prinsip-prinsip yang sifatnya
umum dan mendasar. Hal-hal rinci, detail, dan teknis tidak diatur, tetapi
diserahkan kepada manusia melalui proses ijtihad. Nabi bersabda, “Antum a’lamu bi umuuri dunyakum” kalian
lebih mengetahui urusan dunia kalian.
Dengan latar
belakang di atas, para ulama telah merumuskan suatu kaidah dasar dalam syariah,
yang disebut dengan dua hukum asal, yakni hukum asal ibadat dan hukum asal
muamalah. Hukum asal ibadat menyatakan bahwa segala sesuatu dilarang dikerjakan, kecuali yang ada petunjuknya dalam
Qur’an dan Sunnah. Sedangkan hukum asal muamalah menyatakan bahwa “segala sesuatu dibolehkan, kecuali ada
larangan dalam Qur’an atau Sunnah”
b.
Syariah
dan Fiqih
Syariah islam adalah
hokum-hukum dan peraturan yang dibebankan oleh Allah swt, kepada
hamba-hamba-Nya. Syariat berisi perintah-perintah dan larangan. Perintah dan
larang ini dalam bahasa teknis ilmu fiqih disebut hukum taklifi. Ketika perintah dan larangan ini disampaikan kepada
manusia, maka timbul usaha untuk memahami dan menafsirkan perintah dan larangan
tersebut.
Pemahaman dan
penafsiran ini dilakukan secara sistematis oleh para ulama dengan menggunakan
metode tertentu. Hasil dari usaha sistematis untuk memahami dan menafsirkan
perintah dan larangan Allah swt, ini dinamakan fiqih. Singkatnya, fiqih adalah tafsiran ulama atas syariah.
c.
Pembagian
hukum
Ketika para ulama
berusaha untuk menafsirkan dan memahami syariah yang berisi perintah dan
larangan Allah swt itu, maka mereka mendapati bahwa menurut kepastiannya,
perintah dan larangan itu (yakni hukum taklifi), dapat digolongkan menjadi dua,
yakni yang sifatnya pasti dan tidak pasti. Perintah yang pasti disebut wajib, sedangkan larangan yang pasti
disebut haram. Perintah yang tidak
pasti disebut mandub (sunnah), sedangkan larangan yang tidak pasti disebut makruh. Disamping perintah dan larangan
Allah memberikan pilihan (takhyir)
dan ini disebut mubah. Jadi secara
umum, ada lima hokum syara’ yang dikenal dalam fiqih Islam, yakni wajib,
sunnah, mubah, makruh, dan haram.
3. Aspek
Akhlak
Akhlak (etika)
sering disebut sebagai ihsan (berasal
dari kata Arab hasan, yang berarti
baik). Defenisi ihsan dinyatakan sendiri oleh nabi dalam hadist berikut: “ihsan
adalah engkau beribadat kepada Tuhan seolah-olah engkau melihat-Nya sendiri ,
kalaupun engkau tidak melihat-Nya, maka ia melihatmu.” HR. Muslim.
Karena itu wajarlah
jika akhlak menjadi tujuan puncak dari diutusnya nabi-nabi, dan menjadi tolak
ukur kualitas keberagaman seseorang. Ini dinyatakan sendiri oleh nabi dalam
salah satu hadistnya, “bahwasanya aku diutus Allah menyempurnakan akhlak (budi
pekerti).” HR. Ahmad.
Seperti halnya
dengan syariat yang mengatur hablum
minallah dan hablum minannas,
maka akhlak pun demikian. Akhlak memberikan panduan bagaimana seseorang harus
berperilaku terhadap Allah, dan juga terhadap sesama makhluk.
Islam sebagai agama
merupakan konsep yang mengatur kehidupan manusia secara komprehensif,
menyeluruh dan universal baik dalam hubungannya dengan Sang Pencipta (Habluminallah)
maupun dengan altern manusia (Hablumminannas).
Berkaitan fungsinya
sebagai makhluk altern yang saling berinteraksi dan menjalankan ekonomi, Islam
telah membarikan konsep dasar untuk mengatur mua’amalah amaliyah antar altern
manusia itu.
Secara garis
besarnya konsep dasar ekonomi Islam adalah sebagai berikut:
a) Islam menempatkan fungsi uang semata-mata
sebagai alat tukar dan bukan sebagai komoditi, sehingga tidak layak untuk
diperdagangkan apalagi mengandung altern ketidakpastian atau spekulasi (gharar)
sehingga yang ada adalah bukan harga uang apalagi dikaitkan dengan berlalunya
waktu tetapi nilai uang untuk menukar dengan barang.
b) Riba dalam segala bentuknya dilarang bahkan
dalam ayat Alquran tentang pelarangan riba yang terakhir yaitu surat Al Baqarah
ayat 278-279 secara tegas dinyatakan sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah
sisa-sisa riba itu jika kamu orang beriman. Kalau kamu tiada memperbuatnya
ketahuilah ada peperangan dari Allah dan RasulNya terhadapmu dan jika kamu
bertobat maka untukmu pokok-pokok hartamu. Kamu tidak menganiaya dan tidak pula
teraniaya”
c) Larangan riba juga terdapat dalam ajaran
alterna baik perjanjian lama maupun perjanjian baru yang pada intinya
menghendaki pemberian pinjaman pada orang lain tanpa meminta bunga sebagai
imbalan.
d) Meskipun masih ada sementara pendapat
khususnya di Indonesia yang masih meragukan apakah bunga bank termasuk riba
atau bukan, maka sesungguhnya telah menjadi kesepakatan ulama, ahli fikih dan
Islamic banker dikalangan dunia Islam yang menyatakan bahwa bunga bank adalah
riba dan riba diharamkan.
e) Tidak memperkenankan berbagai bentuk kegiatan
yang mengandung altern spekulasi dan perjudian termasuk didalamnya aktivitas
ekonomi yang diyakini akan mendatangkan kerugian bagi masyarakat.
f) Harta harus berputar (diniagakan) sehingga
tidak boleh hanya berpusat pada segelintir orang dan Allah sangat tidak
menyukai orang yang menimbun harta sehingga tidak produktif dan oleh karenanya
bagi mereka yang mempunyai harta yang tidak produktif akan dikenakan zakat yang
lebih besar dibanding jika diproduktifkan. Hal ini juga dilandasi ajaran yang
menyatakan bahwa kedudukan manusia dibumi sebagai khalifah yang menerima amanah
dari Allah sebagai pemilik mutlak segala yang terkandung didalam bumi dan tugas
manusia untuk menjadikannya sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan manusia.
g) Bekerja dan atau mencari nafkah adalah ibadah
dan wajib dlakukan sehingga tidak seorangpun tanpa bekerja – yang berarti siap
menghadapi resiko – dapat memperoleh keuntungan atau manfaat(bandingkan dengan
perolehan bunga bank dari deposito yang bersifat tetap dan altern tanpa
resiko).
h) Dalam berbagai bidang kehidupan termasuk dalam
kegiatan ekonomi harus dilakukan secara transparan dan adil atas dasar suka
sama suka tanpa paksaan dari pihak manapun. Antaradlin min kum.
i)
Adanya
kewajiban untuk melakukan pencatatan atas setiap transaksi khususnya yang tidak
bersifat tunai dan adanya saksi yang bisa dipercaya (simetri dengan profesi
akuntansi dan alternat).
j)
Zakat
sebagai alternativ untuk pemenuhan kewajiban penyisihan harta yang merupakan
hak orang lain yang memenuhi syarat untuk menerima, demikian juga anjuran yang
kuat untuk mengeluarkan infaq dan shodaqah sebagai manifestasi dari pentingnya
pemerataan kekayaan dan memerangi kemiskinan.
C.
HUBUNGAN
IMAN DAN KEPUASAN DALAM PERILAKU EKONOMI
Perlaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup sangat
beraneka ragam jalan yang ditempuh. Tidak jarang manusia menghalalkan segala
cara untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan jalan korupsi, kejahatan atau
criminal hanya demi mendapat harta yang berlimpah. Bila itu yang ditunjukkan manusia
dalam berperilaku atas pemenuhan kepuasan diri maka sesungguhnya iman seseorang
itu lemah.
Manusia yang beriman akan selalu menanamkan dihati dia
kebaikan dan kemanfaatan dirinya untuk orang lain, dan selalu menjalankan segala
apa yang dianjurkan syariah dan menjauhkan diri terhadap hal-hal yang dilarang
oleh agama. Perilaku seseorang dalam memenuhi kepuasan bila di imbangi dengan
keimanan yang kuat maka selain dia mendapatan kepuasan lahiriyah dia juga akan
mendapatkan kepuasan bathiniyah.
Implementasi perilaku manusia yang selalu diselimuti
dengan keimanan akan bisa mendatangkan rezeqi yang berkah dan akan membawa
kepada kebaikan, jiwa yang dimiliki juga akan bisa memberi pengaruh positif
untuk disekitar dia. “ karena sebaik-baik manusia adalah yang berguna untuk
orang lain” hal itu bisa dilihat pada gambar di bawah ini hubungan keimanan dan
kepuasan dalam perilaku ekonomi.
\
Tidak ada komentar:
Posting Komentar