Rabu, 09 Maret 2022

PERILAKU KONSUMEN ISLAM

 TEORI PERILAKU KONSUMEN ISLAM

 

A.   PENGERTIAN PERILAKU KONSUMEN

Perilaku Konsumen adalah tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk atau jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusuli tindakan ini (Setiadi 2003).

Perilaku konsumsi yang dikenal dalam istilah bahasa Inggris consumtion behavior makin penting keberadaannya setelah ekonom Inggris John Mynar Lord Kynes (1883-1946) memperkenalkan teorinya yang dikenal dengan istilah Low of

Consumtion (Hukum Konsumsi) yang belakangan mengilhami para penulis ilmu ekonomi mempopulerkan istilah perilaku konsumen dalam tulisan mereka. Perilaku konsumsi sejatinya teori yang dikembangkan dari muara pemahaman akan rasionalisme ekonomi dan utilitarianisme kapitalis. Rasionalisme ekonomi menafsirkan perilaku manusia sebagai sesuatu yang dilandasi dengan perhitungan cermat akan arah pandangan kedepan dan persiapan akan keberhasilan ekonomi  (materil), sedangkan utilitarianisme ditafsirkan sebagai sesuatu yang berlandaskan pada nilai dan sikap moral.

Sedangkan menurut Engel perilaku konsumsi adalah tindakan yang terlibat langsung dalam mendapatkan, mengonsumsi dan menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan itu. Dan menurut Loudon dan Bitta, perilaku konsumsi adalah suatu proses pengambilan keputusan yang mensyaratkan perilaku individu untuk mengevaluasi, memperoleh, menggunakan dan mengatur barang dan jasa. Adapun menurut Kotler dan Amstrong, perilaku konsumsi adalah perilaku individu ataupun rumah tangga dalam bentuk pembelian barang dan jasa untuk konsumsi personal.

Dari beberapa pengertian tersebut dapat dirangkum menjadi komponen-komponen seperti berikut:

1. Perilaku konsumsi menyoroti perilaku individu dan rumah tangga,

2. Perilaku konsumsi menyangkut suatu proses keputusan sebelum pembelian serta tindakan dalam memperoleh, memakai dan menghabiskan suatu produk; dan

 3. Perilaku konsumsi meliputi perilaku yang dapat diamati seperti jumlah yang dibeli, kapan, dengan siapa dan oleh siapa serta bagaimana barang yang sudah dikonsumsi.

Dengan demikian perilaku konsumsi merupakan perilaku keseharian setiap individu atau rumah tangga dalam menggunakan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan diri atau keluarga. Hal ini dapat berbentuk penggunaan satu jenis barang dan jasa untuk memenuhi khusus kebutuhan lahiriah dan dapat bersifat memenuhi khusus kebutuhan batiniah dan dapat pula bersifat memenuhi kebutuhan sekaligus, baik lahiriah maupun batiniah. Perilaku konsumsi dapat berbentuk penggunaan berbagai jenis barang dan jasa seperti sandang, pangan, alat komunikasi dan lain-lain yang bermuara pada pemenuhan kebutuhan hidup sebagai makhluk biologis.

Perilaku konsumsi dalam waktu yang lama lebih dikenal dalam dua macam yaitu perilaku konsumsi rumah tangga individu dan perilaku konsumsi rumah tangga perusahaan.

Dikenalnya dua macam perilaku konsumsi tersebut karena keduanya merupakan subyek permintaan. Akan tetapi menurut Sulistyo, perilaku konsumsi rumah tangga individu menjadi lebih tepat disebut perilaku konsumsi saja dan perilaku konsumsi rumah tangga perusahaan disebut investasi.4 Hal itu terjadi sebab pada kenyataannya, isi permintaan yang datang dari rumah tangga individu adalah permintaan akan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup; dengan kata lain, barang dan jasa yang diminta oleh satu individu atau sebuah rumah tangga

dimaksudkan untuk dikonsumsi. Sedangkan permintaan yang datang dari rumah tangga perusahaan pada umumnya ditujukan untuk membeli barang dan jasa modal yang diperlukan dalam proses produksi, karenanya permintaan akan barang dan jasa

modal adalah bersifat investasi.

Islam sebagai pedoman hidup tidak menonjolkan standar atau sifat kepuasan dari sebuah perilaku konsumsi sebagaimana yang dianut dalam ilmu ekonomi konvensional seperti utilitas dan kepuasan marginal, melainkan lebih menonjolkan aspek normatif. Kepuasan dari sebuah perilaku konsumsi menurut Islam harus berlandaskan pada tuntunan ajaran Islam itu sendiri.

Dalam hal ini Muhammad Nejatullah Siddiqi mengatakan, konsumen harus puas akan perilaku konsumsinya dengan mengikuti normanorma Islam. Konsumen muslim seharusnya tidak mengikuti gaya konsumsi kaum xanthous (orang-orang berkulit kekuningkuningan dan berambut kecoklat-coklatan) yang berkarakteristik menuruti hawa nafsu.

Hal ini diperkuat dengan prinsip dasar dari perilaku konsumsi menurut M. Arif Mufraini (211) adalah seperti yang dikonfirmasikan Q.S. al-Baqarah (2): 168.6

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; Karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.

Selain ayat tersebut, beberapa ayat lain menggariskan prinsip-prinsip pokok perilaku konsumsi, seperti ayat pada Q.S. al-Maidah (5): 88. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah Telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya. Lebih tegas lagi, Yusuf Qardhawi menguraikan beberapa prinsip perilaku konsumsi dalam Islam sebagai berikut:

a.    Dasar pemikiran pola konsumsi dalam Islam adalah hendak mengurangi kelebihan keinginan biologis yang tumbuh dari Faktor-faktor psikis buatan dengan maksud membebaskan energi manusia untuk tujuan-tujuan spiritual.

b.    Anjuran-anjuran Islam mengenai perilaku konsumsi dituntun oleh prinsip keadilan, prinsip kebersihan, prinsip kesederhanaan, prinsip kemurahan hati dan prinsip moralitas.

c.    Pada umumnya kebutuhan-kebutuhan manusia digolongkan ke dalam tiga hal, yaitu (a) barang-barang keperluan pokok, (b) barang-barang keperluan kesenangan dan (c) barang-barang keperluan kemewahan. Dalam tiga pengelompokan ini, Islam menggariskan prinsip menurut urutan prioritas kebutuhan yang dikenal dalam al-maqāṣid al-syarī’ah dengan istilah ḍarūriyyah, hājjiyah dan taḥsīniyyah.8

d.    Kunci untuk memahami perilaku konsumsi dalam Islam tidak cukup dengan hanya mengetahui hal-hal terlarang, tetapi sekaligus harus dengan menyadari konsep dinamik tentang sikap moderat dalam pola konsumsi yang dituntun oleh sikap yang mementingkan bersama konsumen muslim yang lain.

Dari hal-hal yang diuraikan diatas dapat dijelaskan bahwa prinsip perilaku konsumsi yang dapat memberikan kepuasan kepada konsumen menurut Islam adalah barang-barang yang dikonsumsi haruslah halal dan suci menurut syariat. Dalam hal perilaku atau gaya harus pula dalam batas wajar dalam arti tidak berlebih-lebihan (isyrāf) atau boros (tabżīr) meskipun seorang konsumen tergolong hidup kaya atau mampu.

Sedangkan prinsip perilaku konsumsi secara konvensional menurut Winardi, terpatok pada istilah kepuasan (utilitas). Istilah kepuasan dimaksudkan sebagai kemampuan untuk memenuhi suatu kebutuhan. Kemampuan tersebut meliputi (1) kemampuan akan suatu benda material atau jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia dan (2) kebutuhan yang berhubungan dengan istilah public policy.

Jadi istilah kepuasan perilaku konsumsi bermakna suatu kepuasan yang diperoleh seseorang atau sebuah rumah tangga melalui penggunaan akhir barang-barang dan jasa-jasa konsumsi dari berbagai komoditi.

Menerangkan perilaku pembeli dalam menggunakan dan membelanjakan pendapatan yang diperolehnya, yaitu :

a)    Alasan para pembeli / konsumen untuk membeli lebih banyak barang pada harga yang lebih rendah akan mengurangi pembelian pada harga yang tinggi.

b)    Bagaimana seseorang konsumen menentukan jumlah dan komposisi dari barang yang akan dibeli dari pendapatan yang diperolehnya.

 

B.   SURPLUS KONSUMEN

Surplus konsumen, yaitu kelebihan atau perbedaan antara kepuasan total atau total utility (yang dinilai dengan uang) yang Sdinikmati konsumen dari mengkonsumsikan sejumlah barang tertentu dengan pengorbanan totalnya (yang dinilai dengan uang) untuk memperoleh atau mengkonsumsikan jumlah barang tersebut.

Kesediaan Membayar (willingness to pay)

Kesediaan Membayar adalah jumlah maksimum yang mau dibayar oleh konsumen untuk memperoleh suatu barang. Sedangkan surplus konsumen (consumer surplus) adalah selisih antara kesediaan konsumen membayar dengan nilai yang sesungguhnya ia bayarkan.

Sebagai contoh, umpamakan saja anda memiliki album rekaman pertama Elvis Presley yang sekarang sudah amat langka. Karena anda bukan penggemar berat Elvis, maka anda berniat menjualnya. Untuk memperoleh harga tertinggi, maka ia mengadakan lelang.

Ada empat orang penggemar Elvis, mereka adalah John, Paul, Ringo dan George.  Mereka mau membeli namun dengan dibatasi oleh jumlah maksimum yang mau mereka bayarkan untuk membelinya. Tabel 1 memperlihatkan harga maksimum yang mau mereka bayarkan. Batas maksimal yang mau dibayarkan oleh masing-masing pembeli itulah yang disebut dengan Kesediaan Membayar.

Tabel Empat Kesediaan Membayar dari Para Calon Pembeli

 

Calon Pembeli

Kesediaan Membayar ($)

John

Paul

George

Ringo

100

80

70

50

Setelah dilakukan tawar menawar, maka album tersebut terjual pada John yang mau membayar $100, namun kenyataannya ia hanya membayar $80 karena penawar yang lain tidak mau membayar lebih dari $80. John memperoleh keuntungan ekstra sebesar $20, dan keuntungan inilah yang disebut sebagai surplus konsumen. Sedangkan tiga penawar yang lain tidak mendapat surplus konsumen karena mereka tidak mendapatkan album dan juga tidak membayar apa-apa.

Apa yang Diukur oleh Surplus Konsumen?

Tujuan mempelajari konsep surplus konsumen ini adalah untuk membuat penilaian normatif tentang diinginkan atau tidaknya hasil yang dibuahkan oleh mekanisme pasar. Surplus konsumen pada dasarnya mengukur manfaat atau keuntungan yang diterima pembeli dari suatu barang, berdasarkan penilaian konsumen itu sendiri. Kunci untuk tetap menyadari pentingnya surplus konsumen adalah dengan menghormati preferensi (pilihan atau kecenderungan perilaku) pembeli. Namun disebagian besar pasar kita dapat menyimpulkan dengan aman bahwa surplus konsumen merupakan cerminan kesejahteraan ekonomis para konsumen. Para konsumen biasanya mengasumsikan bahwa para pembeli adalah para pembuat keputusan yang rasional sehingga preferensi mereka harus dihormati.


C.   SURPLUS PRODUSEN

Misalnya, ketika anda ingin mengecat rumah anda, maka anda akan mencari tukang cat, anda mendapati empat tukang yang bersedia yakni Mary, Louise, Georgia, dan Paman anda sendiri. Agar mendapat harga termurah, maka anda mengadakan lelang.

Pada prinsipnya, keempat tukang cat itu mau menjual jasanya asalkan harga yang mereka terima lebih besar daripada biaya pengecatan. Di sini istilah Biaya (cost) adalah nilai segala sesuatu yang harus dikorbankan penjual dalam memproduksi suatu barang. Di dalamnya harus tercakup semua pengeluaran (untuk membeli cat, kuas, sewa tangga, dll), serta nilai waktu yang mereka habiskan untuk mengecat rumah anda. Tabel 5.2 menunjukkan biaya yang mereka ambil.

Tabel Empat Kesediaan Menjual dari Para Calon Penjual

Calon Penjual Jasa

Kesediaan Menjual ($)

Mary

Louise

Georgia

Paman Anda

900

800

600

500

 

Lelang dimulai, karena keempat tukang cat itu sama-sama menginginkan pekerjaan, mereka bersaing menurunkan harga hingga batas minimal, yakni mendekati atau sama dengan kesediaan menjualnya. Begitu Paman anda menawarkan ongkos hanya sebesar $600 atau sedikit lebih rendah, maka ia pun langsung mengungguli tiga tukang cat lainnya karena ia sendiri yang mau mengecat rumah anda dengan ongkos di bawah $600.

Keuntungan yang diterima paman anda adalah, selain bisnisnya berjalan lancar, si paman mendapat keuntungan tambahan dengan menerima bayaran sedikit dibawah $600, karena ia mampu mengerjakannya dengan ongkos $500. dalam kasus ini paman anda dikatakan memperoleh surplus produsen, yaitu jumlah pembayaran yang diterima penjual dikurangi biaya yang dipikulnya.

 

D.   EFISIENSI PASAR

Surplus konsumen dan surplus produsen adalah perangkat dasar yang digunakan para ekonom untuk mengukur kesejahteraan ekonomis para penjual dan pembeli di sebuah pasar.

Pengatur Ekonomi yang Bijak

Untuk mengevaluasi hasil-hasil pasar, kita umpamakan seorang pejabat pemerintah yang serba bisa. Ia adalah seorang diktaktor yang serba tahu, sangat berkuasa, dan juga memiliki niat baik dalam mengatur perekonomian. Ia ingin memaksimalkan kesejahteraan ekonomi bagi segenap warga masyarakatnya. Apakah ia akan membiarkan para penjual dan pembeli berusaha sendiri mencapai kondisi ekuilibrium secara alamiah? Atau, haruskah ia melakukan sesuatu untuk mempengaruhi pasar?

Jawabannya, si pejabat pertama-tama harus mengetahui cara pengukuran kesejahteraan ekonomis bagi masyarakatnya. Salah satu caranya adalah dengan menghitung surplus produsen dan surplus konsumen yang disebut dengan surplus total (total surplus). Jika kita rumuskan, maka total surplus adalah sebagai berikut :

Total surplus             = surplus konsumen + surplus produsen

                                   = (nilai barang bagi pembeli – jumlah yang dibayar pembeli) +

                                      (jumlah yang diterima penjual – biaya produksi yang dikeluarkan)

Jumlah yang dibayarkan pembeli sesungguhnya sama dengan jumlah yang diterima penjual, sehingga rumus total surplus dapat disederhanakan menjadi :

Total surplus    = nilai barang bagi pembeli – biaya produksi

Jika suatu alokasi sumber daya dapat memaksimalkan surplus total, maka alokasi itu dikatakan mempunyai efisiensi (efficiency). Selain efisiensi, pejabat pemerintah yang berkuasa itu juga harus memperhatikan kesemarataan (equality), yakni aspek keadilan atau pemerataan distribusi kesejahteraan diantara segenap pembeli dan penjual.

Ada beberapa pokok yang dibuahkan oleh mekanisme pasar bebas, sebagai berikut :

1.    Pasar bebas mengalokasikan penawaran barang kepada pembeli yang memberikan penilaian tertinggi atas barang itu, yang dapat diukur berdasarkan kesediaan membelinya.

2.    Pasar bebas mengalokasikan permintaan atas suatu barang kepada para penjual yang mampu memproduksinya dengan biaya yang paling rendah.

3.    Pasar bebas memproduksi suatu barang dalam kuantitas tertentu yang dapat memaksimalkan seluruh surplus produsen dan surplus konsumen.

Dengan tiga kesimpulan tentang hasil-hasil pasar di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa ekuilibrium pasar memaksimalkan seluruh surplus produsen dan surplus konsumen. Dengan kata lain, kondisi ekuilibrium itu identik denga alokasi sumber daya yang efisien. Karenanya, tugas si pejabat tadi sebenarnya sangat mudah, ia cukup membiarkan pasar bekerja sebagaimana adanya, dan ia tidak perlu berbuat apa-apa lagi.

Efisiensi Pasar dan Kegagalan Pasar

Pertama-tama kita berpegang bahwa pasar bebas itu bersifat kompetitif sempurna. Padahal dalam kenyataan sehari-hari, kompetisi/persaingan yang berlangsung di pasar sering jauh sekali dari sempurna. Kemampuan suatu pihak dalam menentukan harga secara sepihak inilah yang disebut sebagai kuasa pasar (market power). Keberadaan kuasa pasar mengakibatkan sebuah pasar menjadi tidak efisien karena hal itu menjauhkan harga dan kuantitas ideal dari ekuilibrium penawaran dan permintaan.

Asumsi kedua yang kita gunakan sebagai dasar analisis kita adalah bahwa hasil-hasil pasar hanya berkaitan denga kepentingan pembeli dan penjual. Padahal dalam kenyataannya, keputusan-keputusan para pembeli dan penjual tidak hanya mempengaruhi mereka saja, namun juga mempengaruhi orang-orang yang sama sekali tidak terlibat dalam interaksi pasar, contohnya adalah polusi. Dampak sampingan ini disebut sebagai “eksternalitas” (externality).

Keberadaan kuasa pasar dan eksternalitas merupakan dua bentuk menonjol dari apa yang disebut sebagai “kegagalan pasar” (market failure), yakni ketidak mampuan sebagian pasar bebas sehingga tidak dapat mengalokasikan sumber-sumber daya secara efisien.

Aplikasi : Biaya Perpajakan

Sepintas lalu, dampak pengenaan pajak terhadap kesejahteraan pihak yang dikenai pajak sudah nampak jelas. Begitu pajak diberlakukan, maka kesejahteraan para penjual dan pembeli mengalami penurunan. Pajak memperbesar harga yang harus dibayar pembeli, sekaligus menurunkan pendapatan yang seharusnya diterima oleh para penjual.

Namun untuk memahami sepenuhnya dampak-dampak yang ditimbulkan oleh pengenaan pajak terhadap kesejahteraan ekonomi para pelaku pasar, kita harus membandingkan besarnya penurunan kesejahteraan penjual dan pembeli itu dengan jumlah yang diterima pemerintah.

Beban Baku Perpajakan

Jika pajak dibebankan terhadap para pembeli, kurva permintaan akan bergeser kebawah sebesar pajak tersebut. Sedangkan jika pajak itu dibebankan pada para penjual, maka hal tersebut akan menggeser kurva penawaran ke atas sebesar pajak itu. Dalam kedua kasus ini, pengenaan pajak itu sama-sama menaikkan harga yang harus dibayar pembeli, sedangkan pendapatan yang diterima produsen dari penjualan produknya menjadi berkurang. Artinya, pengenaan pajak itu selalu akan mengurangi surplus total bagi pembeli dan penjual. Itulah yang disebut dengan “beban baku” (deadweight loss) pajak. Akibat dari adanya beban pajak ini, kuantitas barang yang terjual akan turun, lebih rendah daripada tingkatannya seandainya beban pajak itu tidak ada. Dalam kalimat lain, pemberlakuan pajak terhadap suatu jenis barang akan mengakibatkan pasar barang tersebut menyusut. Namun dengan pajak inilah pemerintah membiayai berbagai program dan jasa pelayanan umum, mengadakan polisi untuk keamanan, pendidikan, dan menyediakan bantuan langsung kepada masyarakat miskin.

Kesejahteraan Sebelum Pengenaan Pajak

Untuk melihat sejauh mana dampak-dampak pengenaan pajak terhadap kesejahteraan ekonomi, terlebih dahulu kita harus mengetahui situasi kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan sebelum pemerintahannya memberlakukan pajak. Perhatikan tabel berikut, yang menunjukkan diagram penawaran dan permintaan.

 

Tabel Pengenaan Pajak Mempengaruhi Kesejahteraan Para Penjual dan Pembeli.

 

Sebelum Pajak

Sesudah Pajak

Perubahan

Surplus konsumen

Surplus produsen

Pendapatan pajak

Surplus total

A + B + C

D + E + F

Tidak ada

A + B + C + D + E + F

A

F

B + D

A + B + D + F

- (B + C)

- (D + E)

+ (B + D)

- (C + E)

 

Kurva permintaan mencerminkan kesediaan membayar para pembeli, maka surplus konsumennya adalah bidang yang terletak diantara kurva permintaan dan garis harga atau A + B + C. Demikian pula, karena kurva penawaran mencerminkan biaya produksi yang harus ditanggung penjual, maka surplus produsennya adalah bidang yang terletak diantara kurva penawaran dan garis harga, atau D + E + F. Karena pajak belum dipungut, maka pendapatan pajaknya sama dengan nol. Surplus total adalah penjumlahan dari surplus produsen dan surplus konsumen, atau A + B + C + D + E + F.

Kesejahteraan Setelah Pengenaan Pajak

Setelah pemerintah mengenakan pajak, harga yang harus dibayar menjadi meningkat, sehingga surplus konsumen menyusut menjadi hanya A. Sedangkan harga atau pendapatan yang diterima penjual juga berkurang menjadi hanya F. Sehingga terciptalah pendapatan pajak bagi pemerintah sebesar B + D. Untuk mengetahui surplus total setelah pajak diterapkan, maka hasilnya : A + B + D + F.

Perubahan Kesejahteraan

Kini kita dapat melihat dampak pengenaan pajak dengan membandingkan kondisi kesejahteraan sebelum dan sesudah pajak. Pajak mengakibatkan surplus konsumen turun senilai B + D, dan penyusutan surplus produsen sebesar D + E. Pendapatan pajak yang semula tidak ada tercipta sebesar B + D. Jelaslah bahwa pajak mengakibatkan kerugian bagi penjual dan pembeli, dan di sisi lain memberikan keuntungan bagi pemerintah.

Beban Baku Pajak dan Keuntungan Perdagangan

Untuk memperoleh gambaran tambahan mengapa pajak menimbulkan beban baku, simaklah contoh berikut ini. Joe bekerja sebagai pembersih rumah Jane dengan upah $100 per minggu. Biaya oportunitas atas waktu Joe adalah $80. Sedangkan nilai kebersihan rumah bagi Jane adalah $120. Dengan demikian, Jane dan Joe sama-sama memperoleh keuntungan $20, sedangkan surplus totalnya adalah $40.

Kemudian andaikan pemerintah menerapkan pajak sebesar $50 per minggu kepada para pembersih rumah. Upah maksimal yang mau dibayarkan Jane adalah $120, dan Joe sulit menerima upah itu karena setelah dipotong pajak ia hanya akan memperoleh $70, yang lebih rendah dari biaya oportunitasnya. Demikian pula sebaliknya, upah minimum yang diinginkan Joe adalah $130 (biaya oportunitas plus pajak), dan Jane tidak akan mau membayarnya karena melampaui nilai yang diberikannya untuk kebersihan rumahnya yang hanya $120. Kesepakatan pun takkan tercapai sehingga Joe kini harus menganggur sedangkan Jane harus rela hidup di rumah yang berantakan.

Pengenaan pajak itu mengakibatkan Joe dan Jane dirugikan $40  yang seharusnya menjadi surplus total mereka. Sedangkan di pihak lain pemrintah tidak memperoleh pendapatan apa-apa karena kesepakatan antara Joe dan Jane tidak terjadi. $40 itulah yang merupakan beban baku yang ditimbulkan oleh pajak, yang merugikan penjual dan pembeli di pasar. Dari analisis ini kita dapat menarik satu kesimpulan lagi mengenai pajak sebagai sumber beban baku : pajak mengakibatkan beban baku karena menghalangi penjual dan pembeli meraih keuntungan perdagangan.

Pajak menimbulkan beban baku karena pajak mendorong perubahan perilaku para penjual dan pembeli sedemikian rupa hingga mengganggu efisiensi pasar. Penerapan pajak mengakibatkan kenaikan harga yang harus dibayar pembeli, sehingga mereka pun mengurangi konsumsi atau pembeliannya. Pajak itu sekaligus menurunkan pendapatan yang seharusnya diterima penjual, sehingga mereka mengurangi produksinya.

Beban Baku dan Pendapatan Pajak pada Berbagai Tingkat/Tarif Pajak

Tarif pajak dimana pun biasanya sering berubah-ubah. Para pembuat kebijakan di tingkat lokal, provinsi, negara bagian hingga tingkat federal atau nasional, seringkali tergoda untuk menaikkan atau menurunkan tarif pajak demi memacu perekonomian sekaligus memperbesar pendapatan pemerintah.

Pendapatan pajak (tax revenue) yang diterima pemerintah adalah hasil perkalian antara tarif pajak dengan jumlah penjualan. Jika tarif pajak masih saja dinaikkan, maka tidak akan ada pendapatan baru dari pajak, bahkan pendapatan yang ada akan turun, karena masyarakat akan terus menekan/mengurangi pembelian atau penjualannya.


E.    MOTIF PERILAKU KONSUMSI MASYARAKAT

Perilaku konsumsi seseorang dipengaruhi oleh latar belakang yang sangat kompleks. Latar belakang itu menurut Arif Mufraini antara lain, tingkat pengetahuan, wawasan, lingkungan sosial budaya, kemampuan ekonomi dan kepribadian (psikologis). Karena itu, antara seorang individu dengan individu lainnya akan berbeda sifat dan perilaku konsumsinya. Orang yang berpengetahuan dan berwawasan luas akan berbeda motif perilaku konsumsinya dengan orang yang berpengetahuan dan berwawasan sempit. Orang yang hidup di tengah-tengah lingkungan dan budaya yang maju akan berbeda motif perilaku konsumsinya dengan orang yang hidup ditengah-tengah lingkungan dan budaya terbelakang. Orang yang memiliki kehidupan ekonomi yang kuat akan berbeda motif perilaku konsumsinya dengan orang yang memiliki kehidupan ekonomi yang lemah. Orang yang memiliki kepribadian keagamaan yang baik akan berbeda motif perilaku konsumsinya dengan orang yang memiliki kepribadian keagamaan yang buruk; dan seterusnya. Dalam perspektif agama Islam misalnya, bahwa motif perilaku konsumsi orang muslim, teristimewa yang memiliki pengetahuan dan wawasan agama serta keimanan yang baik adalah bermotifkan tuntunan perintah agama. Mengingat agama Islam memerintahkan makan, minum, berpakaian, bersilaturahim dan lain-lain agar tidak terjadi kerusakan diri, hal ini ditegaskan dalam Q.S. al-A'raaf (7): 31-32.

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihlebihan.

Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat." Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.

 

Dalam perspektif ilmu kesehatan misalnya, sudah pasti dapat dikatakan bahwa motif perilaku konsumsi seseorang adalah bagaimana senantiasa memiliki kesehatan yang prima. Demikian pula dalam perspektif adat dan budaya, bahwa motif perilaku konsumsi seseorang adalah di samping untuk memelihara kesehatan dan mungkin menjalankan perintah agama, sekaligus juga untuk mempertunjukkan dan memelihara khazanah kearifan lokalnya.

Dalam ilmu ekonomi konvensional, menurut Sulistyo disebutkan, bahwa perilaku konsumsi seseorang dipengaruhi oleh faktor internal di dalam diri manusia dan faktor eksternal dari luar diri manusia. Keynes mengemukakan, perilaku konsumsi didorong motif yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri yang bersifat subyektif, yaitu keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang meminta barang dan jasa karena barang dan jasa dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yang bersifat material. Tetapi di lain pihak perilaku konsumsi seseorang dapat diimbas (include) dari luar melalui iklan-iklan yang gencar dipasang di berbagai media, hal ini dapat memengaruhi keputusan seseorang pada era modern untuk berkonsumsi. Banyak orang membeli barang dan jasa hanya karena tertarik oleh iklan dan sama sekali tidak ada kaitan dengan usaha pemenuhan kebutuhan hidupnya. Karena itu kata Sulistyo, pengaruh dari luar itu bersifat obyektif, sebab dapat memengaruhi perilaku konsumsi siapa pun juga. Kedua motif (subyektif dan obyektif) tersebut menggambarkan, perilaku konsumsi seseorang ada yang didorong oleh faktor ekonomi, yaitu pemenuhan kebutuhan hidup; dan ada yang didorong oleh faktor non ekonomi, yaitu lebih untuk pemenuhan keinginan hasrat hawa nafsu. Motif subyektif menggambarkan faktor ekonomi; dan motif obyektif menggambarkan bukan faktor ekonomi, melainkan dipengaruhi oleh faktor psikis, sosiologis dan lain-lainnya. Selain itu kedua motif tersebut menggambarkan pula sebuah indikasi moralitas dan etika. Motif subyektif menggambarkan kualitas moral dan etika yang baik, sedang motif obyektif menggambarkan kualitas moral dan etika yang kurang baik.


F.    TUJUAN PERILAKU KONSUMSI MASYARAKAT

Kegiatan ekonomi yang pada dasarnya lebih bersifat suatu ikhtiar untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama seluruh individu, namun dalam perjalanannya berubah menjadi suatu upaya untuk memperbesar kepemilikan atau persediaan. Karena itu yang menonjol kemudian adalah keserakahan dalam memiliki pesediaan material dan bukan lagi sarana untuk dapat mencukupkan persediaan akan kebutuhan yang ada. Hal ini menurut Machasin, secara makro terlihat jelas dalam pengerukan sumber daya alam secara besar-besaran di satu sisi dan hasil dari pengerukan itu dikonsumsi dengan cara yang sangat tidak hemat di lain sisi. Sikap hemat dirasakan bertentangan dengan atau dapat menodai harga diri orang yang memiliki persediaan atau harta yang lebih. Semakin besar jumlah harta yang dimiliki seseorang semakin besar pengeluarannya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.

Kegiatan ekonomi saat ini sebagaimana dikatakan Suparlan Suhartono, bahwa ia telah menjadi lahan subur bagi sifat serakah, sikap dan perbuatan bersaing yang bercorak liberalism kapitalistik, yang mengancam dan merusak moral persamaan dan kerja sama sebagai asas dasar kehidupan sosial manusia, sehingga yang terjadi adalah siapa yang kuat dialah yang menang, sebaliknya mereka yang lemah, yang tidak bermodal tetap sulit keluar dari penderitaan. Kini hampir sebagian besar manusia di dunia ini terjebak dalam suatu krisis moral yang parah. Sistem ekonomi kapitalis dengan orientasi yang materiaslistis sudah hampir menyelimuti dunia ini, sehingga krisis moral tersebut sulit diatasi. Akibatnya lingkungan hidup disekitar kita banyak yang tidak sehat dan sumber dayanya juga dalam krisis, bahkan kini krisis lingkungan hidup telah menjadi isu global. Dunia manusia seolah terbelah menjadi dua, yaitu mereka yang berebut kemewahan dan mereka yang menahan lapar dahaga. Kedua belah pihak inilah yang saling berperang dan mereka bersamasama saling berlomba mengeksploitasi sumber daya alam dan mencemari lingkungan hidup. Lebih dari itu menurut Suparlan, bahwa kegiatan ekonomi saat ini sebenarnya telah terjadi paradoksal di dalamnya. Di satu sisi (dalam aspek produksi), yaitu yang berhubungan langsung dengan barang-barang dan jasa-jasa produksi memperlihatkan pertumbuhan yang amat signifikan; namun di sisi lain, mengakibatkan pergeseran nilai-nilai yang terkandung dalam pandangan hidup dari yang kualitatif spiritual menjadi kuantitatif material, yang dari padanya menyebabkan semakin menurunnya derajat moralitas kebanyakan orang sebagai manusia. Paradoksal dan pergesaran itu termasuk terjadi dalam mikro ekonomi, yaitu motif perilaku Konsumsi seseorang bukan lagi didorong atau dipengaruhi oleh faktor material semata, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor manusia atau individu lain. sehingga seseorang dalam berperilaku konsumsi akan merasa selalu dinilai oleh orang lain.


G.   ETIKA KONSUMSI DALAM ISLAM

Perilaku konsumsi seringkali dipandang sebagai homogenisasi atau heterogenisasi budaya global. Homogenisasi dapat diartikan bahwa budaya lokal akan terkooptasi oleh budaya global atau justru yang terjadi sebaliknya. Budaya lokal akan semakin menunjukkan eksistensinya di tengah berkembangnya budaya global. Perubahan perilaku konsumsi seringkali dipandang sebagai hal yang negatif, menjadi kambing hitam dalam beberapa hal termasuk terdegradasinya budaya lokal, budaya bangsa maupun budaya Islam.

Sebagaimana dalam ilmu ekonomi konvensional, bahwa motif perilaku konsumsi dikenal dua macam, yaitu motif internal (dari diri manusia) dan motif ekstenal (dari luar diri manusia), demikian juga dalam Islam terdapat apa yang disebut motif internal dan eksternal dalam konsumsi.

1.    Motif Internal.

Adapun motif internal yang dimaksud adalah motif yang tumbuh dalam diri seorang muslim dalam bentuk ingin selalu hidup sehat dan kuat. Motif ini didasarkan pada hadis Nabi saw. berikut ini:

Dari Anas, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: Orang mukmin yang

kuat lebih baik dan lebih disukai Allah dari pada orang mukmin yang

lemah (H. R. Ahmad).

2.    Motif Eksternal

Sedangkan motif eksternal yang dimaksud adalah sebuah motif dari luar diri manusia dalam bentuk ingin memenuhi kebutuhan kenyamanan dari pelakunya dan secara sosiologis ingin mendapatkan penilaian positif (visualitas estetik) dari orang lain atau publik. Motif ini merupakan motif yang secara syar'I termasuk absah dan positif. Motif ini didasarkan pada hadis Nabi

saw. berikut:

Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walau hanya sekecil atom (dzarrah). Seorang laki-laki berkata: bahwa sesungguhnya bagaimana halnya seorang laki-laki yang memakai baju dan sepatu/sandal yang bagus. Rasulullah berkata: bahwa sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai yang indah. Kesombongan itu mengenyahkan kebenaran dan merendahkan manusia - (H.R. Muslim).

Seperti dirasakan dan disaksikan dalam kehidupan seharihari, bahwa hidup sehat dan kuat mutlak harus ditopang oleh perilaku konsumsi, baik perilaku konsumsi yang berkaitan sandang maupun pangan ataupun papan. Bahkan perilaku konsumsi itu telah diatur dalam Islam sedemikian rupa guna mencapai tingkat kesehatan dan kekuatan yang prima. Demikian juga halnya kehidupan yang ditopang oleh fasilitas yang baik atau bagus, akan mendatangkan perilaku hidup yang baik dan bagus pula, baik perilaku itu bersifat perilaku keagamaan maupun bersifat perilaku keduniaan.

H.   PERILAKU KONSUMSI DALAM PANDANGAN EKONOMI ISLAM

Islam sebagai pedoman hidup mengatur segenap perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian pula masalah konsumsi, Islam mengatur bagaimana manusia bisa melakukan kegiatan-kegiatan konsumsi yang membawa manusia berguna bagi kemaslahatan hidupnya. Islam telah mengatur jalan hidup manusia melalui Alquran dan Hadis, supaya manusia di jauhkan dari sifat yang hina karena perilaku konsumsinya. Perilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasulullah saw. akan menjamin kehidupan manusia yang lebih sejahtera. Seorang muslim dalam berkonsumsi didasarkan atas beberapa pertimbangan:

Pertama, Manusia tidak kuasa sepenuhnya mengatur detail permasalahan ekonomi masyarakat atau Negara, bahkan manusia tidak dapat memaksakan cara pemenuhan hidup orang lain kepada dirinya ataupun sebaliknya. Terselenggaranya keberlangsungan hidup manusia diatur oleh Allah swt. dalam Q.S. al-Waqi’ah (56): 68-69. Maka Terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya atau kamikah yang menurunkannya?

Kedua, dalam konsep Islam kebutuhan yang membentuk pola konsumsi seorang muslim, sebab pola konsumsi yang didasarkan atas kebutuhan akan menghindari pengaruhpengaruh pola konsumsi yang tidak perlu. Dalam Q.S. Āli ’Imrān (3):180 dijelaskan:

Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

 

Ketiga, Perilaku konsumsi dalam pandangan Islam akan melihat bagaimana suasana psikologi orang lain. Dengan konsep ini maka Islam menjamin terbangunnya pembangunan masyarakat yang berkeadilan, terhindar dari kesenjangan sosial atau diskriminasi sosial. Q.S. al-Nisā (4): 29 menjelaskan:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu.

Teori ekonomi menjelaskan bahwa kepuasan seseorang dalam mengkonsumsi suatu barang dinamakan utility atau nilai guna. Jika kepuasan semakin tinggi maka semakin tinggi pula nilai gunanya, sebaliknya bila kepuasan semakin rendah maka semakin rendah pula nilai gunanya. Oleh karena itu kepuasan seorang muslim tidak didasarkan atas banyak sedikitnya barang yang bisa dikonsumsi, tetapi lebih dikarenakan apa yang dilakukannya sebagai ibadah dengan memenuhi apa yang diperintahkan Allah swt dan menjauhi segala larangan Allah swt. Tindakan-tindakan yang merugikan, seperti pemborosan, dilarang Allah sebagaimana tersebut dalam Q.S. al-Israa‘ (17): 26-27.

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah Saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. Demikian pula dalam surat al-A`raaf/7: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebihlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERSPEKTIF EKONOMI SYARIAH DALAM BISNIS KONTEMPORER

  MATERI- PENGANTAR BISNIS ISLAM Oleh: Eny Latifah, S.E.Sy.,M.Ak Perspektif Ekonomi Syariah dalam Bisnis Kontemporer   A.      Pengertian Ek...