TEORI PERILAKU KONSUMEN ISLAM
A. PENGERTIAN PERILAKU KONSUMEN
Perilaku Konsumen adalah tindakan
yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk
atau jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusuli tindakan ini
(Setiadi 2003).
Perilaku konsumsi yang dikenal dalam
istilah bahasa Inggris consumtion
behavior makin penting keberadaannya setelah ekonom Inggris John Mynar Lord
Kynes (1883-1946) memperkenalkan teorinya yang dikenal dengan istilah Low of
Consumtion
(Hukum Konsumsi) yang belakangan mengilhami para penulis ilmu ekonomi
mempopulerkan istilah perilaku konsumen dalam tulisan mereka. Perilaku konsumsi
sejatinya teori yang dikembangkan dari muara pemahaman akan rasionalisme
ekonomi dan utilitarianisme kapitalis. Rasionalisme ekonomi menafsirkan
perilaku manusia sebagai sesuatu yang dilandasi dengan perhitungan cermat akan
arah pandangan kedepan dan persiapan akan keberhasilan ekonomi (materil), sedangkan utilitarianisme
ditafsirkan sebagai sesuatu yang berlandaskan pada nilai dan sikap moral.
Sedangkan menurut Engel perilaku
konsumsi adalah tindakan yang terlibat langsung dalam mendapatkan, mengonsumsi
dan menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan
mengikuti tindakan itu. Dan menurut Loudon dan Bitta, perilaku konsumsi adalah
suatu proses pengambilan keputusan yang mensyaratkan perilaku individu untuk
mengevaluasi, memperoleh, menggunakan dan mengatur barang dan jasa. Adapun
menurut Kotler dan Amstrong, perilaku konsumsi adalah perilaku individu ataupun
rumah tangga dalam bentuk pembelian barang dan jasa untuk konsumsi personal.
Dari beberapa pengertian tersebut
dapat dirangkum menjadi komponen-komponen seperti berikut:
1. Perilaku konsumsi menyoroti perilaku individu dan rumah
tangga,
2. Perilaku konsumsi menyangkut suatu proses keputusan
sebelum pembelian serta tindakan dalam memperoleh, memakai dan menghabiskan
suatu produk; dan
3. Perilaku konsumsi
meliputi perilaku yang dapat diamati seperti jumlah yang dibeli, kapan, dengan
siapa dan oleh siapa serta bagaimana barang yang sudah dikonsumsi.
Dengan demikian perilaku konsumsi
merupakan perilaku keseharian setiap individu atau rumah tangga dalam
menggunakan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan diri atau keluarga. Hal ini
dapat berbentuk penggunaan satu jenis barang dan jasa untuk memenuhi khusus
kebutuhan lahiriah dan dapat bersifat memenuhi khusus kebutuhan batiniah dan
dapat pula bersifat memenuhi kebutuhan sekaligus, baik lahiriah maupun
batiniah. Perilaku konsumsi dapat berbentuk penggunaan berbagai jenis barang
dan jasa seperti sandang, pangan, alat komunikasi dan lain-lain yang bermuara
pada pemenuhan kebutuhan hidup sebagai makhluk biologis.
Perilaku konsumsi dalam waktu yang
lama lebih dikenal dalam dua macam yaitu perilaku konsumsi rumah tangga
individu dan perilaku konsumsi rumah tangga perusahaan.
Dikenalnya dua macam perilaku
konsumsi tersebut karena keduanya merupakan subyek permintaan. Akan tetapi
menurut Sulistyo, perilaku konsumsi rumah tangga individu menjadi lebih tepat
disebut perilaku konsumsi saja dan perilaku konsumsi rumah tangga perusahaan
disebut investasi.4 Hal itu terjadi sebab pada kenyataannya, isi permintaan
yang datang dari rumah tangga individu adalah permintaan akan barang dan jasa
untuk memenuhi kebutuhan hidup; dengan kata lain, barang dan jasa yang diminta
oleh satu individu atau sebuah rumah tangga
dimaksudkan untuk dikonsumsi.
Sedangkan permintaan yang datang dari rumah tangga perusahaan pada umumnya
ditujukan untuk membeli barang dan jasa modal yang diperlukan dalam proses
produksi, karenanya permintaan akan barang dan jasa
modal adalah bersifat investasi.
Islam sebagai pedoman hidup tidak
menonjolkan standar atau sifat kepuasan dari sebuah perilaku konsumsi
sebagaimana yang dianut dalam ilmu ekonomi konvensional seperti utilitas dan
kepuasan marginal, melainkan lebih menonjolkan aspek normatif. Kepuasan dari
sebuah perilaku konsumsi menurut Islam harus berlandaskan pada tuntunan ajaran
Islam itu sendiri.
Dalam hal ini Muhammad Nejatullah
Siddiqi mengatakan, konsumen harus puas akan perilaku konsumsinya dengan
mengikuti normanorma Islam. Konsumen muslim seharusnya tidak mengikuti gaya
konsumsi kaum xanthous (orang-orang berkulit kekuningkuningan dan berambut
kecoklat-coklatan) yang berkarakteristik menuruti hawa nafsu.
Hal ini diperkuat dengan prinsip
dasar dari perilaku konsumsi menurut M. Arif Mufraini (211) adalah seperti yang
dikonfirmasikan Q.S. al-Baqarah (2): 168.6
Hai sekalian manusia, makanlah yang
halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syaitan; Karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagimu.
Selain ayat tersebut, beberapa ayat
lain menggariskan prinsip-prinsip pokok perilaku konsumsi, seperti ayat pada
Q.S. al-Maidah (5): 88. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang
Allah Telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman
kepada-Nya. Lebih tegas lagi, Yusuf Qardhawi menguraikan beberapa prinsip
perilaku konsumsi dalam Islam sebagai berikut:
a.
Dasar pemikiran pola konsumsi dalam
Islam adalah hendak mengurangi
kelebihan keinginan biologis yang tumbuh dari Faktor-faktor psikis buatan dengan
maksud membebaskan energi
manusia untuk tujuan-tujuan spiritual.
b.
Anjuran-anjuran Islam mengenai
perilaku konsumsi dituntun oleh
prinsip keadilan, prinsip kebersihan, prinsip kesederhanaan, prinsip kemurahan
hati dan prinsip moralitas.
c.
Pada umumnya kebutuhan-kebutuhan
manusia digolongkan ke dalam
tiga hal, yaitu (a) barang-barang keperluan pokok, (b) barang-barang keperluan kesenangan
dan (c) barang-barang keperluan
kemewahan. Dalam tiga pengelompokan ini, Islam menggariskan prinsip menurut
urutan prioritas kebutuhan yang dikenal dalam al-maqāṣid al-syarī’ah dengan
istilah ḍarūriyyah, hājjiyah dan taḥsīniyyah.8
d.
Kunci untuk memahami perilaku
konsumsi dalam Islam tidak cukup dengan hanya mengetahui hal-hal terlarang,
tetapi sekaligus harus dengan menyadari konsep dinamik tentang sikap moderat
dalam pola konsumsi yang dituntun oleh sikap yang mementingkan bersama konsumen
muslim yang lain.
Dari hal-hal yang diuraikan diatas dapat dijelaskan bahwa prinsip perilaku
konsumsi yang dapat memberikan kepuasan kepada konsumen menurut Islam adalah
barang-barang yang dikonsumsi haruslah halal dan suci menurut syariat. Dalam
hal perilaku atau gaya harus pula dalam batas wajar dalam arti tidak
berlebih-lebihan (isyrāf) atau boros (tabżīr) meskipun seorang konsumen
tergolong hidup kaya atau mampu.
Sedangkan prinsip perilaku konsumsi
secara konvensional menurut Winardi, terpatok pada istilah kepuasan (utilitas).
Istilah kepuasan dimaksudkan sebagai kemampuan untuk memenuhi suatu kebutuhan.
Kemampuan tersebut meliputi (1) kemampuan akan suatu benda material atau jasa
untuk memenuhi kebutuhan manusia dan (2) kebutuhan yang berhubungan dengan
istilah public policy.
Jadi istilah kepuasan perilaku
konsumsi bermakna suatu kepuasan yang diperoleh seseorang atau sebuah rumah tangga
melalui penggunaan akhir barang-barang dan jasa-jasa konsumsi dari berbagai
komoditi.
Menerangkan perilaku pembeli dalam
menggunakan dan membelanjakan pendapatan yang diperolehnya, yaitu :
a)
Alasan para pembeli / konsumen untuk
membeli lebih banyak barang pada harga yang lebih rendah akan mengurangi
pembelian pada harga yang tinggi.
b)
Bagaimana seseorang konsumen
menentukan jumlah dan komposisi dari barang yang akan dibeli dari pendapatan
yang diperolehnya.
B. SURPLUS
KONSUMEN
Surplus konsumen,
yaitu kelebihan atau perbedaan antara kepuasan total atau total utility (yang dinilai dengan uang) yang Sdinikmati konsumen
dari mengkonsumsikan sejumlah barang tertentu dengan pengorbanan totalnya (yang
dinilai dengan uang) untuk memperoleh atau mengkonsumsikan jumlah barang
tersebut.
Kesediaan
Membayar (willingness to pay)
Kesediaan Membayar adalah jumlah maksimum yang mau dibayar oleh
konsumen untuk memperoleh suatu barang. Sedangkan surplus konsumen (consumer
surplus) adalah selisih antara
kesediaan konsumen membayar dengan nilai yang sesungguhnya ia bayarkan.
Sebagai
contoh, umpamakan saja anda memiliki album rekaman pertama Elvis Presley yang
sekarang sudah amat langka. Karena anda bukan penggemar berat Elvis, maka anda berniat menjualnya.
Untuk memperoleh harga tertinggi, maka ia mengadakan lelang.
Ada empat orang penggemar Elvis, mereka adalah John, Paul, Ringo dan George. Mereka mau membeli namun dengan dibatasi oleh jumlah maksimum yang mau mereka bayarkan untuk membelinya. Tabel 1 memperlihatkan harga maksimum yang mau mereka bayarkan. Batas maksimal yang mau dibayarkan oleh masing-masing pembeli itulah yang disebut dengan Kesediaan Membayar.
Tabel Empat Kesediaan Membayar dari Para Calon Pembeli
Calon Pembeli |
Kesediaan
Membayar ($) |
John Paul George Ringo |
100 80 70 50 |
Setelah dilakukan tawar menawar, maka album tersebut terjual pada John yang
mau membayar $100, namun kenyataannya ia hanya membayar $80 karena penawar yang
lain tidak mau membayar lebih dari $80. John memperoleh keuntungan ekstra
sebesar $20, dan keuntungan inilah yang disebut sebagai surplus konsumen.
Sedangkan tiga penawar yang lain tidak mendapat surplus konsumen karena mereka
tidak mendapatkan album dan juga tidak membayar apa-apa.
Apa yang Diukur oleh Surplus Konsumen?
Tujuan mempelajari konsep surplus konsumen ini
adalah untuk membuat penilaian normatif tentang diinginkan atau tidaknya hasil
yang dibuahkan oleh mekanisme pasar. Surplus konsumen pada dasarnya mengukur
manfaat atau keuntungan yang diterima pembeli dari suatu barang, berdasarkan
penilaian konsumen itu sendiri. Kunci untuk tetap menyadari pentingnya surplus
konsumen adalah dengan menghormati preferensi (pilihan atau kecenderungan
perilaku) pembeli. Namun disebagian besar pasar kita dapat menyimpulkan dengan
aman bahwa surplus konsumen merupakan cerminan kesejahteraan ekonomis para
konsumen. Para konsumen biasanya mengasumsikan bahwa para pembeli adalah para
pembuat keputusan yang rasional sehingga preferensi mereka harus dihormati.
C.
SURPLUS PRODUSEN
Misalnya, ketika anda ingin mengecat rumah anda,
maka anda akan mencari tukang cat, anda mendapati empat tukang yang bersedia
yakni Mary, Louise, Georgia, dan Paman anda sendiri. Agar mendapat harga
termurah, maka anda mengadakan lelang.
Pada prinsipnya, keempat tukang cat itu mau
menjual jasanya asalkan harga yang mereka terima lebih besar daripada biaya
pengecatan. Di sini istilah Biaya (cost)
adalah nilai segala sesuatu yang harus dikorbankan penjual dalam memproduksi
suatu barang. Di dalamnya harus tercakup semua pengeluaran (untuk membeli cat,
kuas, sewa tangga, dll), serta nilai waktu yang mereka habiskan untuk mengecat
rumah anda. Tabel 5.2 menunjukkan biaya yang
mereka ambil.
Tabel Empat Kesediaan Menjual dari
Para Calon Penjual
Calon Penjual Jasa |
Kesediaan Menjual ($) |
Mary Louise Georgia Paman Anda |
900 800 600 500 |
Lelang
dimulai, karena keempat tukang cat itu sama-sama menginginkan pekerjaan, mereka bersaing menurunkan
harga hingga batas minimal, yakni mendekati atau sama dengan kesediaan
menjualnya. Begitu Paman anda menawarkan ongkos hanya sebesar $600 atau sedikit
lebih rendah, maka ia pun langsung mengungguli tiga tukang cat lainnya karena
ia sendiri yang mau mengecat rumah anda dengan ongkos di bawah $600.
Keuntungan yang diterima paman anda adalah,
selain bisnisnya berjalan lancar, si paman mendapat keuntungan tambahan dengan
menerima bayaran sedikit dibawah $600, karena ia mampu mengerjakannya dengan
ongkos $500. dalam kasus ini paman anda dikatakan memperoleh surplus produsen,
yaitu jumlah pembayaran yang diterima penjual dikurangi biaya yang dipikulnya.
D. EFISIENSI PASAR
Surplus konsumen dan surplus produsen adalah
perangkat dasar yang digunakan para ekonom untuk mengukur kesejahteraan
ekonomis para penjual dan pembeli di sebuah pasar.
Pengatur Ekonomi yang Bijak
Untuk mengevaluasi hasil-hasil pasar, kita
umpamakan seorang pejabat pemerintah yang serba bisa. Ia adalah seorang
diktaktor yang serba tahu, sangat berkuasa, dan juga memiliki niat baik dalam
mengatur perekonomian. Ia ingin memaksimalkan kesejahteraan ekonomi bagi
segenap warga masyarakatnya. Apakah ia akan membiarkan para penjual dan pembeli
berusaha sendiri mencapai kondisi ekuilibrium secara alamiah? Atau, haruskah ia
melakukan sesuatu untuk mempengaruhi pasar?
Jawabannya, si pejabat pertama-tama harus mengetahui
cara pengukuran kesejahteraan ekonomis bagi masyarakatnya. Salah satu caranya
adalah dengan menghitung surplus produsen dan surplus konsumen yang disebut
dengan surplus total (total surplus). Jika kita
rumuskan, maka total surplus adalah sebagai berikut :
Total surplus = surplus
konsumen + surplus produsen
= (nilai
barang bagi pembeli – jumlah yang dibayar pembeli) +
(jumlah yang diterima penjual – biaya produksi yang dikeluarkan)
Jumlah yang dibayarkan pembeli sesungguhnya sama
dengan jumlah yang diterima penjual, sehingga rumus total surplus dapat disederhanakan menjadi :
Total surplus = nilai barang bagi
pembeli – biaya produksi
Jika suatu alokasi sumber daya dapat
memaksimalkan surplus total, maka alokasi itu dikatakan mempunyai efisiensi (efficiency). Selain efisiensi, pejabat
pemerintah yang berkuasa itu juga harus memperhatikan kesemarataan (equality), yakni aspek keadilan atau
pemerataan distribusi kesejahteraan diantara segenap pembeli dan penjual.
Ada beberapa pokok yang dibuahkan oleh mekanisme
pasar bebas, sebagai berikut :
1.
Pasar bebas mengalokasikan penawaran barang kepada pembeli yang
memberikan penilaian tertinggi atas barang itu, yang dapat diukur berdasarkan
kesediaan membelinya.
2.
Pasar bebas mengalokasikan permintaan atas suatu barang kepada para
penjual yang mampu memproduksinya dengan biaya yang paling rendah.
3.
Pasar bebas memproduksi suatu barang dalam kuantitas tertentu yang dapat
memaksimalkan seluruh surplus produsen dan surplus konsumen.
Dengan tiga kesimpulan tentang hasil-hasil pasar
di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa ekuilibrium pasar memaksimalkan seluruh
surplus produsen dan surplus konsumen. Dengan kata lain, kondisi ekuilibrium
itu identik denga alokasi sumber daya yang efisien. Karenanya, tugas si pejabat
tadi sebenarnya sangat mudah, ia cukup membiarkan pasar bekerja sebagaimana
adanya, dan ia tidak perlu berbuat apa-apa lagi.
Efisiensi Pasar dan Kegagalan Pasar
Pertama-tama kita berpegang bahwa pasar bebas itu
bersifat kompetitif sempurna. Padahal dalam kenyataan sehari-hari,
kompetisi/persaingan yang berlangsung di pasar sering jauh sekali dari
sempurna. Kemampuan suatu pihak dalam menentukan harga secara sepihak inilah
yang disebut sebagai kuasa pasar (market
power). Keberadaan kuasa pasar mengakibatkan sebuah pasar menjadi tidak
efisien karena hal itu menjauhkan harga dan kuantitas ideal dari ekuilibrium
penawaran dan permintaan.
Asumsi kedua yang kita gunakan sebagai dasar
analisis kita adalah bahwa hasil-hasil pasar hanya berkaitan denga kepentingan
pembeli dan penjual. Padahal dalam kenyataannya, keputusan-keputusan para
pembeli dan penjual tidak hanya mempengaruhi mereka saja, namun juga
mempengaruhi orang-orang yang sama sekali tidak terlibat dalam interaksi pasar,
contohnya adalah polusi. Dampak sampingan ini disebut sebagai “eksternalitas” (externality).
Keberadaan kuasa pasar dan eksternalitas
merupakan dua bentuk menonjol dari apa yang disebut sebagai “kegagalan pasar” (market failure), yakni ketidak mampuan
sebagian pasar bebas sehingga tidak dapat mengalokasikan sumber-sumber daya
secara efisien.
Aplikasi : Biaya Perpajakan
Sepintas lalu, dampak pengenaan pajak terhadap
kesejahteraan pihak yang dikenai pajak sudah nampak jelas. Begitu pajak
diberlakukan, maka kesejahteraan para penjual dan pembeli mengalami penurunan.
Pajak memperbesar harga yang harus dibayar pembeli, sekaligus menurunkan
pendapatan yang seharusnya diterima oleh para penjual.
Namun untuk memahami sepenuhnya dampak-dampak
yang ditimbulkan oleh pengenaan pajak terhadap kesejahteraan ekonomi para
pelaku pasar, kita harus membandingkan besarnya penurunan kesejahteraan penjual
dan pembeli itu dengan jumlah yang diterima pemerintah.
Beban
Baku Perpajakan
Jika pajak
dibebankan terhadap para pembeli, kurva permintaan akan bergeser kebawah
sebesar pajak tersebut. Sedangkan jika pajak itu dibebankan pada para penjual,
maka hal tersebut akan menggeser kurva penawaran ke atas sebesar pajak itu.
Dalam kedua kasus ini, pengenaan pajak itu sama-sama menaikkan harga yang harus
dibayar pembeli, sedangkan pendapatan yang diterima produsen dari penjualan
produknya menjadi berkurang. Artinya, pengenaan pajak itu selalu akan
mengurangi surplus total bagi pembeli dan penjual. Itulah yang disebut dengan
“beban baku” (deadweight loss) pajak.
Akibat dari adanya beban pajak ini, kuantitas barang yang terjual akan turun,
lebih rendah daripada tingkatannya seandainya beban pajak itu tidak ada. Dalam
kalimat lain, pemberlakuan pajak terhadap suatu jenis barang akan mengakibatkan
pasar barang tersebut menyusut. Namun dengan pajak inilah pemerintah membiayai
berbagai program dan jasa pelayanan umum, mengadakan polisi untuk keamanan,
pendidikan, dan menyediakan bantuan langsung kepada masyarakat miskin.
Kesejahteraan
Sebelum Pengenaan Pajak
Untuk
melihat sejauh mana dampak-dampak pengenaan pajak terhadap kesejahteraan
ekonomi, terlebih dahulu kita harus mengetahui situasi kesejahteraan masyarakat
yang bersangkutan sebelum pemerintahannya memberlakukan pajak. Perhatikan tabel
berikut, yang menunjukkan diagram penawaran dan permintaan.
Tabel
Pengenaan Pajak Mempengaruhi Kesejahteraan Para Penjual dan Pembeli.
|
Sebelum Pajak |
Sesudah Pajak |
Perubahan |
Surplus konsumen Surplus produsen Pendapatan pajak Surplus total |
A + B + C D + E + F Tidak ada A
+ B + C + D + E + F |
A F B
+ D A
+ B + D + F |
-
(B + C) -
(D + E) +
(B + D) -
(C + E) |
Kurva
permintaan mencerminkan kesediaan membayar para pembeli, maka surplus
konsumennya adalah bidang yang terletak diantara kurva permintaan dan garis
harga atau A + B + C. Demikian pula, karena kurva penawaran mencerminkan biaya
produksi yang harus ditanggung penjual, maka surplus produsennya adalah bidang
yang terletak diantara kurva penawaran dan garis harga, atau D + E + F. Karena
pajak belum dipungut, maka pendapatan pajaknya sama dengan nol. Surplus total
adalah penjumlahan dari surplus produsen dan surplus konsumen, atau A + B + C +
D + E + F.
Kesejahteraan
Setelah Pengenaan Pajak
Setelah
pemerintah mengenakan pajak, harga yang harus dibayar menjadi meningkat,
sehingga surplus konsumen menyusut menjadi hanya A. Sedangkan harga atau
pendapatan yang diterima penjual juga berkurang menjadi hanya F. Sehingga
terciptalah pendapatan pajak bagi pemerintah sebesar B + D. Untuk mengetahui
surplus total setelah pajak diterapkan, maka hasilnya : A + B + D + F.
Perubahan
Kesejahteraan
Kini kita
dapat melihat dampak pengenaan pajak dengan membandingkan kondisi kesejahteraan
sebelum dan sesudah pajak. Pajak mengakibatkan surplus konsumen turun senilai B
+ D, dan penyusutan surplus produsen sebesar D + E. Pendapatan pajak yang
semula tidak ada tercipta sebesar B + D. Jelaslah bahwa pajak mengakibatkan
kerugian bagi penjual dan pembeli, dan di sisi lain memberikan keuntungan bagi
pemerintah.
Beban Baku Pajak dan Keuntungan Perdagangan
Untuk memperoleh gambaran tambahan mengapa pajak
menimbulkan beban baku, simaklah contoh berikut ini. Joe bekerja sebagai
pembersih rumah Jane dengan upah $100 per minggu. Biaya oportunitas atas waktu
Joe adalah $80. Sedangkan nilai kebersihan rumah bagi Jane adalah $120. Dengan
demikian, Jane dan Joe sama-sama memperoleh keuntungan $20, sedangkan surplus
totalnya adalah $40.
Kemudian andaikan pemerintah menerapkan pajak
sebesar $50 per minggu kepada para pembersih rumah. Upah maksimal yang mau
dibayarkan Jane adalah $120, dan Joe sulit menerima upah itu karena setelah
dipotong pajak ia hanya akan memperoleh $70, yang lebih rendah dari biaya
oportunitasnya. Demikian pula sebaliknya, upah minimum yang diinginkan Joe
adalah $130 (biaya oportunitas plus pajak), dan Jane tidak akan mau membayarnya
karena melampaui nilai yang diberikannya untuk kebersihan rumahnya yang hanya
$120. Kesepakatan pun takkan tercapai sehingga Joe kini harus menganggur
sedangkan Jane harus rela hidup di rumah yang berantakan.
Pengenaan
pajak itu mengakibatkan Joe dan Jane dirugikan $40 yang seharusnya menjadi surplus total mereka.
Sedangkan di pihak lain pemrintah tidak memperoleh pendapatan apa-apa karena
kesepakatan antara Joe dan Jane tidak terjadi. $40 itulah yang merupakan beban
baku yang ditimbulkan oleh pajak, yang merugikan penjual dan pembeli di pasar.
Dari analisis ini kita dapat menarik satu kesimpulan lagi mengenai pajak
sebagai sumber beban baku : pajak mengakibatkan beban baku karena menghalangi
penjual dan pembeli meraih keuntungan perdagangan.
Pajak
menimbulkan beban baku karena pajak mendorong perubahan perilaku para penjual
dan pembeli sedemikian rupa hingga mengganggu efisiensi pasar. Penerapan pajak
mengakibatkan kenaikan harga yang harus dibayar pembeli, sehingga mereka pun
mengurangi konsumsi atau pembeliannya. Pajak itu sekaligus menurunkan pendapatan
yang seharusnya diterima penjual, sehingga mereka mengurangi produksinya.
Beban
Baku dan Pendapatan Pajak pada Berbagai Tingkat/Tarif Pajak
Tarif
pajak dimana pun biasanya sering berubah-ubah. Para pembuat kebijakan di
tingkat lokal, provinsi, negara bagian hingga tingkat federal atau nasional,
seringkali tergoda untuk menaikkan atau menurunkan tarif pajak demi memacu
perekonomian sekaligus memperbesar pendapatan pemerintah.
Pendapatan pajak (tax
revenue) yang diterima pemerintah adalah hasil perkalian antara tarif pajak
dengan jumlah penjualan. Jika tarif pajak masih saja dinaikkan, maka tidak akan
ada pendapatan baru dari pajak, bahkan pendapatan yang ada akan turun, karena
masyarakat akan terus menekan/mengurangi pembelian atau penjualannya.
E.
MOTIF PERILAKU KONSUMSI MASYARAKAT
Perilaku
konsumsi seseorang dipengaruhi oleh latar belakang yang sangat kompleks. Latar
belakang itu menurut Arif Mufraini antara lain, tingkat pengetahuan, wawasan,
lingkungan sosial budaya, kemampuan ekonomi dan kepribadian (psikologis).
Karena itu, antara seorang individu dengan individu lainnya akan berbeda sifat
dan perilaku konsumsinya. Orang yang berpengetahuan dan berwawasan luas akan
berbeda motif perilaku konsumsinya dengan orang yang berpengetahuan dan berwawasan
sempit. Orang yang hidup di tengah-tengah lingkungan dan budaya yang maju akan
berbeda motif perilaku konsumsinya dengan orang yang hidup ditengah-tengah
lingkungan dan budaya terbelakang. Orang yang memiliki kehidupan ekonomi yang
kuat akan berbeda motif perilaku konsumsinya dengan orang yang memiliki
kehidupan ekonomi yang lemah. Orang yang memiliki kepribadian keagamaan yang
baik akan berbeda motif perilaku konsumsinya dengan orang yang memiliki
kepribadian keagamaan yang buruk; dan seterusnya. Dalam perspektif agama Islam
misalnya, bahwa motif perilaku konsumsi orang muslim, teristimewa yang memiliki
pengetahuan dan wawasan agama serta keimanan yang baik adalah bermotifkan
tuntunan perintah agama. Mengingat agama Islam memerintahkan makan, minum, berpakaian,
bersilaturahim dan lain-lain agar tidak terjadi kerusakan diri, hal ini
ditegaskan dalam Q.S. al-A'raaf (7): 31-32.
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di
setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihlebihan.
Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan
perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan
(siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah:
"Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan
dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat." Demikianlah kami
menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.
Dalam
perspektif ilmu kesehatan misalnya, sudah pasti dapat dikatakan bahwa motif
perilaku konsumsi seseorang adalah bagaimana senantiasa memiliki kesehatan yang
prima. Demikian pula dalam perspektif adat dan budaya, bahwa motif perilaku
konsumsi seseorang adalah di samping untuk memelihara kesehatan dan mungkin
menjalankan perintah agama, sekaligus juga untuk mempertunjukkan dan memelihara
khazanah kearifan lokalnya.
Dalam ilmu
ekonomi konvensional, menurut Sulistyo disebutkan, bahwa perilaku konsumsi
seseorang dipengaruhi oleh faktor internal di dalam diri manusia dan faktor
eksternal dari luar diri manusia. Keynes mengemukakan, perilaku konsumsi
didorong motif yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri yang bersifat
subyektif, yaitu keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang meminta
barang dan jasa karena barang dan jasa dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yang
bersifat material. Tetapi di lain pihak perilaku konsumsi seseorang dapat
diimbas (include) dari luar melalui iklan-iklan yang gencar dipasang di
berbagai media, hal ini dapat memengaruhi keputusan seseorang pada era modern
untuk berkonsumsi. Banyak orang membeli barang dan jasa hanya karena tertarik
oleh iklan dan sama sekali tidak ada kaitan dengan usaha pemenuhan kebutuhan
hidupnya. Karena itu kata Sulistyo, pengaruh dari luar itu bersifat obyektif,
sebab dapat memengaruhi perilaku konsumsi siapa pun juga. Kedua motif (subyektif
dan obyektif) tersebut menggambarkan, perilaku konsumsi seseorang ada yang
didorong oleh faktor ekonomi, yaitu pemenuhan kebutuhan hidup; dan ada yang
didorong oleh faktor non ekonomi, yaitu lebih untuk pemenuhan keinginan hasrat
hawa nafsu. Motif subyektif menggambarkan faktor ekonomi; dan motif obyektif
menggambarkan bukan faktor ekonomi, melainkan dipengaruhi oleh faktor psikis,
sosiologis dan lain-lainnya. Selain itu kedua motif tersebut menggambarkan pula
sebuah indikasi moralitas dan etika. Motif subyektif menggambarkan kualitas
moral dan etika yang baik, sedang motif obyektif menggambarkan kualitas moral
dan etika yang kurang baik.
F.
TUJUAN PERILAKU KONSUMSI MASYARAKAT
Kegiatan ekonomi yang pada dasarnya lebih
bersifat suatu ikhtiar untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama seluruh individu,
namun dalam perjalanannya berubah menjadi suatu upaya untuk memperbesar
kepemilikan atau persediaan. Karena itu
yang menonjol kemudian adalah keserakahan dalam memiliki pesediaan material dan
bukan lagi sarana untuk dapat mencukupkan persediaan akan kebutuhan yang ada.
Hal ini menurut Machasin, secara makro terlihat jelas dalam pengerukan sumber
daya alam secara besar-besaran di satu sisi dan hasil dari pengerukan itu
dikonsumsi dengan cara yang sangat tidak hemat di lain sisi. Sikap hemat
dirasakan bertentangan dengan atau dapat menodai harga diri orang yang memiliki
persediaan atau harta yang lebih. Semakin besar jumlah harta yang dimiliki
seseorang semakin besar pengeluarannya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
Kegiatan
ekonomi saat ini sebagaimana dikatakan Suparlan Suhartono, bahwa ia telah
menjadi lahan subur bagi sifat serakah, sikap dan perbuatan bersaing yang
bercorak liberalism kapitalistik, yang mengancam dan merusak moral persamaan
dan kerja sama sebagai asas dasar kehidupan sosial manusia, sehingga yang
terjadi adalah siapa yang kuat dialah yang menang, sebaliknya mereka yang
lemah, yang tidak bermodal tetap sulit keluar dari penderitaan. Kini hampir
sebagian besar manusia di dunia ini terjebak dalam suatu krisis moral yang
parah. Sistem ekonomi kapitalis dengan orientasi yang materiaslistis sudah
hampir menyelimuti dunia ini, sehingga krisis moral tersebut sulit diatasi. Akibatnya
lingkungan hidup disekitar kita banyak yang tidak sehat dan sumber dayanya juga
dalam krisis, bahkan kini krisis lingkungan hidup telah menjadi isu global.
Dunia manusia seolah terbelah menjadi dua, yaitu mereka yang berebut kemewahan
dan mereka yang menahan lapar dahaga. Kedua belah pihak inilah yang saling
berperang dan mereka bersamasama saling berlomba mengeksploitasi sumber daya
alam dan mencemari lingkungan hidup. Lebih dari itu menurut Suparlan, bahwa
kegiatan ekonomi saat ini sebenarnya telah terjadi paradoksal di dalamnya. Di
satu sisi (dalam aspek produksi), yaitu yang berhubungan langsung dengan
barang-barang dan jasa-jasa produksi memperlihatkan pertumbuhan yang amat
signifikan; namun di sisi lain, mengakibatkan pergeseran nilai-nilai yang terkandung
dalam pandangan hidup dari yang kualitatif spiritual menjadi kuantitatif
material, yang dari padanya menyebabkan semakin menurunnya derajat moralitas
kebanyakan orang sebagai manusia. Paradoksal dan pergesaran itu termasuk
terjadi dalam mikro ekonomi, yaitu motif perilaku Konsumsi seseorang bukan lagi
didorong atau dipengaruhi oleh faktor material semata, tetapi juga dipengaruhi
oleh faktor manusia atau individu lain. sehingga seseorang dalam berperilaku
konsumsi akan merasa selalu dinilai oleh orang lain.
G.
ETIKA KONSUMSI DALAM ISLAM
Perilaku
konsumsi seringkali dipandang sebagai homogenisasi atau heterogenisasi budaya
global. Homogenisasi dapat diartikan bahwa budaya lokal akan terkooptasi oleh
budaya global atau justru yang terjadi sebaliknya. Budaya lokal akan semakin
menunjukkan eksistensinya di tengah berkembangnya budaya global. Perubahan
perilaku konsumsi seringkali dipandang sebagai hal yang negatif, menjadi
kambing hitam dalam beberapa hal termasuk terdegradasinya budaya lokal, budaya
bangsa maupun budaya Islam.
Sebagaimana
dalam ilmu ekonomi konvensional, bahwa motif perilaku konsumsi dikenal dua
macam, yaitu motif internal (dari diri manusia) dan motif ekstenal (dari luar
diri manusia), demikian juga dalam Islam terdapat apa yang disebut motif
internal dan eksternal dalam konsumsi.
1. Motif Internal.
Adapun motif internal yang
dimaksud adalah motif yang tumbuh dalam diri seorang muslim dalam bentuk ingin
selalu hidup sehat dan kuat. Motif ini didasarkan pada hadis Nabi saw. berikut
ini:
Dari Anas, ia berkata, Rasulullah
saw. bersabda: Orang mukmin yang
kuat lebih baik dan lebih disukai
Allah dari pada orang mukmin yang
lemah (H. R. Ahmad).
2. Motif Eksternal
Sedangkan motif eksternal yang
dimaksud adalah sebuah motif dari luar diri manusia dalam bentuk ingin memenuhi
kebutuhan kenyamanan dari pelakunya dan secara sosiologis ingin mendapatkan
penilaian positif (visualitas estetik) dari orang lain atau publik. Motif ini
merupakan motif yang secara syar'I termasuk absah dan positif. Motif ini didasarkan
pada hadis Nabi
saw.
berikut:
Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walau hanya sekecil atom (dzarrah). Seorang laki-laki berkata: bahwa sesungguhnya bagaimana halnya seorang laki-laki yang memakai baju dan sepatu/sandal yang bagus. Rasulullah berkata: bahwa sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai yang indah. Kesombongan itu mengenyahkan kebenaran dan merendahkan manusia - (H.R. Muslim).
Seperti dirasakan
dan disaksikan dalam kehidupan seharihari, bahwa hidup sehat dan kuat mutlak
harus ditopang oleh perilaku konsumsi, baik perilaku konsumsi yang berkaitan
sandang maupun pangan ataupun papan. Bahkan perilaku konsumsi itu telah diatur
dalam Islam sedemikian rupa guna mencapai tingkat kesehatan dan kekuatan yang
prima. Demikian juga halnya kehidupan yang ditopang oleh fasilitas yang baik
atau bagus, akan mendatangkan perilaku hidup yang baik dan bagus pula, baik
perilaku itu bersifat perilaku keagamaan maupun bersifat perilaku keduniaan.
H.
PERILAKU KONSUMSI DALAM PANDANGAN
EKONOMI ISLAM
Islam
sebagai pedoman hidup mengatur segenap perilaku manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Demikian pula masalah konsumsi, Islam mengatur bagaimana
manusia bisa melakukan kegiatan-kegiatan konsumsi yang membawa manusia berguna
bagi kemaslahatan hidupnya. Islam telah mengatur jalan hidup manusia melalui
Alquran dan Hadis, supaya manusia di jauhkan dari sifat yang hina karena
perilaku konsumsinya. Perilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan Allah dan
Rasulullah saw. akan menjamin kehidupan manusia yang lebih sejahtera. Seorang
muslim dalam berkonsumsi didasarkan atas beberapa pertimbangan:
Pertama,
Manusia tidak kuasa sepenuhnya mengatur detail permasalahan ekonomi masyarakat
atau Negara, bahkan manusia tidak dapat memaksakan cara pemenuhan hidup orang
lain kepada dirinya ataupun sebaliknya. Terselenggaranya keberlangsungan hidup
manusia diatur oleh Allah swt. dalam Q.S. al-Waqi’ah (56): 68-69. Maka
Terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya
atau kamikah yang menurunkannya?
Kedua,
dalam konsep Islam kebutuhan yang membentuk pola konsumsi seorang muslim, sebab
pola konsumsi yang didasarkan atas kebutuhan akan menghindari pengaruhpengaruh
pola konsumsi yang tidak perlu. Dalam Q.S. Āli ’Imrān (3):180 dijelaskan:
Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan
harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa
kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi
mereka. harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di
hari kiamat. dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di
bumi. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ketiga,
Perilaku konsumsi dalam pandangan Islam akan melihat bagaimana suasana
psikologi orang lain. Dengan konsep ini maka Islam menjamin terbangunnya
pembangunan masyarakat yang berkeadilan, terhindar dari kesenjangan sosial atau
diskriminasi sosial. Q.S. al-Nisā (4): 29 menjelaskan:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu.
Teori
ekonomi menjelaskan bahwa kepuasan seseorang dalam mengkonsumsi suatu barang
dinamakan utility atau nilai guna. Jika kepuasan semakin tinggi maka semakin
tinggi pula nilai gunanya, sebaliknya bila kepuasan semakin rendah maka semakin
rendah pula nilai gunanya. Oleh karena itu kepuasan seorang muslim tidak
didasarkan atas banyak sedikitnya barang yang bisa dikonsumsi, tetapi lebih
dikarenakan apa yang dilakukannya sebagai ibadah dengan memenuhi apa yang
diperintahkan Allah swt dan menjauhi segala larangan Allah swt.
Tindakan-tindakan yang merugikan, seperti pemborosan, dilarang Allah
sebagaimana tersebut dalam Q.S. al-Israa‘ (17): 26-27.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar