PARADIGMA EKONOMI ISLAM
A.
PARADIGMA EKONOMI ISLAM
Revolusi ilmu
pengetahuanyang terjadi di Eropa Barat sejak abad ke-16 M menyebabkan pamor dan
kekuasaan agama kristen di benua tersebut menurun drastis. Hal ini karena dogma
yang dipegang dan diajarkan oleg tokoh-tokoh gereja pada abad tersebut
jelas-jelas bertentangan dengan fakta-fakta yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan.
Akibatnya terjadi sekularisme dan pembebasan dari nilai-nilai agama di dunia
Eropa Barat dalam segala bidang, termasuk dalam ilmu pengetahuan. Selain itu,
paradigma Cartesian dengan metode analisisnya yaitu fragmentasi atau pemecahan
semua aspek yang kompleks dari suatu fenomena, menyumbangkan tambahan
permasalahan.
Dari paradigma inilah
(sekularisasi, fragmentasi, dan kebebasnilaian pengetahuan) ilmu pengetahuan
modern dibangun, fenomena yang termasuk di dalamnya adalah ilmu ekonomi
konvensional. Para ilmuwan non-Muslim saja telah mengkritik paradigma ini,
seperti Sismondi (1773-1842), Carlyle (1795-1881), Ruskin (1819-1900), dan lain
sebagainya. Mereka bukan hanya menyarankan pendekatan interdisipliner dalam
mempelajari fenomena manusiawi, tetapi lebih dari itu, mereka menyarankan
holistik yang mengintegrasikan baik kebutuhan material maupun spiritual
manusia, interaksi antarmanusia, serta interaksi manusia dengan alam semesta.
Dari hasil kritikan ini, ilmu ekonomi
konvensional menghasilkan madzhab-madzhab baru yang didalamnya terdapat
aspek-aspek normatig, sosial, dan institusional perilakumanusia dalam model
pemikirannya. Namun, kesemuanya menghadapi problem karena mereka sulit untuk
menemukan standar nilai yang sama dan disepakati secara luas.
Dengan fakta seperti ini,
akan menjadi ironi bagi ilmuwan Muslim jika mereka menerima begitu saja ilmu
ekonomi konvensional tanpa menelaahnya terlebih dahulu, padahal para ilmuwan
non-Muslim saja sudah ramai-ramai mengkritiknya. Karena itu, ekonomi Muslim perlu
mengembangkan suatu ilmu ekonomi khas, yang dilandasi oleh nilai-nilai iman dan
Islam yang dihayati dan diamalkannya. Yang secara singkat dapat disebut dengan
“Ilmu Ekonomi Islam “.
Ekonomi Islam: Perbedaan
Sudut Pandang
Dalam tataran paradigma
Ekonomi Islam yang memasukkan atau paling tidak diwarnai oleh prinsip-prinsip
relijius (berorientasi pada kehidupan dunia dan akhirat) tidak mengalami
perbedan pendapat yang berarti. Sampai saat ini, pemikiran ekonom Muslim
kontemporer dapat diklasifikasikan setidaknya menjadi tiga madzhab, yaitu:
a. Madzhab Baqir As-Sadr
Madzhab ini dipelopori
oleh baqir As-Sadr dengan bukunya yang fenomenal “iqtishaduna” yang artinya “ekonomi kita”. Madzhab ini berpendapat
bahwa ilmu ekonomi ekonomi tidak pernah sejalan dengan Islam.Keduanya tidak
dapat disatukan karena keduanya berasal dari filosofi yang kontradiktif. Yang
satu anti-Islam, yang satu Islam.
Menurut mereka, perbedaan
filosofi ini berdampak pada perbedaan cara pandang keduanya dalam melihat
masalah ekonomi. Menurut ilmu ekonomi, masalah ekonomi muncul karena adanya
keinginan manusia yang tidak terbatas sementara sumber daya yang tersedia
terbatas. Tetapi menurut Baqir As-Sadr, masalah ekonomi menurut Islam muncul
karena adanya distribusi yang tidak merata dan adil sebagai akibat sistem
ekonomi yang membolehkan eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah.
Dalil yang dipakai adalah Al-qur’an:
“Sungguh telah kami ciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang
setepat-tepatnya” (Q.S. Qamar (54): 49).
Oleh karena it, menurut
mereka istilah ekonomi islami adalah istilah yang bukan hanya tidak sesuai dan
salah, tetapi juga menyesatkan dan kontradiktif, karena itu penggunaan istilah
ekonomi islami harus dihentikan. Sebagai gantinya, ditawarkan istilah baru yang
berasal dari filosofi Islam, yaitu iqtishad.
Menurut mereka, iqtishad bukan sekedar terjemahan
ekonomi dalam bahasa Arab yang berasal dari kata qasd yang secara harfiah berarti “equilibrium” atau keadaan sama, seimbang, atau pertengahan.
Sejalan dengan itu, maka
semua teori yang dikembangkan oleh ilmu ekonomi konvensional ditolak dan
dibuang. Sebagai gantinya madzhab ini berusaha untuk menyusun teori-teori baru
dalamekonomi yang langsung digali dan dideduksi dari Al-qur’an dan As-Sunnah.
Tokoh-tokoh madzhab ini
selain Muhammad Baqir As-Sadr adalah Abbas Mirakhor, Baqir al-Hasani, Kadim
as-Sadr, Iraj Toutounchian, Hedayati, dan lain-lain.
b. Madzhab Mainstream
Madzhab Mainstream justru
setuju dengan masalah kelangkaan sumber daya tetapi keinginan manusia tidak
terbatas. Mereka berpendapat bahwa, memang benar permintaan dan penawaran
sumber daya dunia berada pada titik equilibrium, tetapi jika kita berbicara
pada tempat dan watu tertentu,maka sangat mungkin terjadi kelangkaan pada suatu
tempat tertentu dibandingkan dengan tempat lainnya. Dalil yang dipakai:
“Dan sungguh akan Kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira bagi
orang-orang yang sabar” (Q.S. Al-Baqarah (2):155)
Sedangkan keinginan
manusia yang tidak terbatas dianggap sebagai hal yang alamiah. Dalil yang
dipakai:
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke liang
kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatan itu)”
(Q.S. At-Takatsur (102): 1-5)
Dan sabda nabi Muhammad
saw meyebutkan, bahwa manusia tidak akan pernah puas. Bila diberikan emas satu
lembah, ia akan meminta emas dua lembah, dan seterusnya.
Pandangan madzhab ini
tampak tidak ada bedanya dengan ekonomi konvensional, tetapi ternyata ada
perbedaannya. Perbedaannya terletak pada cara menyelesaikan masalah tersebut
(kesenjangan jumlah keinginan dan sumber daya yang ada). Ekonomi islam
menyelesaikan masalah tersebut dengan membuat skala prioritas, memilih dari
yang paling penting sampai yang paling tidak penting menurut Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Sedangkan ekonomi konvensional membuat skala prioritas menurut hawa
nafsunya.
Tokoh-tokoh madzhab ini
di antaranya, M. Umer Chapra, M.A. Mannan, M. Nejatullah Siddiqi, dan
lain-lain. Mereka mayoritas bekerja diIslamic Development Bank (IDB) sebagai
doktor di bidang ekonomi yang belajar (dan ada juga yang mengajar) di
universitas-universitas barat. Oleh karena itu, madzhab ini tidak pernah
membuang sekaligus teori-teori ekonomi konvensional ke keranjang sampah. Umer
Chapra misalnya berpendapat bahwa usaha mengembangkan ekonomi islam bukan
berarti semua hasil analisis yang baik dan sangat bermanfaat yang telah dicapai
oleh ekonomi konvensional selama lebih dari seratus tahun terakhir.
c. Madzhab Alternatif Kritis
Pelopor madzhab ini
adalah Timur Kuman (Ketua Jurusan Ekonomi di University of Southern
California), Jomo (Yale, Cambridge, Harvard, Malaya), Muhammad Arif, dan
lain-lain. Madzhab ini mengkritik kedua madzhab sebelumnya. Madzhab Baqir dikritik
sebagai madzhab yang berusaha untuk menemukan sesuatu yang baru yang sebenarnya
sudah ditemukan oleh orang lain. Sementara itu, madzhab mainstream dikritiknya
sebagai jiplakan dari ekonomi neoklasik dengan menghilangkan variabelriba dan
memasukkan variabel zakat serta niat.
Madzhab ini adalah sebuah
madzhab yang kritis. Mereka berpendapat bahwa Islam pasti benar, tetapi ekonomi
islam belum tentu benar karena ekonomi islam adalah hasil tafsiran manusia atas
Al-qur’an dan Sunnah, sehingga nilai kebenarannya tidak mutlak. Proposisi dan
teori ekonomi islam harus selalu diuji kebenarannya sebagaimana yang dilakukan
terhadap ekonomi konvensional.
B.
PRINSIP-PRINSIP
UMUM EKONOMI ISLAM
Walaupun pemikiran tentang ekonomi Islam terbagi menjadi tiga madzhab, tetapi pada dasarnya mereka setuju dengan prinsip-prinsip umum yang mendasarinya. Prinsip-prinsip ini membentuk keseluruhan kerangka ekonomi islam, yang jika diibaratkan sebagai sebuah bangunan dapat divisualisasikan. Bangunan ekonomi Islam didasarkan atas lima Nilai universal, yakni: tauhid (keimanan), ‘adl (keadilan), nubuwwah (kenabian), khilafah (pemerintahan), dan ma’ad (hasil). Kelima nilai ini menjadi dasar inspirasi untuk menyusun proposisi-proposisi dan teori-teori ekonomi islam.
Namun,
teori yang kuat dan baik tanpa diterapkan menjadi sistem, akan menjadikan
ekonomi islam hanya sebagai kajian ilmu saja tanpa memberi dampak pada
kehidupan ekonomi. Oleh karena itu, dari kelima nilai-nilai universal tersebut,
dibangunlah tiga prinsip derivatif yang menjadi ciri-ciri dari cikal
bakalsistem ekonomi islam. Ketiga prinsip derivatif itu adalah: multitype ownership, freedom to act, dan social justice.
Di atas semua nilai dan prinsip yang telah diuraikan di atas,
dibangunlah konsep yang memayungi kesemuanya, yakni konsep akhlah. Akhlak
menempati posisi puncak, karena inilah yang menjadi tujuan Islam dan dakwah
para Nabi, yakni untuk menyempurnakan akhlak manusia.
a. Nilai-nilai Universal
Nilai-nilai yang menjadi dasar inspirasi untuk
membangun teori-teori ekonomi Islam, yaitu:
1.
Tauhid (Keesaan Tuhan)
Tauhid merupakan fondasi
ajaran Islam. Dengan tauhid, manusia menyaksikan bahwa “tiada sesuatupun yang
layak disembah selain Allah) dan tidak ada pemilik langit, bumi, dan segala
isinya, selain daripada Allah. Karena itu segala aktivitas manusia dalam
hubungannya dengan alam (sumber daya) dan manusia (mu’amalah) dibingkai dengan
kerangka hubungan dengan Allah. Karena kepadaNya kita akan
mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita, termasuk aktivitas ekonomi dan
bisnis.
2.
‘Adl (Keadilan)
Salah satusifat Allah
adalah adil. Dia tidakmembeda-bedakan perlakuan terhadap makhluk-Nya secara
dzalim. Dalam banyak ayat, Allah memerintahkan manusia untuk berbuat adil.
Dalam islam adil didefinisikan sebagai “tidak mendzalimi dan tidak
didzalimi”.Implikasi ekonomi dari nilai ini adalah bahwa pelaku ekonomi tidak
dibolehkan untuk mengejar keuntungan pribadi bila hal itu merugikan orang lain
atau merusak alam.
3.
Nubuwwah (Kenabian)
Untuk umat manusia, Allah
telah mengirimkan model manusia yang terakhirdan sempurna untuk diteladani
sampai akhir zaman, nabi Muhammad. Sifat-sifat utama sang model yang harus
diteladani oleh manusia pada umumnya dan pelaku ekonomi dan bisnis pada
khususnya, antara lain:
a)
Shiddiq (benar, jujur)
Konsep turunan khas ekonomi
dan bisnis, yakni efektivitas (mencapai
tujuan yang tepat)dan efisiensi (melakukan kegiatan dengan benar, yakni
menggunakan teknik dan metode yang tidak menyebabkan kemubadziran).
b)
Amanah (tanggung jawab, kepercayaan,
kredibilitas)
Sifat amanah memainkan
peranan yang fundamental dalam ekonomi dan bisnis, karena tanpa kredibilitas
dan tanggung jawab, kehidupan ekonomi dan bisnis akan hancur.
c)
Fathanah (kecerdikan, kebijaksanaan,
intelektualitas)
Implikasi ekonomi dan
bisnis dari sifat ini adalah bahwa segala aktivitas harus dilakukan dengan
ilmu, kecerdikan, dan pengoptimalan semua potensi akal yang ada untuk mencapai
tujuan.
d)
Tabligh (komunikasi, keterbukaan, pemasaran)
Sifat ini
mengimplikasikan pada ekonomi dan bisnis, bahwa sifat tabligh menurunkan prinsip-prinsipilmu
komunikasi (personal maupun massa), pemasaran, penjualan, periklanan,
pembentukan opini massa, open management, iklim keterbukaan, dan lain-lain.
4.
Khilafah (Pemerintahan)
Dalam Islam, pemerintah memainkan peranan yang kecil,
tetapi sangat penting dalam perekonomian. Peran utamanya adalah untuk menjamin
perekonomian agar berjalan sesuai dengan syari’ah, dan untuk memastikan supaya
tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak manusia. Semua ini dalam rangka
mencapai maqashid al-syari’ah
(tujuan-tujuan syari’ah, yaitu keimanan, jiwa, akal, kehormatan, dan kekayaan
manusia), yang menurut Imam Al-Ghazali adalah untuk memajukan kesejahteraan
manusia.
5.
Ma’ad (Hasil)
Walaupun sering kali
diterjemahkan sebagai “kebangkitan”, tetapi secara harfiah ma’ad berarti
“kembali”. Implikasi nilai ini dalam kehidupan ekonomi dan bisnis misalnya,
diformulasikanoleh Imam Al-Ghazali yang menyatakan bahwa motivasi para pelaku
bisnis adalah untuk mendapatkan laba. Laba dunia dan laba akhirat. Karena itu,
konsep profit mendapatkn legitimasi dalam Islam.
a.
Prinsip-prinsip Derivatif: Ciri-ciri Sistem
Ekonomi Islam
1.
Multitype Ownership (Kepemilikan multijenis)
Nilai tauhid dan nilai
‘adl melahirkan konsep multitype
ownership. Prinsip ini adalah terjemahan dari nilai tauhid:pemilik primer
langit, bumi, dan sisanya adalah Allah, dan manusia hanya sebagai pemilik
sekunder. Sedangkan untuk menjamin keadilan, maka cabang-cabang produksi yang
penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Sistem
kepemilikan campuran juga diakui oleh Islam, baik campuran negara-swasta,
swasta domestik-asing, atau negara-asing.
2.
Freedom to Act (Kebebasan
Bertindak/Berusaha)
Keempat nilai nubuwwah
yang dimiliki oleh Nabi Muhammad bila digabungkan dengannilai keadilan dan
nilai khilafah (goog governance) akan melahirkan freedom to act pada Muslim, khususnya pada pelaku ekonomi dan
bisnis. Freedom to act akan bagi
setiap individu akan menciptakan mekanisme pasar dalam perekonomian. Karena
itu, mekanisme pasar adalah keharusan dalam Islam, dengan syarat tidak ada
distorsi (proses pendzaliman)
3.
Social Justice (Keadilan Sosial)
Gabungan nilai khilafah
dan nilai ma’ad melahirkan prinsip
keadilan sosial. Dalam Islam, pemerintah bertanggung jawab menjamin pemenuhan
kebutuhan dasar rakyatnya dan keseimbangan sosial antara yang kaya dan yang
miskin. Semua sistem ekonomi memiliki tujuan yang sama yaitu menciptakan sistem
perekonomian yang adil. Dalam Islam, keadilan diartikan dengan suka sama
sukadan tidak ada yang terdzalimi.
Akhlak : Perilaku Islam dalam perekonomian
Sekarang kita telah
memiliki landasan teori yang kuat serta prinsip-prinsip sistem ekonomi yang
mantap. Tetapi dua hal itu belum cukup, karena teori dan sistem menuntut adanya
manusia yang menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam teori dan sistem tersebut. Harus ada manusia yang perperilaku,
berakhlak secara profesional (ihsan, itqan) dalam bidang ekonomi. Karena teori
yang unggul dan sistem-sistem ekonomi yang sesuai syari’ah sama sekali bukan
merupakan jaminan bahwa perekonomian umat Islam akan maju. Sistem ekonomi hanya
memastikan bahwa tidak ada transaksi ekonomi yang bertntangan dengan
syari’ah.Perekonomian umat Islam baru dapat maju bila pola pikir dan pola laku
Muslimin dan Muslimat sudah itqan (tekun) dan ihsan (profesional).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar